LELAKI MIYOMIYA*
Erwin Setia
Pada masa huru-hara
besar terjadi di Timur bertahun-tahun silam, seorang cendekiawan tua asal Barat
tak membiarkan anak-anak yang sebagian besar telah kehilangan ayah mereka hidup
sia-sia dan tumbuh di atas dendam kesumat. Dengan bantuan sejumlah prajurit, ia
memisahkan anak-anak Timur dari barisan para lelaki muda dan tua yang digiring
menuju lapangan eksekusi. Anak-anak itu bersedih dan menangis, tentu saja,
karena mereka harus dipisahkan dari saudara-saudara dan orang tua-orang tua
mereka. Namun cendekiawan tua itu—yang mengaku bernama Miyomiya—tak mau takluk
di hadapan air mata bocah. Ia tahu semua pilihan pada zaman itu sama buruknya
bagi anak-anak tersebut. Kalau saja ia tidak membawa mereka ke pulau seberang—yang
kelak dinamakan sebagai Pulau Miyomiya karena Miyomiyalah yang pertama kali
menghuni kembali pulau yang sebelumnya kosong-melompong itu—tentulah anak-anak
itu hanya akan menjadi mayat. Sebab, pada masa itu, siapa saja bisa mati, tak
peduli ia tua atau muda, anak-anak atau dewasa. Terlebih anak-anak itu adalah
anak-anak Timur, pihak yang dilanda kekalahan pada masa kegelapan itu.
Miyomiya berangkat bersama ratusan bocah laki-laki itu.
Di tempatnya bertugas, tidak ada anak perempuan. Para perempuan berada di
tempat terpisah. Karena ia tidak punya banyak waktu dan meyakini bahwa
“menyelamatkan” sebagian lebih baik daripada tidak sama sekali, ia pun memilih
para bocah laki-laki saja. Dalam perjalanan di atas kapal menuju pulau
seberang, bocah-bocah itu menangis dan meneriaki Miyomiya dengan berbagai macam
makian dan doa buruk. Miyomiya jelas terusik dengan para bocah itu, tapi ia
memakluminya karena ia bisa membayangkan betapa pedihnya menjadi anak-anak
korban perang. Perang barangkali bukan kata yang tepat, karena pihak Timur saat
itu jauh di bawah Barat dalam hal persenjataan, pasukan, maupun kesiapan
bertempur. Tapi apa boleh buat, buku-buku sejarah lebih suka menyebut peristiwa
itu sebagai perang, kendati sebetulnya ia lebih cocok disebut pemusnahan massal
atau penyerbuan segerombol pengecut.
Kita lupakan soal perang, pemusnahan, atau apa pun itu. Kita
kembali pada sepotong kisah kecil dalam peristiwa itu yang tak banyak orang
tahu dan perhatikan. Kisah ini pada masa depan akan dikenal sebagai “Kisah Miyomiya”—kisah
tentang Miyomiya dan para bocah lelaki binaannya.
Sewaktu tiba di tepi Pulau Miyomiya, seorang bocah
mengamuk dan menghampiri Miyomiya.
“Ke mana orang tuaku? Kembalikan mereka kepadaku! Di sini
tidak ada orang tuaku, di sini tidak ada siapa-siapa. Aku tidak mau di sini!”
Bocah itu Ivano. Bocah berkulit cokelat dengan topi hitam
yang robek karena tersangkut kawat saat ia hendak melarikan diri dari sergapan
tentara Barat. Miyomiya mendengarkan segala ocehan Ivano dengan tabah dan penuh
kesungguhan. Ia menatap si bocah dengan pandangan seorang bapak yang penuh
kasih. Setelah Ivano selesai menumpahkan seluruh kata-katanya ke telinga
Miyomiya, bocah malang yang tubuhnya hanya setinggi perut Miyomiya itu memukul pinggang
Miyomiya berkali-kali. Tentu saja pukulan itu tidak membuat Miyomiya sakit. Ia
membiarkan si bocah memukulnya sampai puas. Ketika akhirnya pukulannya
berhenti, bocah itu menangis. Miyomiya mengusap kepala si bocah dan berkata,
“Tenanglah, bocah, kau akan baik-baik saja di sini. Tidak usah memikirkan lagi
tentang orang tuamu atau siapa pun. Kelak, ketika dewasa, kau bakal paham,
bahwa di atas segalanya, kau harus memikirkan dirimu sendiri dulu.”
Perkataan itu tidak membuat Ivano berhenti menangis,
tidak pula membuatnya terhibur. Hanya saja, ketika Miyomiya menjauh dan menuju
gubuk pribadinya—yang rupanya sudah dibangun sejak lama—Ivano memandangi
langkah-langkah kaki Miyomiya yang tampak begitu kokoh dan meyakinkan. Tiba-tiba
suatu bentuk optimisme hinggap di dadanya seperti hinggapnya seekor merpati di
dahan pohon.
Sejak hari itu, para bocah hidup di dunia yang sepenuhnya
baru dan berbeda bagi mereka. Di Pulau Miyomiya mereka memang tidak memiliki
siapa-siapa. Tidak ada keluarga dan sanak saudara. Tidak ada pula kekacauan dan
peperangan. Tidak ada suara tembakan atau ledakan bom atau derap sepatu tentara
yang membuat hati gemetar karena ketakutan. Di pulau itu, hanya ada seorang
lelaki dewasa bernama Miyomiya. Seorang cendekiawan yang memperkenalkan semesta
baru dan menyenangkan—meski awalnya mereka anggap aneh—kepada mereka. Di pulau
itu ada bangunan-bangunan tinggi dan kokoh serta kebun-kebun beragam tanaman. Sebagian
bangunan-bangunan itu berupa rumah yang bisa para bocah itu huni, sebagian lagi
adalah bangunan-bangunan menyerupai aula tempat mereka bisa berkumpul,
bercengkerama, makan, atau mengkaji sesuatu. Sementara satu bangunan yang
besar, panjang, tinggi, dan begitu cantik dengan warna putih dan sebuah patung
orang sedang memegang buku di halamannya adalah bangunan yang paling membuat
para bocah tergugah. Tidak ada yang percaya, baik dulu ataupun kini, bahwa bangunan
semacam itu ada di tempat antah-berantah macam Pulau Miyomiya. Baik orang
percaya ataupun tidak, bangunan itu ada dan Miyomiya memperkenalkannya dengan
penuh kebanggaan kepada para bocah sewaktu ia mengajak mereka ke sana untuk
pertama kali, “Inilah Perpustakaan Miyomiya.”
Perpustakaan Miyomiya menjadi pelipur lara bagi mereka.
Bocah-bocah itu, meski awalnya agak enggan, mulai terbiasa dengan kehidupan di
mana buku-buku mereka jumpai semudah mereka menjumpai darah dan pekik kematian
pada masa huru-hara. Miyomiya menyuruh bocah-bocah itu untuk membaca buku-buku
di Perpustakaan Miyomiya sebanyak-banyaknya—buku apa pun yang mereka suka;
sains, matematika, sejarah, bahasa, sastra, dongeng, apa pun. Mulanya ia
menerapkan sedikit paksaan agar para bocah itu mematuhi perintahnya untuk
membaca. Lambat laun kegiatan membaca sudah mendarah daging bagi mereka. Tidak
perlu lagi ada suruhan dan paksaan. Mereka telah menjadikan membaca sebagai
bagian dari hidup mereka, bahkan mereka sudah menganggap membaca lebih penting
daripada makan dan minum. Selain membaca yang Miyomiya sebut sebagai tugas
utama yang harus para bocah itu lakukan, mereka juga berkebun, memasak, dan
bekerja sama dalam hal apa pun. Meski begitu, jika ditanyai tentang apa hal
yang paling mereka suka semasa di Pulau Miyomiya, mereka akan segera menjawab,
“Membaca buku!”.
Melihat perkembangan itu, juga seiring bertambahnya usia
bocah-bocah, Miyomiya mulai memikirkan hal iain. Ia mulai mempertanyakan hal-hal
semisal, “Apakah para bocah itu tak butuh perempuan? Tidakkah mereka ingin
merasakan jatuh cinta?”. Miyomiya pun mengumpulkan para bocah yang telah
beranjak menjadi lelaki dewasa itu pada suatu hari. Ia bertanya apakah mereka
tidak menginginkan perempuan dan kisah cinta yang indah sebagaimana yang
tertera pada buku-buku roman yang mereka baca.
“Kami sudah nyaman dan bahagia dengan buku-buku di sini.
Kami sudah jatuh cinta kepada buku-buku. Buat apa kami jatuh cinta pada hal-hal
lain?” seru seorang bocah yang kini sudah bukan lagi bocah.
“Apa itu cinta, Paman Miyomiya? Apakah setelah peperangan
dan masa yang keji itu masih ada lagi sesuatu yang disebut cinta?” kata seseorang
yang lain.
“Kau tak perlu mengkhawatirkan apa-apa soal kami, Paman
Miyomiya.”
“Paman Miyomiya, kenapa kau bertanya hal itu?
Jangan-jangan, kau ya yang tiba-tiba mengingat seorang perempuan?”
Ucapan terakhir itu dikatakan oleh seorang lelaki dengan
topi hitam yang kekecilan. Lelaki itu adalah Ivano yang telah menjelma lelaki
dewasa. Lelaki-lelaki lain tertawa selepas mendengar perkataan Ivano. Miyomiya
sendiri hanya tersipu. Ia sama sekali tidak tersinggung atau semacam itu. Ia
menganggap para bocah itu (yang sudah bukan lagi bocah) sebagai teman-temannya.
Dan merekalah yang memang menemani hidupnya selama beberapa tahun belakangan.
Miyomiya tak lagi menanyakan soal perempuan atau cinta
kepada mereka. Ia kini mengerti satu hal: mereka berbeda dan aku keliru kalau
menilainya dari sudut pandang biasa.
Suatu sore sekelompok orang mampir di Pulau Miyomiya.
Mereka mengabarkan bahwa perang telah usai dan dunia telah aman dan damai. Miyomiya
dan anak-anaknya—oh, tidak, lebih tepat disebut “teman-temannya”—bahkan hampir
lupa bahwa pernah ada peperangan. Sekelompok orang itu mengajak mereka untuk
kembali ke dunia normal. Tapi segera para pemuda Pulau Miyomiya itu menolak.
Mereka mengatakan telah betah di Pulau Miyomiya. Mereka hidup bahagia dengan
berkebun, bercengkerama, dan membaca buku.
Sekelompok orang itu pun heran, lalu pergi, dan tak
pernah kembali. Namun berkat sekelompok orang itulah aku tahu tentang Miyomiya
dan para lelaki itu. Sekelompok orang itu menyebut Miyomiya dan teman-temannya
sebagai kaum aneh yang tak menginginkan perempuan, kemewahan, dan hidup di
dunia normal. “Mereka aneh,” kata sekelompok orang itu. “Mereka hanya mau hidup
dengan sesama mereka dan menghabiskan hidup hanya untuk berkebun dan membaca.”
Kemudian orang-orang mengenal para penghuni Pulau
Miyomiya itu sebagai Lelaki Miyomiya. Sebutan ini juga lekat dengan pengertian
“orang-orang yang tak kenal jatuh cinta, orang-orang yang hanya suka melihat
tanaman-tanaman tumbuh dan deretan kata di buku-buku”.
Kepada seorang kawanku yang meneliti khusus mengenai
Lelaki Miyomiya aku bertanya, “Menurutmu, apakah cara hidup Lelaki Miyomiya itu
adalah cara hidup yang bagus?”
“Tentu saja,” katanya. “Mereka adalah sekumpulan manusia
yang hebat dan beruntung. Mereka memang tidak memiliki keluarga dan tidak jatuh
cinta kepada perempuan, tapi setidaknya mereka akan terhindar dari kiamat.”
“Maksudmu?”
“Menurutmu apa persamaan jatuh cinta dan perang?”
Aku tak menjawab.
“Sama-sama memakan korban dan membuat kita berdarah-darah.”
Aku tak pernah lagi menjumpai kawanku itu. Namun,
belakangan isu soal perang kembali mengemuka dan aku dihantui mimpi yang
identik dalam beberapa malam terakhir. Dalam mimpi itu, seorang lelaki tua dan
sekelompok lelaki menghampiriku yang tengah duduk sendirian di dalam rumah.
Mereka berkata, “Mari ke Pulau Miyomiya. Jadilah Lelaki Miyomiya.”
Kata-kata mereka terus terngiang di kepalaku sampai akhirnya aku memutuskan untuk menulis sebuah cerita pendek tentang mereka. Aku harap suara itu akan hilang. Semoga saja. (*)
Purwakarta, 30
Januari 2020
*Ditulis setelah menonton film Schindler’s List (1993)
dan The Pianist (2002).