Milik Kita: Sastra Sepintas-Lalu - Budi Darma

@kontributor 3/17/2020
Milik Kita: Sastra Sepintas-Lalu

Budi Darma




SASTRAMEDIA.COM - I. Kebanyakan sastra kita hanyalah sastra sepintas-lalu. Kesepintas-laluan ini dapat kita lihat dalam berbagai segi, antara lain para penulisnya, para kritikusnya, dan publik sastranya. Marilah kita lihat bagaimana persoalannya. Sastra Indonesia mempunyai jumlah penulis yang bukan main banyaknya. Tapi kebanyakan mereka hanya melongok sastra sebentar, kemudian pensiun. Ada pula yang setelah melongok sebentar kemudian tidur, melongok lagi sebentar, untuk kemudian tidur lagi, entah sampai kapan. Keterlibatan mereka dalam sastra hanyalah sepintas-lalu.

Apa yang mereka kerjakan juga sepintas-lalu. Mereka hanya bermain ala kadarnya, tanpa berusaha keras untuk memperbaiki mutu permainannya, dan tidak mau menguji kekuatannya sampai lama. Mereka lekas kecapekan dan lekas menyerah. Kalau kita menilai mereka semata-mata sebagai penulis, segala macam kesalahan dapat kita timpakan pada mereka. Dan memang, sebagai pemain yang lekas mundur, mereka wajib menerima tuduhan kesalahan. Merekalah yang bertanggung jawab mengapa mereka lekas kehabisan napas, kurang bergairah, dan kurang mampu memupuk kekuatan mereka sendiri. Tuduhan yang paling keras mungkin: mereka tidak mempunyai bakat yang baik.

Tapi tunggu, ternyata bakat menulis bertebaran di mana-mana. Banyak sekali naskah bertumpuk di kantor-kantor media massa, kantor-kantor penerbit, belum lagi yang tersimpan di rumah penulisnya sendiri. Kalau kita ingin tahu lebih banyak mengenai bakat, adakan sesi sayembara menulis. Kita akan mengetahui, bahwa orang-orang yang nampaknya tidak mempunyai bakat, ternyata mendadak menjadi penulis. Beberapa tahun yang lalu, misalnya, saya menjadi anggota juri lomba penulisan cerpen. Karena saya sudah mempunyai asumsi bahwa sayembara dapat menyulap seseorang untuk sekonyong-konyong menjadi penulis, saya tidak heran melihat begitu banyaknya naskah masuk. Saya juga tidak heran melihat sekian banyak ragam orang yang sekonyong-konyong menjadi penulis: juru rawat, dokter mahasiswa, pelajar, dosen, pegawai kantor pemerintah, pegawai kantor swasta, penjual jasa, dan lain-lain. Dan saya tidak heran melihat bahwa sebetulnya mereka mempunyai kepandaian menulis, betapa kecil pun kepandaian itu. Andai kata mereka tidak ingin menjadi spesialis peserta sayembara, akan tetapi benar-benar mau menjadi penulis tanpa pamrih hadiah, mungkin mereka mempunyai kesempatan untuk menjadi penulis yang jauh lebih baik.

Makin menarik hadiahnya, tentu saja makin banyak orang yang sekonyong-konyong menjadi penulis. Dan karena orang Indonesia menganggap pelesir ke luar negeri sebagai suatu "wah" yang sangat menggairahkan, kita tidak usah heran melihat begitu banyak orang mengharap diadakannya sayembara dengan hadiah plesir ke luar negeri. Hanya jangan heran, pengumuman sayembara semacam ini biasanya tidak menyebar luas.

Ditinjau dari satu segi, mungkin ada kesamaan antara para peserta sayembara dan para penulis yang hanya bermain sebentar. Para peserta sayembara ingin mendapat untung, sedangkan para penulis ingin menjadi gagah. Dan anggapan bahwa menjadi penulis adalah gagah dapat kita lihat dari beberapa cerpen para penulis muda, yang akhir-akhir ini sempat sedikit-banyak saya ikuti. Para penulis muda ini masih polos. Apa yang mereka katakan dalam cerpen mereka juga polos. Segala sesuatu mengenai mereka, termasuk latar belakang kehidupan mereka dan cita-cita mereka, nampak jelas dalam cerpen-cerpen mereka. Apa yang mereka katakan mengenai tokoh mereka dalam cerpen mereka pada hakikatnya adalah diri mereka sendiri. Dan tokoh-tokoh mereka adalah penulis-penulis yang ingin menjadi gagah karena kepenulisan mereka. Tokoh-tokoh tersebut ingin menjadi monumen.

Beberapa waktu yang lalu bahkan ada seorang penulis yang menyebabkan saya tertawa terpingkal-pingkal. Dengan terus-terang dia mengatakan kepada saya, bahwa dia ingin namanya masuk ke dalam soal ujian sekolah. Alangkah hebatnya orang ini, pikir saya. Dan ada juga seseorang yang mengaku terus-terang kepada saya, bahwa dia ingin terkenal. Nah, itulah soalnya. Akan tetapi seperti yang diungkapkan oleh para penulis muda yang saya sebut di atas tadi, para tokoh mereka cepat terjangkit penyakit inertia. Mereka tetap mempunyai keinginan, akan tetapi malas bertindak untuk mencapai keinginan tersebut. Kemauan yang kuat, apalagi disiplin kerja, tidak mereka miliki. Maka mereka pun mati sebelum menjadi penulis yang benar-benar penulis. 

Tentu saja kita tidak dapat bergegabah menuduh semua penulis mempunyai orientasi kegagahan. Akan tetapi sejarah sastra kita menunjukkan bahwa penyakit inertia memang merajalela. Sebagaimana halnya peserta sayembara yang tidak mau mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menulis secara teratur, banyak penulis dalam sastra Indonesia yang terlalu cepat mundur sebelum menunjukkan seluruh kekuatannya. Mereka menulis seolah-olah sambil-lalu.

Memang ada pendapat, bahwa semuanya tergantung pada bakat. Pendapat ini benar, dan saya setuju. Disiplin baja tidak akan banyak menolong orang yang bakatnya tidak cukup tinggi. Akan tetapi pendapat Thomas Alva Edison juga benar. Menurut dia, untuk mencapai sesuatu orang memerlukan satu persen inspirasi dan sembilan puluh sembilan persen perspirasi alias kerja keras. Dan saya yakin, banyak penulis Indonesia yang belum bekerja keras. Pemusatan pikiran dan hasrat mereka sering terganggu oleh banyak persoalan, yang kelihatannya di depan hidung menguntungkan, paling tidak untuk sesaat. 

Demikianlah kalau kita melihat mereka semata-mata sebagai penulis. Kalau kita melihat mereka sebagai anggota masyarakat, maka masyarakat juga tidak bebas dari kesalahan. Seperti yang sudah sering saya kemukakan, baik dalam percakapan dengan beberapa teman, dalam ceramah, dalam wawancara, maupun dalam berbagai tulisan, masyarakat tidak membantu penulis untuk mempunyai "suasana yang baik untuk menulis". Masyarakat terlalu banyak memberi beban kepada para penulis, yang tidak ada hubungannya dengan kepenulisannya.

Adalah bukan kebetulan, seperti yang pernah disinyalir oleh Harry Aveling dan Jakob Sumardjo, bahwa kebanyakan penulis kita intelektual. Tentu saja pengertian "intelektual" tidak harus identik dengan pendidikan formal yang tinggi, melainkan dengan sikap yang selalu ingin belajar, dan jalan pikiran yang menunjukkan kemampuan berpikir yang baik. Kemampuan intelektual memang merupakan salah satu syarat yang penting untuk menjadi penulis yang baik. Dan di Indonesia orang tidak dapat memperlakukan intelektual sebagal intelektual, termasuk terhadap penulisnya. Masyarakat menganggap, bahwa intelektual setali tiga uang dengan teknokrat, dan masyarakat memojokkan sekian banyak intelektual untuk menjadi teknokrat. Teknokrat memang intelektual, akan tetapi belum tentu setiap intelektual adalah teknokrat. Ruang lingkup seorang intelektual adalah pemikiran, sedangkan ruang lingkup seorang teknokrat adalah praktik. Socrates, misalnya, tidak mungkin menjadi menteri, karena sebetulnyalah dia pemikir tulen. 

Para penulis yang sebetulnya berbakat dan gigih, terpaksa tidak "mempunyai suasana yang baik untuk menulis". Mereka menjadi administrator, pengurus sekian banyak yayasan, penasihat sekian macam organisasi, dan penceramah segala macam masalah, mulai dari soal kenakalan anak remaja sampai soal peranan babu dalam pembangunan. Pagi mereka sudah harus berangkat, pukul lima sore mereka baru pulang, sementara sekian banyak tamu dan rapat sudah menunggunya. Masyarakat Indonesia, seperti halnya masyarakat cerpen Albert Camus mengenai Jonah, rupanya tidak menyangka, bahwa setiap pemikir memerlukan privacy. Seseorang yang dianggap pandai yang menolak untuk memberi wejangan, pengarahan, dan ceramah, serta menolak untuk menyingsingkan lengan bajunya untuk mengurusi tetek-bengek yang sebetulnya di luar keahliannya, mereka anggap sebagai pengkhianat.

Maka terceritalah, demikian menurut Camus dalam cerpennya, di suatu desa ada seorang pelukis yang baru mekar, Jonah namanya. Berdatanganlah orang-orang kepadanya meminta petuah dan keringanan tangannya untuk membereskan segala persoalan desa mereka. Sebagai seseorang yang terjepit oleh nilai-nilai desanya, Jonah tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menuruti mereka. Maka terpaksalah dia berhenti sebagai pelukis. Dalam usia yang masih muda dia meninggal, dengan meninggalkan tulisan yang tidak jelas di atas kanvasnya. Tulisan ini mungkin berbunyi solitaire, mungkinjuga solider. Sebagai seseorang yang memerlukan privacy, dia mati karena dia tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan nalurınya sebagai seorang solitaire, dan sebagai seseorang yang tidak sempat mengembangkan bakatnya dia terpaksa mati bersolider dengan masyarakatnya, yang notabene bodoh dan tidak mau memibe kesempatan kepada orang lain untuk menjadi lebih pandai. 

Kasus ekstrem di luar sastra mengenai tekanan masyarakat terhadap individu yang realistis pernah terjadi di Mataram. Masyarakat menghendaki, setiap ada orang meninggal, keluarganya harus menyuguhkan makanan kepada pelayat. Menurut pendapat wartawan "Antara" berdasarkan omong-omongnya dengan beberapa ekeh beban ini berat, dan sebetulnya tidak dikehendaki oleh agama. Tapi ketika ada seorang tokoh yang berusaha menghapuskan adat ini, masyarakat justru mengucilkannya. Selanjutnya dalam setiap kegiatan tokoh ini tidak pernah diundang (baca: "Justru Dikucilkan", Surabaya Post, 24 Juli 1982, hal. 4). Intelektual yang tidak mau menjadi teknokrat juga mendapat tekanan dalam masyarakat Indonesia.


Kembali pada sastra, masyarakat tidak tahu bahwa menulis tidak sama dengan membatik, yang biasa dikerjakan oleh para janda pensiunan. Mereka menyangka, bahwa menulis dapat dipotong dengan mudah oleh kegiatan ini dan itu. Dalam masyarakat yang tidak intelektual, kerja intelektual dianggap sama dengan kerja pertukangan.

II
Bahwa jumlah publik sastra kita sedikit, kita semua tentu sudah mengetahuinya. Akan tetapi tidak banyak orang yang memperhatikan, bahwa publik sastra Indonesia tidak lain dan tidak bukan adalah para pekerja sastra sendiri, paling tidak mereka yang ingin menjadi pekerja sastra. Orang membaca sastra bukannya tanpa pamrih. Dia membaca karena dia ingin menjadi penulis atau kritikus. Karena kebanyakan mereka hanya melongok sastra sepintas-lalu, mereka pun menjadi publik sastra yang sepintas-lalu. 

Sementara itu kita tidak boleh menyangka, bahwa penyakit yang menimpa para penulis Inggris tidak menimpa para penulis Indonesia juga. Sebagaimana halnya para penulis Inggris, sebagian penulis Indonesia adalah bunga narkisus. Mereka bersolek dan membaca karya mereka sendiri, tanpa memperhatikan karya orang lain. Yang berada di luar diri mereka cukup mereka lihat sepintas-lalu saja. Sementara itu para pengarang yang berbakat, tekun, dan gigih, belum tentu menjadi publik sastra Indonesia yang baik. Mereka adalah orang-orang intelektual, dan karena itu menganggap belajar sebagai kewajiban. Dan tentu saja belajar yang justru memperbodoh mereka adalah di luar keinginan mereka.


Sementara itu sebagian besar sastra Indonesia adalah buruk. Banyak cerpen yang tidak lain dan tidak bukan hanya sketsa pengalaman sepintas-lalu, banyak novel yang hanya novel-novelan dan nampak dibuat sepintas-lalu. Dan banyak juga puisi yang tidak lain dan tidak bukan hanyalah potongan-potongan kalimat. Darine mempelajari tulisan-tulisan buruk semacam ini, yang tentu saja memperbodoh mereka dan mengotori daya jangkau kemampuan estetika mereka, lebih baik mereka menjadi publik sastra luar negeri. Sekian banyak raksasa di luar negeri yang tidak bisa mereka abaikan yang pasti akan lebih memperkaya mereka. Di luar kemauan merek sendiri, mereka tidak bisa menjadi publik sastra Indonesia sendiri dengan setia. 

III
Persoalan publik sastra tidak hanya berhenti di situ. Kita tahu bahwa kebanyakan kita pengemis, sekalipun kita segan mengakuinya. Coba saja lihat, bagaimana bangganya kita kalau kita menerima undangan tontonan cuma-cuma. Rasanya betul-betul puas dan terhormat kita menerima undangan semacam ini. Dan meskipun kita tahu bahwa harga undangan sebetulnya tidak seberapa, kita lebih baik berusaha mendapat undangan cuma-cuma daripada membelinya.


Sikap kita terhadap jurnal ilmu pengetahuan juga demikian, paling tidak menurut seorang guru besar yang baru-baru ini bercerita kepada saya. Katanya, pernah ada jurnal ilmu pengetahuan yang selama ini dibagikan cuma-cuma kepada mereka yang dapat dianggap intelektual. Pemberian cuma-cuma ini kemudian dihentikan, lalu mereka yang biasanya menerima jurnal tersebut diminta untuk berlangganan. Dan mereka tidak mau berlangganan. 

Sikap publik sastra terhadap buku sastra juga demikian. Daripada membeli, mereka menunggu diberi. Memang kita pengemis, meskipun tidak semuanya. Dan bukan hanya itu. Kita mempunyai jiwa yang baik untuk ngemplang, yaitu meminjam sesuatu tanpa mengembalikannya. Pada waktu Bung Karno masih di puncak kejayaannya misalnya, Menteri Jusuf Muda Dalam bertanya kepadanya, bagaimana cara pemerintah Indonesia nanti mengembalikan utang-utang di luar negeri yang makin menumpuk. Dengan sikap gagah dan wajah tanpa dosa Bung Karno berkata: "Mudah! Kemplang saja!" Dan dalam kehidupan sehari-hari kita banyak melihat kemplang-mengemplang: tetangga meminjam gula tanpa mau mengembalikannya, teman meminjam majalah dengan anggapan bahwa majalah itu secara diam-diam akan menjadi milik peminjam, orang yang memberi pinjaman uang justru malu menagih utang yang betulnya merupakan haknya, dan lain-lain. Maka buku-buku pun menjadi sasaran kemplangan, termasuk buku sastra.

IV
Sudah lama orang mengeluh mengenai kritik sastra. Sampai beberapa waktu yang lalu, ketika di Yogya diselenggarakan seminar mengenai kebudayaan, orang juga masih mengeluh mengenai kritik sastra. Kritik sastra kita memang hebat. Yang dinamakan kritik sastra kita kebanyakan berbentuk resensi buku, berita, atau wawancara. Memang tidak semua kritik itu jelek, akan tetapi jarang yang menggugah semangat kita untuk bertepuk tangan atau menghentak-hentakkan kaki bersama kritikusnya. Kritik-kritik itu berlalu sepintas-lalu tanpa meninggalkan kesan yang dalam, tanpa mengundang kita untuk, berpikir lebih jauh. Lagi pula bentuk yang diambilnya, yaitu resensi, berita, atau wawancara memang menimbulkan kesan bahwa sekarang tidak ada kritik yang serius. Kritik-kritik sastra yang mengambil bentuk-bentuk semacam itu nampaknya hanya kritik sastra sepintas-lalu. Dan jangan heran kalau isi resensi hanyalah singkatan isi buku. Dan jangan lupa saya menulis ini juga sepintas-lalu. 

1981-1982

-Sumber: Solilokui, Kumpulan Esei Sastra, Budi Darma, Jakarta, Gramedia, 1983

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »