Nun,
Anggrek, Nun
Wendy Fermana
Masnun urung
berkebun, pagi itu.
Lipatan
pakaian dan kain-kain yang biasanya tersusun rapi di bilik-bilik lemari, kini
menumpuk di atas dipan. Masnun memeriksa kembali rak-rak lemari, mengaduk-aduk
isi laci meja tulis, serta menyelidiki setiap sudut kamar. Ia yakin benda itu
pasti ada di sekitar sini. Tadi pagi, saat ia hendak merapikan rambut dan
tengah mencari-cari sisir, ia masih melihat bros anggrek itu tergeletak di
antara benda-benda di dalam laci. Ia tilik sejenak benda mungil itu dan
lekatkan di blusnya, lalu mematut-matut diri di depan cermin, kemudian
seingatnya ia letakkan lagi, tapi di mana benda itu sekarang?
Masnun
susah hati. Tidak saja karena bros anggrek itu mahal harganya (dan ia tak akan
dapat memilikinya lagi sebab aksesori itu dibawa dari Jepang), tetapi benda itu
juga amatlah berharga bagi si empunya terdahulu. Bros itu mulanya oleh-oleh
akung untuk uti (begitulah ia menyapa kedua ndoro), dari lawatannya ke
beberapa negara Asia Timur (akung pejabat teras di Deplu, sebelum akhirnya
tersingkir dan balik ke Bulaksumur). Mata Masnun berbinar-binar saat melihat
hadiah itu berbentuk anggrek dan iri hendak memiliki sebab ia amat gandrung
dengan segala macam benda terkait anggrek (kecintaan uti pada anggrek
membuatnya ikut-ikutan kesengsem pada sang puspa penuh pesona itu). Tapi
mustahil untuk memiliki. Ia hanya dapat mengagumi keindahan bros itu saat uti
mengenakannya.
Segala
bayangan ketidakmungkinan memiliki itu sirna selepas kematian uti. Belum empat
puluh hari akung mangkat, ndoro perempuannya menyusul wafat. Tidak, Masnun
tidak mendapat waris, meski ia sudah seperti keluarga, meski ia sudah menemani
uti sejak belia, meski ia sudah membersamai segala macam suka-duka masa remaja,
masa nikah, masa uti melahirkan tiga orang anak, hingga ia turut mengasuh dan
membesarkan dan sampai ketiga anak itu menikah dan beranak pinak pula, ia telah
mengabdikan dirinya untuk tiga generasi keluarga itu, tapi tak ada bagian
buatnya di surat wasiat uti.
Hatinya
sakit saat anak-cucu keluarga besar akung-uti memutuskan untuk menitipkannya ke
rumah jompo. Ia sempat protes dan meminta agar diizinkan ikut salah seorang
dari mereka. Ia masih bisa bantu-bantu melakukan kerja rumah tangga. Semuanya
menggeleng. Tidak ada tempat buatnya. Yang sulung akan kembali kerja ke Hamburg,
yang nomor dua pulang ke New York, dan yang bungsu menerima tawaran mengajar di
Connecticut. Duhai Gusti, inikah semua ganjaran atas segala pengabdian hamba?
Ia
mengajukan permohonan agar diperkenankan membawa beberapa pot tanaman anggrek
milik uti. Setidaknya dengan merawat anggrek kesayangan itu dapat menjadi
pengingatnya pada keluarga besar akung-uti. Silakan, silakan, Mbah Nun, karena
rumah ini juga akan tinggal saja, kata sang anak perempuan, si nomor dua.
Sebelum diantar ramai-ramai ke panti wreda Rumah Kasih, dengan gemetar Masnun menyelinap
ke kamar uti, kemudian menilap bros anggrek itu ke dalam sakunya. Tak pernah ia
melakukan tindakan tak patut semacam itu sepanjang umurnya. “Maafkan aku kalau Uti
tidak berkenan,” lirih Masnun menyesali dosa kecil mengutil itu. “Anggaplah itu
hadiah buatku di tempat menjemukan ini, Uti.”
Rumah
Kasih ini betul-betul membosankan, ada orang-orang tua ringkih yang
menyenangkan, tapi tak lagi memiliki banyak energi (seperti Rohana, Hamidah,
dan Marianne, kawan barunya yang ikut keranjingan merawat tanaman), sementara
orang-orang tua menyebalkan yang gairah hidupnya bak remaja mengalami pubertas,
tingkah mereka ganjen, sesama tua bangka saling menggoda (misal Ashadi,
Indraswari, Rahardjo, atau Sedyawati), membikin Masnun jeri. Ditambah lagi
kebiasaan sebagian besar penghuni yang kerap menabung jatah sabun dan pasta
gigi mereka (lantaran tak lagi merasa perlu berwangi-wangi dan tak lagi punya gigi),
barang-barang itu dikumpulkan dan pada hari-hari tertentu, diam-diam dibawa ke
penadah di pasar terdekat yang siap menukarnya dengan barang yang amat terlarang,
seperti rokok, kopi, gula pasir, dan bumbu penyedap. Masnun tak ikut-ikutan
aksi penyelundupan itu.
Ia
merasa beruntung telah membawa tanaman anggrek uti sehingga setiap hari ia
punya kesempatan untuk melarikan diri dari kejenuhan rumah jompo. Ia bungah
saban kali memperhatikan rupa bunga yang serupa kepak kupu-kupu, meneliti
bintik-bintik di kelopak, dan menghidu harum anggrek yang tengah mekar. Merawat
anggrek membuatnya tetap terjaga dalam kewarasan. Ia tetap dapat melatih
ketelatenan kerja dengan berkebun, selama ini sepanjang hidupnya ia mengerjakan
segala macam hal. Ia ingin terus beraktivitas. Siksaan yang sesungguhnya ialah
tatkala ia hanya uring-uringan tanpa gerak di pembaringan.
Sadar
kegiatan itu semacam terapi mengatasi kebosanan masa tua, Masnun ajak penghuni
lain untuk ikut bertanam. Beberapa tertarik membantu, beberapa mencemooh.
Setiap kali Masnun bersama Rohana tengah berkutat dengan media tanam dan batang
anggrek, dan Ashadi melihat, ia pasti mulai mendekat, pura-pura memperhatikan,
dengan harapan diajak bercakap-cakap, tetapi kemudian menggerutu panjang-pendek
karena Masnun pura-pura mengganggap lelaki itu tak ada (Masnun enggan
meladeninya lagi dan kini justru menjaga jarak karena awal-awal ia pindah
kemari, Ashadi berusaha menggodanya, dan Masnun yang tak tahu apa-apa justru
dilabrak Indraswari yang cemburu dan mengamuk, menuduh Masnun mau merebut
kekasihnya. Masnun nyaris tergelak, dituding ingin merampas lelaki peyot, apa lagi
yang hendak diharapkan dari kerentaan? Ia tak butuh asmara masa tua, ia hanya
ingin hidup tenang dan bahagia, dan karena itulah ia tak mau terlibat dalam
hubungan kasih yang ruwet antara Ashadi si jelalatan dan Indraswari si mulut
besar).
***
Sepanjang
makan siang, Masnun tak banyak bersuara. Ia kehilangan selera untuk menyantap hidangan.
“Nun, Nun, kenapa kamu tak berkebun tadi pagi?” Berkali-kali dipanggil, Masnun
akhirnya sadar. Hamidah ternyata telah menghampiri, meletakkan baki makanan,
dan duduk di sebelahnya. Sejak tadi, Idah menyapa, tapi Masnun tak menanggapi,
pikirannya tengah berlayar menjaring ingatan. Di mana bros anggrek uti? Atau
jangan-jangan ada yang mencurinya?
Idah
menyuapkan sayur bening bayam ke mulut seraya terus memperhatikan kawannya. “Nun,
Nun, kenapa kamu? Sedih?”
Masnun
masih membisu.
“Nun,
Nun, kenapa kamu sedih? Kamu menyesal ya sudah menjual anggrekmu?”
Masnun
terperanjat.
“Kenapa
kamu menjual anggrekmu?”
Masnun
tidak mengerti dan meminta penjelasan.
“Lho,
kamu jangan marah ke aku, Nun. Aku kan hanya tanya. Aku tidak melihatmu di
pekarangan belakang pagi tadi. Pot-pot anggrekmu yang sedang mekar juga tak
ada, kupikir kau pergi ke pasar untuk menjualnya.”
Masnun
bangkit, meninggalkan Idah yang terperangah tidak mengerti mengapa Masnun marah
padanya. Ia tak enak hati dan jadi kehilangan nafsu makan.
Sesampai
di taman belakang, Masnun tak lagi menemukan tiga pot anggrek uti. Pondokan
teduh tempat anggrek itu biasanya bertengger kosong melompong. Ke mana kembang
kupu-kupu itu raib?
“Aku
pikir kamu membawanya ke pasar,” kata Idah yang menyusulnya.
Di
pekarangan itu, seperti anak kecil kehilangan mainan, Masnun menangis sampai terduduk,
membuat dasternya kotor oleh tanah. Idah merangkulnya dan menuntunnya ke bangku
taman sembari membersihkan bercak tanah di pakaian Masnun. Tapi amarah Masnun masih
tegak. Ia curiga semua ini ulah Ashadi! Ia bangkit dan hendak mendamprat si
lelaki jelalatan.
Belum
tiba di kamar Ashadi, di selasar ia berpapasan dengan Rohana yang tengah menghitung
lembaran uang lima puluh ribuan. Masnun tertegun. Sekejap kemudian pandangannya
gelap, ia muntab, ia menghardik-hardik Rohana yang seketika terperanjat menyaksikan
Masnun yang selama ini dikenalnya santun berubah menjadi berangasan.
Dirampasnya uang dari tangan Rohana dengan kasar. Rohana panik dan dengan
terbata-bata meminta Masnun tenang sehingga dia dapat menerangkan, tetapi
Masnun tak memberikan kesempatan, malah kemudian ia dorong tubuh Rohana hingga
perempuan itu jatuh terjengkang. Rohana terkaing-kaing kesakitan.
Masnun
tak menyangka kawan baiknya justru berkhianat demi uang.
Di
kamar, ia tersenggut-senggut, ia kecewa mendapati tak ada orang-orang baik di
dunia ini. “Pasti si Rohana juga yang sudah mencuri bros anggrekku itu!”
tuduhnya. “Awas saja kamu!” Ia buka genggaman tangannya, uang kertas itu telah
renyuk. Masnun buang gumpalan uang itu. Ia tak lagi rela tinggal di rumah jompo,
tinggal bersama orang-orang tua busuk yang rusak kelakuannya. Aku harus kabur
dan keluar dari sini, pikirnya.
Masnun
berhenti memasukkan pakaian ke dalam tas saat mendengar repetan Indraswari yang
meluap-luap. Ia menjenguk lewat jendela kamar yang terbentang. Indraswari
mengamuk sambil memukul-mukulkan gagang sapu ke punggung seorang lelaki.
“Kurang ajar kamu! Ini aku pacarmu! Aku yang suruh kamu angkut dan jual anggrek
itu, tapi malah kamu berikan uangnya pada si Rohana! Siapa Rohana itu? Pacar
barumu! Awas kau ya! Awas kau ya!”
Ashadi!
Indraswari!
Masnun
tecengang.
Dan,
Masnun makin tercengang saat ia berbalik ke belakang. Di tembok, tergantung
blus yang ia kenakan pagi tadi dan di bagian dadanya masih melekat bros anggrek
uti. Ia tak ingat telah bersalin pakaian!
Mata
Masnun memerah.
“Rohana!
Rohana!”
Bersamaan
dengan teriakan Masnun, suara sirine ambulans terdengar meraung-raung memasuki
pelataran Rumah Kasih.