Yang Ada di dalam Kepala Seorang Pengarang Gembel - Oxandro Pratama

@kontributor 8/14/2022

Yang Ada di dalam Kepala Seorang Pengarang Gembel

Oxandro Pratama



“Kurnia tak lebih dari sekadar seorang novelis epigon hibrid. Untungnya dia bernasib baik sehingga kini bisa menjadi salah satu raksasa Asia Tenggara. Gaya bahasa dan ekspresinya sangat ‘kegabriel-gabrielan’, dengan cara pandang yang magis pada latar sosial yang terlalu surealistis, dan leluconnya pun terkesan terlalu dipaksakan. Tapi apa boleh buat: ia kini adalah seorang raksasa Asia Tenggara. Kini, hari-harinya tak lagi sepenuhnya ia habiskan untuk membaca literatur Amerika Latin atau berkali-kali menulis ulang draf dari karya-karya epigonnya, sebab ia punya pekerjaan baru: berpergian ke berbagai negara, kota, kampus dan acara-acara sastra untuk berkoar-koar tentang kiat-kiat menjadi penulis epigon yang terkesan mutakhir. Tapi tak apa, aku tetap akan mendoakannya untuk mendapatkan Nobel.” Ia mengangguk-angguk kecil sebelum menyeruput cairan Americano.

Tawa spontan keluar dari mulut kami secara kolektif.

“Begitu juga dengan Tami, gaya kepenulisannya yang diagung-agungkan oleh para kritikus sastra yang malas memperbaharui cara pandang mereka itu sebenarnya sudah ditinggalkan di Barat sana, sebab jauh-jauh hari sebelum novelnya diterbitkan—bahkan sebelum ia sendiri terlahir ke dunia yang penuh dengan misteri ini—Alice Walker telah menulis dengan cara seperti itu, dan alasannya jelas: hanya dengan menulis seperti itulah manusia-manusia Kaukasia rasis dan sekumpulan orang tertindas dapat memahami makna dari kemanusiaan sekaligus makna dari perlawanan. Tapi apa boleh buat, rendahnya minat baca masyarakat kita membuat Tami yakin bahwa takkan ada yang menyadari betapa penconteknya dia.”

Lagi-lagi, tawa spontan kembali keluar dari mulut kami secara kolektif, dan salah seorang dari kami bertanya.

“Nah, bagaimana dengan Gun, Bi?” 

“Hahahaha, aku sudah tahu bahwa kau akan bertanya tentangnya,” ia berhenti sejenak untuk kembali menyesap Americano dinginnya. “ya, seperti yang kita semua tahu, bahwa Gun sangat bersifat heroik dalam segala hal: ia sangat heroik dalam pandangan politiknya, heroik dalam aktivisme seninya, dan heroik dalam gaya kepenulisannya. Itulah yang membuatnya menjadi sangat feodal, sebab ia menyadari betapa heroiknya ia. Ada semacam pemikiran dan perasaan yang tumbuh di dalam kepalanya, bahwa tanpa kehadirannya, kesenian (khususnya sastra) di Indonesia tidak akan berkembang (meskipun sebenarnya kehadirannyalah yang membuat sastra tidak berkembang). Pemikiran inilah yang memaksanya memaklumi tindakkan feodalismenya di dalam gelanggang seni. Dan pemikiran semacam itulah yang dianut oleh hampir seluruh diktator di dunia: sebuah perasaan bahwa takkan ada yang bisa melakukannya selain dirinya. Sebuah cara pikir yang sangat megalomaniak dan narsistik.”

Semua orang yang duduk di sekeliling meja bulat itu mengangguk-angguk mendengar penilaian Jobi. Petikan gitar liar Bob Dylan pada lagu Don’t Think Twice It’s Alright yang keluar dari speaker kafe dan dinginnya tiupan angin malam yang tinggi bersekutu secara terpaksa, berusaha mengisi keheningan singkat yang tiba-tiba terselip di tengah obrolan kami yang serius. Keheningan tersebut akhirnya memicuku untuk melontarkan pertanyaan guna kembali menghidupkan laju obrolan.

“Lalu bagaimana denganmu sendiri, Bi?”

sebelum menjawab pertanyaanku. Ia terlebih dahulu membakar rokoknya dan menghembuskan asapnya ke langit. 

“Aku adalah aku, dan bagiku menulis tak lain dan tak bukan adalah sebuah upaya refleksi diri yang paling jujur terhadap orang-orang di sekitarku, khususnya para pembacaku. Melalui tulisan-tulisanku, mereka dapat melihat seluruh sifat baik dan burukku, cara pandangku yang tidak stabil, serta kebodohan sekaligus kecerdasanku. Dan pastinya, cara pandang mereka pun nantinya akan berubah seiring berjalannya waktu. Aku tak mempedulikan kebencian dan kecintaan mereka kepadaku, tak mengharapakan kepedulian dan ketidakpedulian mereka. Bagiku, biarlah waktu yang menentukan cara pandang mereka. Biarkan waktu yang memberikan pemahaman kepada mereka dan biarkan waktu yang menjadi saksi sejarah terhadap cara pandangku dalam melihat suatu hal yang bernama kebenaran.”

Kira-kira, itulah perkataan yang keluar dari mulut Muhammad Jobi: seorang penulis yang selalu berusaha bersikap seperti Rumi (yang ini tentu saja seringkali gagal), berkontemplasi seperti Dostoyevsky, mengarang seperti Salinger, menulis seperti Carver, membaca seperti Eco, mencintai buku seperti Borges, menjalani hidup seperti Bolano, berkata jujur seperti perpaduan antara Hatta dan Chekhov, dan mengkritik seperti Nietzsche; seorang penulis pinggiran yang bukan hanya terpinggirkan dari gelanggang sastra namun juga terpinggirkan dan terasingkan di kampung halamannya sendiri; seorang penulis yang hidup seorang diri, yang ditemukan mati di dalam kamar kontrakannya, dengan cara yang sangat intelek dan sastrawi: mati dengan posisi kepala tertelungkup di atas meja tempatnya menulis, tepatnya di atas keyboard laptop Toshiba buluknya, dengan mahakarya T.S. Elliot yang berjudul The Waste Land tertelungkup di sebelah kirinya dan sebuah kopi hitam bercendawan di sebelah kanannya. Begitulah akhir kehidupan dari si penulis pinggiran; ia mati dalam keadaan sedang melakukan hal yang sangat ia cintai; mati sebagai martir sastra.

Kira-kira sepuluh tahun sudah malam tersebut berlalu, dan malam ini, aku kembali teringat oleh perkataannya di malam yang dingin itu. Kini semua orang memburunya. Mereka memburu karya-karyanya, khususnya sebuah novela berjudul Yang Ada di Dalam Kepala Seorang Pengarang Gembel: sebuah karya yang sedang ia tulis ketika ia ditemukan meninggal dan diterbitkan tujuh tahun setelah kematiannya dalam kondisi aslinya: belum terselesaikan. 

Begitulah, novela tersebut telah terjual habis diborong oleh para kritikus sastra dan calon kritikus sastra, penulis dan calon penulis, penyair dan calon penyair, novelis dan calon novelis, pembaca dan calon pembaca, mahasiswa sospol, humaniora hingga film, lalu booktuber, youtuber hingga influencer terdidik. Mereka berbondong-bondong membeli, membaca dan membahas karya Jobi dengan cara mereka masing-masing. Beberapa membahas karyanya dengan penuh kemunafikan, beberapa merasa bahwa ia adalah nabi bagi para muda-mudi rasional yang impulsif akut, dan beberapa menganggap bahwa kematiannyalah yang membuatnya menjadi dewa sastra. Dan tak lupa, mereka mencoba menebak-nebak bagaimana kira-kira bagian akhir dari novela yang tak selesai itu. Alhasil beberapa dari mereka berusaha mencari tahu trivia-trivia terkait proses kreatif Jobi—bahkan trivia-trivia terkait kehidupan pribadinya—yang sekiranya dapat mereka jadikan acuan untuk menebak akhir dari ceritanya. Kini, ia adalah seorang raksasa. Bukan hanya di Asia Tenggara, tetapi juga di seluruh dunia. 

Sampai saat ini, perkataan Jobi pada malam yang dingin itu masih terngiang-ngiang di dalam kepalaku: biarkan waktu yang menjadi saksi sejarah terhadap cara pandangku dalam melihat suatu hal yang bernama kebenaran.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »