Membaca dan Memaknai Perkembangan Peradaban melalui Puisi - Riri Satria

@kontributor 3/27/2022

Membaca dan Memaknai Perkembangan Peradaban melalui Puisi

 Riri Satria

 


Alhamdulillah, akhirnya buku antologi puisi LIMA TITIK NOL: Masyarakat Cerdas dalam Puisi telah selesai dan diterbitkan. Ide untuk membuat buku ini lahir dalam beberapa kali diskusi internal di komunitas Jagat Sastra Milenia maupun di berbagai forum diskusi tentang sastra yang membahas bagaimana sastra mampu mengikuti perkembangan zaman. Topik yang hampir sama juga menjadi tema Perayaan Puncak Hari Puisi Indonesia tahun 2021 yang lalu, di mana Jagat Sastra Milenia juga mendukung Yayasan Hari Puisi untuk menyelenggarakan acara tersebut, terutama terkait dengan seminar.

Gagasan tersebut kemudian dimatangkan dalam sebuah webinar yang diselenggarakan Jagat Sastra Milenia pada tanggal 6 Agustus 2021 bertajuk "Puisi dan Penyair dalam Era Masyarakat Cerdas (Smart Society) 5.0", dengan narasumber Fikar W Eda (penyair, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2013-2015, serta Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Aceh 1995-2000), Maman S Mahayana (akademisi, kritikus sastra, Ketua Yayasan Hari Puisi, serta Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia), serta Riri Satria (pengamat ekonomi digital, Ketua Jagat Sastra Milenia, serta Pimpinan Umum SASTRAMEDIA.COM). Acara tersebut dipandu oleh Eka Ardhinie (Dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gunadarma).

Puisi adalah bagian dari dunia sastra, dan sastra adalah sesuatu yang besar. Ada hadiah Nobel untuk sastra, sama dengan ilmu Fisika, Ilmu Kedokteran, Ilmu Ekonomi, dan sebagainya. Betapa terhormatnya posisi sastra dalam peradaban manusia. Sastra sejajar dengan ilmu pengetahuan atau sains yang membentuk peradaban manusia. Dengan demikian, puisi beserta karya sastra lainnya adalah karya intelektual yang mengawal bahkan ikut serta membentuk peradaban. Jadi, tidak berlebihan dan tidak salah jika puisi juga perlu memotret masyarakat cerdas 5.0 melalui tangan dan pikiran para penyair, supaya perkembangan teknologi yang membentuk masyarakat cerdas 5.0 tidak kebablasan dan mengikis nilai-nilai kemanusiaan kita. Puisi menjaga kita tetap memiliki narasi kemanusiaan dalam kepungan teknologi.

Banyak yang mengatakan bahwa dengan perkembangan teknologi digital dan siber saat ini, aspek-aspek kemanusiaan mulai memudar. Ini diamini oleh banyak pakar dan budayawan. Namun Chris Skinner –penulis buku Digital Human- memandangnya dari sisi lain, di mana aspek kemanusiaan tidak memudar, tetapi bertransformasi menuju fourth revolution of humanity yang dikenal dengan istilah digital human. Chris Skinner memisahkan dua hal, yaitu antara nilai-nilai dasar kemanusiaan serta aspek-aspek teknis dalam kehidupan. Nah, nilai-nilai dasar seperti cinta kasih, kebersamaan, dan sebagainya, tidak akan hilang. Namun wujud teknisnya sehari-hari itulah yang mengalami perubahan. Misalnya kebersamaan atau gotong royong dalam meringankan beban sesama. Dulu dilakukan dengan mengumpulkan donasi atau barang-barang bantuan di balai desa, sedangkan saat ini dilakukan melalui crowdfunding dengan memanfaatkan media sosial. Prinsip dasarnya sama, hanya teknis operasionalnya yang berubah akibat perkembangan teknologi.

Setiap munculnya teknologi baru, pasti akan menimbulkan kegamangan atau anxiety dari para generasi yang merasa itu sudah bukan zaman mereka lagi. Ada perasaan takut tersingkir. Bahkan dulu di kampung saya di Padang, televisi sempat dianggap barang haram karena dianggap menjauhkan anak-anak dari masjid, karena sore hari disiarkan film kartun Scooby Doo bertepatan dengan jam anak-anak mengaji di masjid. Namun seiring berjalannya waktu, tatanan baru akan terbentuk, dan hal-hal baru menjadi sesuatu yang biasa. Dulu televisi membuat orang lupa waktu dan bisa berlama-lama duduk di depan layar kaca itu. Lama-kelamaan bosan juga dan ditinggalkan. Televisi sudah tak menarik lagi, maka, kini muncul internet. Kondisinya kurang lebih sama, tetapi pada akhirnya akan membosankan juga.

Nah, sejalan dengan pemikiran Chris Skinner, maka puisi dapat menjadi salah satu pengawal fourth revolution of humanity atau digital human tersebut, di mana nilai-nilai dasar kemanusiaan tidak mati, tetapi hanya bertransformasi dalam wujud lain menyesuaikan dengan perkembangan, yaitu era digital atau masyarakat cerdas 5.0.

Saya pribadi sangat bersyukur dan bahagia dengan adanya buku ini. Pada seminar Perayaan Puncak Hari Puisi Indonesia tahun 2021, sebagai salah seorang pembicara, saya menjelaskan bahwa terdapat 8 (delapan) dampak utama era 5.0 kepada dunia perpuisian dan kepenyairan, yaitu: (1) Berubahnya medium of delivery menjadi digital di samping media cetak kertas, (2) Topik karya yang semakin beragam termasuk era digital dan masyarakat cerdas 5.0, (3) Wujud puisi baru, yaitu hypertext poems yang tidak bisa disajikan dalam media kertas, (4) Munculnya puisi multimedia melibatkan teknologi digital, (5) Lahirnya algoritma kecerdasan buatan dan machine learning yang mampu membuat puisi atau computer-generated poetry, (6)Isu kurasi karya puisi yang semakin kompleks, (7) Membangun jejaring global untuk kemaslahatan bersama, serta (8) Puisi menjadi soul-guardian untuk sustainable development growth. Nah, setidaknya buku yang sedang Anda pegang ini menyentuh poin 2, 6, 7, serta 8.

Para kurator yang ditugaskan untuk mengevaluasi semua puisi yang masuk ke panitia penyusunan buku ini telah menyelesaikan tugasnya dengan baik pada akhir tahun 2021 yang lalu. Para kurator terdiri dari Fikar W. Eda (penyair, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2013-2015, serta Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Aceh 1995-2000), Khrisna Pabichara Marewa (penyair, cerpenis, novelis, esais, serta aktivis sastra), Sofyan RH. Zaid (penyair, kritikus sastra, pengurus Jagat Sastra Milenia, serta Redaktur SASTRAMEDIA.COM), Emi Suy (penyair, pengurus Jagat Sastra Milenia, serta Redaktur SASTRAMEDIA.COM), dan dibantu oleh Riri Satria (pengamat ekonomi digital, Ketua Jagat Sastra Milenia, sekaligus Pimpinan Umum SASTRAMEDIA.COM) sebagai konsultan evaluasi kesesuaian konten puisi.

Proses kurasi dilakukan dengan voting dari para kurator yang berjumlah empat orang, kemudian ditambah dengan pertimbangan dari konsultan kesesuaian konten. Sebuah puisi akan lolos kurasi apabila minimal tiga dari empat kurator menerima atau menyetujui. Jika kurang dari jumlah tersebut, maka puisi tersebut dikategorikan tidak lolos kurasi. Kami menyadari bahwa proses kurasi puisi memiliki unsur subjektivitas. Itulah sebabnya kami menggunakan sistem rating dan voting serta pertimbangan kesesuaian konten dari ahlinya. Proses seperti ini kami yakini dapat menekan subjektivitas tersebut.

Terdapat 165 puisi yang lolos kurasi dari 225 puisi yang masuk ke panitia. Hal yang menggembirakan adalah ternyata cukup banyak puisi yang mendapatkan persetujuan bulat dari keempat kurator dan juga memiliki kesesuaian dengan topik masyarakat cerdas 5.0. Ini menandakan bahwa penyair pun sudah mampu memotret fenomena masyarakat cerdas atau smart society 5.0 dengan baik. Catatan kurasi yang diberikan oleh Fikar W. Eda sebagai Ketua Tim Kurator dapat dibaca pada buku ini sebagai tambahan pengetahuan, pertimbangan, maupun bahan analisis.

Terima kasih kepada Tim Operasional penyusunan buku ini, Nunung Noor El Niel (Wakil Ketua Jagat Sastra Milenia sebagai Ketua Tim), Rissa Churria (Pengurus Jagat Sastra Milenia sebagai Sekretaris Tim), serta Dhe Sundayana Perbangsa (Pengurus Jagat Sastra Milenia sebagai Staf Perlengkapan dan Ekspedisi). Terima kasih kepada tim kurator Bang Fikar W Eda, Daeng Khrisna Pabichara Marewa, Syekh Sofyan RH Zaid, serta Emi Suy. Terima kasih untuk Prof. Teddy Mantoro, Guru Besar Ilmu Komputer Universitas Sampoerna sekaligus pencinta puisi, yang berkenan memberikan epilog untuk buku ini. Terima kasih untuk semua sahabat penyair yang menjadi kontributor buku ini.

Semoga buku ini mampu memberikan kontribusi kepada dunia puisi khususnya, serta dunia sastra pada umumnya di Indonesia terkait dengan bagaimana para penyair membaca dan memaknai perkembangan peradaban, yaitu masyarakat cerdas 5.0.

 

Perubahan adalah suatu keniscayaan

Peradaban manusia maju karena perubahan

Namun, ada empat sikap manusia terhadap perubahan

Ada yang pro, ada yang kontra

Semua tergantung sudut pandang mereka

 

Pertama, mereka yang menolak perubahan:

Perubahan buat mereka adalah ancaman

Entah itu ancaman eksistensi, atau yang lainnya

Mereka mungkin sudah mapan dalam zona nyaman

Mereka memberi label bencana terhadap perubahan

Perubahan perlu ditolak, perlu diwaspadai

Ada 1001 alasan menolak perubahan

Malahan, mereka berperang dengan perubahan

Ada yang menang, namun lebih banyak yang kalah

Belakangan, mereka mengeluhkan kehidupan

Bahkan mungkin komplain kepada Tuhan

 

Kedua, mereka yang hanya menyaksikan perubahan:

Angin perubahan tak mereka tolak

Namun juga tak memberi manfaat

Mereka tetap seperti apa sebelumnya

Perubahan bukanlah ancaman

Namun juga bukan karunia apalagi anugerah

Perlahan, mereka digulung oleh perubahan

Sehingga mereka perlahan tersingkir

Perubahan jadi ratapan dan air mata

Mereka sadar, sedang terjadi perubahan

Mereka mungkin ingin mengikuti gelombang

Namun tak ada biduk apalagi kapal bersamanya

Mereka menanti uluran tangan kita

Mengajak mereka turut serta

Ketiga, mereka yang mengikuti perubahan:

Mereka bahkan mampu memanfaatkan perubahan

Mereka memasang kincir ketika angin datang

Mereka siap dan sadar dengan perubahan

Perubahan memberikan nilai tambah kehidupan

Perubahan adalah karunia dan anugerah

Mereka mampu melihat sisi positif perubahan

Mereka tak bersembunyi di balik 1001 alasan

Mereka sudah menyiapkan kapal sejak lama

Untuk mengarungi gelombang perubahan

Mereka visioner, antisipatif, mempelajari masa depan

 

Keempat, mereka yang menciptakan perubahan:

Mereka membuat dunia tercengang

Mereka membentuk peradaban

Mereka menginginkan dunia menjadi lebih baik

Mereka tampil dengan ide-ide cemerlang

Mungkin, tak semua manusia sanggup memikirkan

Apalagi mengikuti mereka untuk mewujudkan

Hari ini harus lebih baik daripada kemarin

Hari esok harus lebih baik daripada hari ini

Dan itu hanya dilakukan melalui perubahan

Demikian sabda alam yang dia pikirkan

Perubahan itu, membentuk peradaban

 

Namun tak mudah manusia menerima perubahan

Apalagi menciptakan perubahan

Mental manusia mengikuti kurva perubahan

Butuh waktu untuk penyadaran

Tetapi, perubahan tetap suatu keniscayaan

Karena dia membentuk peradaban

Perubahan bukan sekadar ingin berubah

Perubahan harus membawa kemaslahatan

Perubahan harus dibingkai kebaikan

Namun ada satu yang tidak boleh berubah sampai akhir zaman

Itulah Cinta sejati kepada Tuhan

kepada sesama manusia, dan alam

Terima kasih.

 

Bogor, 20 Februari 2022

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »