Ingatan - Yudhi Herwibowo

@kontributor 11/20/2022

Ingatan

Yudhi Herwibowo



Yang kuingat tentang diriku adalah: aku laki-laki tua yang betah berlama-lama duduk di kursi reyot di depan sebuah kolam ikan yang airnya nyaris kering, dan hanya menyisakan beberapa ekor ikan sapu-sapu.

Hanya itu saja! 

Aku tentu mencoba mengingat yang lainnya. Tapi itu malah membuat kepalaku menjadi sakit. Jadi aku memilih menikmati pemandangan di depanku saja. Sama seperti aku menikmati daun-daun pohon asem yang berjatuhan menimpaku di sudut yang lain. Bisa kuhabiskan waktuku di dua tempat itu, sejak pagi –saat para petugas mengizinkan kami ke luar ruangan– sampai ketika waktuku kembali ke kamar. Walau pada kenyataannya, di sini, di halaman yang luas ini, aku sebenarnya merasa cukup dengan adanya semilir angin dan bisikannya yang lembut. Semua seperti sudah kupahami demikian adanya.

 Mungkin, semua itu karena aku telah merasa begitu lelah mencari tahu. Padahal di sini, selalu ada orang-orang dengan pakaian sama sepertiku. Aku bisa saja bertanya pada mereka semua. Tapi mereka tampaknya hanya ingin menyendiri.

 Dulu, aku selalu mencoba mengenali mereka semua. Kupikir saat pertama kali tiba di tempat ini, aku merasa ini akan jadi tempatku yang terakhir. Perjalananku yang entah berawal dari mana, usai di sini. Jadi membina perkawanan adalah salah satu jalan untuk menghabiskan waktu di sini. Tapi rupanya aku salah.

 Di sini, tak mudah membina hubungan perkawanan. Semua orang nampak aneh dan sibuk dengan dirinya sendiri. Orang yang biasanya cukup bisa diajak bicara hanyalah para perawat dan dokter yang sesekali datang. Maka itulah, dulu, setiap aku gagal mengingat-ingat sesuatu sampai membuat rasa sakit di kepalaku, aku akan memohon pada salah satu dari mereka untuk menceritakan tentang diriku. Tapi mereka semua hanya berkata, “Jangan terlalu dipikirkan. Nikmati saja hari-harimu di sini. Berbincang dengan kawan-kawanmu, atau membaca, dan menyanyi...”

 Jadi yang bisa kulakukan di sini memanglah hanya berdiam diri. Atau sesekali mendekatkan wajahku pada genangan air di kolam yang memantulkannya, lalu semakin menyadari kalau aku hanyalah laki-laki tua yang betah berlama-lama duduk di kursi reyot di depan sebuah kolam ikan yang airnya nyaris kering, dan hanya menyisakan beberapa ekor ikan sapu-sapu...

Kupikir otakku semakin tergerus. Membuat ingatanku lenyap seluruhnya. Aku bahkan tak mengingat namaku, bila para petugas itu tak memanggilku, “Bapak Arumba.” Tapi dengan nama apa pun aku dipanggil, itu tetap tak membuatku teringat apa-apa.

 Tapi kemudian aku menyadari satu hal, bila keinginanku yang begitu kuat agar ingatanku dapat kembali, segala hal yang ada di sekelilingku akan bersepakat akan membantunya, minimal mereka memberi tanda untuk itu!

 Seperti hari ini, laki-laki berbadan besar itu seperti datang tiba-tiba saja dengan pandangannya yang sangat tajam. Karena aku merasa tak mengenalnya, aku tak memperdulikannya. Kupikir ia pastilah hanya seorang penghuni baru di sini.

 Tapi begitu ia ada di dekatku, ia segera melompat dan mencekik leherku. “Matilah kau, Pembunuh!” teriaknya.

 Aku segera berteriak sambil memberontak sekuat tenaga. Para perawat yang ada di sekitar situ, segera bertindak. Laki-laki itu dapat segera diringkus, dan dibawa pergi. Tapi kepergiannya menyisakan banyak pertanyaan di kepalaku. Kenapa ia berteriak pembunuh kepadaku? Bagaimana seorang gila seperti itu bisa ada di sini? Bukankah ini adalah tempat peristirahatan orang-orang yang sedang sakit?

 Namun di sisi yang lain, setiap mengingat kemarahan laki-laki itu, sebuah pertanyaan lain mulai merayapi ingatanku: Apa mungkin, aku memang seorang pembunuh?

 Di hari yang lain, aku memilih berjalan-jalan agak jauh dari tempat biasanya aku menghabiskan waktu. Saat aku tiba di batas paling ujung halaman ini, aku melihat sebilah belati tertancap di sebatang pohon yang telah kering dan mati.

 Harusnya itu jadi pemandangan biasa saja. Selalu ada tukang-tukang yang teledor meninggalkan perkakas kerja mereka. Mungkin seperti tukang kebun halaman ini yang meninggalkan belatinya di sebatang pohon mati. Tapi saat aku akan meninggalkannya, kepalaku tba-tiba terasa begitu sakit, seiring munculnya kelebatan ingatan-ingatan tentang sebilah belati, yang hampir sama dengan yang ada di pohon itu. Belati yang terayun dari tangan, terayun berkali-kali! Kilatannya yang semula terlihat jelas, berangsur hilang tertutupi darah. Seiring suara teriakan perempuan, yang semula terdengar lantang penuh berontak, berangsur lenyap menyatu dengan keheningan.

 Aku sudah tejatuh di atas lututku. Bersamaan rasa sakit di kepala, tetesan keringat membasahi keningku. Tanganku gemetar. Dadaku terasa sesak. Sungguh, di antara semua ingatan yang tiba-tiba datang, jelas sekali kulihat seraut wajah si pengayun belati. Itu adalah wajahku!

 Tubuhku seketika menggigil. Ketakutan yang tak pernah kurasakan selama ini, seperti mencengkeram leherku. Terlebih saat ingatanku mulai menunjukkan kelebatan wajah-wajah perempuan yang semuanya bersimbah darah.

 “Pak Arumba, sedang apa Anda di sini!” Seseorang perawat yang mendekatiku, langsung membuat suasana mengerikan yang melingkupiku, seketika lenyap. Seiring diriku yang mulai tak sadarkan diri. 

Sejak hari itu, ketakutanku pada ingatan-ingatan masa lalu, mulai kerap muncul. Ini terasa aneh. Dulu aku seperti tak henti mencoba mengulik-nguliknya, namun kini saat aku melihat sebagian saja, aku seperti menyesali keingintahuanku dulu.

 Kedamaian hari-hariku seperti tak lagi bisa kudapat. Bahkan saat melihat ikan sapu-sapu yang semakin tak bisa bergerak, karena air di kolam semakin sedikit, aku merasa ada ketakutan akan kematian yang merayapi ikan-ikan malang itu. Keadaannya sungguh sama seperti saat aku memilih duduk di bawah pohon asem di sudut lainnya. Cericit burung yang biasa menentramkanku kini terasa lain...

 Cit ciiiit ciiiiit... Kau yang membunuh mereka!

 Cit ciiiit ciiiiit... Itulah mengapa kau ada di sini!

 Aku memejamkan mata dan menutup telingaku. Sampai lama aku dalam keadaan seperti itu. Baru beberapa saat kemudian, aku mulai berani membuka mata dan telingaku. Saat itulah kudengar suara ledakan keras dari arah belakang gedung. Disusul hancurnya kaca-kaca di sekitarnya.

 Seketika aku kembali meringkuk dalam ketakutanku. Teriakanku seperti tenggelam dengan hiruk pikuk di sekitarku. Aku bahkan tak mendengar suara-suara orang-orang di sekitar gedung yang sedang memadamkan api.

 “Ada apa ini?”

 “Ada kompor meledak!”

 Aku sudah ada dalam ketakutanku sendiri. Lalu –tanpa bisa kuelak– ingatan-ingatan itu pun mulai datang lagi...

 Aku ingat ada di suatu masa, saat aku mengendarai mobilku dengan kecepatan penuh, sebelum seorang polisi dengan nekat menabrakkannya dengan mobilnya agar dapat menghentikanku. Mobilku hancur dan aku yang setengah terluka, memutuskan keluar dari mobil dan berlari ke arah hutan.

 Aku tahu belasan polisi mengejarku. Beberapa tembakan peringatan pun kudengar. Tapi aku tak peduli. Aku terus berlari. Hanya dengan terus berlari sejauh mungkin, aku bisa lolos dari mereka.

 Lalu sebuah letusan sekali lagi terdengar. Sangat keras. Seperti begitu dekat di telingaku. Seiring rasa perih di kepalaku. Sedetik kemudian, aku sudah tersungkur dan tak ingat apa-apa lagi.

 Aku kemudian baru menyadari, kenapa selama ini tak ada seorang pun yang mau berkawan denganku, walau dulu aku sudah mencoba mengakrabi mereka semua. Aku pastilah pembunuh para perempuan itu, dan sebuah tembakan di kepala yang seharusnya menewaskanku, malah membuatku melupakan semua yang sudah kulakukan.

 Aku sebenarnya tak yakin dengan kesimpulan seperti itu. Bagaimana bisa aku menjadi pelaku pembunuhan itu? Apa yang salah dengan para perempuan itu sehingga aku bisa melakukan perbuatan mengerikan itu pada mereka?

 Jadi saat seorang perawat, yang kuanggap paling baik dari seluruh perawat, sedang ada di dekatku, aku pun bertanya padanya, “Apakah... dulu aku seorang pembunuh? Pembunuh dari belasan perempuan? Pembunuh... berantai?”

 Perawat itu terkejut. Suntikan yang ada di tangannya sampai terlepas. Walau ia tak mau menjawab pertanyaanku, tapi reaksinya sudah cukup menjadi jawaban bagiku.

 Detik itulah, aku mulai merasa, tak lagi layak untuk hidup!

 Beberapa tahun kemudian, ada tamu yang datang berkunjung untukku. Sekian lama berada di sini, tak pernah ada tamu untukku, jadi aku sedikit merasa heran. Beberapa tamu yang sempat mengunjungi selama ini hanyalah: para polisi yang dulu bertugas menangkapku –yang tampaknya tak sepenuhnya ikhlas dengan keputusan hakim yang membuatku tidak dihukum mati– secara rutin mengecek keadaanku. Tamu lainnya adalah orang tua para korban, yang datang hanya untuk memaki-maki diriku. Tentu karena waktu itu aku masih tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, aku hanya bisa menatap mereka dengan tak mengerti. Tamu lainnya yang secara rutin datang adalah seorang pendeta yang selalu mengajakku bertobat. Aku tentu menurutinya, walau waktu itu aku pun tak tahu harus bertobat untuk apa.

 Dan kini tamu itu adalah seorang perempuan yang datang bersama seorang laki-laki. Awalnya kupikir ia salah satu saudara korban. Tapi kemudian dari balik kaca pemisah, ia berkata, “Ayah, ini aku, Risabel. Apakah ayah mengingatku?”

 Aku tertegun. Tentu aku tak mengingat bila memiliki seorang anak perempuan. Bertahun-tahun aku di sini, ia tak pernah sekali pun muncul. Tapi tentu tak sopan bila aku menjawab tak mengingatnya, bagaimana pun bisa jadi ia adalah anakku. Jadi aku mengangguk saja.

 “Kedatanganku ke sini... untuk meminta tanda tangan ayah.” Ia menyodorkan surat-surat ke celah kaca. “Aku... hendak menjual rumah ayah.”

 Aku terdiam memandangi surat itu. Sebenarnya kejadian-kejadian ini sebuah kejutan untukku. Ingatanku bahkan belum mengingatkannya padaku.

 “Maafkan aku ayah. Tak seharusnya aku baru datang sekarang. Bagaimana pun, dulu ayah adalah ayah yang baik untukku. Tapi sejak ayah ditangkap, hidupku begitu merana. Semua orang... seperti memusuhiku... Itulah kenapa aku sempat membenci ayah sekian lama!” ia menundukkan kepalanya sambil terisak. “Tapi sekarang aku akan menikah ayah, dan aku butuh uang untuk masa depanku. Jadi aku terpaksa datang lagi ke kota ini, untuk menjual rumah ayah. Maafkan aku.”

 Aku menggeleng pelan. Aku tahu ia tak seharusnya meminta maaf. Walau tak ada sedikit pun yang kuingat tentangnya, tapi aku bisa membayangkan kehidupannya yang menderita selama ini karena menjadi anakku!

 Jadi tanpa banyak bicara lagi, aku menandatangani berkas-berkas yang diminta olehnya. Setelah selesai, ia segera mengemasinya. Saat itulah aku melihat laki-laki yang duduk di sampingnya. Aku tentu merasa kagum padanya, yang masih mau mencintai putriku, walau ia tahu ayahnya pembunuh seperti diriku.

 Tapi entah kenapa saat melihat senyumnya, tubuhku tiba-tiba terasa kaku. Entahlah, aku seperti melihat diriku dalam cermin buram. Senyumnya, sinar matanya, dan aura yang memancar dari seluruh tubuhnya...

 Seketika tubuhku menggigil. Satu hal yang paling kuingat selepas ingatan tentang masa laluku mulai datang adalah: seorang pembunuh selalu mengenali pembunuh lainnya!

 ***

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »