Puisi Bagi Edgar Allan Poe - Khanafi

@kontributor 1/08/2023

Puisi Bagi Edgar Allan Poe

Khanafi



Membicarakan puisi buat saya berarti membicarakan panjang lebar tentang sesuatu yang sulit dijelaskan secara gamblang. Puisi tidak pernah final seperti istilah yang sering dikenakan untuk mengatakan tentang Pancasila, yaitu Pancasila sudah final! atau NKRI harga mati! Artinya puisi membuka terus kemungkinan untuk dibicarakan, didiskusikan, bahkan diperdebatkan. Masalahnya, sedikit sekali bahkan “tak ada” kritikus yang mengulas puisi sebanyak daripada membicarakan prosa, bahkan di kampus-kampus pun puisi adalah genre yang freak.

Puisi jelas bukan term filsafat atau teori-teori ilmu sosial yang diperdebatkan dengan ramai oleh kalangan akademisi, faktanya teori atau kajian puisi lahir setelah puisi itu berkembang menjadi tradisi tertentu. Maka barangkali lebih tepat jika dikatakan, bahwa puisi seperti jalan menuju roma, dan setiap penyair memiliki jalan artistiknya sendiri dalam berpuisi (walaupun tidak lepas dari tradisi sebelumnya yang telah dibaca dan diseleksi oleh penyair tersebut).

Dalam tulisan ini agaknya saya akan menyampaikan pandangan estetika Edgar Allan Poe tentang puisi, namun sebelum itu perlu diceritakan secara singkat bagaimana nama penyair kenamaan “Edgar Allan Poe” itu bisa dikenal oleh saya, meski ini tidak terlalu penting.

Saya menemukan nama itu mula-mula dari buku biografi pengarang-pengarang gila yang ditulis oleh salah seorang penerjemah cum penulis, Triwibowo BS, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Mbah Nyutz, yang saat ini bermukim di Yogyakarta, tepatnya di Kaliurang. Dari buku berjudul Divine Madness: Sketsa Biografi Sastrawan Gila terbitan Kaki Langit Kencana itulah saya menemukan banyak nama pengarang luar negeri yang mengesankan saya.

Buku biografi pengarang luar negeri itu saya dapatkan dari kakak saya yang adalah editor di penerbit Kaki Langit Kencana tersebut, meski buku itu tidak diedit olehnya. Ketertarikan saya pada buku-buku terjemahan sebelum masuk ke dunia kampus, membuat kakak saya peka untuk mencarikan bahan bacaan terjemahan yang bagus, dan mengenalkan nama-nama baru dari pengarang yang bagus baik luar maupun dalam negeri.

Di situlah, setiap hari ulang tahun saya (sebelum masuk kuliah hingga kuliah semester-semester awal), kakak saya akan menghadiahi buku-buku, biasanya terjemahan, walaupun tidak banyak, karena harga buku amat mahal di Gramedia, sedangkan kakak saya tentu saja bisa membacanya dalam bahasa Inggris, sehingga terasa berat jika harga buku terjemahan itu selangit harganya.

Dari dalam negeri relatif sedikit nama yang saya kenal, Rendra, Praomedya, Ayu Utami, Goenawan Mohamad, yang lainnya tak terdengar, mungkin karena kakak saya mengambil jurusan sastra Inggris bukannya sastra Indonesia seperti saya, jadi saya pun mendapat nama-nama pengarang Indonesia setelah saya duduk di bangku kuliah.

Biografi singkat pengarang luar negeri dalam buku itu tentu saja sangat singkat, seperti judulnya yang memang hanyalah “sketsa”, bukannya biografi yang utuh tentang mereka. Karya-karyanya pun tidak tercantum, hanya judul dan bibliografinya saja, meski begitu sudah cukup berkesan bagi saya hingga bertahun-tahun ke depan. Nama Poe itu menjadi salah satu pengarang yang saya cari-cari karyanya.

Mula-mula tentu saya tidak tahu bahwa Poe itu punya beberapa kumpulan puisi, bahkan ada yang dihasilkannya ketika umur belasan, sebab dalam bahasa Indonesia tidak pernah ada yang menerjemahkan karya-karya puisinya, kecuali hanya beberapa potong saja. Kita semua tahu puisi adalah yang paling sedikit diurus (diterjemahkan) ke dalam bahasa Indonesia.

Poe lebih saya kenal sebagai penulis cerita-cerita detektif dan cerita seram lainnya. Estetika keseraman Poe, setelah bertahun-tahun saya mempelajarinya melalui membaca buku-buku tentangnya yang kebanyakan bahasa Inggris, memberikan suatu kesimpulan yang mencengangkan, bahwa ia mengalami hidup yang berubah-ubah dan sungguh malang karya-karyanya tak pernah mendapatkan royalti yang besar.

Jika Ernest Hemingway pernah menulis puisi, dan mengirimkannya ke majalah-majalah sastra, sampai akhirnya memutuskan untuk membencinya selamanya, karena faktor honor yang kecil daripada honor prosa-prosanya, dan kesadaran bahwa dirinya tidak bakat menulis puisi, Poe nampaknya lebih tersiksa menulis prosa-prosa seram meskipun sangat brilian, dan lebih menyelami dunia yang puitis daripada faktual macam Hemingway yang adalah penulis prosa cum jurnalis itu.

Poe berkali-kali memohon kepada redaktur koran, yang memuat tulisan-tulisan prosanya yang seram itu, seperti yang tergambar pada film The Raven (judul salah satu puisinya yang terkenal), untuk memberinya peluang menulis puisi daripada cerita tentang darah, tapi nampaknya Poe justru digemari karena hal-hal tentang darah tersebut. Akhirnya Poe menjual imajinasi puitisnya ke dalam prosa, dan hal mana kemudian ditemukan oleh penyair besar Prancis, yang dijuluki “raja para penyair” oleh Arthur Rimbaud, yaitu Charles Baudelaire. Baudelaire menerjemahkan karya-karya Poe dan mengenalkannya ke khalayak Prancis, serta mengadopsi permainan sensasi itu ke dalam puisi, yang menjadi suatu gerakan terkenal “simbolisme” dan “surealisme” dalam puisi.

Simbolisme di Prancis berhutang kepada Poe dalam arti tertentu melalui Baudelaire, dan seperti puisi Poe, puisi Baudelaire pun tidak bisa dinikmati dalam bahasa Indonesia, sebab tak ada terjemahannya, jika pun ada mungkin tak memadai. Tapi gema puisi simbolis itu masuk ke daerah Surabaya dan membesarkan para penyair yang terkenal dengan “puisi gelap” dengan estetika surealisme, seperti Indra Tjahyadi, W Haryanto, Mashuri, yang menggarap puisi lebih ke alam arkaik, di sisi yang lain Arief Bagus Prasetyo, Afrizal Malna yang mengolah urban, F Aziz Manna yang berusaha meng-counter gerakan “puisi gelap” dengan menerbitkan manifesto “post-puisi gelap” atau “post-surealisme”.

Kembali ke Poe, yang seumur hidupnya tidak pernah dikenali kualitas puisinya tinimbang prosanya. Ia pernah menulis dalam kata pengantar yang menyatakan kredo puisinya yang dipertahankannya sepanjang hidup, dan menyusup ke dalam imajinasi prosa-prosanya.

“Sebuah puisi menurut saya,” tulisnya, “berlawanan dengan karya sains, puisi memiliki objek langsungnya, yaitu kesenangan bukannya kebenaran, bagi romansa, puisi memiliki kesenangan yang tak terbatas bukannya kesenangan yang pasti”. Dia melanjutkan dengan mengklaim puisi berkaitan dengan “sensasi tak terbatas yang pada akhirnya musik menjadi sangat penting, karena pemahaman suara yang manis adalah konsepsi kita yang paling tak pasti.”

Pernyataan itulah yang kemudian mempengaruhi, dan memberikan efeknya yang mendalam pada perpuisian Prancis abad ke-19. Ternyata puisi bisa mengadopsi tradisi seni mana pun, dan mengembangkannya secara pribadi, seperti simbolisme pada puisi Prancis dan surealisme puisi, yang kita tahu surealisme lebih dekat ke seni rupa dan visualisasi, tapi rupanya yang visual dan yang musikal bisa masuk di dalam puisi.

Puisi akhirnya menguji kemampuan “bermain kata” penyairnya dengan teknik tertentu, dengan mengandalkan eksplorasi yang tak terbatas pada segala hal. Begitulah, meskipun Poe tidak terkenal dengan puisi-puisinya, tetapi paham seninya telah menumbuhkan gerakan puisi di Prancis dan mempengaruhi para penyair “puisi gelap” di kota Surabaya, melalui para penyair simbolis Prancis. Meski nilai sebuah puisi tak bisa ditentukan dari masa hidup atau setelah matinya penyair itu, tapi yang pasti puisi itu sendiri adalah harga hidup bukan harga mati. Dan puisi pun bisa menempuh jalan lain ke mana saja penyair suka (kesenangan tak terbatas) mengeksplorasinya, atau ke mana pun kelak berpulang adalah milik nasib (kesunyian). Wallahu a’lam bisawab.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »