Spiritualitas dan Kenangan Kekuasaan - S. Prasetyo Utomo

@kontributor 11/13/2022

Spiritualitas dan Kenangan Kekuasaan  

S. Prasetyo Utomo



BEROBSESI pada spiritualitas dan kenangan akan kekuasaan, Bre Redana mencipta novel Kidung Anjampiani (Tanda Baca, 2022).  Novel ini meraih penghargaan sastra Badan Bahasa 2022. Ia mencipta teks sastra berlatar sejarah, tentang tokoh Kuda Anjampiani, putera Ronggo Lawe, yang menyimpan kenangan akan konflik kekuasaan. Novel ini kuyup dengan motif-motif dongeng, menyingkap pergolakan batin tokoh Kuda Anjampiani sebagai seorang pujangga yang menjalani hidup dalam pertikaian  hegemoni kekuasaan pada zaman Majapahit.  

Novel ini sangat kental dengan perjalanan spiritual, menarasikan jalan kapujanggan yang dilalui Kuda Anjampiani. Tokoh Kuda Anjampiani berguru pada Mpu Baraga, yang menyarankan agar ia menjalani laku serupa laba-laba,  melacak kenangan yang dialaminya sendiri dan kenangan yang diceritakan orang lain. Dalam novel ini tokoh Kuda Anjampiani lebih banyak berhadapan dengan kenangan akan konflik kekuasaan yang senantiasa tikam-menikam.  

Spiritualitas sebagai seorang pujangga yang dijalani Kuda Anjampiani telah menyelamatkannya sebagai seorang anak pemberontak untuk memperoleh kepercayaan Patih Nambi, lawan politik Ronggo Lawe, ayahnya. Ia bahkan dapat mempersunting Dewi Sekartaji Asmara, putri Patih Nambi. Spiritualitas sebagai seorang pujangga mengajarkannya sebuah jalan harmoni yang membedakannya dengan Ronggo Lawe, yang penuh dengan konfrontasi terhadap hegemoni kekuasaan.

Spiritualitas  yang dijalani Kuda Anjampiani telah menyelamatkan kehidupananya untuk memperoleh kesadaran mengikuti cara bernalar tokoh-tokoh novel ini dalam menghadapi konflik kekuasaan. Ia telah memperoleh kesadaran moral, intelektual, dan bahkan kewaskitaan untuk membaca tanda-tanda zaman. Ia bisa melihat sejarah pada masa silam dan membaca peristiwa-peristiwa yang akan datang.  

                                                    *** 

KEKUATAN spiritualitas sebagai pujangga memberi warna kearifan dalam menghadapi pergeseran hegemoni kekuasaan. Setidaknya, novel ini menjadi menarik karena tokoh-tokoh yang meniptakan berbagai kenangan terhadap hegemoni kekuasaan. Pertama, tokoh Ronggo Lawe yang memilih jalan konfrontasi terhadap hegemoni kekuasaan dan gugur di medan perang. Kedua, Kuda Anjampiani yang menciptakan harmoni terhadap pergeseran zaman, seorang pujangga yang menuliskan segala kenangan tentang kekuasaan. Ketiga, ibunda Martaraga  yang memilih jalan sunyi dan kesedihan menanggung akibat konfrontasi hegemoni kekuasaan suaminya, Ronggo Lawe. Keempat, Patih Nambi yang difitnah dan meninggal dalam pertempuran dengan pasukan Majapahit yang dipimpin Mahapati. Kelima, Eyang Wiraraja yang memilih jalan moksa dan menyerahkan kekuasaan pada Majapahit.  

Ronggo Lawe, ayah Kuda Anjampiani, merupakan kenangan paling tragis dan indah dalam menghadapi hegemoni kekuasaan. Ronggo Lawe yang tak setuju Nambi diangkat sebagai patih Majapahit, memiliki keteguhan untuk   menempuh jalan konfrontasi terhadap kekuasaan Sri Kertarajasa Jayawardhana. Dengan gagah berani ia menghadapi pasukan Majapahit, dan gugur dalam pertempuran. Ronggo Lawe telah meninggalkan kenangan transenden pada Kuda Anjampiani, bahwa ia akan pulang dengan kereta kencana  yang ditarik delapan kuda sembrani sebagai simbol kematian.      

Tokoh Kuda Anjampiani merupakan protagonis dalam novel ini, yang tidak membalaskan dendam terhadap kematian ayahnya. Ia memilih peran sebagai pujangga. Ia menikahi Dewi Sekartaji Asmara, putri Patih Nambi, dan menghindarkan diri dari tragedi dendam kekuasaan. Ia melihat bahwa kekuasaan tak cukup dilanggengkan dengan senjata, tetapi juga dengan rekayasa kenangan. Tokoh ini sadar benar bahwa kenangan yang tidak berguna untuk merawat kekuasaan harus dilupakan. Ia juga sadar bahwa  kenangan agung mengenai penguasa diciptakan dan dikukuhkan sebagai sejarah. Dalam novel   ini ia  bercerita bukan mengenai kekuasaan yang besar, agung, suci, melainkan tentang tokoh-tokoh yang terbuang oleh kekuasaan.   

Ibunda Martaraga merupakan tokoh yang menanggung penderitaan setelah kematian suami, Ronggo Lawe, dalam konfrontasi dengan dominasi kekuasaan kerajaan Majapahit. Ia tidak menanamkan dendam, tidak menanamkan kebencian, dan tidak mencegah perkawinan Kuda Anjampiani dengan Dewi Sekartaji Asmara, putri Patih Nambi. Sampai ia meninggal, keagungannya sebagai istri yang penuh pengabdian pada suami, masih terus dijaga.  

Tragedi kekuasaan justru dialami Patih Nambi, karena Mahapati menyingkirkannya dari kekuasaan Majapahit. Pada zaman kekuasaan Raja Jayanagara, Mahapati memperoleh tempat, karena keahliannya menjilat dan Patih Nambi disingkirkan. Ketika ayah Patih Nambi, Mpu Sina meninggal, kesempatan ini digunakan bagi Mahapati untuk memfitnah bahwa Patih Nambi menyiapkan pemberontakan. Raja Jayanagara mengutus Mahapati untuk menumpas Patih Nambi.

Bre Redana menghadirkan tokoh Eyang Wiraraja sebagai sosok yang bersikap tulus pada kekuasaan. Ia memperoleh separuh wilayah kerajaan Majapahit karena jasa-jasanya membantu pasukan Raden Wijaya memperoleh kekuasaan dan mendirikan kerajaan Majapahit. Akan tetapi, ketika wilayah kekuasaannya itu diminta kembali pada zaman Gajah Mada, Arya Wiraraja menyerahkannya. Ia memutuskan untuk meninggalkan  urusan duniawi, menyepi di Alas Purwo dan moksa.    

                                                 ***  

KEMELUT  kekuasaan di Kerajaan Majapahit yang diangkat Bre Redana dalam novel ini hanyalah latar yang dipinjam untuk memberikan kesadaran spiritual agar negara selamat dari kehancuran perebutan kekuasaan. Pertikaian kekuasaan memang selalu berlangsung, berdasarkan kepentingan trah, ambisi pribadi kaum penjilat, dan pengorbanan orang-orang yang tulus mengabdikan hidup untuk kekuasaan dengan hati nurani, keluasan pengetahuan, dan rasa nasionalisme. Bre Redana sedang melancarkan satire pada kekuasaan masa kini ketika mengatakan bahwa para pemimpin menggadaikan kerajaan untuk kepentingan pribadi. Tanah air dijual seperti dilakukan para pejabat berabad-abad sesudah kerajaan Majapahit.      

Membaca novel ini, saya teringat esai-esai Bre Redana di Kompas, yang selalu menyampaikan sugesti akan pentingnya kesadaran jalan kapujanggan. Jalan kapujanggan dengan darmanya adalah jalan terbaik di dunia. Bre Redana menarasikan kesadaran bahwa integritas bernegara kalah oleh kelicikan. Kebijaksanaan  kalah oleh ilmu menjilat kekuasaan. Ia sangat percaya pada kekuatan dongeng yang diperlakukan sebagai mutiara: kata melahirkan daya, bahasa menggugah kesadaran, dongeng menghasilkan perubahan.        

Bre Redana menciptakan sebuah novel yang digali dari kesadaran, kebijaksanaan yang bersumber dari serat dan babad. Tentu ia melakukan tafsir intertekstualitas terhadap motif-motif dongeng dan mengembangkan imajinasinya sebagai seorang pengarang. Dengan novel ini ia membuka tafsir ruang dan waktu mengenai konflik kekuasaan. Ia  menciptakan pathos: kemampuan mengelola emosi, empati, dan persuasi mengenai spiritualitas dan kenangan kekuasaan. Pramoedya Ananta Toer dan Y. B. Mangunwijaya, yang menulis novel sejarah, tak setajam Bre Redana dalam menghadirkan pathos melalui struktur narasi mereka.                

                                                       ***

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »