Apa yang Menarik dari
“Angin Agustus” Warist Rovi?
M. Rifdal Ais
Annafis
Justru sebab karangan ini ditarik dari aku-lirik yang
melankolik sekaligus tragik, sehingga penelaahannya dirasa perlu. Warist hampir
selalu lihai memberikan pengandaian imajinatif terhadap karangannya, semisal
puisi “Angin Agustus” yang terpublikasi pada halaman puisi sastramedia.com
(08/21/2022). Bait-bait seperti curah sungai, bergerak dengan riak kecil dari
hulu ke hilir. Beberapa bagian menyebabkan rasa haru sekaligus menggugah emosi,
bagian-bagian lain memaksa khalayak berusaha mengingat sekaligus menekuni perih
sejarah. Penulis akan mengutip utuh puisi sebelum mengulas lebih jernih.
Angin Agustus
A. Warist Rovi
Kukirim wangi masa lalu dari jalan lenggang
saat waktu diteriaki peluru berlesatan,
orang-orang berperang atas nama ibunya sendiri
di tanah kelahiran mereka menulis janji,
kukirim amis darah yang disanjung bulan
saat nyawa melayang dengan bibir getir menyusu
ladang,
kukirim semua itu kepadamu agar kau tau
apa yang mesti harus lebih keras ketimbang batu.
Gaptim, 2022
Setidaknya,
telaah kritis terhadap puisi Warist ini memerlukan dua pisau analitik yang
berusaha mengungkapkan bagaimana psikologi pengarang membentuk citraan imajiner
serta pilihan leksikal dalam konsep Value-cange
untuk menitikberatkan nilai-nilai yang terbangun dalam puisi tersebut. Pada
persoalan-persoalan tertentu dalam karangannya, Warist bagi penulis kerap
melibatkan diri terhadap situasi sosio-kultur sekitarnya. Saya comot penggalan
puisi yang berjudul “Subuh” misalnya, “…//ada panggilan lembut dari surau-surau
//tentang alamat di dusun sajadah //…” dalam penggalan tersebut ada muatan
sosio-kultur kuat dari penggambaran “surau” dengan keterkaitannya pada “dusun
sajadah” yang mengutuhkan konotasi terhadap situasi masyarakat pemegang erat
nilai agama. Di sini Warist berhasil memotret dan memvisualkan mediasi
komunitas masyarakat sehingga puisi tiap baris tersebut berjalinkelindan.
Penulis
sedikit menyentil pernyataan Dr. Faruk dalam Penutup buku Cerpen Pilihan Kompas 1996. Faruk mengulas bahwa
karya sastra berupa cerpen [dalam konotasinya atas tulisan buku tersebut] dalam
kurung waktu 1960-an hingga 1990-an memiliki kecenderung realistis dengan
pandangan hidup yang ironis. Dan nampaknya, pernyataan Faruk tersebut tidak
hanya berlaku pada proses kepengarangan saat itu, akan tetapi tetap dipakai
hingga sekarang. Menariknya, dalam puisi Warist dengan judul “Angin Agustus”
ini sangat nampak bahwa kecenderungan pengarang terhadap kegelisahaan dan daya
tangkapnya pada realitas sosial dikuatkan dengan sikap traumatik. Semisal dalam
penggalan ini, “Kukirim wangi masa lalu dari jalan lenggang// saat waktu
diteriaki peluru berlesatan,//…” Warist mencoba memberikan kesan terhadap
pembaca mengenai kecemasan-kecemasan pada realitas silam.
Dalam
perspektif ini, penulis menggunakan kacamata Freud tentang teori mimpi. Pada
hakikatnya, mimpi dapat menjadi jalan utama menuju ke alam tak sadar. Lahirnya
kecemasan Warist pada realitas sosial diakibatkan tekanan-tekanan keinginan
yang merangsang alam bawah sadar. Rangsangan ini bukan hanya sebab Warist
mengalami sendiri kejadian tersebut, akan tetapi ada andil konsep Value-cange yang membuat proses penciptaan
puisi mengembangkan nilai-nilai tertentu, yang dalam penggalan ini nilai
kepemilikan nasib sebab kesamaan identitas dan geografis sehingga Warist
menemukan kecemasan tersebut. Hal ini makin tampak pada bait kedua, penulis
kutip “…// orang-orang berperang atas nama ibunya sendiri// di tanah kelahiran
mereka menulis janji,//…” dengan kekuatan Majas Penegasan, Warist menggambarkan
letak geografis kecemasan tersebut tiba. Yakni, frasa “atas nama Ibunya” dan
“tanah kelahiran” mengajak pembaca menyetujui hasrat yang ditawarkan aku-lirik
pada bangunan puisi Angin Agustus.
Konsep
naluri Freud mengenai dorongan kepada id
sangat tampak pada bait terakhir, penulis kutip “…//kukirim semua itu kepadamu
agar kau tau //apa yang mesti harus lebih keras ketimbang batu.//” pada bait
ini kekuatan Majas Asosiatif terlihat menonjol, terutama keterkaitannya dengan
bait tiga mengenai pengandaian Warist atas produk dari perang dan penyiksaan,
dari kesedihan dan kesunyian. Tetapi bagi penulis, aku-lirik dalam bangunan
puisi ini belum sampai pada konsep super
ego Freud. Malah konsep ego Freud
dalam teori kepribadian sangat tampak sehingga kecemasan yang Warist bangun
dari awal memberontak. Dan akhirnya
pembaca dibiarkan lebur atas segala kecamuk.
Warist
cukup berhasil menggiring pembaca masuk pada proses melankolik. Konsep ego atas pengambilan energi id dengan cara identifikasi bangunan
kecemasan aku-lirik pada bait menjelang akhir. Sayangnya belum menyentuh konsep
resepsi sehingga kecemasan yang berkembang
tidak mereda. Meski begitu, bangunan puisi “Angin Agustus” ini kuat sebab bukan
hanya Warist mengolahnya dengan melibatkan psikologinya, akan tetapi kekuatan
tersebut terletak pada perpaduan sentilan sejarah dan hasrat kesedihan yang
berkembang pada diri Warist. Di sisi lain, mengapa puisi ini menarik?
Menariknya,
Warist memerhatikan betul ketukan dan bunyi setiap baris puisi sehingga
kekuatan membangun suasana yang ditopang diksi-diksi sederhana mengakibatkan
pembaca lebih mendalam masuk dan merasakan aku-lirik puisi. Sebab terkadang,
pengarang tidak memerhatikan betul hal tersebut sehingga mengganggu proses
pembaca menafsirkan dan memaknai kesan-kesan yang ingin disampaikan pengarang.
Warist hampir selalu memuaskan setiap pembaca terutama beberapa tahun
belakangan atas produk-produk kepengarangannya. Selamat menikmati puisi A.
Warist Rovi yang sebelumnya telah terpublikasi di media ini.