Berkenalan dengan Osip Mandelstam - Wawan Kurniawan

@kontributor 8/14/2022

Berkenalan dengan Osip Mandelstam

Wawan Kurniawan



Beberapa waktu lalu, saya mencoba menulis sesuatu tentang T.S Eliot. Selain menulis puisi, Eliot juga rutin menulis sejumlah esai yang berisikan kritik atau tanggapannya terhadap seni dan puisi. Kehadiran Eliot mewarnai dunia perpuisian pada masanya, bersama Pound dan Hulme, Eliot dan kedua orang tersebut menjadi titik pijak lahirnya puisi modern. Upaya yang dilakukan Eliot bukanlah hal yang mudah, dia belajar dan mengulir berbagai tradisi dari para penyair pendahulunya. Di berbagai masa, Eliot meyakini bahwa puisi yang baik akan hadir dari proses menggali kekayaan puisi yang telah ada dari para penyair pendahulu. Semangat Eliot ini pun serta puisi-puisi yang dihadirkan kerap kali dikaitkan dengan Osip Mandelstam. Maka, bermula dari penelusuran saya terhadap karya-karya Eliot, saya pun berkenalan dengan Osip Mandelstam. 

Di Indonesia, namanya tidak begitu terdengar, meski ada beberapa orang yang juga mengenal dan memahami bagaimana kekuatan puisi yang telah diciptakan. Puisi-puisi yang ditulis Mandelstam menggunakan bahasa Rusia, hal ini pada akhirnya membuat karya-karyanya tidak mudah diakses bagi pembaca dunia. Tentu berbeda dengan penyair ternama yang sedari awal menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama dalam menulis. Hingga pada akhirnya, nama Mandelstam mulai dibincangkan oleh pembaca dan akademisi Barat setelah kumpulan puisinya diterjemahkan lalu diterbitkan di Amerika Serikat. Seorang ahli bahasa dan sastra asal Rusia, yang juga dosen di Universitas Harvard, Kirill Taranovsky, bahkan membuat istilah khusus untuk puisi-puisi Mandelstam, yaitu “subteks”. Istilah itu dikaitkan dengan kunci dari sejumlah bagian yang tidak dapat dipahami dalam puisi-puisi Mandelstam, terletak pada teks-teks penyair lain – para pendahulu, atau penyair Prancis, atau pada orang-orang sezamannya. Kompleksitas puisinya diakui dan mendapat perhatian dari pembaca yang mampu menghadirkan makna atau nuansa baru. 

Kumpulan puisi pertamanya yang terbit berjudul “Stone”, buku ini mengawali karir Mandelstam dengan sangat baik. Dia terpesona oleh zaman kuno, pada penyair Prancis Paul Verlaine, Charles Baudelaire, dan François Villon, serta sempat memiliki hubungan singkat bersama penyair Marina Tsvetaeva. Namun menjelang akhir hayatnya, Mandelstam harus menerima kejamnya politik. Karya-karya dan gagasan yang diberikan Mandelstam menjadi sebuah perlawanan yang mengancam bagi pemerintah. 

Salah satu karyanya, We live without feeling the country beneath us, berisikan kecamannya terhadap pemerintah saat itu dengan nada perlawanan yang keras. Namun karena tindakannya itu juga, dia akhirnya ditangkap beberapa kali. Beberapa puisinya bahkan terlarang dan tidak dibiarkan untuk dicetak. Beruntungnya, puisi-puisi dengan nada perlawanan itu mendapat tempat di Barat hingga akhirnya terbit dan mendapat apresiasi yang sekaligus membuat nama Mandelstam dikenal lebih luas. 

Seperti halnya Eliot, Mandelstam menulis puisi dengan merespon situasi sosial yang ada pada masanya. Dia meyakini bahwa puisi dapat menjadi medium yang kuat untuk memperlihatkan kondisi yang sebenarnya terjadi. Ketekunannya dalam meramu kata dan merujuk pada tradisi serta wawasan yang terhampar, berhasil membuat puisi-puisinya hadir secara berbeda dan juga dianggap sebagai bagian dari hadirnya puisi modern. 

Jika Eliot dikenal melalui kumpulan puisinya The Waste Land, maka Mandelstam pun punya karya yang dianggap setara dengan karya Eliot tersebut, yaitu buku kumpulan puisi keduanya yang berjudul Tristia. Kedua karya dari Eliot dan Mandelstam, serupa kerja intelektual yang menawarkan perjalanan panjang melintasi emosi dan pengalaman dari berbagai sumber. Penciptaan setiap karya tentu melalui upaya kreatif yang dilahirkan penulisnya, dan Mandelstam, adalah seorang penulis yang tidak diragukan lagi. 

Sayangnya, akses untuk membaca karya-karyanya masih terbatas. Beberapa puisinya sudah dapat dibaca dalam bahasa Inggris, namun jauh akan lebih baik jika suatu hari nanti, puisi-puisi yang dihasilkan Mandelstam dapat dibaca dengan menggunakan bahasa Indonesia. Sebab membaca karyanya, akan membuat kita lebih dekat dan bisa merasakan gagasan serta perjuangannya menghadapi situasi sosial politik yang tidak baik-baik saja di masanya. Hari ini, apakah situasi politik di Indonesia terbilang aman-aman saja? Para penyair, juga bisa belajar dari Mandelstam, bagaimana menjadikan puisi sebagai senjata untuk melawan pemerintah yang kadang tidak tertolong lagi bebalnya. Barangkali, kita perlu meminjam kata Mandelstam, “we live without feeling the country beneath us.” 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »