Apa yang Menarik dari “Angin Agustus” Warist Rovi? - M. Rifdal Ais Annafis

@kontributor 10/02/2022

Apa yang Menarik dari “Angin Agustus” Warist Rovi?

M. Rifdal Ais Annafis

 


Justru sebab karangan ini ditarik dari aku-lirik yang melankolik sekaligus tragik, sehingga penelaahannya dirasa perlu. Warist hampir selalu lihai memberikan pengandaian imajinatif terhadap karangannya, semisal puisi “Angin Agustus” yang terpublikasi pada halaman puisi sastramedia.com (08/21/2022). Bait-bait seperti curah sungai, bergerak dengan riak kecil dari hulu ke hilir. Beberapa bagian menyebabkan rasa haru sekaligus menggugah emosi, bagian-bagian lain memaksa khalayak berusaha mengingat sekaligus menekuni perih sejarah. Penulis akan mengutip utuh puisi sebelum mengulas lebih jernih.

 

Angin Agustus

A. Warist Rovi

 

Kukirim wangi masa lalu dari jalan lenggang

saat waktu diteriaki peluru berlesatan,


orang-orang berperang atas nama ibunya sendiri

di tanah kelahiran mereka menulis janji,

 

kukirim amis darah yang disanjung bulan

saat nyawa melayang dengan bibir getir menyusu ladang,

 

kukirim semua itu kepadamu agar kau tau

apa yang mesti harus lebih keras ketimbang batu.

 

Gaptim, 2022

 

            Setidaknya, telaah kritis terhadap puisi Warist ini memerlukan dua pisau analitik yang berusaha mengungkapkan bagaimana psikologi pengarang membentuk citraan imajiner serta pilihan leksikal dalam konsep Value-cange untuk menitikberatkan nilai-nilai yang terbangun dalam puisi tersebut. Pada persoalan-persoalan tertentu dalam karangannya, Warist bagi penulis kerap melibatkan diri terhadap situasi sosio-kultur sekitarnya. Saya comot penggalan puisi yang berjudul “Subuh” misalnya, “…//ada panggilan lembut dari surau-surau //tentang alamat di dusun sajadah //…” dalam penggalan tersebut ada muatan sosio-kultur kuat dari penggambaran “surau” dengan keterkaitannya pada “dusun sajadah” yang mengutuhkan konotasi terhadap situasi masyarakat pemegang erat nilai agama. Di sini Warist berhasil memotret dan memvisualkan mediasi komunitas masyarakat sehingga puisi tiap baris tersebut berjalinkelindan.

            Penulis sedikit menyentil pernyataan Dr. Faruk dalam Penutup buku Cerpen Pilihan Kompas 1996. Faruk mengulas bahwa karya sastra berupa cerpen [dalam konotasinya atas tulisan buku tersebut] dalam kurung waktu 1960-an hingga 1990-an memiliki kecenderung realistis dengan pandangan hidup yang ironis. Dan nampaknya, pernyataan Faruk tersebut tidak hanya berlaku pada proses kepengarangan saat itu, akan tetapi tetap dipakai hingga sekarang. Menariknya, dalam puisi Warist dengan judul “Angin Agustus” ini sangat nampak bahwa kecenderungan pengarang terhadap kegelisahaan dan daya tangkapnya pada realitas sosial dikuatkan dengan sikap traumatik. Semisal dalam penggalan ini, “Kukirim wangi masa lalu dari jalan lenggang// saat waktu diteriaki peluru berlesatan,//…” Warist mencoba memberikan kesan terhadap pembaca mengenai kecemasan-kecemasan pada realitas silam.

            Dalam perspektif ini, penulis menggunakan kacamata Freud tentang teori mimpi. Pada hakikatnya, mimpi dapat menjadi jalan utama menuju ke alam tak sadar. Lahirnya kecemasan Warist pada realitas sosial diakibatkan tekanan-tekanan keinginan yang merangsang alam bawah sadar. Rangsangan ini bukan hanya sebab Warist mengalami sendiri kejadian tersebut, akan tetapi ada andil konsep Value-cange yang membuat proses penciptaan puisi mengembangkan nilai-nilai tertentu, yang dalam penggalan ini nilai kepemilikan nasib sebab kesamaan identitas dan geografis sehingga Warist menemukan kecemasan tersebut. Hal ini makin tampak pada bait kedua, penulis kutip “…// orang-orang berperang atas nama ibunya sendiri// di tanah kelahiran mereka menulis janji,//…” dengan kekuatan Majas Penegasan, Warist menggambarkan letak geografis kecemasan tersebut tiba. Yakni, frasa “atas nama Ibunya” dan “tanah kelahiran” mengajak pembaca menyetujui hasrat yang ditawarkan aku-lirik pada bangunan puisi Angin Agustus.

            Konsep naluri Freud mengenai dorongan kepada id sangat tampak pada bait terakhir, penulis kutip “…//kukirim semua itu kepadamu agar kau tau //apa yang mesti harus lebih keras ketimbang batu.//” pada bait ini kekuatan Majas Asosiatif terlihat menonjol, terutama keterkaitannya dengan bait tiga mengenai pengandaian Warist atas produk dari perang dan penyiksaan, dari kesedihan dan kesunyian. Tetapi bagi penulis, aku-lirik dalam bangunan puisi ini belum sampai pada konsep super ego Freud. Malah konsep ego Freud dalam teori kepribadian sangat tampak sehingga kecemasan yang Warist bangun dari awal memberontak. Dan akhirnya pembaca dibiarkan lebur atas segala kecamuk.

            Warist cukup berhasil menggiring pembaca masuk pada proses melankolik. Konsep ego atas pengambilan energi id dengan cara identifikasi bangunan kecemasan aku-lirik pada bait menjelang akhir. Sayangnya belum menyentuh konsep resepsi sehingga kecemasan yang berkembang tidak mereda. Meski begitu, bangunan puisi “Angin Agustus” ini kuat sebab bukan hanya Warist mengolahnya dengan melibatkan psikologinya, akan tetapi kekuatan tersebut terletak pada perpaduan sentilan sejarah dan hasrat kesedihan yang berkembang pada diri Warist. Di sisi lain, mengapa puisi ini menarik? 

            Menariknya, Warist memerhatikan betul ketukan dan bunyi setiap baris puisi sehingga kekuatan membangun suasana yang ditopang diksi-diksi sederhana mengakibatkan pembaca lebih mendalam masuk dan merasakan aku-lirik puisi. Sebab terkadang, pengarang tidak memerhatikan betul hal tersebut sehingga mengganggu proses pembaca menafsirkan dan memaknai kesan-kesan yang ingin disampaikan pengarang. Warist hampir selalu memuaskan setiap pembaca terutama beberapa tahun belakangan atas produk-produk kepengarangannya. Selamat menikmati puisi A. Warist Rovi yang sebelumnya telah terpublikasi di media ini.

 Bantul, 2022

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »