Bahasa Garam di Pertemuan Kecil - Hikmat Gumelar

@kontributor 2/27/2022

BAHASA GARAM DI PERTEMUAN KECIL

Hikmat Gumelar



“Pertemuan Kecil bermakna besar,” gumam saya usai membaca ulang cerita pendek (cerpen) yang terbit di Pertemuan Kecil (PK) edisi 13 Februari 2021. Namun tiga kali belum cukup. Saya membaca lagi cerpen karya seorang perempuan yang ceritanya dari makanan di rubrik sastra Pikiran Rakyat itu.

Sampai hari ini, sangat banyak orang mengindentikkan makanan dan perempuan. Pengidentikannya lebih bersifat negatif. Secara kultural, perempuan diwajibkan piawai menanak nasi, memasak berbagai jenis sayur, membuat berbagai jenis kue, dan sebagainya. Kemampuan ini kongruen dengan keperempuanan. Perempuan yang piawai melakukannya dinilai  perempuan sejati. Perempuan yang dianggap tak mampu melakukannya distigma bukan perempuan sejati.

Hal itu sepaket dengan kewajiban kultural lainnya, yakni perempuan piawai “memasak dirinya” menjadi “makanan memikat, wangi, sehat, dan lezat di tempat tidur”, hingga suaminya betah di rumah. Jika suami suka keluyuran, apalagi sampai “jajan” di rumah bordil, orang kebanyakan galib mengarahkan telunjuknya ke hidung istrinya.

Maka, sedari bayi, kebanyakan perempuan sudah diarahkan untuk piawai sebagai juru masak baik di dapur atau di tempat tidur. Anak perempuan pun mesti terampil membikin tubuhnya bersih, sehat, dan wangi. Inilah yang menjadikannya sedari balita sudah juga disibukan di sumur.

Dapur, kasur, sumur. Itulah area hidup perempuan. Konstruksi kultural itu pun melarang perempuan memasuki area-area yang didefinisikan hanya untuk laki-laki, seperti jalan, lapangan, kebun, sungai, gunung, dan sebagainya. Permainan-permainan yang lazim di area-area seperti itu diharamkan pula untuk perempuan.

Ruang gerak perempuan pun menjadi lebih terbatas. Namun, keterbatasan ini tak dianggap sebagai (pemungkin) kekurangan eksistensi perempuan. Sebab, jika piawai di ketiga area itu, laki-laki akan memenuhi segala yang ia mau. Konstruksi kultural menormalkan ketergatungan kaum perempuan.

Padahal, dengan demikian, meminjam temuan Virginia Woolf, perempuan menjadi kehilangan ruang dan uang. Perempuan menjadi tak punya kesempatan untuk sendiri dan berefleksi, hal yang mutlak dibutuhkan oleh setiap eksistensi. Terlebih eksistensi penulis. Woolf tegas menayatakan “seorang perempuan harus punya uang dan kamar sendiri jika ingin menulis fiksi”.

Namun, seperti kerap dilontar para kriminolog, tak ada kejahatan sempurna. Begitu pula dengan pengurungan perempuan. Pengurungannya di dapur, kasur, dan sumur justru malah dapat memungkinkan perempuan mengenali dengan detil ruang-ruang sempit itu. Potensi-potensinya yang tersembunyi menjadi tersingkapkan. Dan ia kemudian bisa mengolahnya menjadi daya penjebol kerangkeng maskulinitas. Inilah yang digambarkan “Garam Mutje” (GM), cerpen karya Naning Scheid  di PK edisi 13 Februari 2021.

Naning terbaca menulis GM dengan menerima takdir cerpen sebagai cerita yang pendek, dan kreatif  mengolah kependekan hingga menjadi kelebihan cerpen. Yang diceritakannya hanya satu peristiwa yang dialami Mutmainah, tapi itu yang menjadikan hidupnya menggeliat. Caranya bercerita seperti disarankan Anton Chekov; memulai dari dan mengakhiri di tengah. Ia tak berbelok mendongeng soal tokoh yang beresiko membutuhkan ruang luas, tapi tetap fokus pada dialektika peristiwa dan tokoh.

Dialektika itu terjadi mulai dari jam satu pagi, di dapur apartemen seluas 60 meter persegi. Di situ, Mutmainah baru dibangunkan Supardiono, suaminya, untuk diminta membuatkan bubur candil.

Supardiyono membangunkannya usai membaca di grup WA saat jeda iklan pertandingan sepakbola. Bersama istrinya, terbaca oleh Supardiyono di grup WA itu, Duta Besar Belgia---Luxemburg --- Uni Eropa akan berkunjung jam tujuh pagi di KBRI Den Haag tempat ia bekerja sebagai bendahara. Dan, Supardiono pun membaca, “Bu Dubes sedang hamil dan mengidam bubur candil.”

Itulah yang membuatnya segera membangunkan Mutmainah sekitar jam satu pagi. Ia tahu istrinya baru tidur jam sebelas malam. Perempuan Solo ini seharian mencuci, membersihkan apartemen, dan memasak memenuhi mau suami asal Pasuruan; rendang, gulai daun singkong, bandrek, dan surabi. Namun ia tak mau tahu Mutmainah yang sebegitu lelah. Ia tak ingin kehilangan kesempatan promosi ke jabatan yang basah.

Mutmainah pun tak bisa menolak. Dengan masih mengantuk, ia “berjalan gontai seperti mayat hidup. Rambutnya jabrik seperti surai singa, tapi tangannya cermat melumat tepung ketan membuat bola-bola.” Ia terus di dapur hingga jam empat pagi. Bubur candil buatannya diletakannya di meja ruang tamu. Ia sendiri jatuh tertidur di sofa.

Di tengah itu, ia teringat ketika dipinang. “Saat itu, ia membayangkan seperti Cinderella menikahi pangeran pujaan. Mengidamkan hidup di istana, shopping, jalan-jalan ke berbagai penjuru Eropa: Paris, Roma, Berlin, Wina, Praha, dan yang lainnya.”

Ia pun teringat keluarga besarnya dan para tetangga di desanya semua menganggapnya beruntung. Supardiono berkulit cerah dan terlihat pintar. Menikah dengan Supardiono “seperti hidup dengan pria setengah google setengah ensiklopedia.” Mutmainah merasa tidak perlu membaca berita.

Dan Supardiono selalu menyebutnya dengan nama kesayangan: Mutje. Tutur kata Supardiono lembut. Namun, dengan kelembutannya, Supardiono seperti pangeran yang membuatnya hanya berkutat di kasur, dapur, dan sumur sebuah apartemen mini. Dan di situ, Mutmainah mematuhi segala perintahnya, termasuk membersihkan apatemen ketika ia baru habis keguguran, juga memasak untuk para koleganya.

Selama tiga tahun menikah, ia tak pernah sekalipun “meninggikan suara kendati tidak setuju atau tidak suka... Ia hanya menyimpan dalam hati semua, geram, gerutuan, dan makian.”

Teringat semua itu, pelupuk Mutmainah “tergenangi air mata, kabur menyaksikan buih-buih candil mendidih. Meletup-letup seperti amarahnya.”

Ia pun seka air matanya. Ia siramkan garam ke dalam bubur candil yang bergolak seperti kemarahannya. “Satu kotak garam ia tumpahkan semua.

“Ia melirik bungkusnya, ‘garam dapur neto satu kilo’. “Mencreto sing suwe!” Ucapnya dalam bahasa Jawa. Bibirnya pun merekah senyum.”

Begitulah GM. Cerpen ini dengan meyakinkan menghadirkan bangkitnya hidup seorang perempuan yang sebelumnya selama bertahun-tahun terlelap dinina-bobokan ilusi yang disuntikan kuasa maskulin. Naning memang tak sampai mengungkap bagaimana nasib Mutmainah kemudian. Namun, penemuan potensi tersembunyi dari garam, penemuan garam sebagai bahasa, penemuan garam sebagai senjata, dan keberanian menggunakannya sudah cukup menunjukkan bahwa pengurungan perempuan justru dapat memungkinkan perempuan menemukan kemungkinan mengemansipasi dirinya dan penindasnya.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »