Perihal Kedudukan Cerpen
Budi Darma
SASTRAMEDIA.COM - 1. Baik sebagai karya sastra maupun sebagai bacaan hiburan, cerpen mempunyai kedudukan yang kurang menyenangkan. Sebagaimana yang dibuktikan dengan adanya sinyalemen krisis sastra pada tahun lima puluhan, justru pada saat cerpen memegang hegemoni sastra Indonesia berkat jasa-jasa para pengarang majalah Kisah, penulisan cerpen belum dianggap sebagai kreativitas yang lengkap, dan membaca cerpen belum dianggap sebagai aktivitas yang cukup. Antara lain karena alasan ini, timbullah gagasan untuk mengadakan sayembara penulisan roman, yang kemudian diselenggarakan setiap tahun oleh Dewan Kesenian Jakarta, dengan tujuan untuk meningkatkan kreativitas dan minat baca. Sebagai bacaan hiburan, cerpen dianggap sebagai alat untuk membunuh waktu, dan tempatnya diselipkan di antara tulisan-tulisan yang menarik selera seperti misalnya penggunaan alat kecantikan, pengaturan umum, hiasan rumah, perkawinan, dan sebagainya.
2. Dalam proses penulisan, cerpen juga mempunyai kedudukan yang kurang menyenangkan. Sejarah sastra menunjukkan bahwa banyak penulis mempergunakan cerpen sebagai batu loncatan untuk menulis bentuk sastra lain, yaitu novel. Entah sadar entah tidak, para penulis tersebut, di samping publik sastra yang sudah disebut di atas, menganggap bahwa menulis cerpen belum merupakan kreativitas yang lengkap.
3. Kedudukan cerpen yang kurang menyenangkan tidak lepas dari kondisi Indonesia sendiri. Kondisi ini memungkinkan bentuk-bentuk sastra yang lain mempunyai kedudukan yang lebih baik. Ditinjau dari segi politik, cerpen bukan alat pendidikan yang efisien, karena itu sekian banyak penguasa semenjak zaman Hindia Belanda dulu kurang begitu memperhatikan pengembangan cerpen. Timbulnya begitu banyak roman yang dirangsang oleh pemerintah Hindia Belanda melalui Balai Pustaka, timbulnya sekian banyak kegiatan teater pada zaman Jepang yang dipupuk oleh pemerintah waktu itu terutama untuk kepentingan propaganda, timbulnya sekian banyak kegiatan deklamasi pada tahun lima puluhan sampai dengan permulaan tahun enam puluhan yang direstui oleh badan-badan pemerintah, dan begitu banyaknya penulisan roman mulai akhir tahun enam puluhan sampai sekarang antara lain sebagai hasil sayembara tahunan Dewan Kesenian Jakarta, menunjukkan bahwa cerpen tidak dianggap sebagai sarana yang baik untuk meningkatkan kreativitas menulis, minat baca, dan kepekaan artistik. Munculnya kegiatan penulisan cerpen pada zaman Jepang juga kurang mempunyai arti.
4. Konsep atau batasan mengenai sesuatu tentunya mengundang perdebatan, demikian juga konsep atau batasan mengenai cerpen. Tidak ada satu konsep pun atau batasan mengenai cerpen yang dapat memuaskan semua pihak, dan tidak ada satu konsep pun atau batasan mengenai cerpen yang tidak mempunyai kelemahan. Kesulitan membuat konsep atau batasan mengenai cerpen terjadi antara lain karena sifat-sifat cerpen sendiri yang sukar dijabarkan dengan kata-kata.
Meskipun demikian, pasti ada konsep atau batasan yang lebih utuh daripada konsep atau batasan lain. Dalam sastra yang baik, konsep mengenai sastra umumnya lebih utuh daripada konsep yang timbul dari sastra yang kurang baik. Memang sastra Indonesia tidak boleh dikatakan buruk, seperti yang telah dibuktikan oleh karya-karya sastra Indonesia yang baik, termasuk di dalamnya cerpen, akan tetapi orang Indonesia belum mampu menciptakan konsep yang relatif baik mengenai cerpen.
Sebagai contoh, pada waktu memberi kata pengantar cetak ulang yang kesekian kalinya kumpulan cerpen Suman Hs, editor Penerbit Balai Pustaka menulis sebagai berikut:
Untuk membuat roman perlu waktu berbulan-bulan, kadang-kadang bertahun-tahun; cerita pendek dapat dihasilkan dalam beberapa hari malahan dalam beberapa jam. Dan lagi pula dalam zaman waktu berarti uang ini, dalam zaman segala orang banyak kerja sepanjang na bergesa-gesa, tidaklah banyak orang yang dapat membaca roman yang tebal-tebal: bagi kebanyakan orang sesungguhnya sudah mencukupi cerita pendek, yang dapat dibacanya kalau ada waktunya terluang seperempat jam atau lebih, ketika menantikan kereta-api dan sebagainya.
Bagi editor penerbit karya sastra yang dianggap bonafid ini, cerpen tidak lain dan tidak bukan hanyalah hasil iseng desakan keterburuan, ketidaksabaran, dan bahkan ketidakacuhan. Selanjutnya yang ditulis oleh H.B. Jassin dalam Tifa Penyair dan Daerahnya tidak konseptual, meskipun sebenarnya H.B. Jassin berusaha untuk bertindak konseptual, dan meskipun dia sudah sengaja membicarakan masalah cerpen dalam satu bab khusus bersama lukisan dan roman. Ajip Rosidi dalam buku Cerita Pendek Indonesia menerima cerpen sebagai barang jadi, tanpa kehendak untuk mempersoalkan cerpen sebagai konsep. Tentu saja Ajip Rosidi dan siapa pun juga berhak bertindak demikian, karena memang tidak semua pembicaraan mengenai cerpen harus menyangkut cerpen dari segi konsep. Barulah dalam kata pengantar antologi Cerita Pendek Indonesia, Satyagraha Hoerip berusaha untuk menjabarkan apakah sebenarnya cerpen itu. Dan usahanya memang memadai, sebab, antara lain, dia lebih banyak berbuat deduktif daripada induktif. Tentu saja suatu konsep dapat datang dari salah-satu atau kedua pendekatan itu, akan tetapi konsep yang filosofis lebih banyak menentukan cerpen yang akan datang, dan bukannya lebih banyak ditentukan oleh cerpen-cerpen yang telah ada.
Memang membuat konsep mengenai cerpen dan menulis cerpen merupakan dua kegiatan yang berbeda, akan tetapi sebetulnya saling berkaitan: tanpa konsep yang baik tidak ada cerpen yang baik, dan adanya konsep yang baik timbul karena adanya niat untuk menulis yang baik. Setidaknya demikianlah yang telah dibuktikan oleh sejarah sastra sekian banyak bangsa. Sebagai contoh, konsep filosofis humanisme internasional Angkatan 45 erat hubungannya dengan kematangan karya Angkatan 45 sendiri. Sementara itu, Angkatan 66 yang lebih banyak diciptakan oleh keadaan dan bukannya menciptakan keadaan, langsung terjun ke dunia praktik puisi protes tanpa pemikiran apa itu puisi yang baik dan apa itu hakikat protes. Maka, jauh sebelum persoalan Orde Lama dan Orde Baru usang, Angkatan 66 sudah terlanjur uzur terlebih dahulu.
5. Memang, seperti yang sudah dikatakan di atas, sastra Indonesia, termasuk cerpennya, tidak seluruhnya buruk. Meskipun demikian, para pengarang cerpen Indonesia tidak terlepas dari kelemahan-kurangnya daya abstraksi para pengarang, dan kurangnya kemampuan mereka untuk menjabarkan daya abstraksi tersebut ke dalam bentuk cerita. Daya abstraksilah yang membedakan kehidupan sehari-hari dengan kehidupan dalam cerpen. Makin lemah daya abstraksi seorang pengarang, makin kecil jarak antara kehidupan sehari-hari pengarang dengan kehidupan dalam cerpennya, seolah-olah cerpen identik dengan pengalaman harfiah pengarangnya. Inilah yang menimbulkan cerpen-cerpen yang biografis dan kurang kreatif. Ini pulalah yang menyebabkan adanya detail-detail dalam cerpen Indonesia yang sifatnya touristic, atau seperti perhiasan, dan kurang berfungsi untuk mendukung cerpen tersebut sebagai karya sastra kelemahan. Kelemahan-kelemahan ini antara lain disebabkan oleh yang utuh.
Kurangnya daya abstraksi dan kemampuan untuk menjabarkan abstraksi ke dalam bentuk cerita terlihat juga pada kelemahan penyusunan alur. Inilah yang menyebabkan kecenderungan beberapa pengarang cerpen untuk memasukkan unsur-unsur harfiah jasmaniah, seperti misalnya perkelahian, pembunuhan, dan kematian mendadak dalam menciptakan alur. Kelemahan menciptakan alur juga menyebabkan pengarangnya sulit mencari penyelesaian cerita, sehingga akhir cerpen menjadi kurang wajar, nampak dipaksa-paksa, atau terlalu cepat.
Cerpen-cerpen yang mirip sketsa juga terjadi karena kelemahan di atas, yaitu kurangnya daya abstraksi dan kurangnya kemampuan untuk menjabarkan abstraksi ke dalam bentuk cerita.
Kelemahan lain, menurut sinyalemen Subagio Sastrowardoyo dalam Bakat Alam dan Intelektualisme, adalah kurang adanya keseimbangan antara bakat alam dan intelektualisme. Akibat adanya bakat alam yang tidak dilandasi oleh kelengkapan-kelengkapan lain, terlihat pada kurang terpeliharanya penulisan cerpen, seperti misalnya penggunaan bahasa yang kurang tertib, di samping kelemahan alur dan penyelesaian cerita yang sudah disebut di atas.
Semua bunga rampai sastra Indonesia yang memuat cerpen, antara lain Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (H.B. Jassin), Gema Tanah Air (H.B. Jassin), Angkatan 66 (H.B. Jassin), Laut Biru Langit Biru (Ajip Rosidi), dan Cerita Pendek Indonesia (Satyagraha Hoerip), penuh dengan pemandangan kelemahan-kelemahan tersebut. Dan meskipun sastra Indonesia, termasuk cerpennya, terus berkembang, kelemahan-kelemahan ini terus bergema dari satu kurun waktu ke kurun waktu lainnya. Berulangnya pola-pola kelemahan dapat terus terjadi, antara lain karena kebanyakan pengarang Indonesia tidak suka melihat karya-karya para pengarang sebelumnya. Sementara itu pengarang yang baik, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain, adalah mereka yang memperhatikan perkembangan sastra.
6. Sebab-sebab kelemahan para pengarang cerpen tentu dapat dicari jawabnya, baik dari segi sosial, politik, dan ekonomi, maupun dari segi kebudayaan dalam arti luas, kesenian, estetika, dan lain-lain. Pada hakikatnya, setiap jawaban yang relevan tentu ada unsur benarnya. Tidak bersahabatnya masyarakat terhadap pengarang, terpasungnya pengarang oleh keadaan politik, sulitnya mencari penerbit yang jujur dan tidak semata-mata memperlakukan pengarang sebagai objek untuk ditipu, kurang kukuhnya akar kebudayaan Indonesia, dan sekian banyak alasan lain tentu saja dapat menjadi benar. Meskipun demikian, jawaban yang fundamental mungkin hanya satu, yaitu kurangnya bakat menulis. Kalau ini jawabnya, dan kalau benar bahwa bakat adalah pembawaan seseorang semenjak lahir, maka usaha apa pun untuk menciptakan bakat mungkin akan menemui jalan buntu.
1980
-Sumber: Solilokui, Kumpulan Esei Sastra, Budi Darma, Jakarta, Gramedia, 1983