Menulis Itu Bukan Pekerjaan Gampang! - Tjahjono Widarmato

@kontributor 11/20/2022

Menulis Itu Bukan Pekerjaan Gampang!

Tjahjono Widarmato


 

Walau almarhum Arswendo Atmowiloto pernah mengatakan bahwa ‘menulis itu gampang’. Namun sesungguhnya pekerjaan menulis bukanlah persoalan yang mudah apalagi remeh temeh. Kalimat yang diucapkan almarhum Mas Wendo tersebut, mungkin hanya sekedar ‘guyonan’ atau kelakar. Mungkin pula, kalimat tersebut dicetuskan untuk pembangkit atau dorongan atau semacam motivasi bagi seseorang yang hendak berhasrat memasuki dunia tulis-menulis. Dalam kenyataannya, menulis memang bukan pekerjaan gampang. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya jumlah penulis di Indonesia. Aktivitas menulis belum menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat kita. Jangankan di dalam masyarakat umum, dalam jagat akademis  dan intelektual kita, dunia pelajar (“sekolahan”) di sekolah menengah, bahkan pendidikan tinggi aktivitas menulis belum menjadi tradisi.

Marilah kita lihat, dunia pendidikan kita memiliki ribuan jumlah sekolah menengah atas, dan ratusan jumlah pendidikan tinggi, baik negeri maupun swasta. Semestinya dari jumlah lembaga pendidikan menengah dan sekolah tinggi yang ribuan itu sanggup membentuk tradisi menulis yang mapan, yang secara otomatis dan signifikan seharusnya melahirkan ribuan penulis pula. Semestinya sebagai sebuah lembaga intelektual, sekolah dan pendidikan tinggi mampu menciptakan kondisi semacam itu. Tapi kenyataannya jauh panggang dari api. Ini tentu saja hal yang aneh, mengingat bahwa setiap pendidikan tinggi mengisyaratkan kelulusan mahasiswanya dengan ujian skripsi atau tesis, yang logikanya setiap mahasiswa yang telah lulus seharusnya berarti memiliki kemampuan menulis yang mumpuni.

            Wilayah kaum cendikia atau intelektual yang lain, misalnya dalam lingkungan guru atau dosen pun ternyata tidak terbentuk tradisi menulis yang baik. Guru banyak yang kedodoran dalam menulis sehingga ia harus ‘nembak’ sana-sini untuk mencari jasa menuliskan laporan ilmiah atau membuatkan karya tulisnya saat hendak naik pangkat.

            Persoalan tidak terbentuknya tradisi menulis kita sudah banyak disampaikan. Banyak penelitian atau pakar yang sedari dulu sudah menunjukkan betapa lemahnya tradisi keberaksaraan kita. Mereka mengetengahkan berbagai pendapat dan teori mengapa tradisi menulis kita lemah. Ada yang berpedapat kita masih dikungkung tradisi lisan dan belum menguasai tradisi tulis. Pun ada yang berpendapat pendidikan sebagai kambing hitamnya atau berderet pendapat lain. Saat gelombang zaman diayun oleh gelombang globalisasi dan digitalisasi yang menyebabkan manusia bergeser dari alih wahana teks konvensional (cetak) salin rupa ke digitalisasi ini pun, kita masih belum mampu keluar dari perosok kelisanan.

            Tulisan ini tentu saja tak akan menyoal sebab-musabab mengapa tradisi keberaksaraan (baca-tulis) kita begitu lemah. Tulisan ini hanya akan menyoal mengapa aktivitas menulis itu masih menjadi tamu asing dalam kehidupan kita.

            Jumlah penulis kita masih terbilang sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Jumlah penulis kita masih amat sedikit karena realitanya menulis memang bukan pekerjaan gampang. Logikanya, kalau menulis itu gampang maka banyak sekali orang menjadi penulis atau setidaknya mengekspresikan idenya melalui tulisan.

            Mengapa menulis itu bukan pekerjaan gampang?

            Menulis itu bukan pekerjaan gampang, karena pertama, menulis itu pekerjaan yang serius. Pekerjaan serius itu artinya menulis bukan aktivitas main-main namun membutuhkan kesungguhan hati dan pengorbanan. Karena bukan aktivitas main-main maka menulis membutuhkan totalitas, perhatian, kreativitas dan konsentrasi tingkat tinggi. Sehingga saat seseorang memulai aktivitas menulisnya, ia tidak bisa nyambi dengan aktivitas lain. Pengorbanan waktu bahkan dana menjadi resiko tinggi bagi seorang penulis.

            Kedua, menulis bukan pekerjaan gampang karena aktivitas menulis menuntut ketajaman berpikir dan kemampuan mengorganisasi pikiran dengan cermat dan tepat. Tak semua orang sanggup menulis karena tidak semua orang memiliki kemampuan berpikir kritis. Semua penulis adalah pemikir kritis. Seseorang yang berpikir kritis dengan otomatis mampu mengidenifikasi persoalan dengan baik dan melihat persoalan itu dengan betul. Kemampuannya melihat persoalan dengan betul akan menjadikannya memiliki daya analisis yang baik. Kemampuan menganalisis itu menjadikannya memiliki persepsi yang jelas/ Persepsi yang jelas, tak hanya membantu mengetengahkan persoalan namun juga mendorong secara kritis mengevaluasi persoalan tersebut dan melahirkan opini kritis dengan berbagai argumen yang memikat. Ketajaman berpikir ini pun mendorong kemampuan mengorganisasikan pikiran sehingga bisa sistematis, jernih dan logis. Organisasi pikiran yang baik akan tercermin dalam tulisan yang jelas, fokus, sistematis dan memikat. Sebaliknya kemampuan mengorganisasikan pikiran yang lemah menyebabkan tulisan menjadi kabur fokusnya, tidak sistematis, ruwet, tidak memiliki argumen, mengulang-ulang dan gagal menyampaikan opini atau menarik simpulan yang baik.

            Menulis bukan pekerjaan gampang juga karena faktor ketiga ini: lemahnya data. Seorang penulis yang baik adalah seorang kolektor data yang lengkap. Data dalam pengertian ini adalah referensi atau acuan. Referensi seorang penulis bisa berupa buku rujukan, teori, dokumentasi kliping dan berbagai pendapat pakar. Untuk memiliki data yang kuat dan lengkap, maka setiap penulis yang baik harus menjadi pembaca yang baik. Sebelum menjadi penulis yang baik, seseorang harus terlebih dulu menjadi pembaca yang baik. Sebelum menjadi penulis, ia harus memiliki tradisi membaca dengan baik. Kenyataannya, tidak banyak orang mampu memiliki tradisi membaca yang baik, dan tak semua orang memiliki kemampuan membaca dengan baik.

            Keempat, menulis bukan merupakan pekerjaan yang gampang karena menulis membutuhkan kemampuan penguasaan bahasa yang tinggi. Menulis adalah bentuk komunikasi bahasa, dalam hal ini adalah bahasa tulis. Ketika seseorang menulis pada hakikatnya ia sedang melakukan tindak bahasa, sehingga syarat mutlak menjadi penulis adalah menguasai bahasa sebagai sarana utama dalam aktivitas menulis. Lucu sekali, kalau hendak menulis artikel atau cerpen berbahasa Jawa atau bahasa Perancis tetapi tidak menguasai bahasa Jawa atau bahasa Perancis.

            Perlu diingat bahwa menulis adalah bentuk komunikasi tulis bukan lisan. Ide yang disodorkan atau dikomunikasikan berwujud bahasa tulis. Bahasa tulis jauh berbeda dengan bahasa lisan. Seseorang yang pandai berbahasa lisan, yang cakap berbicara; belum tentu mampu menulis dengan baik. Bahasa tulis menuntut penguasaan gramatikal yang tepat, tata kalimat yang benar, ejaan yang benar dan pilihan diksi yang tepat. Seorang penulis yang baik juga harus mampu memanfaatkan berbagai ragam bahasa untuk digunakan sesuai tuntutan genre tulisan yang akan dibuatnya. Ia harus menguasai tatabahasa dan kaidah bahasa yang formal atau baku, saat menulis karya ilmiah. Di kesempatan lain, ia mampu menggunakan ragam bahasa sastra yang memiliki kekuatan estetika saat menulis teks sastra. Di sisi lain, saat hendak menulis genre tulisan artikel populer, ia harus mampu menulis dengan bahasa yang santai, ringan, namun sugestif tanpa kehilangan kemampuan menyodorkan argumen.

            Yang lebih penting, kemampuan penguasaan bahasa yang tinggi menunjukkan tingkat kemampuan berlogika. Kekurangmampuan menguasai dan memberdayakan bahasa menunjukkan ketumpulan berlogika. Seseorang yang pikirannya ruwet dan tumpul,  jelas tidak mungkin menggunakan bahasa dengan baik dan tepat.

            Kelima, pekerjaan menulis bukan pekerjaan gampang karena membutuhkan keberanian. Banyak orang gagal menjadi penulis karena dihantui ketakutan-ketakutan. Mereka takut tulisannya dianggap tidak bermutu. Takut tulisannya tidak ilmiah. Takut tulisannya tidak menarik. Takut tulisannya dianggap sampah. Takut tulisannya dianggap tidak berbobot. Karena berbagai ketakutan tersebut, mereka tidak berani mempublikasikan tulisannya. Hanya menyimpannya di map atau laci meja, hanya dibaca sendiri, dinikmati sendiri, puas sendiri. Pada akhirnya, ketakutan-ketakutan itu akan membunuh kreativitas dan puncaknya mematikan keinginan untuk menulis. Hanya mereka yang ‘beranilah’ yang dapat menyandang gelar penulis.

            Kelima hal di atas jelas-jelas menunjukkan bahwa menulis adalah pekerjaan yang sulit! Menulis bukan pekerjaan gampang! Menulis bukan pekerjaan instan, apalagi hanya mengandalkan keberuntungan dan nasib. Menulis adalah proses panjang, bahkan sangat panjang. Tak hanya panjang, tapi juga melelahkan. Mereka yang setia dan terus berkhidmat tanpa putus asa melakoni  proses panjang itulah yang akan berhasil menaklukan kelima faktor peyebab sulitnya menulis itu.

            Sekali lagi, menulis bukan pekerjaan yang gampang! Hanya mereka yang terujilah yang mampu menaklukkannya! Selamat berjuang...

 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »