Pada Akhirnya, Yang Tersisa Cuma Gerombolan Teri - Robbyan Abel Ramdhon

@kontributor 12/05/2021

PADA AKHIRNYA, YANG TERSISA CUMA GEROMBOLAN TERI 

Robbyan Abel Ramdhon



Marx menyilangkan kakinya, duduk menghadap cermin sambil menyisir rambut. Rambutku keriting dan mengembang, tak mungkin bisa serapi air terjun Plitvice, ujar Marx.

Bau kecoak melintas di hidung Marx. Dia menelusuri bau itu, memeriksa sekujur mantelnya. Dan benar saja, seekor kecoak merayap dari dalam kantung mantelnya, lalu terbang entah ke mana. Bagaikan ditelan udara lembab yang memadati kamar Marx.

Marx memiringkan kepala, seakan tengah mencari sesuatu yang menghilang dari wajahnya. Sebelum dia menemukan sesuatu yang menghilang itu, tiba-tiba langit bergemuruh, menyusul kilatan cahaya yang datang dari balik jendela. Namun hujan tak kunjung turun.

Seakan tersadar sesuatu, Marx bangun dari kursi besi yang didudukinya. Ada bunyi “nyit” saat pantatnya bergeser. Bunyi yang terlalu mencolok dan menyayat di dalam kamar yang cuma diterangi sinar lilin. Mungkin bunyi barusan telah menggoyangkan api di pucuk lilin ini, batinnya.

“Waktunya bekerja, sayang.”

Marx kembali memiringkan kepala. Kali ini sambil berdiri memegang cerawat. “Waktunya bekerja,” ucapnya lagi, menghadap cermin.

Di bawah tangga yang mengarah ke kamar Marx, seorang perempuan berusia pertengahan tiga puluh sudah menunggu. Perempuan itu sepertinya mengidolakan Marilyn Monroe bila dinilai dari penampilannya. Ia punya rambut sepundak, dibuat agak bergelombang dengan cara tertentu, mengenakan pakaian terusan selutut warna merah, serasi dengan lipstiknya. Karena penampilan perempuan itu mirip Marilyn Monroe, Marx pun memanggilnya dengan nama tokoh yang dikabarkan hobi pacaran itu.

“Tidak perlu buru-buru, Tuan Marx,” kata Monroe, melihat Marx bersusah payah menuruti tangga dengan kaki timpang.

Melihat perempuan cantik itu menunggu dengan pancaran karismatik, Marx justru menambah kecepatannya menuruni tangga. Tiap kali dia berhasil menuruni satu anak tangga, tubuh Marx tampak seolah akan tergelinding.

“Kamu sudah menunggu lama, Monroe sayang.”

Monroe tersenyum. Wajahnya cukup dewasa dan tampak sesuai dengan usianya. Sedangkan Marx malah sebaliknya. Kesibukan berpikir membuat proses penuannya menjadi lebih cepat. Bahkan rambutnya yang berantakan sudah memutih hampir di semua bagian.

“Bisa bantu aku, Sayang?”

Perempuan itu lantas menyusul Marx, dan meraih lengan Marx seraya membantunya menuruni tangga. Suara langkah mereka yang tidak serasi terdengar seperti sepasang kaki-kaki para pemabuk.

Marx dan Monroe tiba di ruang interogasi. Ruangan itu dibuat sesederhana mungkin, berbentuk kubus, dengan cat putih polos dan sebuah pintu yang sulit diketahui keberadaannya seolah menyamar menjadi tembok. Semuanya serba putih, kecuali sebuah kaca gelap ukuran dua depa yang menempel di salah satu bagian tembok ruangan. Kaca yang membatasi ruangan serba putih itu dengan ruangan tempat para pengawas menyaksikan proses interogasi.

Seorang pria duduk di kursi seberang meja. Marx dan Monroe menatapnya dengan tatapan lembut, tapi bermakna merendahkan.

“Tuan Semit, kami berharap kau mau berkata jujur. Mengingat Tuan Marx punya kesibukan lain, dan tak bisa terus-menerus diganggu hanya untuk mengurus daki sepertimu.”

“Jangan terlalu kasar, Sayang,” kata Marx. Perempuan mirip Marilyn Monroe itu lantas mengembuskan udara lembut dari mulutnya yang lebar.

Semit menyeringai dari tempat duduknya. Namun seakan menyadari sesuatu, ekspresinya itu segera meredup. Kerutan dalam pada wajahnya saat menyeringai tadi digantikan oleh ekspresi datar nan beku. Kebekuan itu dengan cepat menyebar ke seisi ruangan hingga mengakibatkan keheningan selama beberapa saat.

Marx melipat tangannya ke dada, memerhatikan lekat-lekat pria jangkung yang duduk di depannya: “Tuan Semit, mari kita lebih serius...”

“Namaku Semit,” sela Semit. “Sebagaimana yang kalian ketahui, aku ditangkap setelah ketahuan mencuri di sebuah rumah milik orang kaya. Cuma itu fakta yang bisa kuakui.”

“Berapa kali kau sudah melakukan pencurian?”

“Baru sekali.”

Marx diam sebentar, lalu menarik kursinya agak maju.

“Tuan Semit, aku hidup di kamar yang penerangannya sedikit. Amat sedikit. Satu-satunya sumber cahaya di kamarku adalah api dari lilin. Kenapa aku melakukan itu? Kau pasti diam-diam bertanya dalam hati, ya? Tuan Semit, begitulah cara supaya mataku terbiasa melihat di dalam kegelapan. Supaya mataku terlatih mencari sesuatu yang disembunyikan. Nah, kau tadi mengatakan ‘baru sekali’ melakukan pencurian? Sebaiknya kau tidak bersikeras mengatakan itu lagi. Karena akan sia-sia saja kau menyembunyikan kebenaran dalam lubang kebohongan paling gelap sekalipun.” Marx diam, meyakinkan diri bahwa semua penjelasannya sudah tersampaikan. “Kegelapan.”

Semit mendongak, memandang bohlam yang menukik di langit-langit ruangan. Dia menelan ludah, tenggorokannya tampak bergerak naik-turun seperti pistol yang dikokang sebelum digunakan menembak.

“Sepertinya begitu. Berhadapan denganmu membuatku harus mengatakan yang sebenar-benarnya.”

“Kuingatkan sekali lagi, Tuan Semit. Bahwa Tuan Marx tak punya banyak waktu,” ujar Monroe.

Marx melepas mantelnya, menggantungnya ke punggung kursi. Ikat pinggang juga dilonggarkan, perut buncit yang sejak tadi tertahan dalam kekangan akhirnya mengembang.

“Malam itu adalah pencurian yang keseratus. Andai saja aku tidak tertangkap, mungkin malam ini adalah yang keseratus satu. Aku sudah melakukannya selama setahun terakhir. Hasil curian yang kudapat dari rumah orang-orang kaya itu, sudah kubagikan ke rumah orang kaya lain. Tentu saja setelah kuambil sedikit untukku.”

“Kau hebat juga melakukan itu sendirian,” kata Marx.

“Kau mencuri dari orang kaya, dan membagikan hasil curianmu ke orang kaya lain. Begitu?” Monroe menggigit bibirnya. Dilihat dari gigi-giginya yang memerah terkena lipstik, sepertinya ia sudah berkali-kali melakukan gerakan itu. “Tampaknya kau masih belum berkata jujur, Tuan Semit. Mari kita bekerjasama, agar segala sesuatunya bisa lebih mudah.”

“Tidak ada istilah kerjasama dalam kejahatan, kami hanya mengenal persekongkolan.”

“Kami?” tanya Marx.

“Maksudnya siapa pun itu, yang melakukan hal serupa sepertiku.”

“Yang mencuri dan membagikan hasil curiannya?”

Semit mengangkat bahunya.

“Seperti Robin Hood saja,” ujar Marx spontan.

Semit menggeleng. Seraya mencondongkan tubuhnya, dia mulai berbicara. “Aku berbeda dengan Robin Hood, Tuan Marx. Robin Hood bergerak bersama kelompok bernama Merry Men yang dipimpinnya. Hasil curian yang mereka dapatkan diserahkan kepada Robin Hood untuk kemudian dibagikan pada semua anggota kelompok. Anggota kelompok terlanjur menganggap Robin Hood adil dalam melakukan pembagian itu, tetapi sebenarnya dia seorang koruptor ulung. Karena itu, Tuan Marx, aku bergerak sendiri. Tak ingin berkelompok, tak ingin diakui atau diketahui oleh siapa pun. Bekerjasama dengan banyak orang hanya akan menimbulkan konflik. Lagi pula yang kulakukan bukanlah aksi kepahlawanan seperti yang dilakukan kelompok Merry Men demi kaum jelata, apalagi sampai repot-repot bermarkas di hutan seperti mereka. Yang kulakukan murni sekadar iseng-iseng belaka.”

“Aku bisa menerima penjelasan bahwa kau berbeda dengan Robin Hood,” kata Marx. “Namun tidak demikian saat kau berkata kalau motifmu cuma iseng-iseng saja. Itu kedengaran terlalu sederhana dan kekanak-kanakan untuk ukuran orang dewasa sepertimu.”

Semit menyunggingkan gigi ke arah Monroe. Mungkin dia hendak berkata: “Lihatlah, betapa pintarnya temanmu.” Namun Semit tak menguarkan kalimat itu dari mulutnya.

“Di kasus pencurianmu yang terakhir lalu, atau mungkin kita bisa menyebutnya perampokan, kau memperkosa wanita tua yang hidup sendiri setelah menguras hartanya. Padahal mendiang suami wanita itu bisa dibilang adalah seorang pahlawan karena ikut perang melawan fasis.” Monroe mengembuskan napas lagi, lalu buru-buru melanjutkan. “Begini, usiamu empat puluh tahun, dan memperkosa wanita berusia tujuh puluh dua tahun yang suaminya pahlawan. Lalu dengan semua kenyataan itu, siapa yang akan menerima omong kosongmu tentang iseng-iseng tadi?” Monroe menghentakkan sepatunya ke jari-jari kaki Semit. Gelang emas yang melingkar di kaki kanan Monroe bergemericik.

Semit meringis kesakitan. Sambil menahan kesal, dia berbicara: “Sebentar, Nona. Aku belum tahu siapa dan apa peranmu di sini. Rasanya kau tidak berhak mendengar semua penjelasanku. Orang-orang yang membawaku hanya menyebut nama Tuan Marx sebagai tukang interogasi. Lagi pula Tuan Marx memang sudah terkenal namanya. Namun, kau siapa, Nona? Berani-beraninya menuduhku memperkosa istri seorang pahlawan? Itu tuduhan yang berlebihan dan kejam.”

“Ehm... Bagaimana ya, menjelaskannya.” Monroe melirik Marx sebentar. Lalu melanjutkan: “Sederhananya, aku yang akan menilai, hukuman apa yang pantas untukmu, Tuan Semit. Jadi mau tidak mau, semua kesalahanmu harus diungkapkan di sini agar kita bisa menimbang-nimbangnya; apakah perlu diusut atau dilupakan saja sekadar menjadi catatan kecil dari sejarah kriminalmu. Jadi sebaiknya kau berkata jujur. Kebetulan aku masih punya cadangan maaf.”

“Kau semacam hakim di ruang interogasi?”

“Mungkin bisa dibilang begitu. Tangan kanan hakim. Hasil penilaianku terhadapmu hampir seratus persen akan mempengaruhi keputusan hakim. Aku juga bisa merekomendasikan hukuman apa yang pantas untukmu. Misalnya, mencabut kulitmu dengan alat pemotong kuku sampai terkelupas seluruhnya.”

Semit mengerutkan dahi.

“Kalau memang itu tugasmu, kenapa mau memberitahukannya kepadaku? Aku bisa saja berbohong supaya hukumanku menjadi lebih ringan.”

“Sayangnya kau tak akan bisa berbohong di tempat ini, Tuan Semit,” kata Monroe. “Mungkin lebih tepatnya, di hadapan Tuan Marx.”

“Maka sebaiknya kau tidak berbohong. Karena semakin kau berbohong, semakin menyakitkan pula hukumanmu,” tambah Marx.

Semit membenturkan kepalanya ke tepi meja, dan tertawa.

“Baiklah-baiklah, segera selesaikan. Aku mau cepat istirahat dan dapat makan dan minum. Tubuhku mulai letih,” kata Semit. Wajahnya masih tenggelam. Saat melihat ke bawah, dia baru ingat kalau pergelangan kakinya diborgol bola besi.

“Kau bekerja untuk siapa?” tanya Marx.

Sambil menggaruk kepalanya dengan tangan terborgol, Semit menjawab: “Berapa kali harus kujelaskan, aku bekerja sendiri. Hanya untuk iseng-iseng.”

“Sejak kapan kau menjalin komunikasi dengan kelompok Merry Men?” tanya Monroe.

Semit tak menjawab. Dia malah meludah ke wajah Monroe.

Marx bangkit dari kursinya, melangkah terpincang-pincang mendekati Semit. Berbisik ke telinganya. “Apa kau malu mengakui yang sebenarnya di hadapan perempuan cantik, Kawan?”

“Tadi kau bilang, aku tidak bisa berbohong di tempat ini, jadi telah kukatakan yang sebenarnya. Ayolah, kawan, percaya kepadaku.”

Marx membenturkan kepala Semit ke tepi meja. Tangan Marx hampir terpeleset saat membenturkan kepala Semit yang botak licin dan kemerah-merahan. “Kau tahu, siapa yang sedang melihatmu di balik kaca gelap itu?” tanya Marx.

Semit melihat kaca gelap itu dengan pipi masih menempel di meja, tetapi tetap tak bisa melihat apa-apa di baliknya.

“Di sana anakmu sedang menangis melihatmu disiksa.”

Semit diam sebentar, kemudian tertawa. Tubuhnya berguncang seiring tawanya yang semakin keras. “Kalian licik sekali,” katanya. “Kalian bahkan ikut menghukum anakku dengan pemandangan seperti ini.”

“Di mana kau menyembunyikan semua uang hasil curian itu?” tanya Marx.

“Aku membagikannya ke rumah orang-orang kaya.”

Kali ini giliran Monroe yang berdiri. Ia menarik kursi yang diduduki Semit. Lalu meraba tubuh pria yang nyaris tak berdaging itu dari belakang. Semit berteriak setelah tangan perempuan itu berhasil memelintir puting susunya dengan ujung kuku. “Perempuan setan!”

“Alasanmu tak bisa diterima. Kau pasti menyerahkan semua hasilnya kepada Robin Hood!” kata Monroe. Suaranya ditinggikan sambil memutar puting susu Semit, seolah sedang mengendalikan volume radio yang terpasang di dalam baju tahanan. “Kelompok revolusionermu itu cuma permainan anak-anak. Bekerjasamalah dengan kami, ungkapkan semua yang kau ketahui, dan hukumanmu akan diringankan. Mungkin kau bisa memulai dengan menyebut satu persatu siapa saja orang-orang yang tergabung dalam Merry Men.”

Semit menunduk, melihat tangan dan kakinya yang terborgol. “Aku tak ada urusan dengan kelompok yang menyebut diri mereka Merry Men.”

“Ini demi kebaikan anakmu juga, Tuan Semit. Kalau kau berkata jujur, ia tak perlu melihatmu seperti ini. Lagi pula Robin Hood tidak akan membunuhmu kalau kau berkhianat sekarang. Apa yang kau lakukan di tempat ini adalah upaya menyelamatkan hidupmu sendiri. Tentu jika kau berkata jujur. Robin Hood pasti memaklumi,” kata Marx.

“Bayangkanlah, apa yang akan terjadi bila orang-orang kaya itu saling mencurigai sebagai sesama pencuri.” Semit menerbitkan senyum setipis pisau. Tak mempedulikan komentar dua orang yang menginterogasinya.

Mata Semit memburu pergerakan Marx yang kembali ke kursinya. “Peperangan antar orang kaya akan terjadi. Kesempatan bagi orang-orang kecil untuk melakukan revolusi di tengah kekacauan orang-orang besar. Ikan besar dimakan oleh ikan yang lebih besar. Pada akhirnya, yang tersisa cuma gerombolan teri.”

“Revolusi?” Marx kembali berdiri, seakan ditarik oleh daya magnet yang besar. “Revolusi macam apa yang kau maksud?”

Marx mengambil cerawat yang disimpannya di dalam mantel, menarik pelatuk cerawat dan mengaktifkannya, lalu memasukkan cerawat yang menyala ke dalam mulut Semit. “Revolusi adalah cerita fiksi yang dikarang oleh para pencuri gagal sepertimu. Kenapa memilih hidup di dunia fiksi yang seperti itu?”

Marx bertanya lagi: “Itukah revolusi yang kau inginkan? Menjadi seperti orang yang tidur sambil berjalan?”

“Semakin kau berbohong, semakin menyakitkan siksaan yang kau terima.” Monroe masih memelintir pentil Semit sampai-sampai ingin mencabutnya.

Semit hendak mengatakan sesuatu dari mulutnya, tapi terdengar seperti sedang berkumur. “Lakukan sesukamu, Tuan Marx, aku sudah mengatakan semuanya,” akhirnya ucapan Semit terdengar, meski samar-samar.

Marx melempar isyarat kepada Monroe. Monroe mengerti, lantas menggantikan tangan Marx yang memegang cerawat. Cerawat menyala di dalam mulut pasrah Semit, bagaikan atraksi bintang di luar angkasa yang sepi. Marx mengambil sesuatu lagi dari kantung mantelnya. Sisir.

Marx menyisir kepala Semit yang botak. Sisir itu ditekan ke kulit kepala Semit, dan pada tiap tarikannya, mengakibatkan kulit kepala Semit berdarah karena ditekan dengan ujung-ujung sisir yang runcing. Semit menerima semua siksaan tanpa perlawanan yang berarti. Barangkali dia berpikir, tak ada gunanya melawan dalam situasi seperti itu. Menerima siksaan adalah satu-satunya cara cepat menyelesaikan siksaan.

Semit membayangkan anaknya sedang menangis tersedu-sedu di balik kaca gelap, sementara para pengawas yang bersama anaknya memasang wajah datar, seolah apa yang mereka saksikan adalah fenomena alam biasa seperti pasang-surut ombak di laut.

Pandangan Semit berubah nanar, tubuhnya kehilangan keseimbangan, lalu tumbang ke lantai. Darah mengucur dari hidungnya ke lantai yang putih susu. Di sisa-sisa kesadaran yang sedikit, Semit masih membayangkan, barangkali anaknya sedang menangis tersedu-sedu, bertanya-tanya: “Apa yang terjadi kepada ayahku?” dan Semit menjawab dalam hati, “Inilah jalan perjuanganku, Sayang. Hiduplah dengan bermartabat, dan raih kehormatan. Jangan lupakan tempat ayah menyimpan semua uang itu.” Ruangan yang serba putih pelan-pelan menjadi gelap dalam penglihatan Semit.

Marx kembali ke rumah susun bersama Monroe. Semit dibawa ke penjara oleh para pengawas yang menunggu di balik kaca gelap. Proses interogasi akan dilanjutkan sampai semua fakta terbongkar. Setidaknya fakta dalam pengertian Marx dan Monroe.

“Kita harus menemukan anak perempuan Semit,” kata Monroe. Monroe berdiri di depan tangga menuju kamar Marx. Sedangkan Marx berdiri di dua tangga pertama dari bawah.

Monroe menambahkan, dengan ekspresi sedikit lesu: “Namun menurut para informan, ada kemungkinan anak itu sudah dibawa oleh anggota Merry Men setelah ayahnya ditangkap, dan kini sedang bersembunyi di hutan, di bawah perlindungan Robin Hood.”

“Apa kau benar-benar percaya kelompok Merry Men itu ada?”

“Tentu saja aku percaya. Entah mereka bersembunyi di hutan atau kerak neraka, perasaanku berkata mereka memang ada di suatu tempat.”

“Kupikir itu cuma pendapat orang-orang yang memberikan tugas ini kepada kita.”

“Maksudmu, orang-orang kaya itu?”

Marx tidak menjawab.

“Tadi, beberapa dari mereka menonton interogasi dari balik kaca. Seperti menonton teater saja, ya?” Monroe tersenyum kecut. Lalu melanjutkan: “Mereka justru tidak peduli tentang keberadaan Merry Men. Bagaimana ya, menyebutnya. Mereka peduli, tapi juga tidak peduli. Mereka ingin kita melacak semua kelompok revolusioner yang mengganggu kenyamanan mereka. Apa pun namanya.”

Marx mengernyit. “Orang-orang kaya memang aneh.”

Udara dingin melintas di lorong yang membentang di depan tangga. Dua ekor cicak berdecak-decak di dinding. Keluar dari lubang dekat lampu di langit-langit atas tangga.

“Kau tau permainan teater cicak?” tanya Marx, seraya mengarahkan pandangan ke dua ekor cicak yang merayap di dinding.

Monroe menggeleng.

“Kita berperan menjadi cicak sambil berdialog, seolah kita adalah mereka.”

“Itu terdengar seru.”

“Mau main teater cicak di kamarku?”

Monroe menyeringai. Mulutnya yang mungil menampakkan gigi-gigi kelinci.

“Tuan Marx, seperti yang kau bilang, kamarmu selalu gelap dan sepertinya akan sulit bermain teater cicak di panggung yang minim cahaya. Lagi pula, aku menghormatimu sebagai sekadar senior di tempat kerja. Aku belajar banyak darimu,” Monroe tiba-tiba terdiam, seakan menyadari sesuatu. “Omong-omong, sejak kapan kau bekerja sebagai penyidik?”

“Sudah lumayan lama, kurasa.”

“Apa pekerjaanmu sebelumnya?”

“Mau kuceritakan sambil main teater cicak?”

“Kita masih punya banyak waktu, tetapi tidak hari ini,” kata Monroe, lantas berpaling dan melangkah pergi. Langkahnya terdengar ragu-ragu. Ia menyadari, Marx masih memerhatikannya dari belakang. Sebelum turun ke lantai dasar tempat pintu utama rumah susun itu berada, Monroe bertanya dari tempatnya berdiri kepada Marx, tanpa menoleh ke arahnya. “Menurutmu, revolusi itu mestinya seperti apa, Tuan Marx?”

“Revolusi adalah kenyataan ketika orang-orang seperti Tuan Semit lenyap dari dunia ini. Bagaimanapun caranya. Laut itu luas sekali, tidak masalah kalau diisi oleh ikan-ikan besar.”

“Sekalipun dengan mengantar orang-orang seperti Tuan Semit pergi ke neraka?”

Marx tersenyum kecut. Dia tak menyangka pertanyaan itu keluar dari mulut indah Monroe.

“Jalan menuju neraka selalu ditaburi dengan niat baik, Sayang,” jawab Marx. Suaranya menggelinding di sepanjang lorong bersama udara dingin.

Monroe mengangguk. Anggukannya kecil. Namun senyum tipis di bibirnya tak bisa disembunyikan. Sekalipun Monroe sudah ditelan tangga, bayangan senyum itu masih tertinggal dan membeku bersama waktu.

Marx kembali ke kamar, duduk di hadapan cermin sambil melepas pakaiannya satu persatu. Saat melepas pakaian, Marx teringat kostum hijau anggota Merry Men miliknya. Dia baru tersadar telah menghilangkan kostum itu entah di mana. “Semit, seharusnya dia berkata jujur dan tak perlu mengkhawatirkanku.” Marx berbicara dengan kembarannya di cermin. “Orang dewasa memang sulit ditebak, Sayang.”

Setelah berbaring di ranjang, Marx teringat perkataan Semit ketika diinterogasi. Perkataan itu berdengung di kepalanya: “Ikan besar dimakan oleh ikan yang lebih besar. Pada akhirnya, yang tersisa cuma gerombolan teri.”

Langit bergemuruh, menyusul kilatan cahaya. Rambut putih Marx tampak semakin putih dan tua. Hujan belum juga turun.***

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »