RENTA
Puspa Seruni
“Dia gemetar ... dia gemetar. Lihat tangannya,” ujar anak lelaki berkaos biru dari atas sepedanya, yang disambut gelak tawa ke empat anak lainnya.
“Bibirnya juga gemetar, seperti dubur
ayam,” ucap bocah perempuan yang rambutnya di kuncir dua, sambil berusaha
menirukan bentuk bibir si lelaki tua. Ucapan mereka sahut menyahut, seperti
sengaja memancing kemarahan si lelaki renta. Suara gelak tawa mereka terdengar
hingga ke dapur.
“Heh, pergi ... pergi.”
Mina datang tergopoh-gopoh dari dalam
rumah sambil membawa sapu dan mengacungkannya kepada kelima anak itu. Anak-anak
itu kembali tertawa, melambaikan tangan kepada Mina kemudian mengayuh
sepedanya, pergi menjauhi rumah bercat putih itu.
Hampir setiap pagi, saat si lelaki tua
duduk di teras dan menikmati udara pagi, anak-anak itu akan berhenti di depan
pagar setiap kali melihat lelaki tua dan mulai meledeknya dari atas sepeda dan
mulai menertawainya. Sebenarnya, lelaki tua itu ingin menangis, miris rasanya
melihat dirinya ditertawakan oleh bocah-bocah sambil disebut-sebut sebagai
‘Kakek dubur ayam’.
Lelaki tua itu meringis, jemari tangannya
terangkat pelan-pelan kemudian meraba bibirnya. Dubur ayam adalah bagian dari
ayam yang sangat dia tidak sukai setelah leher, usus dan juga ampela. Dia
merasa jijik jika ada orang yang mau memakan tempat keluarnya kotoran itu. Dan
sekarang, anak-anak ingusan itu menjulukinya kakek dubur ayam. Betapa
malangnya.
Setelah anak-anak itu pergi, Mina
menghampiri dan memutar kursi roda, membawa lelaki itu masuk ke dalam rumah.
Mina menghentikan kursi roda di depan tivi di ruang tengah. Dia menyalakan
televisi dan memilih saluran sembarang semaunya. Lelaki tua itu tak protes, dia
menurut saja pada pilihan Mina. Mina meninggalkannya, melanjutkan memasak di
dapur dan membiarkan drama rumah tangga menenani si lelaki tua.
Dia sudah sangat lama tidak punya acara
televisi favorit, tidak seperti enam puluh tahun lalu saat dirinya masih muda
dan sangat menyukai acara yang berbau hukum dan politik. Bahkan, saat karirnya
sedang moncer, dia beberapa kali menjadi narasumber di acara bincang-bincang
pakar, menjadi pembahas topik yang sedang jadi sorotan publik, menjadi pengamat
kebijakan hukum pemerintah ataupun menjadi pembicara dengan tema lain yang tak
kalah pentingnya. Dia tidak pernah tampil mengecewakan, ulasan-ulasannya selalu
tepat sasaran, analisisnya tajam dan penyampaiannya selalu santun dan
tegas.
Tapi itu dulu, saat tubuhnya masih tegap
dan gagah, saat otaknya masih sempurna dan saat predikat pengacara terbaik
disandangnya. Akan tetapi sekarang ini, dia hanyalah pria renta tak berdaya,
yang duduk di atas kursi roda, menatap layar kaca, menyaksikan dua orang wanita
berbantah berebut suami mereka. Wanita bergincu merah, yang tubuhnya lebih
padat berisi, tampak sibuk mencecar wanita lain yang lebih kurus dengan pakaian
yang sederhana. Wanita bergincu merah mempertanyakan apa alasan suaminya
berbagi cinta dengan wanita kurus itu, yang menurutnya tidak lebih menarik
dibanding dirinya. Katanya, dia akan lebih bisa menerima jika wanita itu jauh
lebih cantik darinya. Bibir lelaki tua itu tersungging, miris.
Jaman berganti ternyata kebohongan wanita
tetap sama, ucapnya dalam hati. Dia ingat, dulu, saat usia pernikahannya baru
lima tahun dan mereka belum dikaruniai seorang anak, istrinya juga mengatakan
hal yang sama kepadanya. Dia mencerca partner kerja si lelaki tua, yang dituduh
menjadi selingkuhannya.
“Kalau selingkuhanmu lebih berkelas dari
aku, nggak masalah. Aku masih bisa terima,” ucap istrinya dengan nada marah.
Istrinya seorang dokter di sebuah rumah
sakit swasta, dia mandiri, tegas, suka memerintah, menguasai dan tidak bisa
menerima penolakan. Sedangkan si “wanita lain” itu, hanya seorang admin di
sebuah kantor hukum tempatnya bekerja-waktu itu si lelaki tua baru menapaki
karirnya dengan bergabung di sebuah firma hukum-penampilannya sederhana, tutur
katanya sopan, lembut, penuh perhatian dan tentu saja manis.
Lelaki tua, yang kala itu penghasilannya
masih dibawa istrinya, menuruti saran istrinya sepuluh tahun kemudian. Saat
karirnya sebagai pengacara mulai menanjak, seorang klien perempuan, yang
memiliki masalah dalam rumah tangganya, memiliki harta dua kali lipat dari
istrinya, terpesona pada si lelaki tua. Perempuan itu akhirnya bercerai dan
lelaki tua itu yang mengurus perceraiannya dan mereka kemudian berkasih-kasihan
dan akhirnya si istri tahu bahwa suaminya bermain gila dan dia kembali marah
dan tentu saja tidak terima meski wanita baru ini jelas lebih cantik dan lebih
segalanya dari si istri. Tidak seperti apa yang dia ucapkan sepuluh tahun lalu.
Pertengkaran dua wanita dalam drama
televisi itu mengingatkannya kepada sang istri. Dia tersenyum, sambil
membayangkan istrinya yang sedang cemberut marah.
“Makan dulu, Kek.”
Mina menghampiri dan memutar kursi rodanya
lalu mendorongnya ke meja makan. Adegan pertengkaran dua orang wanita terdengar
semakin panas. Kali ini dia tak bisa lagi menonton karena Mina menghadapkan
kursi roda ke arah meja, membelakangi televisi. Padahal dia sangat ingin
menonton, sekadar untuk membasuh kerinduannya kepada istrinya yang sudah
meninggal tiga puluh tahun lalu.
Sambil menyuapinya, pandangan Mina melotot
memperhatikan layar televisi yang semakin seru. Meski mata Mina mengarah pada
yang lain, tetapi tangannya seakan sudah hapal di mana letak mulut si lelaki
tua. Persis setelah makanan di piring habis, drama rumah tangga di televisi
juga berakhir. Mina mengusap mulut si lelaki, memberinya minum, kemudian kembali
memutar kursi roda dan mendorongnya hingga ke depan televisi.
Kali ini, Mina memilih saluran masak
memasak-sepertinya siaran ulang-yang sedang menayangkan masakan berbahan dasar
kerang, makanan yang dulu paling digemarinya. Lelaki tua itu berasal dari
pesisir dan sudah akrab dengan laut sejak masih kanak-kanak. Siaran televisi
mengantarnya ke masa lalu, mengingatkannya pada perjuangan sang ayah, hanya
seorang nelayan tetapi berhasil mengantar dirinya hingga lulus sebagai sarjana
hukum. Sayangnya, saat karirnya baru dimulai, sang ayah meninggal.
Setelah mencuci piring, membereskan dapur,
menjemur pakaian, Mina mendekati si lelaki tua. Mina mematikan televisi
kemudian memutar kursi roda. Dering ponsel membuat langkah Mina terhenti.
“Halo,” suara cempreng Mina memenuhi ruang
tengah. Beberapa saat dia tampak terdiam, mendengarkan suara dari si penelepon.
“Tapi, Mbak. Minggu depan itu acara
penting, adik bungsu saya menikah. Saya tidak ....”
Kalimat Mina terhenti, rupanya si
penelepon menyelanya. Sekali lagi Mina tampak terdiam, mendengarkan dengan
wajah menahan geram.
Tak berapa lama, telepon terputus. Mina
menoleh pada si lelaki tua yang sedang memandangnya. Lelaki tua itu bisa
menduga, si penelepon adalah Agnes, cucunya. Dan seperti biasa, Agnes akan
melarang Mina cuti dengan alasan dia sedang sibuk dan tak bisa menjaga si
lelaki tua. Ini bukan kali pertama dan tentu bukan kali terakhir.
Agnes adalah anak dari Omar, anak
sulungnya, yang meninggal lima belas tahun lalu. Lelaki tua itu hanya memiliki
dua anak, yaitu Omar dan Zayid. Zayid tinggal di luar kota bersama kedua
anaknya dan telah berusia enam puluh tahun dan sering sakit-sakitan dan sudah
tak pernah datang lagi menjenguknya.
Si lelaki tua kini hanya tinggal bersama
Mina, perempuan tambun yang disewa Agnes untuk merawatnya. Si lelaki tua memang
tak pernah mau tinggal di panti Jompo. Dalam surat pembagian harta warisnya, si
lelaki tua menulis bahwa siapa saja yang merawatnya di masa tua akan
mendapatkan pembagian sepersepuluh lebih banyak daripada yang lain. Waktu itu
Omar menyanggupinya. Namun, hingga Omar meninggal, si lelaki tua masih hidup
sehingga kewajiban mengurusnya diberikan kepada Agnes sebagai anak tertua dari
Omar. Agnes berbeda dengan Omar, dia tidak mau merawat si lelaki tua di
rumahnya dan memilih membelikannya sebuah rumah sederhana berukuran 40 meter
persegi, yang jauh lebih kecil dibanding rumahnya dulu.
Mina menoleh dan memandang si lelaki tua.
Dia menghela napas panjang. Mina menghampiri si lelaki tua dan menggenggam
tangannya dan membisikkan sesuatu kepadanya dan berdiri melanglah menuju kamarnya.
Lelaki tua tidak membantah, tidak juga mencegah. Hanya air mata yang kemudian
luruh satu persatu dari sudut matanya, mengalir ke pipi, menetes ke dada hingga
berjatuhan ke punggung tangannya.
Mina keluar dengan membawa sebuah tas besar dan melambaikan tangan kepada si lelaki tua. Lelaki tua hanya memandang Mina tanpa berkedip. Dia tak mau Mina melihat air matanya yang berjatuhan. Terkadang lelaki tua itu menyesali doa yang selalu meminta umur panjang. Teman-teman yang seusia dengannya sudah lama meninggal, bahkan istri dan anak sulungnya. Dia kini hidup sendirian, menyaksikan bagaimana orang-orang yang masih ada ikatan darah ataupun yang tidak, berbuat semena-mena kepadanya yang sudah tanpa daya.
Jembrana, 17 Juli 2022