Showing posts with label Sastra Nobel. Show all posts
Showing posts with label Sastra Nobel. Show all posts

Saat Saya Ingin Menjadi T. S. Eliot - Wawan Kurniawan

@kontributor 12/05/2021

SAAT SAYA INGIN MENJADI T.S. ELIOT

Wawan Kurniawan,



Sulit sekali rasanya hidup dengan puisi. Terlebih saat kau menjadi kepala keluarga dan harus mengurusi kebutuhan rumah tangga yang kian menggunung. Mengharapkan suntikan dana yang menghidupi dari puisi rasanya terlalu utopis. Meski di luar sana, kemungkinan untuk itu tetap terbuka lebar. Hanya saja, secara umum hidup dari puisi tampaknya tidak akan membuat hidup menjadi stabil. 

Di Makassar, di tiga toko buku yang boleh dibilang mulai ramai dan bisa jadi pilihan selain toko buku Gramedia di sejumlah Mall, saya mendapatkan fakta yang menarik. Bahwa buku puisi menjadi buku tersulit untuk dijual. Puisi seolah menjadi pilihan terakhir bagi para pembaca atau pembeli. Karena alasan ini, mereka akan berpikir dua atau tiga kali untuk membawa buku puisi di lapaknya. Kecuali untuk beberapa nama penyair tertentu yang memang sudah terlanjur laris.

Mungkin benar adanya bahwa menyusun rencana menjadikan puisi sebagai sumber penghasilan menjadi pilihan yang begitu sulit. Saya pribadi berpikir, perlu meminjam cara pikir dari seorang T.S. Eliot untuk mengatasi perkara seperti ini. Dalam wawancara di The Paris Review pada tahun 1959, dia mengatakan jika pekerjaannya di luar menulis menjadi sesuatu yang berarti dan membuatnya menjadi seorang penyair yang lebih baik. Eliot tercatat pernah bekerja di bank, penerbit, hingga pernah menjadi seorang pengajar. Dia tentu berharap bisa jika tak perlu mencari nafkah dan fokus untuk menulis puisi saja, tentu harapan ini terdengar sangat menyenangkan. 

Di tahun 1917, Eliot bekerja di Bank Lloyds, London. Hingga di tahun 1921, Eliot mengambil cuti beberapa bulan setelah menderita sebuah penyakit berupa gangguan saraf. Pada masa-masa sulit itulah dia kemudian menulis “The Waste Land”. Salah satu karyanya yang kemudian membawanya menerima penghargaan Nobel Sastra di tahun 1948. Dalam “From Conversation with T.S. Eliot” bersama Prof Shiv K Kumar, yang mana percakapan itu sekarang dapat dibaca melalui thepunchmagazine.com. Eliot bercerita jika “The Waste Land” ditulis dalam waktu yang cukup lama, naskah aslinya bahkan lebih dari seratus halaman. Namun Ezra Pound menjadi penyunting yang luar biasa hingga tersisa sepertiga saja dari  naskah awal tersebut. 

Dari percakapannya bersama Prof Shiv K Kumar itu, kita bisa mengetahui bahwa T.S. Eliot mempelajari bahasa sanskerta dan juga filsafat India. Sesuatu yang pada akhirnya memberi pengaruh pada “The Waste Land”, bahkan penutup puisinya itu adalah “Shantih shantih shantih” yang dalam percakapannya bersama Prof Shiv K Kumar, dia berharap jika kata Shantih dapat terurai sebagai kedamaian yang melampaui seluruh makna.  

Setidaknya, dari Eliot kita bisa melihat betapa dia berusaha untuk menjaga dan terus menghasilkan sesuatu yang begitu kuat. Baginya, puisi adalah cinta pertamanya, dibandingkan dengan karya-karya lainnya. Dalam pidatonya saat menerima hadiah nobel sastra, Eliot mengatakan bahwa penghargaan yang dia terima hanyalah simbol atas penting puisi di muka bumi ini. Bahwa dengan puisi, kita bisa memasuki medium bahasa dan belajar untuk saling mengerti, meski hanya untuk minoritas saja, namun itu tetaplah penting.

 Di tengah ketidakmampuan orang-orang melihat pentingnya puisi atau karya sastra, sudah menjadi tugas penulis untuk bertarung melawan situasi ini. Pada akhirnya, kerja seorang penyair atau bahkan penulis di Indonesia masih butuh jalan panjang. 

Untuk menjadikan penulis sebagai profesi yang mampu menghidupi – menggantungkan hidup dari royalti buku nyaris tampak seperti percobaan bunuh diri. Namun, saya selalu salut sekaligus berterima kasih pada orang-orang yang percaya bahwa dengan menulis, dia mampu bertahan hidup dan membiayai sejumlah kebutuhannya. Mereka memilih jalan yang terjal dan berliku, bahkan mungkin jurang yang dalam menanti di depan, namun mereka terus berjalan dengan tangguh seolah keajaiban bisa datang kapan saja. 

Bahwa puisi lebih dari sekadar untuk mencari nafkah itu tak dapat dibantah lagi, namun seorang penulis tentu selalu butuh asupan fisik maupun psikis untuk menghadirkan puisi yang lebih baik lagi. Membeli buku puisi atau buku bacaan lainnya, adalah jalan untuk menghidupi para penulis dan dengan dukungan itu, karya-karya akan terus tumbuh dan berkembang. Dalam sebuah majalah Horizon – majalah yang berisikan ulasan sastra dan seni – edisi bulan September 1946, George Orwell berkesempatan menanggapi surat dari pembaca yang berisikan enam pertanyaan tentang penulis. Bagi Orwell sendiri, memilih menjadi penulis akan kerap bermasalah dengan urusan finansial. Bahwa penulis punya penghasilan dan kehidupan yang layak itu akan menjadi sebuah modal baik untuk berkarya. Lalu yang menarik, salah satu dari enam pertanyaan yang ada berbunyi, kira-kira sederhananya seperti ini, “apa yang bisa negara perbuat untuk membantu penulis?” Jawaban Orwell:

“Satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh Negara adalah untuk mengalihkan lebih banyak dana sosial dalam membeli buku untuk perpustakaan umum.”

Andai saja pengambil kebijakan kita penggemar fanatik Orwell dan tiba-tiba tergerak dengan jawaban yang berasal dari masa silam ini, sayangnya di Indonesia bantuan sosial masih jadi lahan basah untuk para koruptor. Para penulis harus berjuang keras atau bahkan berteriak lebih lantang lagi.*


Puisi dalam Kesederhanaan Wislawa - Wawan Kurniawan

@kontributor 11/07/2021
Puisi dalam Kesederhanaan Wislawa


María Wisława Anna Szymborska, seorang penyair asal Polandia yang menjadikan puisi sebagai ruang untuk memaknai kesederhanaan. Dari sejumlah puisinya, saya belajar banyak untuk memahami beberapa hal, namun dalam proses belajar itu saya pun mulai menemukan kesulitan dalam menerjemahkan kesederhanaan yang kerap dia bicarakan. Apakah memang puisi harus sederhana? Ataukah sesederhana yang kita maksud tidak sesederhana di kepala Wislawa? 

Tentu ada banyak pertanyaan untuk merenungi kembali pernyataan yang dia lontarkan itu. Lalu saat kita mulai mencoba untuk memasuki puisi-puisinya, ruang yang dia maksud perlahan akan terbuka dan sebagai pembaca kita akan disuguhkan dengan kemampuannya menghadirkan suasana puitis yang memukau. 

Saat berbicara tentang sederhana, saya kemudian mengingat kutipan dari Albert Einsten yang kerap disampaikan orang-orang di banyak kesempatan – termasuk di catatan ini – bahwa “jika Anda tidak dapat menjelaskan sesuatu hal secara sederhana, itu artinya Anda belum cukup paham.” Tampaknya, apa yang disampaikan Einsten itu dapat terlihat dalam puisi-puisi yang ditawarkan Wislawa.

Sebelum melihat puisi-puisi Wislawa yang diramu dengan sesederhana mungkin, kita juga bisa sekilas menelisik puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Aku Ingin” 

Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat
diucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu..

Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat
disampaikan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada.

Dalam puisi Sapardi itu, kita bisa melihat Sapardi tengah memberikan konsep “mencintai dengan sederhana” akan tetapi, jika ingin ditelusuri lebih jauh, semua itu tentu tidak sepenuhnya sederhana. Bagaimana kayu kepada api dan kepada abu? Ruang-ruang di antara ketiganya terjalin memberikan kesan yang mendalam. Bahwa sederhana hadir setelah semua melebur dan menyatu seutuhnya dalam definisi yang tidak main-main. Memaknai sederhana, seperti sebuah paradoks di dalam puisi. Seorang penyair seakan berlindung dari kata itu namun di dalamnya, dengan kemampuan yang dimiliki, kita akan masuk dalam labirin dengan berbagai kemungkinan. 

Di lain kesempatan, saya berbincang tentang puisi bersama M Aan Mansyur, saya selalu mendengar jika dia memilih kata-kata yang sederhana dalam puisi-puisinya. Dari M Aan Mansyur pula saya akrab dengan beberapa nama penyair perempuan, salah satunya Wisława Szymborska. Sejumlah buku puisi Wisława Szymborska yang pernah diterjemahkan Sapardi dan menjadi salah satu bacaan favorit M Aan Mansyur sewaktu masih SMA. 

Bagaimana penyair memperlakukan kata sederhana? 

Mari kita simak dua bait terakhir puisi M Aan Mansyur yang berjudul “Menyebrang Jembatan” yang pertama kali dimuat dalam kolom puisi Koran Kompas tanggal 6 Januari 2013, seminggu sebelum hari ulang tahunnya. 

ibuku masa lampau. kenangan. dia selalu mampu
mengecup ingatanku, namun ingatanku kening yang
cuma mampu menunggu dikecup. kata-kataku selalu
ingin mampu menyentuh jantungnya, namun mereka
tidak punya jemari.

puisi ini sama belaka. sekumpulan kata, batang-batang
pohon, yang bermimpi menjadi rumah tanpa dinding.
semata memiliki jendela, pintu, dan sesuatu yang
memeluki keduanya. rumah yang menunggu pertanyaan-
pertanyaan ibuku datang memberi penghuni.

Puisi itu kemudian juga dapat dibaca dalam kumpulan puisi M Aan Mansyur yang berjudul “Melihat Api Bekerja” yang terbit di tahun 2015. Dalam pengantar buku itu, Sapardi juga memilih puisi Menyebrang Jembatan yang baginya “memperlihatkan kemampuan penyair untuk memaksa kita dengan cermat mendengarkan demi penghayatan atas keindahan dongengnya.” Kesederhanaan dalam diski yang digunakan dirangkai secara episodik dengan menghadirkan suasana sekaligus makna yang dapat dirasakan langsung oleh pembaca. 
Salah seorang kawan selalu mengatakan kepada saya, “Saya tidak senang baca puisi, puisi sulit dimengerti. Kata-katanya acak dan tidak jelas apa maksud dan tujuannya.” Di kelas psikologi sosial, saya sudah sering mendengar dosen menyampaikan jika manusia cenderung menolak ketidakpastian, mencari hal-hal yang mudah dipahami, dan tidak rumit. Saat mendengar pernyataan atau teori-teori psikologi tentang itu, saya lalu berpikir, apakah puisi harus dibuat sesederhana mungkin? Sekali lagi, sesederhana mungkin barangkali bisa jadi jebakan bagi beberapa orang namun beberapa lainnya, berhasil menjadikannya sesuatu yang bermakna. 

Saat membaca sejumlah puisi dari penyair yang mengutamakan kesederhaan kata dengan proses berpikir yang tersusun rapi, puisi-puisi dapat dinikmati dengan cara yang berbeda. Kerumitan dalam puisi tentu saja menjadi semacam hal yang kadang tidak terhindarkan, namun puisi yang baik saya percaya, selalu menawarkan ruang atas kebebasan berpikir dan menemukan hal-hal yang lebih dari sekadar ketidakpastian itu sendiri. Saya menerjemahkan beberapa puisi Wislawa, proses penerjemahannya serasa menjadi kesempatan untuk berbincang langsung dengan penerima nobel sastra 1996 itu. 

Terlebih saat menerjemahkan puisi yang berjudul “Percakapan bersama Batu”

Aku ketuk pintu sebuah batu.
“Hanya aku sendiri, biarkan aku masuk.
Aku datang sebab diserang rasa penasaran.
Hanya hidup yang mampu beri jawaban.
Aku berniat tuk berkeliling dalam istanamu,
kemudian pergi memanggil selembar daun, setetes air.
Aku tak punya banyak waktu.
Kefanaan yang kumiliki mesti menyentuhmu.”

Wislawa menghadirkan manusia yang berusaha untuk masuk ke dalam batu, setelah itu batu menjawab dan memberikan tanggapan yang saling bantah dengan seseorang itu. Puisi itu kemudian ditutup dengan jawaban terakhir dari batu;

Aku ketuk pintu sebuah batu.
“Hanya aku sendiri, biarkan aku masuk

“Aku tak memiliki pintu,” jawab batu.

Kesan kesia-siaan tampak dihadirkan sekaligus memperlihatkan penggamabaran Wislawa untuk menjelaskan bagaimana seseorang menghadapi kehampaan atau kesedihan dalam hidupnya. Tentu setiap penyair punya kredo masing-masing, lalu saat saya bertanya tentang kesederhanaan kata, saya curiga jika saya hanyalah seorang yang jenuh dengan ketidakpastiaan itu sendiri dan berusaha melihat sesuatu yang sederhana saja. Namun sialnya, sesuatu yang sederhana bagi saya – sesuatu yang menyenangkan itu – tampaknya tidak sesederhana yang saya pikirkan. Ini hanyalah beberapa kemungkinan jawaban.
Seperti salah satu pesan Wislawa di sebuah wawancara, “Dalam setiap kemungkinan jawaban,” kata Szymborska, “harus ada pertanyaan lain”. Saya menyimpan pertanyaan lain, namun saya lebih mudah merasakan jika semua itu sia-sia. Hidup seolah bercakap dengan batu, kita meminta untuk masuk ke dalamnya, namun pada akhirnya, hidup tidak memberikan pintu untuk itu. Apakah benar akan sesederhana itu?*