Yohan Fikri
PADA SUATU JUNI YANG MURUNG
Kita saksikan jalan raya dan kemacetan
seperti sajak-sajak dan iklan-iklan
saling berdesakan, berebut halaman
di badan koran mingguan
Kita, duduk di langkan
sebuah kafe, menjadi sepasang sajak cinta
yang sebentar tak ingin peduli
pada segala peristiwa yang terjadi
: Musisi memakai ganja,
diskon pidana seorang jaksa wanita,
atau, berbagai macam bentuk berita
yang (bahkan) tak memberitakan apa-apa
— selain hanya kebohongan yang diulang-ulang.
Sesekali, kita membincangkan
sesuatu yang tak lagi
begitu penting kita bincangkan, sebetulnya
— masa lalu serta luka-luka
yang (meski) telah kita lunasi,
kadang masih terasa ganjil di kepala.
“Ingatan memang bukan tempat yang tepat
untuk mengabadikan kebaikan-kebaikan, bukan?”
Di saat-saat tertentu, aku hanya ingin
menjadi sunyi sebuah spasi bagi
paragraf panjang keluhan-keluhanmu
agar terbaca, kelakar hambar
yang berharap kau tertawai, atau,
sekadar denyar — yang meski samar, kurasa benar
sedang menyebut namamu berulang kali.
“Adakah cara membuat pertemuan ini
tumbuh semakin panjang?”
tanyaku pada suatu Juni yang murung,
ketika kulihat jarum pada arloji
menjadi semacam mesin pemotong rumput,
hendak memangkas perjumpaan kita
yang masih kuncup daun.
(2021)