Barbara
Pelukis Sapi
Kusuma
Tanjung
Di salah satu restoran cepat saji aku
ngobrol panjang dengan Barbara, seorang pelukis dari Talcahuano. Aku tertarik dengan
karyanya yang menceritakan maskulinitas sapi ketika hendak dijagal. Pertama
kali aku lihat lukisan indah itu pada pameran di El Caballo Verde, dua bulan
yang lalu. Aku terpesona dan melihat secara detil bagaimana pelukisnya menyusun
barisan sapi perempuan di belakang mayat sapi jantan, sedangkan seekor sapi
betina yang satu-satunya berotot, ada di barisan depan, tergambar diseruduk
sapi jantan yang kurus kering. Lukisan menunjukkan cerita seolah sapi kurus itu
telah berlari dan pedang perempuan si tukang jagal, akhirnya menebas angin.
“Berapa harga yang
sanggup anda tawarkan untuk lukisan itu?” suara perempuan terdengar dari
belakang, mengangetkan aku yang tengah terpesona memandang lukisan. Perempuan
ini cepat tertawa dan menjulurkan tangan lalu menyebutkan namanya, Barbara. Dia
menguasai perbincangan singkat dan tanpa ragu mengajak aku bersantai sambil
mencari minuman hangat.
“Apa yang
membuatmu tertarik padaku?” tanyaku.
“Semua orang
harusnya terkoneksi satu sama lain,” jawab Barbara.
Waktu itu aku tiba
di salah satu tempat kopi lebih dulu, seorang laki-laki duduk di termenung
memandang kopinya yang telah dingin. Aku memanggil pelayan dan sempat bertemu
pandang dengan laki-laki itu. Ia tak memiliki semangat dan aku hanya tersenyum
kepadanya, meski dia tidak membalas senyumku. Lalu aku pesan kopi, menikmati
musik dan suasana. Aku menunggu Barbara yang harus membenahi diri dan segala
keperluan lainnya sampai aku bisa melihat dia datang dengan taksi.
“Tidak
terlalu lama, kan?” tanyanya begitu sampai dan duduk.
Itulah
cerita pertama kali kami berkenalan. Percakapan dipenuhi dengan basa-basi dan rasa
ingin tahu satu sama lain. Banyak minat yang sama di antara kami, salah satunya
membaca buku. Barbara menyebutkan beberapa nama penulis seperti Guy de
Maupassant, Edith Wharton, dan yang paling disukainya Leo Tolstoy. Aku katakan
padanya cerita Tuhan Tahu Tapi Menunggu amat sangat berkesan, dan Barbara, menunjukkan
wajah sedih sambil berkata dia (tokoh dalam cerita Tolstoy) laki-laki baik.
“Tapi
malang,” kataku menambahkan.
“Hanya
karena tak menuruti kata istrinya, atau apa menurutmu?”
Aku
ragu, tapi menjawab Barbara dengan cepat, “Semua benar karena cerita itu
bekerja dari titik kau berpihak.”
Barbara
tampak setuju lalu memanggil pelayan untuk memesan minuman yang sama denganku.
Kami lanjut berbincang, beberapa percakapan sambung-menyambung saling
melengkapi. Antara aku dan Barbara, rasanya kami saling—tahu—tertarik.
Kami berkirim
surat dan saling berjanji di hari lain untuk bertemu, pergi ke bioskop,
membicarakan buku, berdansa di konser musik, dan sebagainya. Hubungan kami
menjadi semakin dekat, bahkan aku merasa amat beruntung. Bisa melihat dia
melukis di studio miliknya, adalah hal yang takkan aku lupakan. Sesekali
Barbara meminta aku berdiri, berpose layaknya seekor sapi untuk dilukis. Aku
melakukannya dan menikmati setiap proses yang kami lakukan. Hasil lukisannya
juga sangat bagus, dan nanti, kata Barbara akan dipamerkan.
“Kau keberatan?”
tanya Barbara.
“Sama sekali
tidak. Aku sangat suka kau mengubahku menjadi sapi dalam lukisan.”
Kami tertawa dan Barbara
menirukan suara sapi. Sambil menenggak anggur dengan iringan musik Frank
Sinarta, malam gelap turun hujan, membasahi kota Chili. Barbara memandangku dan
berkata, “Sepertinya seseorang tidak pulang malam ini.”
“Semacam takdir
atau kutukan, ya?” tanyaku dan Barbara tertawa lagi. Aku sangat menyukainya ketika
tertawa karena dapat kulihat giginya yang putih dan garis di pipinya yang
indah. Sementara hujan semakin besar, Barbara menutup jendela. Aku duduk di
sofa dan Barbara masuk ke dalam pelukan.
“Aku pernah
melihat film Midnight in Paris,” katanya.
“Oh, ya. Aku tahu,
laki-laki itu selalu ingin berjalan di bawah hujan kota Paris.”
“Bagaimana
denganmu?”
“Hmmm. Sepertinya
aku lebih suka menjadi sapi yang memangku kekasihnya di atas sofa ketika
hujan.”
“Kau cukup nakal.”
Kami terlalu mabuk
atau aku saja yang sudah sangat mabuk sehingga tak lagi mengingat apa-apa
tentang kejadian malam itu. Tahu-tahu ketika siang, aku terjaga di rumah dengan
sebuah pesan singkat dari Barbara untuk menemuinya di salah satu restoran.
Segera aku bergegas dengan penuh semangat dan antusias, ingin mengetahui apa
yang telah aku lewatkan pada malam itu. Tetapi, ketika di restoran, obrolan
panjang telah usai begitu Barbara menyodorkan secarik kertas. Aku mengintipnya
dan melihat begitu banyak kata tercoret.
“Bacalah,” kata
Barbara.
Aku mengambil
kertas itu dan membaca. Ini semacam isi hati yang tak kukenali dari diri
Barbara. Memang, aku baru beberapa waktu bersamanya, tetapi aku tak pernah
menyangka dia akan menuliskan sesuatu yang membuatku sedih. Aku pikir dia
bercanda atau sengaja ingin menjahiliku. Tetapi, setelah selesai membaca sampai
nama Barbara tertera di pojok kanan bawah, aku tersenyum ke arah Barbara tetapi
dia berpaling membuang pandangan.
“Aku tak ingin ini
berlanjut,” ujar Barbara.
“Kau pasti
bercanda,” kataku.
Dia menggelengkan
kepala.
“Kenapa? Kau punya
orang lain?” tanyaku, cepat melihat matanya yang kuyakin menyimpan jawaban.
Barbara berpaling
dan tak lama pergi begitu saja. Tak ada yang bisa aku perbuat kecuali merenungi
waktu ketika ini terjadi begitu cepat. Dia telah pergi dan aku tak mengetahui
tujuannya. Apa yang telah membuat Barbara menjadi seperti ini dalam sekejap?
Semua ini seperti mimpi buruk.
Tak ada pesan
bahkan surat yang kuterima sejak itu. Aku tak mengerti apa yang telah salah
padaku. Barbara, seperti pencuri yang tidak bertanggung jawab. Dia bisa
melakukan segala hal, tetapi tidak seharusnya membuatku seperti ini.
Beberapa pameran
yang aku tahu melibatkan Barbara sebagai senimannya, kukunjungi dengan antusias.
Tetapi, nihil kehadiran sosoknya, kecuali lukisan-lukisan sapi yang di
antaranya terjual dengan harga mahal, adalah lukisan tubuhku yang dijadikan
bentuk sapi. Aku coba berkontak ke beberapa orang, termasuk kolektor yang
membeli karya Barbara, dengan maksud ingin membeli karyanya yang lain. Tetapi,
semua tak semudah itu. Aku diarahkan untuk menemui si A lalu si B dan
seterusnya dengan ketidakpastian dapat bertemu Barbara.
Beberapa isu
beredar belakangan, pelukis sapi jagal telah meninggalkan dunia melukis. Ia
hidup sendirian di sebuah pantai, dan menghabiskan hari-harinya untuk membaca
banyak buku. Awalnya kupikir bodoh mempercayai bahkan mendatangi tempat yang
tercipta dari gosip-gosip semacam itu. Tetapi aku tidak punya pilihan lain.
Karena setiap malam aku selalu terpikirkan akan Barbara, kuputuskan untuk
menjadi bodoh, bahkan terkutuk, tidak masalah.
Aku berangkat pada
senin pagi. Naik bus dan berjalan kaki menyusuri pantai. Beberapa pengunjung
dan pekerja sekitar kutanyai tentang seorang pelukis perempuan yang tinggal
baru-baru ini membeli sepetak tanah atau menyewa rumah. Tetapi tak ada jawaban
yang memuaskan. Barbara hilang begitu saja, seperti tak pernah ada.
Ketika lelah aku
beristirahat di pinggir pantai. Ombak menyapu basah tubuhku yang saat ini kehausan
serta kesepian. Angin bebisisik ke telingaku, bahwa Barbara benar-benar ingin
melupakan aku. Kukatakan pada angin dan ombak laut, itu bukanlah persoalan,
melainkan aku harus tahu apa alasannya. Semua ini sia-sia, bahkan aku merasa
konyol dan gila.
Pulang ke rumah,
aku masih berharap ada satu surat dari Barbara yang dikirimkannya, atau
keajaiban mustahil seperti kudapati dia telah tertidur manja di atas ranjangku.
Kubayangkan dia tersenyum dan memelukku seperti kali pertama kami berpelukan.
Hangat dan tak terlupakan.
***
Aku memesan kopi seperti pesanan ketika aku menunggu Barbara keluar dari ruang pameran. Duduk menunggu kopi itu dingin, kuhabiskan waktu untuk berdiam diri. Pada jendela ketika pertama aku melihat Barbara turun dari taksi lalu berjalan perlahan ke arah mejaku, aku masih dapat mendengar suaranya yang bertanya, tidak terlalu lama, kan? Aku tersenyum dan ingin sekali mengatakan padanya, bahwa aku pernah menunggu untuk hal yang lebih lama, bahkan tetap akan menunggu lebih lama lagi. Tetapi itu tidak pernah tersampaikan. Bahkan tidak ada Barbara yang turun dari taksi, berjalan ke arahku kecuali laki-laki yang penuh semangat. Ia berjalan perlahan dan duduk mantap lalu memesan secangkir kopi. Aku melihat dia memanggil pelayan dan tak sengaja kami bertemu pandang. Ia tersenyum ke arahku.