Barbara Pelukis Sapi - Kusuma Tanjung

@kontributor 10/02/2022

Barbara Pelukis Sapi

Kusuma Tanjung

 


Di salah satu restoran cepat saji aku ngobrol panjang dengan Barbara, seorang pelukis dari Talcahuano. Aku tertarik dengan karyanya yang menceritakan maskulinitas sapi ketika hendak dijagal. Pertama kali aku lihat lukisan indah itu pada pameran di El Caballo Verde, dua bulan yang lalu. Aku terpesona dan melihat secara detil bagaimana pelukisnya menyusun barisan sapi perempuan di belakang mayat sapi jantan, sedangkan seekor sapi betina yang satu-satunya berotot, ada di barisan depan, tergambar diseruduk sapi jantan yang kurus kering. Lukisan menunjukkan cerita seolah sapi kurus itu telah berlari dan pedang perempuan si tukang jagal, akhirnya menebas angin.

“Berapa harga yang sanggup anda tawarkan untuk lukisan itu?” suara perempuan terdengar dari belakang, mengangetkan aku yang tengah terpesona memandang lukisan. Perempuan ini cepat tertawa dan menjulurkan tangan lalu menyebutkan namanya, Barbara. Dia menguasai perbincangan singkat dan tanpa ragu mengajak aku bersantai sambil mencari minuman hangat.

“Apa yang membuatmu tertarik padaku?” tanyaku.

“Semua orang harusnya terkoneksi satu sama lain,” jawab Barbara.

Waktu itu aku tiba di salah satu tempat kopi lebih dulu, seorang laki-laki duduk di termenung memandang kopinya yang telah dingin. Aku memanggil pelayan dan sempat bertemu pandang dengan laki-laki itu. Ia tak memiliki semangat dan aku hanya tersenyum kepadanya, meski dia tidak membalas senyumku. Lalu aku pesan kopi, menikmati musik dan suasana. Aku menunggu Barbara yang harus membenahi diri dan segala keperluan lainnya sampai aku bisa melihat dia datang dengan taksi.

            “Tidak terlalu lama, kan?” tanyanya begitu sampai dan duduk.

            Itulah cerita pertama kali kami berkenalan. Percakapan dipenuhi dengan basa-basi dan rasa ingin tahu satu sama lain. Banyak minat yang sama di antara kami, salah satunya membaca buku. Barbara menyebutkan beberapa nama penulis seperti Guy de Maupassant, Edith Wharton, dan yang paling disukainya Leo Tolstoy. Aku katakan padanya cerita Tuhan Tahu Tapi Menunggu amat sangat berkesan, dan Barbara, menunjukkan wajah sedih sambil berkata dia (tokoh dalam cerita Tolstoy) laki-laki baik.

            “Tapi malang,” kataku menambahkan.

            “Hanya karena tak menuruti kata istrinya, atau apa menurutmu?”

            Aku ragu, tapi menjawab Barbara dengan cepat, “Semua benar karena cerita itu bekerja dari titik kau berpihak.”

            Barbara tampak setuju lalu memanggil pelayan untuk memesan minuman yang sama denganku. Kami lanjut berbincang, beberapa percakapan sambung-menyambung saling melengkapi. Antara aku dan Barbara, rasanya kami saling—tahu—tertarik.

Kami berkirim surat dan saling berjanji di hari lain untuk bertemu, pergi ke bioskop, membicarakan buku, berdansa di konser musik, dan sebagainya. Hubungan kami menjadi semakin dekat, bahkan aku merasa amat beruntung. Bisa melihat dia melukis di studio miliknya, adalah hal yang takkan aku lupakan. Sesekali Barbara meminta aku berdiri, berpose layaknya seekor sapi untuk dilukis. Aku melakukannya dan menikmati setiap proses yang kami lakukan. Hasil lukisannya juga sangat bagus, dan nanti, kata Barbara akan dipamerkan.

“Kau keberatan?” tanya Barbara.

“Sama sekali tidak. Aku sangat suka kau mengubahku menjadi sapi dalam lukisan.”

Kami tertawa dan Barbara menirukan suara sapi. Sambil menenggak anggur dengan iringan musik Frank Sinarta, malam gelap turun hujan, membasahi kota Chili. Barbara memandangku dan berkata, “Sepertinya seseorang tidak pulang malam ini.”

“Semacam takdir atau kutukan, ya?” tanyaku dan Barbara tertawa lagi. Aku sangat menyukainya ketika tertawa karena dapat kulihat giginya yang putih dan garis di pipinya yang indah. Sementara hujan semakin besar, Barbara menutup jendela. Aku duduk di sofa dan Barbara masuk ke dalam pelukan.

“Aku pernah melihat film Midnight in Paris,” katanya.

“Oh, ya. Aku tahu, laki-laki itu selalu ingin berjalan di bawah hujan kota Paris.”

“Bagaimana denganmu?”

“Hmmm. Sepertinya aku lebih suka menjadi sapi yang memangku kekasihnya di atas sofa ketika hujan.”

“Kau cukup nakal.”

Kami terlalu mabuk atau aku saja yang sudah sangat mabuk sehingga tak lagi mengingat apa-apa tentang kejadian malam itu. Tahu-tahu ketika siang, aku terjaga di rumah dengan sebuah pesan singkat dari Barbara untuk menemuinya di salah satu restoran. Segera aku bergegas dengan penuh semangat dan antusias, ingin mengetahui apa yang telah aku lewatkan pada malam itu. Tetapi, ketika di restoran, obrolan panjang telah usai begitu Barbara menyodorkan secarik kertas. Aku mengintipnya dan melihat begitu banyak kata tercoret.

“Bacalah,” kata Barbara.

Aku mengambil kertas itu dan membaca. Ini semacam isi hati yang tak kukenali dari diri Barbara. Memang, aku baru beberapa waktu bersamanya, tetapi aku tak pernah menyangka dia akan menuliskan sesuatu yang membuatku sedih. Aku pikir dia bercanda atau sengaja ingin menjahiliku. Tetapi, setelah selesai membaca sampai nama Barbara tertera di pojok kanan bawah, aku tersenyum ke arah Barbara tetapi dia berpaling membuang pandangan.

“Aku tak ingin ini berlanjut,” ujar Barbara.

“Kau pasti bercanda,” kataku.

Dia menggelengkan kepala.

“Kenapa? Kau punya orang lain?” tanyaku, cepat melihat matanya yang kuyakin menyimpan jawaban.

Barbara berpaling dan tak lama pergi begitu saja. Tak ada yang bisa aku perbuat kecuali merenungi waktu ketika ini terjadi begitu cepat. Dia telah pergi dan aku tak mengetahui tujuannya. Apa yang telah membuat Barbara menjadi seperti ini dalam sekejap? Semua ini seperti mimpi buruk.

Tak ada pesan bahkan surat yang kuterima sejak itu. Aku tak mengerti apa yang telah salah padaku. Barbara, seperti pencuri yang tidak bertanggung jawab. Dia bisa melakukan segala hal, tetapi tidak seharusnya membuatku seperti ini.

Beberapa pameran yang aku tahu melibatkan Barbara sebagai senimannya, kukunjungi dengan antusias. Tetapi, nihil kehadiran sosoknya, kecuali lukisan-lukisan sapi yang di antaranya terjual dengan harga mahal, adalah lukisan tubuhku yang dijadikan bentuk sapi. Aku coba berkontak ke beberapa orang, termasuk kolektor yang membeli karya Barbara, dengan maksud ingin membeli karyanya yang lain. Tetapi, semua tak semudah itu. Aku diarahkan untuk menemui si A lalu si B dan seterusnya dengan ketidakpastian dapat bertemu Barbara.

Beberapa isu beredar belakangan, pelukis sapi jagal telah meninggalkan dunia melukis. Ia hidup sendirian di sebuah pantai, dan menghabiskan hari-harinya untuk membaca banyak buku. Awalnya kupikir bodoh mempercayai bahkan mendatangi tempat yang tercipta dari gosip-gosip semacam itu. Tetapi aku tidak punya pilihan lain. Karena setiap malam aku selalu terpikirkan akan Barbara, kuputuskan untuk menjadi bodoh, bahkan terkutuk, tidak masalah.

Aku berangkat pada senin pagi. Naik bus dan berjalan kaki menyusuri pantai. Beberapa pengunjung dan pekerja sekitar kutanyai tentang seorang pelukis perempuan yang tinggal baru-baru ini membeli sepetak tanah atau menyewa rumah. Tetapi tak ada jawaban yang memuaskan. Barbara hilang begitu saja, seperti tak pernah ada.

Ketika lelah aku beristirahat di pinggir pantai. Ombak menyapu basah tubuhku yang saat ini kehausan serta kesepian. Angin bebisisik ke telingaku, bahwa Barbara benar-benar ingin melupakan aku. Kukatakan pada angin dan ombak laut, itu bukanlah persoalan, melainkan aku harus tahu apa alasannya. Semua ini sia-sia, bahkan aku merasa konyol dan gila.

Pulang ke rumah, aku masih berharap ada satu surat dari Barbara yang dikirimkannya, atau keajaiban mustahil seperti kudapati dia telah tertidur manja di atas ranjangku. Kubayangkan dia tersenyum dan memelukku seperti kali pertama kami berpelukan. Hangat dan tak terlupakan.

***

Aku memesan kopi seperti pesanan ketika aku menunggu Barbara keluar dari ruang pameran. Duduk menunggu kopi itu dingin, kuhabiskan waktu untuk berdiam diri. Pada jendela ketika pertama aku melihat Barbara turun dari taksi lalu berjalan perlahan ke arah mejaku, aku masih dapat mendengar suaranya yang bertanya, tidak terlalu lama, kan? Aku tersenyum dan ingin sekali mengatakan padanya, bahwa aku pernah menunggu untuk hal yang lebih lama, bahkan tetap akan menunggu lebih lama lagi. Tetapi itu tidak pernah tersampaikan. Bahkan tidak ada Barbara yang turun dari taksi, berjalan ke arahku kecuali laki-laki yang penuh semangat. Ia berjalan perlahan dan duduk mantap lalu memesan secangkir kopi. Aku melihat dia memanggil pelayan dan tak sengaja kami bertemu pandang. Ia tersenyum ke arahku.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »