Menulis Itu Bukan Pekerjaan Gampang!
Tjahjono Widarmato
Walau almarhum Arswendo Atmowiloto pernah mengatakan bahwa
‘menulis itu gampang’. Namun sesungguhnya
pekerjaan menulis bukanlah persoalan yang mudah apalagi remeh temeh. Kalimat
yang diucapkan almarhum Mas Wendo tersebut, mungkin hanya sekedar ‘guyonan’ atau kelakar. Mungkin pula,
kalimat tersebut dicetuskan untuk pembangkit atau dorongan atau semacam
motivasi bagi seseorang yang hendak berhasrat memasuki dunia tulis-menulis.
Dalam kenyataannya, menulis memang bukan pekerjaan gampang. Hal ini dibuktikan
dengan sedikitnya jumlah penulis di Indonesia. Aktivitas menulis belum menjadi
bagian dari kehidupan sosial masyarakat kita. Jangankan di dalam masyarakat
umum, dalam jagat akademis dan intelektual
kita, dunia pelajar (“sekolahan”) di sekolah menengah, bahkan pendidikan tinggi
aktivitas menulis belum menjadi tradisi.
Marilah kita lihat, dunia pendidikan kita
memiliki ribuan jumlah sekolah menengah atas, dan ratusan jumlah pendidikan
tinggi, baik negeri maupun swasta. Semestinya dari jumlah lembaga pendidikan
menengah dan sekolah tinggi yang ribuan itu sanggup membentuk tradisi menulis
yang mapan, yang secara otomatis dan signifikan seharusnya melahirkan ribuan
penulis pula. Semestinya sebagai sebuah lembaga intelektual, sekolah dan
pendidikan tinggi mampu menciptakan kondisi semacam itu. Tapi kenyataannya jauh
panggang dari api. Ini tentu saja hal yang aneh, mengingat bahwa setiap
pendidikan tinggi mengisyaratkan kelulusan mahasiswanya dengan ujian skripsi
atau tesis, yang logikanya setiap mahasiswa yang telah lulus seharusnya berarti
memiliki kemampuan menulis yang mumpuni.
Wilayah kaum cendikia atau
intelektual yang lain, misalnya dalam lingkungan guru atau dosen pun ternyata
tidak terbentuk tradisi menulis yang baik. Guru banyak yang kedodoran dalam
menulis sehingga ia harus ‘nembak’ sana-sini untuk mencari jasa menuliskan
laporan ilmiah atau membuatkan karya tulisnya saat hendak naik pangkat.
Persoalan tidak terbentuknya tradisi
menulis kita sudah banyak disampaikan. Banyak penelitian atau pakar yang sedari
dulu sudah menunjukkan betapa lemahnya tradisi keberaksaraan kita. Mereka
mengetengahkan berbagai pendapat dan teori mengapa tradisi menulis kita lemah.
Ada yang berpedapat kita masih dikungkung tradisi lisan dan belum menguasai
tradisi tulis. Pun ada yang berpendapat pendidikan sebagai kambing hitamnya
atau berderet pendapat lain. Saat gelombang zaman diayun oleh gelombang
globalisasi dan digitalisasi yang menyebabkan manusia bergeser dari alih wahana
teks konvensional (cetak) salin rupa ke digitalisasi ini pun, kita masih belum
mampu keluar dari perosok kelisanan.
Tulisan ini tentu saja tak akan
menyoal sebab-musabab mengapa tradisi keberaksaraan (baca-tulis) kita begitu
lemah. Tulisan ini hanya akan menyoal mengapa aktivitas menulis itu masih
menjadi tamu asing dalam kehidupan kita.
Jumlah penulis kita masih terbilang
sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Jumlah
penulis kita masih amat sedikit karena realitanya menulis memang bukan
pekerjaan gampang. Logikanya, kalau menulis itu gampang maka banyak sekali
orang menjadi penulis atau setidaknya mengekspresikan idenya melalui tulisan.
Mengapa menulis itu bukan pekerjaan
gampang?
Menulis itu bukan pekerjaan gampang,
karena pertama, menulis itu pekerjaan
yang serius. Pekerjaan serius itu artinya menulis bukan aktivitas main-main
namun membutuhkan kesungguhan hati dan pengorbanan. Karena bukan aktivitas
main-main maka menulis membutuhkan totalitas, perhatian, kreativitas dan
konsentrasi tingkat tinggi. Sehingga saat seseorang memulai aktivitas
menulisnya, ia tidak bisa nyambi dengan
aktivitas lain. Pengorbanan waktu bahkan dana menjadi resiko tinggi bagi
seorang penulis.
Kedua,
menulis bukan pekerjaan gampang karena aktivitas menulis menuntut ketajaman
berpikir dan kemampuan mengorganisasi pikiran dengan cermat dan tepat. Tak
semua orang sanggup menulis karena tidak semua orang memiliki kemampuan
berpikir kritis. Semua penulis adalah pemikir kritis. Seseorang yang berpikir
kritis dengan otomatis mampu mengidenifikasi persoalan dengan baik dan melihat
persoalan itu dengan betul. Kemampuannya melihat persoalan dengan betul akan
menjadikannya memiliki daya analisis yang baik. Kemampuan menganalisis itu
menjadikannya memiliki persepsi yang jelas/ Persepsi yang jelas, tak hanya
membantu mengetengahkan persoalan namun juga mendorong secara kritis
mengevaluasi persoalan tersebut dan melahirkan opini kritis dengan berbagai
argumen yang memikat. Ketajaman berpikir ini pun mendorong kemampuan mengorganisasikan
pikiran sehingga bisa sistematis, jernih dan logis. Organisasi pikiran yang
baik akan tercermin dalam tulisan yang jelas, fokus, sistematis dan memikat.
Sebaliknya kemampuan mengorganisasikan pikiran yang lemah menyebabkan tulisan
menjadi kabur fokusnya, tidak sistematis, ruwet, tidak memiliki argumen,
mengulang-ulang dan gagal menyampaikan opini atau menarik simpulan yang baik.
Menulis bukan pekerjaan gampang juga
karena faktor ketiga ini: lemahnya
data. Seorang penulis yang baik adalah seorang kolektor data yang lengkap. Data
dalam pengertian ini adalah referensi atau acuan. Referensi seorang penulis
bisa berupa buku rujukan, teori, dokumentasi kliping dan berbagai pendapat
pakar. Untuk memiliki data yang kuat dan lengkap, maka setiap penulis yang baik
harus menjadi pembaca yang baik. Sebelum menjadi penulis yang baik, seseorang
harus terlebih dulu menjadi pembaca yang baik. Sebelum menjadi penulis, ia
harus memiliki tradisi membaca dengan baik. Kenyataannya, tidak banyak orang
mampu memiliki tradisi membaca yang baik, dan tak semua orang memiliki
kemampuan membaca dengan baik.
Keempat,
menulis bukan merupakan pekerjaan yang gampang karena menulis membutuhkan
kemampuan penguasaan bahasa yang tinggi. Menulis adalah bentuk komunikasi
bahasa, dalam hal ini adalah bahasa tulis. Ketika seseorang menulis pada
hakikatnya ia sedang melakukan tindak bahasa, sehingga syarat mutlak menjadi
penulis adalah menguasai bahasa sebagai sarana utama dalam aktivitas menulis.
Lucu sekali, kalau hendak menulis artikel atau cerpen berbahasa Jawa atau
bahasa Perancis tetapi tidak menguasai bahasa Jawa atau bahasa Perancis.
Perlu diingat bahwa menulis adalah
bentuk komunikasi tulis bukan lisan. Ide yang disodorkan atau dikomunikasikan
berwujud bahasa tulis. Bahasa tulis jauh berbeda dengan bahasa lisan. Seseorang
yang pandai berbahasa lisan, yang cakap berbicara; belum tentu mampu menulis
dengan baik. Bahasa tulis menuntut penguasaan gramatikal yang tepat, tata
kalimat yang benar, ejaan yang benar dan pilihan diksi yang tepat. Seorang
penulis yang baik juga harus mampu memanfaatkan berbagai ragam bahasa untuk
digunakan sesuai tuntutan genre tulisan yang akan dibuatnya. Ia harus menguasai
tatabahasa dan kaidah bahasa yang formal atau baku, saat menulis karya ilmiah.
Di kesempatan lain, ia mampu menggunakan ragam bahasa sastra yang memiliki
kekuatan estetika saat menulis teks sastra. Di sisi lain, saat hendak menulis
genre tulisan artikel populer, ia harus mampu menulis dengan bahasa yang
santai, ringan, namun sugestif tanpa kehilangan kemampuan menyodorkan argumen.
Yang lebih penting, kemampuan
penguasaan bahasa yang tinggi menunjukkan tingkat kemampuan berlogika.
Kekurangmampuan menguasai dan memberdayakan bahasa menunjukkan ketumpulan
berlogika. Seseorang yang pikirannya ruwet dan tumpul, jelas tidak mungkin menggunakan bahasa dengan
baik dan tepat.
Kelima,
pekerjaan menulis bukan pekerjaan gampang karena membutuhkan keberanian.
Banyak orang gagal menjadi penulis karena dihantui ketakutan-ketakutan. Mereka
takut tulisannya dianggap tidak bermutu. Takut tulisannya tidak ilmiah. Takut
tulisannya tidak menarik. Takut tulisannya dianggap sampah. Takut tulisannya
dianggap tidak berbobot. Karena berbagai ketakutan tersebut, mereka tidak
berani mempublikasikan tulisannya. Hanya menyimpannya di map atau laci meja,
hanya dibaca sendiri, dinikmati sendiri, puas sendiri. Pada akhirnya,
ketakutan-ketakutan itu akan membunuh kreativitas dan puncaknya mematikan
keinginan untuk menulis. Hanya mereka yang ‘beranilah’ yang dapat menyandang
gelar penulis.
Kelima hal di atas jelas-jelas
menunjukkan bahwa menulis adalah pekerjaan yang sulit! Menulis bukan pekerjaan
gampang! Menulis bukan pekerjaan instan, apalagi hanya mengandalkan
keberuntungan dan nasib. Menulis adalah proses panjang, bahkan sangat panjang.
Tak hanya panjang, tapi juga melelahkan. Mereka yang setia dan terus berkhidmat
tanpa putus asa melakoni proses panjang itulah yang akan berhasil
menaklukan kelima faktor peyebab sulitnya menulis itu.
Sekali lagi, menulis bukan pekerjaan
yang gampang! Hanya mereka yang terujilah yang mampu menaklukkannya! Selamat
berjuang...