Yang Klise dan Tidak Klise dari IQ84 - Aliurridha

@kontributor 5/22/2022

Yang Klise dan Tidak Klise dari IQ84

Aliurridha




Jika ditanya apa yang hebat dari Murakami, saya yakin ada banyak. Tapi yang paling menonjol buat saya adalah kemampuan dia membuat cerita klise menjadi tidak tampak klise. Dan kemampuan itu terlihat betul di trilogi IQ84.

IQ84 mungkin akan menjadi novel paling klise yang pernah ditulis Murakami seandainya bukan ditulis dengan cara Murakami menulisnya. Ia hanya akan menjadi novel cinta dengan cerita yang sangat klise. Novel ini berkisah tentang Aomame dan Tengo yang saling jatuh cinta sejak SD sebelum akhir berpisah selama 20 tahun, namun perasaan mereka sama sekali tidak memudar oleh waktu. Kurang klise apa lagi? 

Meski ceritanya klise, Murakami selalu mampu membungkus isi ceritanya yang klise dengan lapisan-lapisan plot yang tidak klise. Plot besar ceritanya memang mengisahkan kisah Aomame dan Tengo atau seperti novel Bumi Manusia dalam kepala Hanung Bramantyo. Namun, pada sub-plotnya cerita-ceritanya sangat menarik. Sempalan-sempalan cerita pada IQ84 sangat kuat, membuat cerita ini tidak melulu cinta-cintaan. 

Salah satu yang paling menarik adalah permasalahan yang menimpa Tengo dan ayahnya. Tengo membenci ayahnya karena merasa selalu dimanfaatkan dari kecil. Hubungan Tengo dengan ayahnya selalu dingin. Hubungan itu tidak lebih dari sekadar kebutuhan praktis. Lalu kebencian Tengo kepada ayahnya semakin meruncing seiring bertambahnya waktu sampai kebencian itu tumbuh menjadi sebentuk ketidakpedulian. 

Ada unsur misteri dari relasi antara ayah dan anak ini. Di hati kecilnya, Tengo selalu menyimpan harap bahwa laki-laki itu bukanlah ayah biologisnya karena memang tiada satu pun yang mirip antara dia dengan sang ayah. Lalu sedikit demi sedikit benang kusut itu mulai terurai bahwa ada kemungkinan besar ayahnya itu memang bukan ayah biologisnya. Apa yang dilihat ketika Tengo masih kecil dulu, bagaimana ibunya malah berhubungan seksual dengan laki-laki yang bukan ayahnya, membuat Tengo menduga bahwa orang yang selama ini dipanggilnya ayah memang bukan ayah kandungnya. 

Untuk menjawab penasarannya itu, Tengo memberanikan diri bertanya begitu tahu usia ayahnya tidak lama lagi. Tengo bertanya apakah dia benar anak kandung ayahnya, dan jika itu benar, maka dia memaafkan ayahnya atas apa yang terjadi. Lalu dia juga bertanya perihal ibunya yang tidak pernah dibahas oleh ayahnya selain dengan informasi singkat, ibunya telah mati. Namun, bukannya memberikan jawaban, laki-laki itu malah berkata, “Tidak mengerti jika tidak dijelaskan, tidak akan mengerti walau dijelaskan.” 

Apa yang dilakukan Murakami bukannya menjawab misteri, malah menghadirkan misterinya lain. Dalam cerita-cerita Murakami baik cerpen maupun novel, misteri memang kerap dibiarkan tak terpahami. Kadang misteri bahkan terasa lebih misterius dari sebelumnya. Apa yang dilakukan Murakami ini memberi gema cerita yang dahsyat di benak pembaca. Murakami membuat pembacanya untuk tidak berhenti memikirkan kemungkinan-kemungkinan dalam tafsir mereka sendiri. Ini menghasilkan keterlibatan antara pembaca dan apa yang dibacanya. Keterlibatan inilah yang membuat cerita-cerita Murakami memiliki gema panjang, bahkan setelah lama selesai dibaca. Dan hal ini tidak dilakukan sekali dua oleh Murakami dalam trilogi ini.

Selain sempalan-sempalan cerita, ada hal lain yang membuat IQ84 begitu kuat hingga menghapus kesan klise, yakni karakter dalam cerita IQ84 digarap dengan sangat baik. Tidak salah jika ada yang berkata penokohan adalah salah kehebatan Murakami. Karakter pada novel-novel Murakami sangat unik dan punya daya tarik masing-masing. Murakami mampu membuat pembeda di antara masing-masing karakter yang ada pada novel-novelnya.

Dua tokoh yang menurut saya paling kuat perannya dalam meng-anti-klise-kan IQ84 adalah Tamaru dan Ushikawa. Tanpa dua sosok ini IQ84 mungkin tidak terasa seperti IQ84 melainkan sekadar cerita cinta dua anak manusia, lagi-lagi, seperti Bumi Manusia di kepala Hanung Bramantyo. Dan jika itu terjadi, saya yakin IQ84 tidak akan seberhasil ini. 

Karakter Tamaru merupakan seorang profesional dengan keluasan wawasan yang membuat banyak kisah-kisah menarik muncul. Dia sering memberikan nasehat samar kepada Aomame yang, daripada nasehat, lebih menyerupa teka-teki. Dan seperti halnya misteri dalam cerita Murakami, teka-teki dari Tamaru juga punya gema yang terus menempel di benak pembaca.

Lalu ada Ushikawa yang merupakan seorang antagonis cerita dengan karakter paling unik. Dia seperti juga Tamaru merupakan seorang professional. Ushikawa adalah profesional berwajah yang bisa dikatakan buruk hingga setiap orang merasa risih baik dengan penampilan maupun tindakannya. Ushikawa selalu terbiasa dengan cara pandang orang atas dirinya. Bahkan istrinya sendiri risih terhadapnya. Karenanya begitu ada seorang yang tidak risih terhadapnya dirinya, dia langsung merasa waspada.

Benturan dua karakter ini memberi kesan yang susah terhapuskan dalam benak saya sebagai pembaca. Keduanya berdiri di sudut yang berseberangan, tapi tidak ada kebencian apalagi dendam di antara mereka. Namun sebagai seorang profesional, mereka harus siap jika kemungkinan terburuk datang. Akhirnya benturan itu tak terhindarkan dan membuat salah satu di antara mereka harus kehilangan nyawa. Tamaru yang muncul sebagai pemenangnya. Meski begitu Tamaru berkali-kali memuji Ushikawa dan meminta maaf ketika terpaksa mengambil nyawanya. Bahkan ketika menghubungi pihak yang menyewa Ushikawa, Tamaru meminta mereka untuk berbelasungkawa atas kematian Ushikawa. Karena bagaimanapun, Ushikawa itu mahir, begitu kata Tamaru. 

Berkat sempalan cerita-cerita seperti ini, IQ84 tidak jatuh menjadi cerita cinta yang klise. Tema cinta adalah tema paling klise dalam penulisan novel. Tema ini sebaiknya dihindari penulis cerita dalam format apa pun jika tidak ingin ceritanya jatuh menjadi klise. Sudah terlalu banyak cerita cinta muncul di karya tulis, utamanya dalam bentuk novel. Cinta telah dibahas dari segala perspektif yang nyaris tidak mungkin ditemukan kebaruan cara pandang. Karenanya jika seorang penulis memaksakan diri untuk menulis tema cinta, sebaiknya memikirkan sempalan cerita-cerita dan karakter yang hebat jika ingin ceritanya tidak jatuh menjadi klise. Ya, seperti Murakami. (*)


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »