Sastra: Sebuah Catatan - Budi Darma

@kontributor 4/06/2020
Sastra: Sebuah Catatan

Budi Darma




SASTRAMEDIA.COM - Kebanyakan penjelasan mengenai sastra kurang tepat, karena penjelasan-penjelasan tersebut lebih banyak menitikberatkan segi luar sastra. Sastra memang karya tulis, akan tetapi yang penting bukanlah tulisannya, melainkan yang ada di dalamnya. Dan apabila kebanyakan orang mengatakan bahwa yang penting di dalam tulisan sastra adalah keindahannya, maka sebetulnya keindahan itu pun bukanlah disebabkan oleh keindahan bahasanya seperti yang banyak dikatakan orang, melainkan karena keberhasilan tulisan sastra tersebut mendekati kebenaran. 

Alan A. Stone dan Sue Smart Stone dalam The Abnormal Personality through Literature mengeluh karena kebanyakan orang tidak memperlakukan pengarang sebagai kolega yang mengungkapkan pengalaman hidup, akan tetapi sebagai objek yang dipelajari. Orang lebih banyak mempelajari hidup dalam kesusastraan daripada lewat kesusastraan (baca: Antologi Esei, Tim Ilmu Budaya Dasar Kelompok IV, Honolulu, Hawaii, 1973, hal. 3 dan 4). 

Selanjutnya Subagio Sastrowardoyo dalam Simphoni (Pustaka Jaya, Jakarta, 1971, hal. 45) mengatakan, bahwa puisi adalah filsafat, sedangkan roman, cerita pendek, atau drama adalah ilmu jiwa. 

Alan A. Stone dan Sue Smart Stone adalah ahli-ahli ilmu-ilmu kemanusiaan, yang tentunya pandangannya berbeda dengan ahli-ahli sastra dalam pengertian teknis-akademis. Ahli-ahli ilmu-ilmu kemanusiaan memperlakukan sastra dan seni lainnya sebagai media untuk mempelajari hidup, sedangkan ahli-ahli sastra dalam pengertian teknis-akademis lebih banyak menekankan masalah teknis sastra, seperti bentuk penulisan, bahasa, latar belakang hidup pengarang, dan lain sebagainya. Dan Subagio Sastrowardoyo yang juga seorang sarjana sastra dan tentunya mengenal pendekatan sastra dari segi teknis-akademis, dalam pernyataan ini bertindak sebagai penyair. Dan sebagai penyair tentunya pendiriannya mengenai segi-dalam sastra dapat dipertanggungjawabkan. 

Dan inilah segi yang biasanya dilupakan orang: bahwa sastra sebenarnya pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa. 

Dan pandangan orang terhadap pengarang atau seniman pun kebanyakan tidak tepat. Banyak orang menitikberatkan fakta-fakta biografis pengarang, padahal yang lebih hakiki adalah pergolakan jiwa atau kehidupan-dalam pengarang. Kalau Freud bisa mengakui bahwa dia banyak berutang budi pada Dostoyevski, dan kalau Emile Zola bersedia untuk menyerahkan diri pada sebuah tim ahli ilmu jiwa untul diselidiki jiwanya, maka kebanyakan orang dalam melihat pengarang 'mengabaikan segi ini, karena Dostoyevski dan Zola bukanlah ahli ilmu jiwa atau penderita sakit jiwa dalam pengertian teknis-akademis. Pengarang adalah ahli ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup, kejiwaan, dan filsafat bukan dengan cara teknis-akademis, melainkan melalui tulisan sastra. 

Masalah hidup, kejiwaan, dan filsafat yang bagaimanakah yang diungkapkan dalam sastra, ini pun banyak dilewatkan orang. Dan kita tidak perlu tercengang apabila kita berhadapan dengan dunia yang aneh dalam sastra. "Ada saatnya orang menyukai kejahatan. Ya, memang manusia suka kejahatan, bukan hanya pada waktu-waktu tertentu, tapi selamanya. Mereka berkata bahwa mereka membenci kebusukan, akan tetapi dalam hati mereka mencintainya," demikianlah percakapan yang terdapat dalam novel The Brothers Kamarazov. Dengan naik bagal Don Quixote menyerang pengawal orang-orang hukuman untuk membebaskan orang-orang hukuman tersebut, akan tetapi karena kesintingan Don Quixote, orang-orang hukuman tersebut justru menggempur Don Quixote. Prufrock hanyalah seorang impoten berhadapan dengan keinginan-keinginannya sendiri. Hamlet adalah orang yang selalu ragu-ragu, yang tidak pernah mengambil keputusan dengan cepat dan tepat. Dona Maria dalam novel The Bridge of San Louis Rey adalah seorang perempuan gila yang suka berkelahi dengan anaknya sendiri, yang sering dilempari batu oleh anak-anak kecil pada waktu menelusuri lorong-lorong jalan, akan tetapi yang kata-katanya sering tepat dan jitu. Madame Bovary adalah seorang perempuan bejat moral, yang suka menelantarkan laki-laki yang betul-betul mencintainya tapi mengejar-ngejar orang yang tidak mencintainya dan hanya ingin memerasnya. Romeo dan Juliet adalah lambang cinta murni yang sulit dicari dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga cinta Jane Eyre terhadap laki-laki tua yang sudah menjadi balu dan buta. Peristiwa 10 Nopember di Surabaya dengan ekornya yang oleh orang Indonesia dianggap heroik, bagi Idrus hanyalah serangkaian peristiwa yang menertawakan dan menjijikkan. Dan banyak lagi. Inilah kebenaran hidup yang mungkin tidak kita sadari, tapi dianggap benar oleh sekian banyak pengarang. 

Mengapakah pengarang menganggap apa yang diungkapkannya merupakan kebenaran, sementara orang-orang lain tidak menyadarinya atau mengakuinya? Mengapakah masyarakat menganggap dirinya sehat sementara orang-orang dalam sastra sinting? "Orang sinting memang dianggap sinting oleh masyarakat sekitarnya. Sebaliknya orang sinting itu menganggap masyarakatnya aneh. Kenyataannya adalah bahwa dalam menghadapi masalah-masalah di luar si sinting, keraplah kaca mata si sinting yang dipergunakan oleh pengarangnya, bukan kaca mata masyarakat terhadap si sinting. Seperti juga penulis aliran stream of consciousness James Joyce dan Lawrence Sterne, dalam mengupas masyarakat dalam karya-karyanya lebih banyak menitikberatkan kaca mata si sinting. Apakah ini dipergunakan untuk mengutarakan ide, bahwa si sinting sebenarnya bukanlah sinting, tapi masyarakatnya yang sinting? Kalau masyarakat oleh si sinting dianggap sinting, maka si sintinglah yang berpikiran waras, dan masyarakatlah sebetulnya yang berpikiran sinting" (baca: Budi Darma, "Orang-orang Aneh dalam Sastra", majalah Basis, Juni 1969, hal. 303). Dan mengenai orang-orang aneh dalam sastra? "Meskipun saya tidak suka menyamaratakan orang, saya melihat orang yang pada dasarnya 'aneh'. Orang tidak mau melihat potret karena dirinya tidak terpacak di situ, orang melayat tidak untuk kepentingan berbelasungkawa, tapi untuk menghindari percakapan buruk orang-orang mengenai dirinya, orang berusaha untuk menggugurkan kandungan karena tidak dapat menahan nafsu adalah gejala bukan luar biasa. Gejala ini tidak 'aneh', akan tetapi akan menjadi 'aneh' bila kita merenungkannya" (baca: "Wawancara Tertulis dengan Budi Darma", oleh Sapardi Djoko Damono, majalah Horison, April 1974, hal. 127). Maka tidaklah mengherankan apabila pengarang mengalami nasib buruk dalam masyarakatnya: apa yang oleh masyarakat dianggap biasa atau baik, oleh pengarang dianggap sebaliknya. Pada waktu masyarakat menertawakan Don Quixote, Cervantes menertawakan masyarakat karena masyarakatlah yang gila dan Don Quixote-lah yang waras. Dan Dostoyevski pun pernah berkata: "Saya pernah dibawa ke depan regu penembak dan nyaris saya mati ditembak, hanya karena saya mengungkapkan kebenaran yang hakiki: bahwa manusia sesungguhnyalah makhluk yang kejam," 

Perbedaan antara pengarang dan orang lain terjadi karena kepekaan pengarang. Sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat, kepekaan pengarang dapat menembus kebenaran hakiki manusia yang tidak tertembus oleh orang-orang lain. Karena perbedaan inilah pengarang melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh orang lain, dan karena itulah pengarang mempunyai alasan-alasan yang kuat untuk memberontak sesuatu yang tidak diakui atau disadari oleh orang lain. Pada waktu orang lain puas dengan keadaan, pengarang tidak puas dengan keadaan tersebut. 

Karena yang diberontak adalah yang hakiki, maka pemberontakan tersebut banyak yang tidak mungkin mencapai tujuannya. Albert Camus memberontak kehidupan tanpa arti, karena kehidupan bagi Albert Camus hanyalah saat menunggu kematian. Hemingway dan teman-temannya dalam kelompok "The Lost Generation" memberontak terhadap kehidupan yang kosong yang terpaksa dijalani oleh siapa pun juga dengan melakukan kesibukan-kesibukan. John Steinbeck memberontak terhadap kemelaratan. Dan kita tahu apa yang mereka berontak tidak akan tumbang. Kematian memang mengakhiri hidup siapa pun juga, orang pun menyadari bahwa kesibukan-kesibukan terpaksa dilakukan untuk memberi arti pada hidup, dan orang tahu bahwa kemelaratan tidak akan lenyap. Dan karena pengarang sadar bahwa pemberontakannya tidak mungkin mencapai sasarannya, maka pengarang selalu merindukan sesuatu. Dan karena sesuatu yang dirindukannya tidak akan tercapai, maka pengarang mengidap nostalgia. Nostalgia yang tidak terpenuhi dapat menimbulkan rasa sakit, keindahan, kesyahduan, dan sebagainya. Sebaliknya, nostalgia yang mungkin terpenuhi tidaklah demikian halnya. Mendengarkan musik klasik dan musik koboi pun berbeda, meskipun keduanya dapat menimbulkan nostalgia. Nostalgia dalam musik klasik tidak akan tercapai, sedangkan nostalgia yang ditimbulkan oleh musik koboi mungkin saja tercapai: siapa tahu pada suatu hari kita mendapat lotre, lalu terbang ke Texas, melihat kuda, koboi, padang rumput, dan mendengarkan lagu-lagu koboi?

Sastra menimbulkan rasa sakit, tapi juga rasa syahdu. Sakit karena kita melihat bahwa sesungguhnyalah banyak manusia yang aneh, gila, mementingkan diri sendiri, sia-sia dalam pergumulan untuk menentukan identitas dirinya. Sastra juga menimbulkan perasaan takjub, karena sastra menggambarkan manusia-manusia yang terlalu baik, yang mungkin tidak terjangkau oleh kenyataan sehari-hari. Sastra juga menimbulkan rasa syahdu karena nostalgia pengarang adalah nostalgia yang tidak mungkin tercapai. Dan makin baik karya sastra, makin banyak karya tersebut menimbulkan rasa sakit, takjub, dan kesyahduan. Makin baik karya sastra makin universal masalah hidup yang diungkapkannya, seperti cinta kasih, ambisi, kebencian, kematian, kesepian, dan sebagainya. Karya sastra yang baik mengambil keadaan sekitar pengarang dan jamannya untuk menjadi bahan mentah, yang kemudian diolah menjadi karya yang tidak terikat lagi oleh tempat dan jaman bahan mentah tersebut. Sebaliknya, karya sastra yang kurang baik terlalu banyak terikat oleh bahan mentah tersebut, sehingga yang diungkapkannya hanyalah nilai-nilai setempat dan sesaat yang akan hambar dalam perkembangan waktu. 

Bagaimanakah mungkin menulis baik dan menjadi pembaca yang berselera baik? Indonesia sudah mempunyai pembaca-pembaca yang berselera baik, meskipun jumlahnya sedikit. Sastra dunia yang baik bukan merupakan barang asing bagi beberapa cendekiawan Indonesia. Akan tetapi, jumlah pengarang yang baik sangat sedikit. Memang, tentunya jumlah publik lebih banyak daripada jumlah pemain, dan jumlah pembaca yang baik lebih banyak daripada jumlah pengarang yang baik. Dengan tidak perlu mengeluhkan perimbangan yang sudah selayaknya terjadi ini, kita merasa bahwa keadaan di Indonesia cukup meminta perhatian kita: kematangan berpikir di Indonesia tidak seimbang dengan kematangan menulis. Pemberontakan yang terdorong oleh nostalgia yang sublim terhenti menjadi pemberontakan terhadap nilai-nilai sesaat karena bahan mentah yang dipergunakan pengarang tidak dapat diolah dengan matang: pemberontakan terhadap kawin paksa yang dilakukan oleh pengarang-pengarang Pra-Pujangga Baru tidak terasa sebagai pemberontakan terhadap terbelenggunya kebebasan cinta yang bertanggung jawab, akan tetapi terbatas pada kawin paksa waktu itu. Perjuangan untuk menengok ke Barat yang dikobarkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana hanyalah melahirkan pidato dan slogan dengan baju roman. Kebesaran Chairil Anwar antara lain dibentuk oleh kepandaiannya mencuri dan memanipulasi hasil-hasil curiannya. Sajak-sajak protes Angkatan 66 berhenti napasnya setelah Orde Lama terguling. Protes-protes dalam teater Rendra hanyalah pengangkatan Slogan-slogan secara harfiah dari surat-surat kabar. Kebebasan manusia untuk memilih jalan hidupnya sendiri, gairah untuk maju, kejujuran, hakikat protes, dan lain-lain yang bisa menimbulkan nostalgia yang syahdu terhenti menjadi slogan atau setengah slogan. 

Di sini kelihatan bahwa tradisi berpikir dengan baik lebih mudah terbentuk daripada tradisi menulis dengan baik. Dan pada waktu tradisi berpikir dengan baik sudah terbentuk di sementara kalangan di Indonesia, tradisi menulis baik belum terbentuk benar-benar pada pengarang-pengarang kita. Karena itu tidaklah mengherankan, bahwa dengan sengaja atau tidak, dengan sadar atau tidak, sastra Indonesia masa kini hampir seluruhnya diambil oper oleh kaum cendekiawan. Dalam salah satu artikelnya di harian Kompas, Jakob Sumardjo mengatakan bahwa dalam sastra generasi majalah Horison sekarang delapan puluh persen pengarangnya mengalami pendidikan universitas. Meskipun pendidikan tinggi tidak identik dengan kecendekiawanan, peranan generasi Horison banyak dipegang oleh mereka yang berpendidikan universitas. Rupanya ini merupakan jalan singkat untuk menumbuhkan tradisi menulis baik. 

Soal lain: belum meratanya sastra di kalangan cendekiawan Indonesia. Dengan kesadaran akan pentingnya sastra, orang-orang Romawi Kuno membekali warga negaranya dengan sastra sebelum warga negara tersebut dipercaya untuk menjadi pimpinan militer atau pemerintahan di luar negeri. Nixon mengundang Andre Malraux sebelum mengadakan pertemuan muka dengan Mao Tse Tung. Tradisi ini pun tidak mudah terbentuk, apalagi di Indonesia sebagai negara sedang berkembang: pada saatnya Indonesia berbenah diri untuk mengejar hal-hal yang material dalam modernisasi, hambatan untuk tumbuhnya tradisi ini pastilah bertambah. Sementara orang-orang di Barat sudah jemu spesialisasi, orang-orang Indonesia memerlukannya. Pada waktu Prof. Sir Cyril Burt menganjurkan supaya sastra diketahui oleh semua warga universitas (baca: pengantar dalam buku Arthur Koestler, The Act of Creation, Dell Publishing Co., Inc., New York, 1964), universitas-universitas di Indonesia justru cemas memikirkan disiplin ilmu pengetahuan yang dangkal meskipun universitas-universitas di Indonesia menyadari pentingnya the humanities untuk fakultas-fakultas non-humanities. Kita masih dipacu untuk mengejar kekurangan-kekurangan kebendaan, pada waktu kita menyadari peranan sastra yang non-kebendaan. 

1974

-Sumber: Solilokui, Kumpulan Esei Sastra, Budi Darma, Jakarta, Gramedia, 1983

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »