Puisi dalam Kesederhanaan Wislawa - Wawan Kurniawan

Puisi dalam Kesederhanaan Wislawa


María Wisława Anna Szymborska, seorang penyair asal Polandia yang menjadikan puisi sebagai ruang untuk memaknai kesederhanaan. Dari sejumlah puisinya, saya belajar banyak untuk memahami beberapa hal, namun dalam proses belajar itu saya pun mulai menemukan kesulitan dalam menerjemahkan kesederhanaan yang kerap dia bicarakan. Apakah memang puisi harus sederhana? Ataukah sesederhana yang kita maksud tidak sesederhana di kepala Wislawa? 

Tentu ada banyak pertanyaan untuk merenungi kembali pernyataan yang dia lontarkan itu. Lalu saat kita mulai mencoba untuk memasuki puisi-puisinya, ruang yang dia maksud perlahan akan terbuka dan sebagai pembaca kita akan disuguhkan dengan kemampuannya menghadirkan suasana puitis yang memukau. 

Saat berbicara tentang sederhana, saya kemudian mengingat kutipan dari Albert Einsten yang kerap disampaikan orang-orang di banyak kesempatan – termasuk di catatan ini – bahwa “jika Anda tidak dapat menjelaskan sesuatu hal secara sederhana, itu artinya Anda belum cukup paham.” Tampaknya, apa yang disampaikan Einsten itu dapat terlihat dalam puisi-puisi yang ditawarkan Wislawa.

Sebelum melihat puisi-puisi Wislawa yang diramu dengan sesederhana mungkin, kita juga bisa sekilas menelisik puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Aku Ingin” 

Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat
diucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu..

Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat
disampaikan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada.

Dalam puisi Sapardi itu, kita bisa melihat Sapardi tengah memberikan konsep “mencintai dengan sederhana” akan tetapi, jika ingin ditelusuri lebih jauh, semua itu tentu tidak sepenuhnya sederhana. Bagaimana kayu kepada api dan kepada abu? Ruang-ruang di antara ketiganya terjalin memberikan kesan yang mendalam. Bahwa sederhana hadir setelah semua melebur dan menyatu seutuhnya dalam definisi yang tidak main-main. Memaknai sederhana, seperti sebuah paradoks di dalam puisi. Seorang penyair seakan berlindung dari kata itu namun di dalamnya, dengan kemampuan yang dimiliki, kita akan masuk dalam labirin dengan berbagai kemungkinan. 

Di lain kesempatan, saya berbincang tentang puisi bersama M Aan Mansyur, saya selalu mendengar jika dia memilih kata-kata yang sederhana dalam puisi-puisinya. Dari M Aan Mansyur pula saya akrab dengan beberapa nama penyair perempuan, salah satunya Wisława Szymborska. Sejumlah buku puisi Wisława Szymborska yang pernah diterjemahkan Sapardi dan menjadi salah satu bacaan favorit M Aan Mansyur sewaktu masih SMA. 

Bagaimana penyair memperlakukan kata sederhana? 

Mari kita simak dua bait terakhir puisi M Aan Mansyur yang berjudul “Menyebrang Jembatan” yang pertama kali dimuat dalam kolom puisi Koran Kompas tanggal 6 Januari 2013, seminggu sebelum hari ulang tahunnya. 

ibuku masa lampau. kenangan. dia selalu mampu
mengecup ingatanku, namun ingatanku kening yang
cuma mampu menunggu dikecup. kata-kataku selalu
ingin mampu menyentuh jantungnya, namun mereka
tidak punya jemari.

puisi ini sama belaka. sekumpulan kata, batang-batang
pohon, yang bermimpi menjadi rumah tanpa dinding.
semata memiliki jendela, pintu, dan sesuatu yang
memeluki keduanya. rumah yang menunggu pertanyaan-
pertanyaan ibuku datang memberi penghuni.

Puisi itu kemudian juga dapat dibaca dalam kumpulan puisi M Aan Mansyur yang berjudul “Melihat Api Bekerja” yang terbit di tahun 2015. Dalam pengantar buku itu, Sapardi juga memilih puisi Menyebrang Jembatan yang baginya “memperlihatkan kemampuan penyair untuk memaksa kita dengan cermat mendengarkan demi penghayatan atas keindahan dongengnya.” Kesederhanaan dalam diski yang digunakan dirangkai secara episodik dengan menghadirkan suasana sekaligus makna yang dapat dirasakan langsung oleh pembaca. 
Salah seorang kawan selalu mengatakan kepada saya, “Saya tidak senang baca puisi, puisi sulit dimengerti. Kata-katanya acak dan tidak jelas apa maksud dan tujuannya.” Di kelas psikologi sosial, saya sudah sering mendengar dosen menyampaikan jika manusia cenderung menolak ketidakpastian, mencari hal-hal yang mudah dipahami, dan tidak rumit. Saat mendengar pernyataan atau teori-teori psikologi tentang itu, saya lalu berpikir, apakah puisi harus dibuat sesederhana mungkin? Sekali lagi, sesederhana mungkin barangkali bisa jadi jebakan bagi beberapa orang namun beberapa lainnya, berhasil menjadikannya sesuatu yang bermakna. 

Saat membaca sejumlah puisi dari penyair yang mengutamakan kesederhaan kata dengan proses berpikir yang tersusun rapi, puisi-puisi dapat dinikmati dengan cara yang berbeda. Kerumitan dalam puisi tentu saja menjadi semacam hal yang kadang tidak terhindarkan, namun puisi yang baik saya percaya, selalu menawarkan ruang atas kebebasan berpikir dan menemukan hal-hal yang lebih dari sekadar ketidakpastian itu sendiri. Saya menerjemahkan beberapa puisi Wislawa, proses penerjemahannya serasa menjadi kesempatan untuk berbincang langsung dengan penerima nobel sastra 1996 itu. 

Terlebih saat menerjemahkan puisi yang berjudul “Percakapan bersama Batu”

Aku ketuk pintu sebuah batu.
“Hanya aku sendiri, biarkan aku masuk.
Aku datang sebab diserang rasa penasaran.
Hanya hidup yang mampu beri jawaban.
Aku berniat tuk berkeliling dalam istanamu,
kemudian pergi memanggil selembar daun, setetes air.
Aku tak punya banyak waktu.
Kefanaan yang kumiliki mesti menyentuhmu.”

Wislawa menghadirkan manusia yang berusaha untuk masuk ke dalam batu, setelah itu batu menjawab dan memberikan tanggapan yang saling bantah dengan seseorang itu. Puisi itu kemudian ditutup dengan jawaban terakhir dari batu;

Aku ketuk pintu sebuah batu.
“Hanya aku sendiri, biarkan aku masuk

“Aku tak memiliki pintu,” jawab batu.

Kesan kesia-siaan tampak dihadirkan sekaligus memperlihatkan penggamabaran Wislawa untuk menjelaskan bagaimana seseorang menghadapi kehampaan atau kesedihan dalam hidupnya. Tentu setiap penyair punya kredo masing-masing, lalu saat saya bertanya tentang kesederhanaan kata, saya curiga jika saya hanyalah seorang yang jenuh dengan ketidakpastiaan itu sendiri dan berusaha melihat sesuatu yang sederhana saja. Namun sialnya, sesuatu yang sederhana bagi saya – sesuatu yang menyenangkan itu – tampaknya tidak sesederhana yang saya pikirkan. Ini hanyalah beberapa kemungkinan jawaban.
Seperti salah satu pesan Wislawa di sebuah wawancara, “Dalam setiap kemungkinan jawaban,” kata Szymborska, “harus ada pertanyaan lain”. Saya menyimpan pertanyaan lain, namun saya lebih mudah merasakan jika semua itu sia-sia. Hidup seolah bercakap dengan batu, kita meminta untuk masuk ke dalamnya, namun pada akhirnya, hidup tidak memberikan pintu untuk itu. Apakah benar akan sesederhana itu?*

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »