Gaya Sembunyi Tere Liye dalam Janji - Akhmad Idris

@kontributor 2/20/2022

Gaya Sembunyi Tere Liye dalam Janji

Akhmad Idris




Membaca sastra jelas berbeda dengan membaca berita. Jika berita dituntut untuk menampilkan peristiwa secara terang-terangan dan apa adanya, maka sastra justru dituntut sebaliknya: sembunyi-sembunyi dan pandai bermain ironi. ‘Tuntutan’ semacam ini tercipta gegara fungsi dari berita dan sastra itu sendiri. Berita berfungsi untuk mengumumkan atau memberikan informasi tentang suatu peristiwa, sehingga hal-hal yang memicu ambiguitas harus dihindari agar tidak sampai terjadi berita hoaks. Sementara sastra berfungsi untuk menghibur sekaligus memberikan nasihat, sehingga estetika bahasa menjadi ciri khas sebuah karya sastra. Oleh sebab itu, karya sastra cenderung menyajikan bahasa-bahasa yang tidak langsung agar pesan yang terkandung di dalamnya tidak mudah dipecahkan begitu saja -hal seperti inilah yang membuat karya sastra terasa menyenangkan, tidak membosankan.

Seorang kritikus kenamaan asal Prancis, Michael Riffaterre (1978) dalam Semiotic of Poetry menyebut gaya sembunyi-sembunyi dalam karya sastra dengan istilah ketaklangsungan ekspresi yang meliputi displacing of meaning, creating of meaning, dan distorting of meaning. Gaya sembunyi-sembunyi dalam karya sastra menurut versi Michael Riffaterre dapat berupa penggantian makna, penciptaan makna, dan penyelewengan makna. Pada dasarnya Michael Riffaterre mengkhususkan ketaklangsungan makna untuk mengkaji puisi (poetry), namun menngaplikasikannya ke dalam karya sastra lainnya -seperti novel atau cerpen- adalah hal yang perlu dicoba. Mengingat beberapa cerpen dan novel juga kerap menggunakan kalimat-kalimat yang estetis dan analogi-analogi yang tersembunyi. Agaknya maksud Michael Riffaterre kala menyebut istilah ‘poetry’ adalah setiap karya sastra yang dicipta dengan ekspresi tidak langsung cum dengan kesan sembunyi-sembunyi.

Pada pertengahan tahun ini, seorang penulis kenamaan yang diidolakan banyak remaja, Tere Liye merilis novel terbarunya yang berjudul Janji (Sabak Grip Nusantara, 2021). Sebagaimana novel-novel Tere Liye yang lain, novel ini mudah diikuti alur ceritanya dengan gaya bahasa yang sederhana -cocok dengan selera remaja yang ogah dengan karya sastra ‘berat’. Setelah membacanya secara menyeluruh, terkandung beberapa ketaklangsungan ekspresi yang berupa displacing of meaning, creating of meaning, dan distorting of meaning. Di antara tiga ketaklangsungan ekspresi tersebut, creating of meaning menjadi bagian yang paling sedikit ditemui. Dua sisanya cukup berlimpah. Menurut hemat saya, Tere Liye sengaja ‘menyembunyikannya’ untuk membuat pembacanya menebak-nebak; untuk menghibur; dan untuk menegaskan pesan di dalam cerita.

Mengganti Makna dengan Metafora

Awal kisah novel Janji dibuka secara terang-terangan oleh Tere Liye tentang kisah tiga santri di sebuah pondok pesantren yang bernama Hasan, Kaharuddin, dan Baso yang ditegur oleh Kyainya gegara merusak acara perjamuan tamu. Di sisi lain, Tere Liye juga menyembunyikan makna yang sebenarnya dari seseorang yang mengunjungi pondok pesantren dengan metafora ‘tamu agung’, ‘pencinta kemeja putih’, dan ‘orang paling penting di negeri ini’. Metafora-metafora tersebut dapat dilihat pada tiga kutipan berikut ini,

Di sebuah kawasan sekolah agama yang luas, tak kurang ada lima desa di sana, dan nyaris separuh penghuninya adalah murid sekolah, kesibukan hari itu terasa lebih disbanding hari-hari sebelumnya. Ada “tamu agung”. (halaman 7)

Tamu agung tertawa lebar, pagi ini dia mengenakan kemeja putih kesukaannya. (halaman 8)

“Tetapi, kesalahan yang kalian buat amat serius. Kalian menuangkan garam ke gelas teh orang yang paling penting di negeri ini, juga ke gelas teh pembantu-pembantunya…” (halaman 32)

Lewat metafora dalam tiga kutipan tersebut, tampak Tere Liye memang sengaja menyembunyikan identitas ‘tamu agung’ agar para pembaca yang memecahkannya sendiri. Sebagai petunjuk, Tere Liye menambahkan dua tanda lainnya untuk mengurangi kekaburan makna. Dua tanda tambahan itu adalah suka memakai kemeja berwarna putih dan merupakan sosok paling penting di negeri ini. Tentu saja pembaca bebas berasumsi tentang siapa yang menjadi ‘tamu agung’ tersebut, karena mengungkapnya secara terang-terangan akan mengurangi estetika karya sastra itu sendiri.

Menyelewengkan Arti dengan Ironi

Sisi unik yang lain dari karya sastra adalah menyembunyikan makna dengan cara menyelewengkan, yang berarti menggunakan gaya bahasa ironi. Di dalam novel Janji, tujuan Tere Liye menggunakan distorting of meaning adalah memberikan hiburan kepada pembacanya sebagaimana dalam kutipan berikut ini, 

Panggung telah diisi, belasan guru senior duduk di sana. Semua menunggu -baik itu yang memang sukarela menunggu, atau terpaksa menunggu. (halaman 8)

Pada awalnya Tere Liye menyebutkan bahwa semua orang menunggu kedatangan ‘tamu agung’, namun di penghujung kalimat Tere Liye menyelewengkan maknanya dengan ungkapan bahwa semua orang memang menunggu, namun ada yang menunggu dengan sukarela dan ada pula yang menunggu dengan terpaksa. Ujung-ujungnya, tidak semua orang di sana yang benar-benar menunggu kedatangan ‘tamu agung’. Penyelewengan makna seperti ini lazim disebut sebagai satire, menyindir dengan sensasi humor bahwa tak semua orang yang kelihatannya serius menunggu memang benar-benar menanti. Ada yang menunggu hanya untuk sekadar mengisi waktu senggang, diperintah oleh atasan, atau malah mengharapkan imbalan- sepeda onthel misalnya.

Menciptakan Makna dengan Bunyi Akhir Suku Kata

Ketaklangsungan ekspresi yang terakhir di dalam novel Janji adalah creating of meaning yang dapat berupa enjambement, rima, tipografi, hingga homolog. Secara kebahasaan, rima dan sejenisnya memang tak memiliki hubungan dengan makna karena itu hanyalah aspek keindahan. Namun di dalam kesusastraan, bunyi akhir suku kata dapat menciptakan sebuah makna baru. Di dalam novel Janji, creating of meaning dapat diamati pada kutipan berikut ini,

Kelima, bersedekah, bersedekah, dan bersedekahlah. (halaman 486)

Terdapat bunyi [ah] di setiap akhir suku kata yang seolah ingin menegaskan bahwa inti dari novel Janji adalah memberi (sedekah). Penekanan bunyi [ah] sebanyak tiga kali menjadi makna baru yang diciptakan oleh Tere Liye untuk memberikan kesan penegasan yang memang agaknya menjadi inti dari cerita. Tere Liye seakan-akan ingin memberikan pesan bahwa kehidupan yang tidak kosong adalah memberi (kemanfaatan) kepada orang lain. Jika diamati lebih jauh, novel setebal 488 halaman ini memang mengisahkan ‘sedekah’ di setiap babnya yang tak mungkin diceritakan secara rinci dalam tulisan ini.

Akhir kata, sebagaimana yang diungkapkan Michael Riffaterre bahwa yang bertugas memberikan makna dalam karya sastra adalah pembacanya: dengan cara memaknai setiap tanda yang tersembunyi.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »