Jembatan Gantung yang Berayun - Mahan Jamil Hudani

@kontributor 2/27/2022

JEMBATAN GANTUNG YANG BERAYUN

Mahan Jamil Hudani



Rubiyah sering berhenti dan berdiri di sisi pinggir jembatan ini setiap kali sedang pulang kampung. Tatapannya akan mengarah pada air sungai yang mengalir panjang di bawahnya. Sesungguhnya lebih dari itu, ia sedang menatap bayangan dan sosok bapak yang tidak akan pernah hilang dan terlupakan olehnya.

Jembatan ini sekarang begitu kokoh. Baru beberapa tahun belakangan jembatan ini selesai dibangun hingga menjadi seperti ini, tepatnya tiga tahun lalu, dan pada saat tepat jembatan ini selesai dan diresmikan, bapak yang Rubiyah cintai, berpulang ke pangkuan Tuhan. Rubiyah yang mendengar kabar meninggalnya sang bapak segera pulang kampung. Ia bersama calon suaminya, saat kematian bapak, pulang dengan mobil yang baru dibeli beberapa minggu sebelumnya dengan cara mengangsur seperti kebanyakan orang kota lainnya. Ia telah merencanakan akan mengajak bapak, ibu, dan saudara-saudaranya di kampung untuk jalan-jalan saat mudik lebaran. Ia sudah membayangkan mobil baru mereka akan melewati jembatan yang belum lama selesai dibangun itu.

Rubiyah sudah sangat lama memimpikan hal itu. Bermimpi mengajak bapak jalan-jalan ke kota, sejenak meninggalkan lumpur sawah dan rumput untuk pakan sapi milik tetangga yang bapak pelihara, atau meninggalkan sejenak linggis, golok, dan kelapa-kelapa yang bapak panjat dan kemudian ia kupas lalu dijual ke pasar kampung bawah yang jaraknya hampir tiga kilometer dengan cara dipikul sambil berjalan kaki sebagai tambahan uang untuk mencukupi kehidupan keluarga. Ya, betapa Rubiah ingin membuat bapak dan ibu sekadar berwisata barang satu atau dua hari saja dengan kendaraan pribadi, bukan dengan mobil bak terbuka saat pernah sekali Rubiah kecil diajak bapak kondangan ke pernikahan saudara yang ada di luar kota. Di mobil itu mereka harus berdesak-desakan dalam terik sinar matahari yang sangat menyengat.  

Hal itu terasa mustahil bisa ia lakukan sebelum tiga tahun lalu, sebelum bapak meninggal, juga sebelum jembatan kokoh itu selesai dibangun. Saat semua yang Rubiyah impikan sejak kecil hampir terwujud, takdir berbicara lain. Hal ini yang masih selalu saja menyesak di batin dan pikiran Rubiyah. Sosok bapak, jembatan, dan impiannya merantau ke Jakarta, adalah hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

***

Kampung Gunung Sadar, nama kampung Rubiyah, terletak persis di sebelah barat jembatan itu. Orang-orang sering menyebutnya kulon kali, karena kebetulan rumah Rubiyah terletak di bagian luar atau mulut desa Gunung Sadar. Di bagian atas atau bagian barat desa Gunung Sadar, masih terdapat banyak kampung lain. Orang-orang desa di atas sana dalam jarak lima kilometer akan melewati rumah Rubiyah saat mereka akan ke pasar besar desa sebelah atau menuju kota kecamatan dan kabupaten. Selebihnya, setelah Desa Sinar Banten dan Tayas yang terletak lebih lima kilometer dari rumah Rubiyah, warga sana akan melewati jalan tembus sebelah barat laut untuk menuju pasar desa atau kota kabupaten.

Sebelum ada jembatan baru itu, kampung Rubiyah dan kampung-kampung sebelah atas seperti wilayah terisolasi. Tak ada listrik, tak ada kendaraan, sekalipun itu roda dua, dan semua orang berjalan kaki untuk pergi ke mana-mana. Jalanan masih berupa tanah, setapak dengan medan tak rata karena berupa pegunungan, dan seperti belukar. Hampir semua penduduk hidup dalam kesederhanaan untuk tidak mengatakan kehidupan yang penuh dengan kemiskinan. Para penduduk bagian atas hidup sebagai petani kelapa atau petani kopi. Tak ada rumah permanen dari tembok di sana, rumah-rumah mereka berbentuk panggung dengan dinding papan atau bambu yang disebut geribik dengan beratap seng.

Jembatan kokoh dan lebar itu dulu berupa jembatan gantung dengan papan-papan sebagai alas yang ditali dan disangkutkan di atas pohon-pohon di pinggir sungai. Lebarnya mungkin hanya satu meter dan panjang lebih dari lima puluh meter. Jika lewat di atasnya, pastilah berayun-ayun yang membuat Rubiyah sering merasa ketakutan. Tak terbayangkan oleh Rubiyah jika tali jembatan gantung yang berayun itu putus atau papan pijakannya rusak dan ia terperosok lalu jatuh ke sungai yang cukup lebar dengan arus yang begitu deras di bawahnya. Sungguh Rubiyah sering ngeri membayangkan itu.

***

Rubiyah tak pernah berani sendirian melewati jembatan gantung yang berayun itu. Bapak yang sabar akhirnya menggendong Rubiyah jika melewati jembatan itu. Itu juga setelah sang bapak membujuk Rubiyah terlebih dahulu untuk berjalan kaki sambil dituntun oleh bapak. Rubiyah lalu merengek dan menangis hingga akhirnya mau tak mau bapak menggendongnya.

Rubiyah biasanya melewati jembatan itu saat ia merengek pada bapak untuk ikut pergi ke pasar yang jatuh pada hari Rabu. Rubiyah senang jika bapak dan ibunya akan ke pasar untuk berbelanja barang belanjaan. Ia bisa minta dibelikan jajan di sana. Bapak akan melewati jembatan itu dua kali. Pertama, ia memikul kelapa-kelapa yang akan dijual terlebih dahulu dan meninggalkan Rubiyah dan ibu di seberang. Lalu bapak kembali untuk menggendong Rubiyah, menyeberang sambil sang ibu menghibur Rubiyah yang ketakutan di belakang punggung bapak. Rubiyah akan merasa aman jika sang bapak menggendongnya meski kadang ia masih merasa takut saja karena jembatan gantung itu akan berguncang-guncang saat mereka lewat.

Peristiwa itu selalu berulang hingga Rubiyah masuk bangku SD. Rubiyah menyelesaikan SD di desanya. Ia tak perlu melewati jembatan gantung itu kecuali kalau ia sedang ikut ke pasar saja. Tapi Rubiyah harus berjalan kaki naik ke atas untuk bersekolah. SD-nya terletak di ujung kampung. Masa SD itu, Rubiyah kerapkali nyeker karena sepatunya kadang hanya mampu bertahan beberapa bulan, sementara bapak butuh waktu lama untuk bisa membelikan sepatu baru yang berharga murah di pasar desa sebelah.

Meski anak kampung, Rubiyah tumbuh menjadi anak yang memiliki tubuh berisi dengan kulit bersih, juga berparas cantik. Lulus SD, banyak pemuda kampung atas ingin meminangnya. Rubiyah menolak karena ia masih ingin melanjutkan sekolah. Karena di desa Rubiyah tak memiliki SMP, Rubiyah lalu melanjutkan SMP di desa sebelah. Meski masih merasa ngeri lewat jembatan gantung itu, namun tekad kuat untuk sekolah, Rubiyah terpaksa sering meminta bapak untuk mengantarnya hingga seberang jembatan. Rubiyah memang tak digendong lagi, namun ia akan kuat memegang tangan bapak yang menuntunnya sampai seberang. Bapak pula telah siap menanti Rubiyah pulang sekolah untuk kemudian menggandenganya pulang melewati jembatan itu. Tiga tahun itu berjalan hingga Rubiyah lulus SMP.

“Rubiyah ingin merantau ke Jakarta, Pak.” Kata Rubiyah mantap saat ia lulus SMP. Perempuan berkulit bersih itu merasa kasihan pada bapak yang telah bekerja keras di sawah dan kebun kelapa untuk membiayai Rubiyah dan adik-adiknya. Rubiyah ingin sekali bisa membantu bapak jika ia bekerja di Jakarta. Ia juga punya alasan untuk menolak dikawinkan dengan beberapa pemuda kampung atas yang berhasrat sekali menikahinya.

Rubiyah bekerja di sebuah pabrik kecil di Jakarta. Ia hidup penuh prihatin, Rubiyah menyisakan sebagian gajinya untuk dikirim ke bapak, memang jumlahnya tak seberapa, namun bapak selalu menerima itu dengan penuh rasa terima kasih dan senang hati. Tiap lebaran Rubiyah bisa pulang kampung, dan bapak akan diberi kabar untuk menjemput Rubiyah di seberang jembatan gantung.

“Kamu itu sudah besar lho, Nduk. Kok masih saja takut melewati jembatan gantung sih?” Rubiyah tahu bapak bertanya itu bukan dengan nada keberatan. Rubiyah dengan manja, seperti beberapa tahun lalu akan menggenggam tangan bapak erat saat melewati jembatan gantung itu. Sambil satu tangan menggenggam erat tangan Rubiyah, tangan satu lagi membawa tas besar Rubiyah, kadang bapak mengempit tas Rubiyah di pinggang atau terkadang memanggulnya.

Beberapa tahun bekerja di Jakarta, akhirnya Rubiyah, sebagai perempuan kampung, harus memikirkan permintaan orangtuanya untuk menikah. Rubiyah lalu menikah dengan teman seperantauan. Pernikahan itu memang sesuatu hal yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Suami Rubiyah terkena PHK, lalu menganggur lama. Praktis Rubiyah hidup dalam keadaan yang sangat prihatin hingga ia tidak mampu mengirimi uang untuk bapak.

“Nduk, jangan pikirkan Bapak, Ibu, dan adik-adikmu. Melihatmu sehat dan bahagia, Bapak sudah senang sekali.” Perkataan bapak itu sungguh membuat Rubiyah terharu. Perjalanan nasib dan hidup memang tak berjalan mulus, sering berguncang seperti jembatan gantung yang berayun-ayun yang membuat orang dalam ketakutan.

Ketika suami Rubiyah telah bekerja kembali, terjadi hal yang sangat menyakitkan. Suaminya menikah lagi dengan perempuan lain. Batin Rubiyah hancur, rasanya ia ingin pulang kampung. Mengingat sosok bapak, ia mencoba bertahan sebagai seorang single parent sambil mengasuh anaknya yang mulai masuk TK. Rubiyah bekerja keras bertahan hidup sambil membesarkan anaknya. Betapa ia sering ingin menangis karena ia tidak bisa mengirimi bapak sejumlah uang.

“Nduk, nanti kalau Galuh anakmu sudah SD, masuk sekolah di kampung saja ya,” sungguh Rubiyah terharu mendengar permintaan bapaknya itu. Akhirnya justru ia yang merepotkan bapak karena anaknya tinggal di kampung. Tapi itu memang yang terbaik, nyatanya sebagai seorang buruh pabrik, Rubiyah tak mampu mengawasi dan memenuhi dengan baik segala kebutuhan anaknya.

***

“Galuh senang bermain di jembatan gantung. Ia sering main di sana. Namun tidak lama lagi, jembatan gantung itu akan dibangun menjadi jembatan beton. Pembangunan jembatan baru sendiri sudah mau dimulai. Jalan utama menuju kampung kita juga sudah diperlebar dan berbatu. Listrik juga sudah masuk desa kita,” cerita bapak dalam perbincangan telepon seluler.

Rubiyah begitu rindu kampung halamannya. Sudah dua tahun lebih ia tak pulang kampung. Rubiyah juga ingin mengabarkan bapak jika ia ingin menikah. Satu tahun ini ia menjalin hubungan dengan seorang pria mapan, penuh perhatian, dan kasih sayang serta sabar. Rubiyah sudah mantap untuk memulai hidup baru lagi. Beberapa bulan lagi ia akan pulang kampung. Bersama Hartono, Rubiyah merasa yakin bahwa nasib mereka akan lebih baik. Walau baru satu tahun menjalin hubungan dengan Hartono, ia tahu persis karakter lelaki itu, pekerja keras dan tanggung jawab.

“Nduk, jembatan baru sudah selesai, jembatannya lebar dan sangat kuat. Jembatan beton, Nduk. Jadi kamu tidak perlu takut lagi kalau mau lewat sini. Jembatan mau diresmikan besok oleh Pak Bupati lho. Jadi mudik, Nduk?” Suara itu terngiang-ngiang di telinga Rubiyah. Itulah suara bapak yang ia dengar terakhir kalinya. Bapak meninggal karena sakit mendadak. Malam itu bapak merasa sakit perut, paginya bapak dinyatakan telah tiada. Hari itu pula, Hartono dengan penuh kesabaran mengantar pulang Rubiyah ke kampung untuk meminta restu pernikahan mereka.

Jembatan itu kini serasa berayun, Rubiyah merasa ketakutan. Ia lalu seperti melihat tangan bapak menggenggamnya kuat.***  

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »