Saat Saya Ingin Menjadi T. S. Eliot - Wawan Kurniawan

SAAT SAYA INGIN MENJADI T.S. ELIOT

Wawan Kurniawan,



Sulit sekali rasanya hidup dengan puisi. Terlebih saat kau menjadi kepala keluarga dan harus mengurusi kebutuhan rumah tangga yang kian menggunung. Mengharapkan suntikan dana yang menghidupi dari puisi rasanya terlalu utopis. Meski di luar sana, kemungkinan untuk itu tetap terbuka lebar. Hanya saja, secara umum hidup dari puisi tampaknya tidak akan membuat hidup menjadi stabil. 

Di Makassar, di tiga toko buku yang boleh dibilang mulai ramai dan bisa jadi pilihan selain toko buku Gramedia di sejumlah Mall, saya mendapatkan fakta yang menarik. Bahwa buku puisi menjadi buku tersulit untuk dijual. Puisi seolah menjadi pilihan terakhir bagi para pembaca atau pembeli. Karena alasan ini, mereka akan berpikir dua atau tiga kali untuk membawa buku puisi di lapaknya. Kecuali untuk beberapa nama penyair tertentu yang memang sudah terlanjur laris.

Mungkin benar adanya bahwa menyusun rencana menjadikan puisi sebagai sumber penghasilan menjadi pilihan yang begitu sulit. Saya pribadi berpikir, perlu meminjam cara pikir dari seorang T.S. Eliot untuk mengatasi perkara seperti ini. Dalam wawancara di The Paris Review pada tahun 1959, dia mengatakan jika pekerjaannya di luar menulis menjadi sesuatu yang berarti dan membuatnya menjadi seorang penyair yang lebih baik. Eliot tercatat pernah bekerja di bank, penerbit, hingga pernah menjadi seorang pengajar. Dia tentu berharap bisa jika tak perlu mencari nafkah dan fokus untuk menulis puisi saja, tentu harapan ini terdengar sangat menyenangkan. 

Di tahun 1917, Eliot bekerja di Bank Lloyds, London. Hingga di tahun 1921, Eliot mengambil cuti beberapa bulan setelah menderita sebuah penyakit berupa gangguan saraf. Pada masa-masa sulit itulah dia kemudian menulis “The Waste Land”. Salah satu karyanya yang kemudian membawanya menerima penghargaan Nobel Sastra di tahun 1948. Dalam “From Conversation with T.S. Eliot” bersama Prof Shiv K Kumar, yang mana percakapan itu sekarang dapat dibaca melalui thepunchmagazine.com. Eliot bercerita jika “The Waste Land” ditulis dalam waktu yang cukup lama, naskah aslinya bahkan lebih dari seratus halaman. Namun Ezra Pound menjadi penyunting yang luar biasa hingga tersisa sepertiga saja dari  naskah awal tersebut. 

Dari percakapannya bersama Prof Shiv K Kumar itu, kita bisa mengetahui bahwa T.S. Eliot mempelajari bahasa sanskerta dan juga filsafat India. Sesuatu yang pada akhirnya memberi pengaruh pada “The Waste Land”, bahkan penutup puisinya itu adalah “Shantih shantih shantih” yang dalam percakapannya bersama Prof Shiv K Kumar, dia berharap jika kata Shantih dapat terurai sebagai kedamaian yang melampaui seluruh makna.  

Setidaknya, dari Eliot kita bisa melihat betapa dia berusaha untuk menjaga dan terus menghasilkan sesuatu yang begitu kuat. Baginya, puisi adalah cinta pertamanya, dibandingkan dengan karya-karya lainnya. Dalam pidatonya saat menerima hadiah nobel sastra, Eliot mengatakan bahwa penghargaan yang dia terima hanyalah simbol atas penting puisi di muka bumi ini. Bahwa dengan puisi, kita bisa memasuki medium bahasa dan belajar untuk saling mengerti, meski hanya untuk minoritas saja, namun itu tetaplah penting.

 Di tengah ketidakmampuan orang-orang melihat pentingnya puisi atau karya sastra, sudah menjadi tugas penulis untuk bertarung melawan situasi ini. Pada akhirnya, kerja seorang penyair atau bahkan penulis di Indonesia masih butuh jalan panjang. 

Untuk menjadikan penulis sebagai profesi yang mampu menghidupi – menggantungkan hidup dari royalti buku nyaris tampak seperti percobaan bunuh diri. Namun, saya selalu salut sekaligus berterima kasih pada orang-orang yang percaya bahwa dengan menulis, dia mampu bertahan hidup dan membiayai sejumlah kebutuhannya. Mereka memilih jalan yang terjal dan berliku, bahkan mungkin jurang yang dalam menanti di depan, namun mereka terus berjalan dengan tangguh seolah keajaiban bisa datang kapan saja. 

Bahwa puisi lebih dari sekadar untuk mencari nafkah itu tak dapat dibantah lagi, namun seorang penulis tentu selalu butuh asupan fisik maupun psikis untuk menghadirkan puisi yang lebih baik lagi. Membeli buku puisi atau buku bacaan lainnya, adalah jalan untuk menghidupi para penulis dan dengan dukungan itu, karya-karya akan terus tumbuh dan berkembang. Dalam sebuah majalah Horizon – majalah yang berisikan ulasan sastra dan seni – edisi bulan September 1946, George Orwell berkesempatan menanggapi surat dari pembaca yang berisikan enam pertanyaan tentang penulis. Bagi Orwell sendiri, memilih menjadi penulis akan kerap bermasalah dengan urusan finansial. Bahwa penulis punya penghasilan dan kehidupan yang layak itu akan menjadi sebuah modal baik untuk berkarya. Lalu yang menarik, salah satu dari enam pertanyaan yang ada berbunyi, kira-kira sederhananya seperti ini, “apa yang bisa negara perbuat untuk membantu penulis?” Jawaban Orwell:

“Satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh Negara adalah untuk mengalihkan lebih banyak dana sosial dalam membeli buku untuk perpustakaan umum.”

Andai saja pengambil kebijakan kita penggemar fanatik Orwell dan tiba-tiba tergerak dengan jawaban yang berasal dari masa silam ini, sayangnya di Indonesia bantuan sosial masih jadi lahan basah untuk para koruptor. Para penulis harus berjuang keras atau bahkan berteriak lebih lantang lagi.*


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »