Spiritualitas dan Kenangan Kekuasaan
S. Prasetyo Utomo
BEROBSESI pada spiritualitas dan kenangan akan kekuasaan,
Bre Redana mencipta novel Kidung Anjampiani (Tanda Baca, 2022). Novel ini meraih penghargaan sastra Badan
Bahasa 2022. Ia mencipta teks sastra berlatar sejarah, tentang tokoh Kuda
Anjampiani, putera Ronggo Lawe, yang menyimpan kenangan akan konflik kekuasaan. Novel ini kuyup dengan
motif-motif dongeng, menyingkap pergolakan batin tokoh Kuda Anjampiani sebagai seorang pujangga yang
menjalani hidup dalam pertikaian hegemoni kekuasaan
pada zaman Majapahit.
Novel ini sangat kental dengan perjalanan spiritual, menarasikan
jalan kapujanggan yang dilalui Kuda Anjampiani. Tokoh Kuda Anjampiani berguru
pada Mpu Baraga, yang menyarankan agar ia menjalani laku serupa laba-laba, melacak kenangan yang dialaminya sendiri dan
kenangan yang diceritakan orang lain. Dalam novel ini tokoh Kuda Anjampiani
lebih banyak berhadapan dengan kenangan akan konflik kekuasaan yang senantiasa tikam-menikam.
Spiritualitas sebagai seorang pujangga yang dijalani
Kuda Anjampiani telah menyelamatkannya sebagai seorang anak pemberontak untuk
memperoleh kepercayaan Patih Nambi, lawan politik Ronggo Lawe, ayahnya. Ia
bahkan dapat mempersunting Dewi Sekartaji Asmara, putri Patih Nambi. Spiritualitas
sebagai seorang pujangga mengajarkannya sebuah jalan harmoni yang membedakannya
dengan Ronggo Lawe, yang penuh dengan konfrontasi terhadap hegemoni kekuasaan.
Spiritualitas yang dijalani Kuda Anjampiani telah
menyelamatkan kehidupananya untuk memperoleh kesadaran mengikuti cara bernalar
tokoh-tokoh novel ini dalam menghadapi konflik
kekuasaan.
Ia telah memperoleh kesadaran moral, intelektual, dan
bahkan kewaskitaan untuk membaca tanda-tanda zaman. Ia bisa melihat sejarah
pada masa silam dan membaca peristiwa-peristiwa yang akan datang.
***
KEKUATAN spiritualitas
sebagai pujangga memberi
warna kearifan dalam menghadapi pergeseran hegemoni kekuasaan. Setidaknya, novel
ini menjadi menarik karena tokoh-tokoh yang meniptakan berbagai kenangan terhadap hegemoni kekuasaan. Pertama, tokoh Ronggo Lawe yang memilih jalan konfrontasi terhadap
hegemoni kekuasaan dan gugur di medan perang. Kedua, Kuda Anjampiani yang
menciptakan harmoni terhadap pergeseran zaman, seorang pujangga yang menuliskan
segala kenangan tentang kekuasaan. Ketiga, ibunda Martaraga yang memilih jalan sunyi dan kesedihan
menanggung akibat konfrontasi hegemoni kekuasaan suaminya, Ronggo Lawe.
Keempat, Patih Nambi yang difitnah dan meninggal dalam pertempuran dengan
pasukan Majapahit yang dipimpin Mahapati. Kelima, Eyang Wiraraja yang memilih
jalan moksa dan menyerahkan kekuasaan pada Majapahit.
Ronggo Lawe, ayah Kuda Anjampiani, merupakan kenangan
paling tragis dan indah dalam menghadapi hegemoni kekuasaan. Ronggo Lawe yang
tak setuju Nambi diangkat sebagai patih Majapahit, memiliki keteguhan
untuk menempuh jalan
konfrontasi terhadap kekuasaan Sri Kertarajasa Jayawardhana. Dengan gagah berani ia menghadapi pasukan Majapahit,
dan gugur dalam pertempuran. Ronggo Lawe telah meninggalkan kenangan transenden
pada Kuda Anjampiani, bahwa ia akan pulang dengan kereta kencana yang ditarik delapan kuda sembrani sebagai
simbol kematian.
Tokoh Kuda Anjampiani merupakan protagonis dalam novel
ini, yang tidak membalaskan dendam terhadap kematian ayahnya. Ia memilih peran
sebagai pujangga. Ia menikahi Dewi Sekartaji Asmara, putri Patih Nambi, dan menghindarkan
diri dari tragedi dendam kekuasaan. Ia melihat bahwa kekuasaan tak cukup dilanggengkan
dengan senjata, tetapi juga dengan rekayasa kenangan. Tokoh ini sadar benar
bahwa kenangan yang tidak berguna untuk merawat kekuasaan harus dilupakan. Ia
juga sadar bahwa kenangan agung mengenai
penguasa diciptakan dan dikukuhkan sebagai sejarah. Dalam novel ini ia bercerita bukan mengenai kekuasaan yang besar,
agung, suci, melainkan tentang tokoh-tokoh yang terbuang oleh kekuasaan.
Ibunda Martaraga merupakan tokoh yang menanggung
penderitaan setelah kematian suami, Ronggo Lawe, dalam konfrontasi dengan
dominasi kekuasaan kerajaan Majapahit. Ia tidak menanamkan dendam, tidak
menanamkan kebencian, dan tidak mencegah perkawinan Kuda Anjampiani dengan Dewi
Sekartaji Asmara, putri Patih Nambi. Sampai ia meninggal, keagungannya sebagai
istri yang penuh pengabdian pada suami, masih terus dijaga.
Tragedi kekuasaan justru dialami Patih Nambi, karena
Mahapati menyingkirkannya dari kekuasaan Majapahit. Pada zaman kekuasaan Raja
Jayanagara, Mahapati memperoleh tempat, karena keahliannya menjilat dan Patih
Nambi disingkirkan. Ketika ayah Patih Nambi, Mpu Sina meninggal, kesempatan ini
digunakan bagi Mahapati untuk memfitnah bahwa Patih Nambi menyiapkan pemberontakan. Raja Jayanagara mengutus Mahapati untuk menumpas
Patih Nambi.
Bre Redana menghadirkan tokoh Eyang Wiraraja sebagai
sosok yang bersikap tulus pada kekuasaan. Ia memperoleh separuh wilayah kerajaan
Majapahit karena jasa-jasanya membantu pasukan Raden Wijaya memperoleh
kekuasaan dan mendirikan kerajaan Majapahit. Akan tetapi, ketika wilayah kekuasaannya
itu diminta kembali pada zaman Gajah Mada, Arya Wiraraja menyerahkannya. Ia
memutuskan untuk meninggalkan urusan duniawi, menyepi di Alas Purwo dan moksa.
***
KEMELUT kekuasaan di Kerajaan Majapahit yang diangkat
Bre Redana dalam novel ini hanyalah latar yang dipinjam untuk memberikan
kesadaran spiritual agar negara selamat dari kehancuran perebutan kekuasaan.
Pertikaian kekuasaan memang selalu berlangsung, berdasarkan kepentingan trah,
ambisi pribadi kaum penjilat, dan pengorbanan orang-orang yang tulus
mengabdikan hidup untuk kekuasaan dengan hati nurani, keluasan pengetahuan, dan
rasa nasionalisme. Bre Redana sedang melancarkan satire pada kekuasaan masa
kini ketika mengatakan bahwa para pemimpin menggadaikan kerajaan untuk
kepentingan pribadi. Tanah air dijual seperti dilakukan para pejabat
berabad-abad sesudah kerajaan Majapahit.
Membaca novel ini, saya teringat esai-esai Bre Redana
di Kompas, yang selalu menyampaikan sugesti akan pentingnya kesadaran
jalan kapujanggan. Jalan kapujanggan dengan darmanya adalah jalan terbaik di
dunia. Bre Redana menarasikan kesadaran bahwa integritas bernegara kalah oleh
kelicikan. Kebijaksanaan kalah oleh ilmu
menjilat kekuasaan. Ia sangat percaya pada kekuatan dongeng yang diperlakukan
sebagai mutiara: kata melahirkan daya, bahasa menggugah kesadaran, dongeng
menghasilkan perubahan.
Bre Redana menciptakan sebuah novel yang digali dari
kesadaran, kebijaksanaan yang bersumber dari serat dan babad. Tentu ia
melakukan tafsir intertekstualitas terhadap motif-motif dongeng dan mengembangkan
imajinasinya sebagai seorang pengarang. Dengan novel ini ia membuka tafsir
ruang dan waktu mengenai konflik kekuasaan. Ia menciptakan pathos: kemampuan mengelola
emosi, empati, dan persuasi mengenai spiritualitas dan kenangan kekuasaan.
Pramoedya Ananta Toer dan Y. B. Mangunwijaya, yang menulis novel sejarah, tak
setajam Bre Redana dalam menghadirkan pathos melalui struktur narasi mereka.
***