Ingatan
Yudhi Herwibowo
Yang kuingat tentang diriku adalah:
aku laki-laki tua yang betah berlama-lama duduk di kursi reyot di depan sebuah
kolam ikan yang airnya nyaris kering, dan hanya menyisakan beberapa ekor ikan
sapu-sapu.
Hanya
itu saja!
Aku
tentu mencoba mengingat yang lainnya. Tapi itu malah membuat kepalaku menjadi
sakit. Jadi aku memilih menikmati pemandangan di depanku saja. Sama seperti aku
menikmati daun-daun pohon asem yang berjatuhan menimpaku di sudut yang lain. Bisa
kuhabiskan waktuku di dua tempat itu, sejak pagi –saat para petugas mengizinkan
kami ke luar ruangan– sampai ketika waktuku kembali ke kamar. Walau pada
kenyataannya, di sini, di halaman yang luas ini, aku sebenarnya merasa cukup
dengan adanya semilir angin dan bisikannya yang lembut. Semua seperti sudah
kupahami demikian adanya.
Mungkin,
semua itu karena aku telah merasa begitu lelah mencari tahu. Padahal di sini,
selalu ada orang-orang dengan pakaian sama sepertiku. Aku bisa saja bertanya
pada mereka semua. Tapi mereka tampaknya hanya ingin menyendiri.
Dulu,
aku selalu mencoba mengenali mereka semua. Kupikir saat pertama kali tiba di
tempat ini, aku merasa ini akan jadi tempatku yang terakhir. Perjalananku yang
entah berawal dari mana, usai di sini. Jadi membina perkawanan adalah salah
satu jalan untuk menghabiskan waktu di sini. Tapi rupanya aku salah.
Di
sini, tak mudah membina hubungan perkawanan. Semua orang nampak aneh dan sibuk
dengan dirinya sendiri. Orang yang biasanya cukup bisa diajak bicara hanyalah
para perawat dan dokter yang sesekali datang. Maka itulah, dulu, setiap aku
gagal mengingat-ingat sesuatu sampai membuat rasa sakit di kepalaku, aku akan
memohon pada salah satu dari mereka untuk menceritakan tentang diriku. Tapi
mereka semua hanya berkata, “Jangan terlalu dipikirkan. Nikmati saja
hari-harimu di sini. Berbincang dengan kawan-kawanmu, atau membaca, dan
menyanyi...”
Jadi
yang bisa kulakukan di sini memanglah hanya berdiam diri. Atau sesekali
mendekatkan wajahku pada genangan air di kolam yang memantulkannya, lalu
semakin menyadari kalau aku hanyalah laki-laki tua yang betah berlama-lama
duduk di kursi reyot di depan sebuah kolam ikan yang airnya nyaris kering, dan
hanya menyisakan beberapa ekor ikan sapu-sapu...
Kupikir
otakku semakin tergerus. Membuat ingatanku lenyap seluruhnya. Aku bahkan tak
mengingat namaku, bila para petugas itu tak memanggilku, “Bapak Arumba.” Tapi
dengan nama apa pun aku dipanggil, itu tetap tak membuatku teringat apa-apa.
Tapi
kemudian aku menyadari satu hal, bila keinginanku yang begitu kuat agar
ingatanku dapat kembali, segala hal yang ada di sekelilingku akan bersepakat
akan membantunya, minimal mereka memberi tanda untuk itu!
Seperti
hari ini, laki-laki berbadan besar itu seperti datang tiba-tiba saja dengan
pandangannya yang sangat tajam. Karena aku merasa tak mengenalnya, aku tak
memperdulikannya. Kupikir ia pastilah hanya seorang penghuni baru di sini.
Tapi
begitu ia ada di dekatku, ia segera melompat dan mencekik leherku. “Matilah
kau, Pembunuh!” teriaknya.
Aku
segera berteriak sambil memberontak sekuat tenaga. Para perawat yang ada di
sekitar situ, segera bertindak. Laki-laki itu dapat segera diringkus, dan
dibawa pergi. Tapi kepergiannya menyisakan banyak pertanyaan di kepalaku.
Kenapa ia berteriak pembunuh kepadaku? Bagaimana seorang gila seperti itu bisa
ada di sini? Bukankah ini adalah tempat peristirahatan orang-orang yang sedang
sakit?
Namun
di sisi yang lain, setiap mengingat kemarahan laki-laki itu, sebuah pertanyaan
lain mulai merayapi ingatanku: Apa mungkin, aku memang seorang pembunuh?
Di
hari yang lain, aku memilih berjalan-jalan agak jauh dari tempat biasanya aku
menghabiskan waktu. Saat aku tiba di batas paling ujung halaman ini, aku
melihat sebilah belati tertancap di sebatang pohon yang telah kering dan mati.
Harusnya
itu jadi pemandangan biasa saja. Selalu ada tukang-tukang yang teledor
meninggalkan perkakas kerja mereka. Mungkin seperti tukang kebun halaman ini
yang meninggalkan belatinya di sebatang pohon mati. Tapi saat aku akan
meninggalkannya, kepalaku tba-tiba terasa begitu sakit, seiring munculnya
kelebatan ingatan-ingatan tentang sebilah belati, yang hampir sama dengan yang
ada di pohon itu. Belati yang terayun dari tangan, terayun berkali-kali! Kilatannya
yang semula terlihat jelas, berangsur hilang tertutupi darah. Seiring suara
teriakan perempuan, yang semula terdengar lantang penuh berontak, berangsur
lenyap menyatu dengan keheningan.
Aku
sudah tejatuh di atas lututku. Bersamaan rasa sakit di kepala, tetesan keringat
membasahi keningku. Tanganku gemetar. Dadaku terasa sesak. Sungguh, di antara
semua ingatan yang tiba-tiba datang, jelas sekali kulihat seraut wajah si
pengayun belati. Itu adalah wajahku!
Tubuhku
seketika menggigil. Ketakutan yang tak pernah kurasakan selama ini, seperti mencengkeram
leherku. Terlebih saat ingatanku mulai menunjukkan kelebatan wajah-wajah
perempuan yang semuanya bersimbah darah.
“Pak
Arumba, sedang apa Anda di sini!” Seseorang perawat yang mendekatiku, langsung
membuat suasana mengerikan yang melingkupiku, seketika lenyap. Seiring diriku
yang mulai tak sadarkan diri.
Sejak
hari itu, ketakutanku pada ingatan-ingatan masa lalu, mulai kerap muncul. Ini
terasa aneh. Dulu aku seperti tak henti mencoba mengulik-nguliknya, namun kini
saat aku melihat sebagian saja, aku seperti menyesali keingintahuanku dulu.
Kedamaian
hari-hariku seperti tak lagi bisa kudapat. Bahkan saat melihat ikan sapu-sapu
yang semakin tak bisa bergerak, karena air di kolam semakin sedikit, aku merasa
ada ketakutan akan kematian yang merayapi ikan-ikan malang itu. Keadaannya
sungguh sama seperti saat aku memilih duduk di bawah pohon asem di sudut
lainnya. Cericit burung yang biasa menentramkanku kini terasa lain...
Cit
ciiiit ciiiiit... Kau yang membunuh mereka!
Cit
ciiiit ciiiiit... Itulah mengapa kau ada di sini!
Aku
memejamkan mata dan menutup telingaku. Sampai lama aku dalam keadaan seperti
itu. Baru beberapa saat kemudian, aku mulai berani membuka mata dan telingaku.
Saat itulah kudengar suara ledakan keras dari arah belakang gedung. Disusul
hancurnya kaca-kaca di sekitarnya.
Seketika
aku kembali meringkuk dalam ketakutanku. Teriakanku seperti tenggelam dengan
hiruk pikuk di sekitarku. Aku bahkan tak mendengar suara-suara orang-orang di
sekitar gedung yang sedang memadamkan api.
“Ada
apa ini?”
“Ada
kompor meledak!”
Aku
sudah ada dalam ketakutanku sendiri. Lalu –tanpa bisa kuelak– ingatan-ingatan
itu pun mulai datang lagi...
Aku
ingat ada di suatu masa, saat aku mengendarai mobilku dengan kecepatan penuh,
sebelum seorang polisi dengan nekat menabrakkannya dengan mobilnya agar dapat
menghentikanku. Mobilku hancur dan aku yang setengah terluka, memutuskan keluar
dari mobil dan berlari ke arah hutan.
Aku
tahu belasan polisi mengejarku. Beberapa tembakan peringatan pun kudengar. Tapi
aku tak peduli. Aku terus berlari. Hanya dengan terus berlari sejauh mungkin,
aku bisa lolos dari mereka.
Lalu
sebuah letusan sekali lagi terdengar. Sangat keras. Seperti begitu dekat di
telingaku. Seiring rasa perih di kepalaku. Sedetik kemudian, aku sudah
tersungkur dan tak ingat apa-apa lagi.
Aku
kemudian baru menyadari, kenapa selama ini tak ada seorang pun yang mau
berkawan denganku, walau dulu aku sudah mencoba mengakrabi mereka semua. Aku
pastilah pembunuh para perempuan itu, dan sebuah tembakan di kepala yang
seharusnya menewaskanku, malah membuatku melupakan semua yang sudah kulakukan.
Aku
sebenarnya tak yakin dengan kesimpulan seperti itu. Bagaimana bisa aku menjadi
pelaku pembunuhan itu? Apa yang salah dengan para perempuan itu sehingga aku
bisa melakukan perbuatan mengerikan itu pada mereka?
Jadi
saat seorang perawat, yang kuanggap paling baik dari seluruh perawat, sedang
ada di dekatku, aku pun bertanya padanya, “Apakah... dulu aku seorang pembunuh?
Pembunuh dari belasan perempuan? Pembunuh... berantai?”
Perawat
itu terkejut. Suntikan yang ada di tangannya sampai terlepas. Walau ia tak mau
menjawab pertanyaanku, tapi reaksinya sudah cukup menjadi jawaban bagiku.
Detik
itulah, aku mulai merasa, tak lagi layak untuk hidup!
Beberapa
tahun kemudian, ada tamu yang datang berkunjung untukku. Sekian lama berada di
sini, tak pernah ada tamu untukku, jadi aku sedikit merasa heran. Beberapa tamu
yang sempat mengunjungi selama ini hanyalah: para polisi yang dulu bertugas
menangkapku –yang tampaknya tak sepenuhnya ikhlas dengan keputusan hakim yang
membuatku tidak dihukum mati– secara rutin mengecek keadaanku. Tamu lainnya
adalah orang tua para korban, yang datang hanya untuk memaki-maki diriku. Tentu
karena waktu itu aku masih tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, aku hanya bisa
menatap mereka dengan tak mengerti. Tamu lainnya yang secara rutin datang
adalah seorang pendeta yang selalu mengajakku bertobat. Aku tentu menurutinya,
walau waktu itu aku pun tak tahu harus bertobat untuk apa.
Dan
kini tamu itu adalah seorang perempuan yang datang bersama seorang laki-laki.
Awalnya kupikir ia salah satu saudara korban. Tapi kemudian dari balik kaca
pemisah, ia berkata, “Ayah, ini aku, Risabel. Apakah ayah mengingatku?”
Aku
tertegun. Tentu aku tak mengingat bila memiliki seorang anak perempuan. Bertahun-tahun
aku di sini, ia tak pernah sekali pun muncul. Tapi tentu tak sopan bila aku
menjawab tak mengingatnya, bagaimana pun bisa jadi ia adalah anakku. Jadi aku
mengangguk saja.
“Kedatanganku
ke sini... untuk meminta tanda tangan ayah.” Ia menyodorkan surat-surat ke
celah kaca. “Aku... hendak menjual rumah ayah.”
Aku
terdiam memandangi surat itu. Sebenarnya kejadian-kejadian ini sebuah kejutan
untukku. Ingatanku bahkan belum mengingatkannya padaku.
“Maafkan
aku ayah. Tak seharusnya aku baru datang sekarang. Bagaimana pun, dulu ayah
adalah ayah yang baik untukku. Tapi sejak ayah ditangkap, hidupku begitu
merana. Semua orang... seperti memusuhiku... Itulah kenapa aku sempat membenci
ayah sekian lama!” ia menundukkan kepalanya sambil terisak. “Tapi sekarang aku
akan menikah ayah, dan aku butuh uang untuk masa depanku. Jadi aku terpaksa
datang lagi ke kota ini, untuk menjual rumah ayah. Maafkan aku.”
Aku
menggeleng pelan. Aku tahu ia tak seharusnya meminta maaf. Walau tak ada
sedikit pun yang kuingat tentangnya, tapi aku bisa membayangkan kehidupannya
yang menderita selama ini karena menjadi anakku!
Jadi
tanpa banyak bicara lagi, aku menandatangani berkas-berkas yang diminta
olehnya. Setelah selesai, ia segera mengemasinya. Saat itulah aku melihat
laki-laki yang duduk di sampingnya. Aku tentu merasa kagum padanya, yang masih
mau mencintai putriku, walau ia tahu ayahnya pembunuh seperti diriku.
Tapi
entah kenapa saat melihat senyumnya, tubuhku tiba-tiba terasa kaku. Entahlah,
aku seperti melihat diriku dalam cermin buram. Senyumnya, sinar matanya, dan
aura yang memancar dari seluruh tubuhnya...
Seketika
tubuhku menggigil. Satu hal yang paling kuingat selepas ingatan tentang masa
laluku mulai datang adalah: seorang pembunuh selalu mengenali pembunuh lainnya!
***
Share this