Renta: Cerpen Estetik
yang Minim Konflik
Akhmad
Idris
***
Sejak kali pertama membaca bagian pembuka,
saya langsung menangkap ketakberaturan gramatikal dalam susunan kalimat sebagai
ciri khas bahasa karya sastra⸻meskipun tetap saja ada batasannya. Cerpen Renta karya Puspa Seruni yang terbit di
Sastramedia pada tanggal 31 Juli 2022 lalu ini, menampilkan kalimat pembuka
yang tidak patuh dengan kaidah-kaidah sintaksis. Kalimat itu berbunyi seperti
ini,
Lelaki
berusia 95 tahun itu, yang sedang duduk di atas kursi roda, memandangi beberapa
anak, berusia antara enam hingga sembilan tahun, yang tangannya
menunjuk-nunjuk, yang mulutnya tertawa-tawa, yang memaki kepadanya dari luar
pagar rumah
Ketakpatuhan atau ketakberaturan kalimat
pembuka tersebut meliputi penggunaan tanda koma yang disama rata, padahal
memiliki fungsi yang berbeda-beda. Ada tanda koma yang berfungsi untuk
mengidentifikasi lelaki berusia 95 tahun dan ada juga tanda koma yang digunakan
untuk menandai karakteristik anak-anak berusia 6 hingga 9 tahun. Penggunaan
tanda koma (yang sangat banyak) inilah yang membuat fungsi predikat (sebagai
fungsi yang paling penting) tampak kabur dalam kalimat tersebut. Menurut hemat
saya, kalimat yang tampak lebih teratur adalah seperti ini,
Seorang
lelaki berusia 95 tahun sedang memandangi beberapa anak berusia 6 hingga 9
tahun di atas kursi roda.
Kata “duduk” tidak perlu ditampilkan
karena secara logika tidak ada lelaki berusia 95 tahun yang akan “berdiri” di
atas kursi roda. Lazimnya penggunaan kursi roda memang untuk duduk, tidak
berdiri. Lalu dilanjutkan dengan kalimat yang mendeskripsikan sikap anak-anak
tersebut, mulai dari menunjuk-nunjuk; tertawa; hingga memaki.
Namun dalam dunia sastra, ketakberaturan
atau ketakpatuhan tersebut bisa menjadi bentuk kesengajaan pengarang yang
bersifat estetik. Sebagaimana yang disebut oleh Horace (yang kembali dijelaskan
oleh Wellek dan Warren) bahwa karya sastra (seni) memang bersifat dulce atau indah. Artinya, Puspa Seruni
memang secara sengaja mencipta ketakpatuhan untuk menyampaikan pesan tertentu
dengan wujud kode estetik. Penggunaan tanda koma dan kata “yang” yang
berlebihan dalam satu kalimat seolah ingin menunjukkan situasi antara kakek dan
anak-anak dalam satu rangkaian kejadian yang utuh. Mungkin jika dipisah (menjadi dua kalimat seperti yang saya
contohkan) secara lebih teratur, kesan keutuhan kejadian kurang bisa dirasakan.
Refleksi
Estetis atas Realita Sosial
Charles Glickberg (1967) dalam Literature and Society menyebutkan bahwa
semua karya sastra (entah bagaimanapun bentuknya) akan selalu menaruh perhatian
besar terhadap fenomena sosial. Meskipun seperti itu, para pengarang tetap akan
mendistorsi fakta-fakta sosial sesuai dengan idealismenya masing-masing. Oleh
sebab itu, karya-karya sastra yang terilhami atas fakta-fakta kemasyarakatan di
sekitarnya tidak akan menjiplak dengan ‘apa adanya’, tetapi ‘meniru’ dengan
refleksi yang estetis.
Hal semacam inilah yang saya temui saat
membaca cerpen Renta karya Puspa
Seruni dari awal hingga akhir. Puspa Seruni tampak lihai memotret fakta-fakta
sosial (yang menasional) di
sekitarnya seperti sinetron-sinetron perselingkuhan, nasib orang tua yang
ditelantarkan oleh anak dan cucunya, hingga masalah pengabdian atas dasar
warisan. Seluruh fakta-fakta sosial tersebut berhasil dikreasi dengan asyik
oleh Puspa Seruni lewat sebuah cerita yang diberi judul Renta.
Puspa Seruni menampilkan sinetron
perselingkuhan lewat ironi perkataan perempuan. Pada awalnya tokoh perempuan
berdalih jika perselingkuhan bisa diterima jika si pelakor memang jauh lebih
cantik darinya, padahal si pelakor tidak lebih baik darinya. Sayangnya ketika
beberapa tahun kemudian si suami memilih bercerai karena menuruti dalih si
perempuan (berselingkuh dengan yang lebih cantik), si perempuan tetap marah dan
tidak terima atas perselingkuhan tersebut. Puspa Seruni memertegas ironi
perkataan perempuan dengan kalimat yang berbunyi, Jaman berganti ternyata kebohongan wanita tetap sama.
Satu hal yang perlu dikritik dari bagian
ini adalah cara Puspa Seruni menempatkan posisi perempuan sebagai pihak yang
(lagi-lagi) tersubordinasi. Semoncer apapun karir perempuan, ia tetap akan
berada di pihak yang tersakiti. Sudah diselingkuhi dua kali, ditambah pula
dengan dipersalahkan atas ucapannya sendiri.
Asyik,
namun Minim Konflik
Sebagaimana yang telah saya sebutkan sejak
awal, cerpen Renta memang asyik
dengan sisi-sisi estetiknya, namun terlihat minim konflik. Tak ada dramatisasi
konflik dalam jalinan ceritanya, padahal Burhan Nurgiyantoro (2019) dalam Teori Pengkajian Fiksi telah menekankan
bahwa tiga kunci utama dalam mengembangkan plot saat menulis cerita fiksi
(cerpen) adalah peristiwa; konflik; dan klimaks. Renta seolah didesain oleh Puspa Seruni sebagai cerpen yang asyik
dengan potret fenomena sosialnya tentang perselingkuhan dan (kurangnya) kasih
sayang anak kepada orang tua, tanpa memertimbangkan ihwal naik-turun emosi
pembaca gegara sajian konflik yang sulit ditebak.
Secara garis besar, cerpen Renta dibuka dengan deskripsi lelaki
berusia 95 tahun yang direndahkan oleh anak-anak kecil. Lalu lelaki tua melihat
acara televisi yang mengisahkan perselingkuhan dan membawanya pada kenangan
masa lampau. Setelah itu, perempuan bernama Mina yang menjadi perawat lelaki
berusia 95 tahun mendapatkan telepon dari Agnes, cucu lelaki berusia 95 tahun.
Agnes melarang Mina mengambil cuti. Ujung cerita ini dapat dengan mudah
ditebak, Mina mengundurkan diri dan lelaki berusia 95 tahun akan menikmati sisa
waktu yang kata Chairil Anwar dengan dikoyak-koyak
sepi.
Akhir kata, cerpen ini memang asyik dengan
potret cerdik Puspa Seruni atas fenomena-fenomena sosial yang sedang menjadi
perbincangan hangat saat ini. Namun tetap
memiliki kekurangan dalam hal dramatisasi konflik. Cerita seolah dimulai dengan
tenang dan diakhiri dengan tenang pula, padahal yang ditunggu pembaca adalah
naik-turunnya plot cerita. Kurang lebih seperti itu hasil pembacaan saya atas
cerpen Renta. Sekian.