Puisi Bagi Edgar Allan Poe
Khanafi
Membicarakan puisi buat saya berarti
membicarakan panjang lebar tentang sesuatu yang sulit dijelaskan secara
gamblang. Puisi tidak pernah final seperti istilah yang sering dikenakan untuk
mengatakan tentang Pancasila, yaitu Pancasila sudah final! atau NKRI
harga mati! Artinya puisi membuka terus kemungkinan untuk dibicarakan,
didiskusikan, bahkan diperdebatkan. Masalahnya, sedikit sekali bahkan “tak ada”
kritikus yang mengulas puisi sebanyak daripada membicarakan prosa, bahkan di
kampus-kampus pun puisi adalah genre yang freak.
Puisi jelas bukan
term filsafat atau teori-teori ilmu sosial yang diperdebatkan dengan ramai oleh
kalangan akademisi, faktanya teori atau kajian puisi lahir setelah puisi itu
berkembang menjadi tradisi tertentu. Maka barangkali lebih tepat jika
dikatakan, bahwa puisi seperti jalan menuju roma, dan setiap penyair
memiliki jalan artistiknya sendiri dalam berpuisi (walaupun tidak lepas dari
tradisi sebelumnya yang telah dibaca dan diseleksi oleh penyair tersebut).
Dalam tulisan ini
agaknya saya akan menyampaikan pandangan estetika Edgar Allan Poe tentang
puisi, namun sebelum itu perlu diceritakan secara singkat bagaimana nama
penyair kenamaan “Edgar Allan Poe” itu bisa dikenal oleh saya, meski ini tidak
terlalu penting.
Saya menemukan
nama itu mula-mula dari buku biografi pengarang-pengarang gila yang ditulis
oleh salah seorang penerjemah cum penulis, Triwibowo BS, atau yang lebih
dikenal dengan panggilan Mbah Nyutz, yang saat ini bermukim di Yogyakarta, tepatnya
di Kaliurang. Dari buku berjudul Divine Madness: Sketsa Biografi Sastrawan
Gila terbitan Kaki Langit Kencana itulah saya menemukan banyak nama
pengarang luar negeri yang mengesankan saya.
Buku biografi
pengarang luar negeri itu saya dapatkan dari kakak saya yang adalah editor di
penerbit Kaki Langit Kencana tersebut, meski buku itu tidak diedit olehnya.
Ketertarikan saya pada buku-buku terjemahan sebelum masuk ke dunia kampus,
membuat kakak saya peka untuk mencarikan bahan bacaan terjemahan yang bagus,
dan mengenalkan nama-nama baru dari pengarang yang bagus baik luar maupun dalam
negeri.
Di situlah, setiap
hari ulang tahun saya (sebelum masuk kuliah hingga kuliah semester-semester
awal), kakak saya akan menghadiahi buku-buku, biasanya terjemahan, walaupun
tidak banyak, karena harga buku amat mahal di Gramedia, sedangkan kakak saya
tentu saja bisa membacanya dalam bahasa Inggris, sehingga terasa berat jika
harga buku terjemahan itu selangit harganya.
Dari dalam negeri
relatif sedikit nama yang saya kenal, Rendra, Praomedya, Ayu Utami, Goenawan
Mohamad, yang lainnya tak terdengar, mungkin karena kakak saya mengambil
jurusan sastra Inggris bukannya sastra Indonesia seperti saya, jadi saya pun
mendapat nama-nama pengarang Indonesia setelah saya duduk di bangku kuliah.
Biografi singkat
pengarang luar negeri dalam buku itu tentu saja sangat singkat, seperti
judulnya yang memang hanyalah “sketsa”, bukannya biografi yang utuh tentang
mereka. Karya-karyanya pun tidak tercantum, hanya judul dan bibliografinya saja,
meski begitu sudah cukup berkesan bagi saya hingga bertahun-tahun ke depan.
Nama Poe itu menjadi salah satu pengarang yang saya cari-cari karyanya.
Mula-mula tentu
saya tidak tahu bahwa Poe itu punya beberapa kumpulan puisi, bahkan ada yang
dihasilkannya ketika umur belasan, sebab dalam bahasa Indonesia tidak pernah
ada yang menerjemahkan karya-karya puisinya, kecuali hanya beberapa potong
saja. Kita semua tahu puisi adalah yang paling sedikit diurus (diterjemahkan)
ke dalam bahasa Indonesia.
Poe lebih saya
kenal sebagai penulis cerita-cerita detektif dan cerita seram lainnya. Estetika
keseraman Poe, setelah bertahun-tahun saya mempelajarinya melalui membaca
buku-buku tentangnya yang kebanyakan bahasa Inggris, memberikan suatu
kesimpulan yang mencengangkan, bahwa ia mengalami hidup yang berubah-ubah dan
sungguh malang karya-karyanya tak pernah mendapatkan royalti yang besar.
Jika Ernest
Hemingway pernah menulis puisi, dan mengirimkannya ke majalah-majalah sastra,
sampai akhirnya memutuskan untuk membencinya selamanya, karena faktor honor
yang kecil daripada honor prosa-prosanya, dan kesadaran bahwa dirinya tidak
bakat menulis puisi, Poe nampaknya lebih tersiksa menulis prosa-prosa seram
meskipun sangat brilian, dan lebih menyelami dunia yang puitis daripada faktual
macam Hemingway yang adalah penulis prosa cum jurnalis itu.
Poe berkali-kali
memohon kepada redaktur koran, yang memuat tulisan-tulisan prosanya yang seram
itu, seperti yang tergambar pada film The Raven (judul salah satu
puisinya yang terkenal), untuk memberinya peluang menulis puisi daripada cerita
tentang darah, tapi nampaknya Poe justru digemari karena hal-hal tentang darah
tersebut. Akhirnya Poe menjual imajinasi puitisnya ke dalam prosa, dan hal mana
kemudian ditemukan oleh penyair besar Prancis, yang dijuluki “raja para
penyair” oleh Arthur Rimbaud, yaitu Charles Baudelaire. Baudelaire
menerjemahkan karya-karya Poe dan mengenalkannya ke khalayak Prancis, serta
mengadopsi permainan sensasi itu ke dalam puisi, yang menjadi suatu gerakan terkenal
“simbolisme” dan “surealisme” dalam puisi.
Simbolisme di
Prancis berhutang kepada Poe dalam arti tertentu melalui Baudelaire, dan
seperti puisi Poe, puisi Baudelaire pun tidak bisa dinikmati dalam bahasa
Indonesia, sebab tak ada terjemahannya, jika pun ada mungkin tak memadai. Tapi
gema puisi simbolis itu masuk ke daerah Surabaya dan membesarkan para penyair
yang terkenal dengan “puisi gelap” dengan estetika surealisme, seperti Indra
Tjahyadi, W Haryanto, Mashuri, yang menggarap puisi lebih ke alam arkaik, di
sisi yang lain Arief Bagus Prasetyo, Afrizal Malna yang mengolah urban, F Aziz
Manna yang berusaha meng-counter gerakan “puisi gelap” dengan
menerbitkan manifesto “post-puisi gelap” atau “post-surealisme”.
Kembali ke Poe,
yang seumur hidupnya tidak pernah dikenali kualitas puisinya tinimbang
prosanya. Ia pernah menulis dalam kata pengantar yang menyatakan kredo puisinya
yang dipertahankannya sepanjang hidup, dan menyusup ke dalam imajinasi
prosa-prosanya.
“Sebuah puisi
menurut saya,” tulisnya, “berlawanan dengan karya sains, puisi memiliki objek langsungnya,
yaitu kesenangan bukannya kebenaran, bagi romansa, puisi memiliki kesenangan
yang tak terbatas bukannya kesenangan yang pasti”. Dia melanjutkan dengan
mengklaim puisi berkaitan dengan “sensasi tak terbatas yang pada akhirnya musik
menjadi sangat penting, karena pemahaman suara yang manis adalah
konsepsi kita yang paling tak pasti.”
Pernyataan itulah
yang kemudian mempengaruhi, dan memberikan efeknya yang mendalam pada
perpuisian Prancis abad ke-19. Ternyata puisi bisa mengadopsi tradisi seni mana
pun, dan mengembangkannya secara pribadi, seperti simbolisme pada puisi Prancis
dan surealisme puisi, yang kita tahu surealisme lebih dekat ke seni rupa dan
visualisasi, tapi rupanya yang visual dan yang musikal bisa masuk di dalam
puisi.
Puisi akhirnya
menguji kemampuan “bermain kata” penyairnya dengan teknik tertentu, dengan
mengandalkan eksplorasi yang tak terbatas pada segala hal. Begitulah, meskipun
Poe tidak terkenal dengan puisi-puisinya, tetapi paham seninya telah
menumbuhkan gerakan puisi di Prancis dan mempengaruhi para penyair “puisi
gelap” di kota Surabaya, melalui para penyair simbolis Prancis. Meski nilai
sebuah puisi tak bisa ditentukan dari masa hidup atau setelah matinya penyair
itu, tapi yang pasti puisi itu sendiri adalah harga hidup bukan harga mati. Dan
puisi pun bisa menempuh jalan lain ke mana saja penyair suka (kesenangan tak
terbatas) mengeksplorasinya, atau ke mana pun kelak berpulang adalah milik
nasib (kesunyian). Wallahu a’lam bisawab.