Aku Ayahmu dan Kau Anakku
Nurillah Achmad
Tak mengapa, air mataku surut oleh usia yang parau. Namun setidaknya, kapal yang kutumpangi menepi di daratan, dan tak lagi berada di laut lepas di antara takdir yang retas. Bahkan Sangkal yang sesekali melempar pandang ke arah buih laut tak berujung, memandang gusar.
Sejak kapal tersapu angin hingga keluar jalur
berlayar, sampai-sampai kehabisan bahan bakar sejak lima hari lalu, ia tak
segundah sekarang. Dari sorot matanya yang tajam, aku tahu ia hendak menyampaikan
apa-apa yang menjadi keresahan orang-orang. Namun aku tak mengindahkan bahasa
tubuhnya itu, dan terus meronta guna merebut ransel kusam.
“Lepaslah apa-apa yang mesti kau lepas,”
katanya. “Tak baik terus-menerus menyimpan sembilu.”
Tak aku gubris ucapan lelaki yang terpaut
lima tahun ini. Biarlah dia terus mengoceh tentang apa-apa yang ia ingin
utarakan, dan aku akan melakukan apa-apa yang sepatutnya kulakukan.
Terlebih matahari berada di garis lurus
kepala. Entah ke mana angin membawa kapal ini menepi, aku pasrah pada Lah
Ta’ala. Bahkan aku tidak tahu, apakah kapal yang kutumpangi tengah menuju
Bali, Muncar, Lombok atau justru tersesat dan terbawa ke tanah leluhur di
Sulawesi sana. Seluruh pengetahuanku tentang membaca arah alam telah luruh
bersama isi ransel yang mereka rebut dari pangkuan.
“Bahkan aku tidak tahu, di mana letak kampung
kita yang tengah kisruh itu,” kata Sangkal lagi. Kali ini, ia menatap tajam. Sembari
memungut sebatang rokok klobotnya yang terakhir, ia cerita kalau ibunya tengah
sakit di Pagerungan Kecil.
Barangkali di ujung laut itulah, letak
Pagerungan Kecil berada. Pulau yang kami huni sejak buyut kami menetap di sana.
Saat kecil dulu, aku dan Sangkal kerap menyisiri selatan Pagerungan Kecil pada
pagi hari. Saat laut masih tenang, dan angin sepoi-sepoi menyapa deretan pohon
kelapa, samar-samar Pulau Bali tampak dari penglihatan kanak-kanak kami yang
berdiri di ujung dermaga.
“Kau tak rindu Hayati, Sam?”
Mendengarnya begitu, aku ingin menerjang
Sangkal kuat-kuat. Tapi mendadak aku tak kuasa menahan linang air mata. Sejenak
aku teringat perempuan yang aku nikahi dua puluh lima tahun silam—yang paling
gigih menolak keberangkatanku ke Jangkar.
***
“Tidakkah kau lihat anak kita dikurung dalam
tahanan, dan kau tetap menyeberang?” kata Hayati sembari menuding-nuding.
Kubiarkan ia mengeluarkan amuk serapah. Keteguhanku pergi ke Jangkar takkan
berubah.
“Apa yang hendak kau temui di sana? Kau
hendak lihat tulang-belulang?” ujarnya lagi.
Justru karena telah tinggal tulang, aku ingin
menepati janji, batinku. Aku kira, dua puluh lima tahun bersama, ia memahami
seluk beluk suaminya. Nyatanya aku keliru. Hayati tak paham, betapa Jangkar
adalah aroma hujan yang selalu turun dalam usiaku yang kian kemarau.
“Esok aku ke Sumenep. Kapal yang menyeberang
ke Jangkar juga esok pagi. Terserah engkau memilih yang mana.”
Ketika Hayati berujar begitu, keteguhanku
mulai goyah. Keinginanku menyambangi Jangkar dan kekhawatiranku soal Randu yang
dibawa petugas, seolah tanda seru yang dikirim Tuhan agar aku berhati-hati
menentukan pilihan. Lekas-lekas aku mengajak Sangkal menemui kepala desa.
Padanya kutanyakan soal perbuatan Randu.
Untunglah lelaki itu membentangkan harap. Ia
berujar akan membantuku melepaskan Randu dari jerat hukum. Akhir-akhir ini,
suasana Pagerungan Kecil mulai memanas. Sebagian warga dan kepala desa,
bersama-sama mendesak pemerintah memperhatikan kami. Terlebih kami teramat jauh
dari pusat kota Sumenep padahal secara jarak, kami lebih dekat dengan Situbondo
dan Bali.
Belum lagi pemasok gas terbesar di provinsi
dikeruk dari Pagerungan, tapi kami hanya menikmati listrik sejam sehari. Randu
yang ikut dalam konvoi barangkali terbawa emosi sampai-sampai melakukan pengrusakan
dan diamankan petugas. Bukan aku tak memahami perasaan Hayati. Selaku ibu yang
mengandung dan melahirkan, tentu ia merisaukan keberadaan Randu. Tapi aku mesti
pergi ke Jangkar.
Keesokan
harinya, saat kami sama-sama berada di pelabuhan, Hayati tak berujar sepatah
kata. Ia terus melangkah menaiki kapal feri yang akan membawanya ke Sapeken
guna menyeberang ke Kangean, dan menyeberang kembali ke Kalianget. Ia tak membalikkan
badan barang sedetik pun padahal aku menunggu di tepi dermaga.
Aku
terpaksa mendongak pada langit. Pada semesta aku sebut namanya sebab perjalanan
Hayati menuju Sumenep, jauh lebih lama daripada perjalananku menuju Jangkar,
Situbondo.
“Tak
hendak istirahat dulu, Kak?” kata seorang pemuda yang menurunkan kelapa saat
kapal bersandar di Jangkar.
Aku
tersenyum padanya. Kira-kira, usianya tak jauh beda denganku saat dulu pertama
kali menyeberang bersama Sangkal dari Pagerungan Kecil, membawa kelapa-kelapa
ke Situbondo untuk ditukar dengan sembako lalu dibawa pulang ke Pagerungan.
“Kami
ke selatan dulu,” sahutku.
Aku
tak bisa berleha-leha. Jarak yang makin dekat dengan rumah-rumah nelayan membuatku
tak tenang.
Bagiku,
Jangkar bukan sekadar pelabuhan. Bagiku, Jangkar adalah separuh ruh yang belum
bersatu dengan tubuh. Dulu, setahun sebelum aku menikahi Hayati, saat aku dan
Sangkal tengah menikmati alunan musik dari radio yang sinyalnya tertangkap dari
Situbondo, sementara kelapa-kelapa yang aku bawa dari Pagerungan Kecil ratusan
jumlahnya, mendadak kapal hilang kendali. Ombak menghantam seluruh lekuk tubuh.
Seluruh isi kapal terburai. Beruntunglah sebuah sampan tengah melintas dan
menyelamatkan aku dan Sangkal.
Lelaki
pemilik sampan yang menangkap ikan bersama sang anak membawa kami ke rumahnya. Di
sanalah aku dan Sangkal tinggal sementara waktu. Di sana pula aku mendapati
cerita getir kalau istri lelaki itu baru meninggal, dan terpaksa melaut bersama
anaknya yang masih berusia sembilan tahun.
Sepekan
usai tenggelamnya kapal yang aku tumpangi dan bersamaan dengan jadwal kapal
berangkat ke Sapeken, Sangkal mengajak pulang. Aku bergeming. Lelaki yang
menolong kami tengah sakit. Aku meminta Sangkal saja yang kembali sementara aku
ingin berbalas budi.
Kawanku
itu setuju. Ia balik ke Pagerungan sementara aku di Jangkar. Agaknya,
keputusanku direstui semesta. Malam saat Sangkal balik, lelaki yang menolongku
itu kejang-kejang. Rindi, anaknya, kalang-kabut menyebut nama bapaknya. Aku tak
kalah takut saat keluar rumah, berteriak meminta tolong pada orang-orang, dan
tak lama kemudian, lelaki itu meninggal.
“Kau
tak mau balik ke Pagerungan?” kata Sangkal kala kembali. “Bagaimana dengan Hayati?
Ia bakal marah melihatmu begini.”
“Untuk
itu aku butuh bantuanmu, Sangkal. Jelaskan pada Hayati apa-apa yang terjadi.
Kau lihat sendiri, anak ini tak mau lepas dari pangkuanku. Kalau bukan aku,
siapa yang mau merawat?”
Sangkal
bersikukuh tak mau bantu. Ia menginginkan aku membawa Rindi ke Pagerungan Kecil
alih-alih menetap di Jangkar.
“Ayah
ibunya di tanah ini. Tak mungkin aku memisahkan anak dan orang tuanya.”
“Kau gila,
Sam. Gila!” katanya. “Anak orang kau asuh, tapi tunangan sendiri kau lepas.”
“Aku
tak melepas Hayati. Kalau dia memang memahami, aku yakin dia pasti menunggu.
Beri aku waktu, barangkali anak ini bisa aku bawa ke Pagerungan sebagaimana
saranmu.”
Akhirnya,
Sangkal luluh. Ia kembali ke Pagerungan Kecil sementara aku merawat Rindi.
Sesekali aku bercerita pada Rindi tentang keindahan Pagerungan Kecil. Salah
satu pulau di Madura yang masyarakatnya sebagian besar Suku Bajo.
“Kau
mau ke Sulawesi?” tanyaku suatu malam. “Aku ingin melihat tanah leluhurku yang
berlayar sampai Pagerungan.”
Rindi
menggeleng. Justru dia mendekapku seraya berkata, “Aku tak ingin ke mana-mana.
Aku hanya ingin dekat denganmu, Ayah.”
Aku
tak kuasa menitikkan air mata saat mendengar Rindi memanggilku ayah. Aku
berjanji akan membawanya ke mana pun aku pergi. Sialnya, itu sekadar janji. Berbulan-bulan
kami hidup bersama, mendadak Rindi sakit serupa sakit bapaknya. Demam,
kejang-kejang. Aku gelagapan meminta pertolongan, tapi Rindi tak berhasil
diselamatkan.
“Di
sana jalannya, Sam,” seru Sangkal kala melihatku tak banyak bicara di sepanjang
langkah.
Ah,
Sangkal. Kalau bukan kawanku ini, aku tak bakal tahu kalau makam Rindi akan
digusur. Dua Minggu lalu, saat ke Situbondo, ia mendengar kabar kalau ada
proyek pelebaran jalan dan sebagian rumah, makam serta bangunan mesti digusur.
Kami
terus berjalan melewati deretan rumah yang tak lagi tampak menjemur ikan.
Agaknya, orang-orang telah beralih lahan. Terik matahari terasa menyengat saat
aku melewati jalan setapak. Tampak beberapa kendaraan berjejer mengantre.
Sontak aku bergegas menuju area bukit dan betapa terjengkangnya aku kala mendapati
apa yang tersaji di depan mata. Pohon kamboja yang dulu aku tanam di ujung
nisan, baru saja tumbang. Bahkan sebagian kecil makam Rindi telah dikeruk.
“Biarkan
saya ke sana,” kataku pada mandor. Lelaki berhelm kuning itu menolak. Ia
memintaku menjauh lantaran tak baik berada di dekat alat berat.
“Saya
ingin melihat makam anak saya,” kataku. Namun mandor itu tak menggubris.
“Bapak
punya anak di rumah, bukan?” kali ini, si mandor terdiam. Ia manatapku yang
mulai berkaca-kaca. “Biarkan saya membawanya pulang.”
Lelaki
itu meminta pengemudi beckhoe
berhenti. Ia membiarkan aku dan Sangkal mendekati area makam. Aku percaya, tak
ada seorang ayah yang bisa melupakan letak makam anaknya. Meski dua puluh lima
tahun tak berjumpa, aku masih hafal makam Rindi berada. Di sana, di bawah
ilalang setinggi lutut, dan nama di nisan telah pudar oleh usia, aku
tersedu-sedu.
Sangkal
mengingatkan kalau waktu yang aku punya tak begitu banyak. Segera aku menggali
makam Rindi menggunakan tongkang besi yang aku pinjam dari mandor tadi. Ah,
Rindi, anakku. Maafkan aku kembali dalam keadaan begini.
Aku
berusaha menguatkan diri saat kain kafan yang tak termakan tanah tampak dari
permukaan. Segera aku pungut kain yang menyisakan tulang belulang anakku itu.
Kukeluarkan sarung dari ransel kusam, aku bungkus menggunakan sarung, lalu kubawa
ke Pagerungan Kecil untuk dikubur di sana.
***
“Lepaslah
apa-apa yang mesti kau lepas,” kata Sangkal lagi. “Tak baik terus-menerus
menyimpan sembilu.”
Aku
tahu, orang-orang menginginkan hal yang sama. Mereka percaya, apa yang ada
dalam tas ini menjadi musabab kapal kehilangan arah. Lima hari kapal yang aku
tumpangi berjalan tak tentu arah. Salah seorang berinisiatif menggeledah isi
tas penumpang. Ia yakin, ada barang bawaan yang menjadi sebab kapal tak tak
bisa menepi berhari-hari.
Saat seluruh
penumpang selesai digeledah, dan tersisa tas yang terus-menerus kudekap, aku
duduk tersudut di dek atas. Aku menolak menyerahkan tas ini. Tak mungkin aku
menyerahkan tulang-belulang Rindi. Tapi tiga penumpang memegangi tubuhku dan
satu orang lagi merampas ransel. Sontak aku meraung-raung menyebut nama Rindi.
“Kembalikan
tas itu! Kembalikan!” teriakku.
“Kita
bukan umat Nabi Yunus yang memintamu terjun ke laut. Kita hanya memintamu
melarung tulang-belulang Rindi. Itu saja, Sam,” kata Sangkal.
Makin
Sangkal berujar begitu, aku makin meronta-ronta. Biar bagaimanapun, Rindi
anakku, dan aku ayahnya. Telah cukup dua puluh lima tahun aku terpenjara sepi
lantaran tak menepati janji. Telah cukup dua puluh lima tahun aku menghargai
perasaan Hayati selaku istri. Kini, aku akan tepati janji seorang ayah pada
anaknya. Akan aku bawa tas ini ke mana pun kaki pergi, meski Rindi telah
tinggal tulang belulang.
“Lepaskan,
Sam, lepaskan tulang belulang Rindi ke lautan. Dia tetap anakmu dan kau tetap
ayahnya.”
“Aku
takkan mengikuti perintahmu!”