Epitaf
Mbah Saridin
Muhammad
Farhan
Mbah Saridin sibuk sejak pagi di garasinya.
Biasanya ia agak siangan jikalau Jumat. Tapi hari ini berbeda, nampaknya ia
sedang menyelesaikan satu pesanan dari orang penting.
“Mbah,
pagi-pagi jangan lupa ngopi. Sudah main potong-potong granit saja nih,” celetuk
Kamari saat lewat di depan garasi Mbah Saridin.
“Siap
Ri. Maklum, proyek besar ini, khakhakha,” jawabnya sambil tertawa.
Konon
Mbah Saridin adalah tukang pahat yang masyhur. Bahkan usut punya usut, ketika Mbah
Saridin masih muda sering menerima pesanan patung dari beberapa pejabat
penting. Orang-orang desa sebetulnya tak begitu percaya jika Mbah Saridin adalah
seniman pematung hebat yang dikenali banyak orang penting. Pasalnya, keseharian
Mbah Saridin tak menunjukkan dirinya seperti orang terkenal.
Di
kala pagi ia sudah sibuk dengan mesin gerindanya. Memotong-motong batu granit
dan kayu-kayu bakal karyanya. Dan yang paling nyentrik, ia selalu bertelanjang
dada, hanya bercelana pendek dengan rokok yang selalu nangkring di bibir hitamnya.
Ia tak punya galeri seni layaknya seniman-seniman di luaran sana. Hanya garasi
dua kali tiga meter yang sesak dengan batu granit dan kayu-kayu itu sebagai
tempatnya berkarya.
Daripada memercayai Mbah Saridin sebagai
seniman, orang-orang lebih percaya jika dia hanyalah tukang pahat batu nisan.
Masalahnya selama ini ia sering menampakkan karya-karya batu nisannya daripada patung-patung
pesanan para pejabat tinggi itu. Di garasinya, stok nisan selalu tersedia.
Nisan-nisan itu lengkap, mulai dari bahan kayu, gipsum, hingga yang termahal
berbahan granit.
Orang-orang
desa banyak membeli batu nisan kepadanya. Selain karena harganya murah, juga
bisa dipesan untuk pengkijingan kuburan. Orang-orang sini terbiasa mengkijing kuburan-kuburan
keluarga mereka yang telah wafat. Mulai dari kijing berbentuk plester semen,
pualam, hingga keramik, semua bisa dikerjakan Mbah Saridin.
“Istirahat
dulu Mbah Din, sarapan. Ini kubawakan singkong rebus.” Kamari datang lagi, kali
ini ia membawa singkong rebus buatan warung Mak Yah. Disusul di belakangnya
Harto juga datang dengan motor tuanya.
“Wah
terima kasih ya. Kau dari warung Mak
Yah?,” tanya Mbah Saridin.
“Iya
Mbah. Pagi-pagi seperti ini orang-orang sudah ramai membicarakan bapaknya si
Masduki yang mati kemarin.”
“Kasihan
dia itu,” ujar Mbah Saridin sambil meneruskan memotong granit.
“Assalamualaikum,
Mbah pesananku sudah?,” sekonyong-konyong Harto datang dari belakang Kamari dan
menyolot.
“Waalaikumsalam.
Sudah, besok aku butuh beberapa orang untuk mengangkat itu ke kuburan mbahmu,”
jawab Mbah Saridin sambil menunjuk satu kijing makam dari semen dicampur gipsum.
Rupanya Harto memesan kijing minimalis seperti di kebanyakan tempat, hanya
semen dan dilapisi cat warna putih.
“Siap
Mbah Din, berapa ongkosnya?,”
“Sudah
gampang, besok saja kasihkan ke orang-orang yang membantu mengangkat kijing
ini. Belikan mereka makan atau minum. Kalau soal ongkos tak usah, aku berutang
budi pada bapakmu seekor ayam yang belum kulunasi.”
“Serius
mbah??,” tanya Harto tak percaya. “Iya, besok pagi-pagi ambil segera, nanti
kubantu memasangkan di kuburan.” Nampak wajah Harto berseri-seri, ia tak jadi
mengeluarkan uang dari saku celana dibalik sarungnya.
“Soal
yang tadi, kasihan bapaknya si Masduki itu” lanjut Mbah Saridin, “Ia sudah lama
sakit kuning. Dan menjelang kondisinya memburuk, Masduki memesan kijing marmer
padaku.”
“Gila”
Kamari pun terkejut, “Lalu, sekarang sudah jadi, Mbah?.” Mbah Saridin
menggeleng, “Mengkijing kuburan itu sebetulnya ada niatan apiknya. Dikijing,
diberi tanda biar suatu saat jika tanahnya ambles atau tergerus hujan masih
bisa dikenali kuburannya. Itupun yang wajar-wajar saja. Lha ini minta
mengkijing makam dengan marmer sekaligus dipagari beberapa petak. Aku tak mau
seperti itu, kau kira tanah kuburan itu milikmu sendiri.” Harto dan Kamari pun
tertawa mendengarnya.
“Lha
ini milik siapa, Mbah?, asik betul modelnya,” tanya Kamari sambil menunjuk ke
sebuah batu.
“Yang
ini spesial. Bukan dimodel lagi, tapi ini memang batu. Batu biasa yang aku
bersihkan. Kemarin aku menemukan di kali belakang rumah.”
“Polosan
begini mbah, mana mungkin laku. Kalau cuma batu seperti ini, saya juga bisa
nyari sendiri mbah,” jawab Harto diikuti tawa Kamari.
“Khakhakha”
Mbah Saridin pun ikut tertawa, “Tapi ini spesial. Nanti mau kutulis nasihat di
batu itu. Apa kamu mau memesan batu ini untuk kuburanmu nanti Ri?, atau kamu
saja Har?. Lumayan, kuburanmu nanti mirip kuburan-kuburan tokoh besar, ada
pesan hikmahnya di bagian nisannya.” Harto dan Kamari terdiam sejenak. “Ah Mbah
Din ini kalau ngomong suka njeplak. Kami masih muda mbah, hahahaha,” jawab
Kamari sambil menyeka keringatnya yang tiba-tiba keluar di jidatnya.
“Khakhakha,
kalian berdua takut rupanya. Dasar anak muda yang masih betah di dunia.”
Obrolan
mereka berlanjut, dan Mbah Saridin masih terus melanjutkan pekerjaannya.
-----------------------
Esoknya,
orang-orang dibuat hebot dengan berita subuh tadi. Kamari tak sempat berganti
baju, ia masih berselimut sewek dan berlari sekencang-kencangnya dari teras
rumahnya. Orang-orang sudah berduyun-duyun memikul wadah berisi beras sambil
tak henti-hentinya mulut mereka nyerocos soal keganjilan subuh tadi.
Harto
dan dua orang tetangganya yang ia ajak mengambil kijing pun ikut terbelalak
melihat apa yang terjadi. Kamari termangu menatap Mbah Saridin sudah terbaring
tak bernyawa di atas amben. Suara yasin dan tahlil yang keras membuat Kamari
merinding. Ya, subuh tadi ajal menjemput Mbah Saridin. Orang-orang masih
sedikit celingukan tak percaya. Kemarin Mbah Saridin masih tampak sibuk dengan
pekerjaannya di garasi, kini sudah terbaring tak berdaya.
Pemakaman
berjalan khidmat. Orang-orang berduyun-duyun datang dan mendoakan Mbah Saridin.
Kini, sosok andalan orang-orang desa membuat nisan itu sudah tiada. Dan tak
lupa, nisan batu yang kemarin sempat ditertawakan Kamari dan Harto, kini terdampar
di atas gundukan tanah kuburan Mbah Saridin. Mbah Saridin telah berwasiat pada
anaknya agar kuburannya tak dikijing. Bahkan ia sendiri yang meminta jika batu
yang ditulisnya kemarin malam itu yang nantinya akan menjadi nisan di
kuburannya suatu saat nanti. Dan rupanya, Mbah Saridin menulis batu nisannya
itu ditemani malaikat maut kemarin malam.
‘Manusia
dari tanah dan akan kembali ke tanah. Ketika manusia mati, mereka akan
dilupakan dan bahkan manusia akan ditelan bumi, walau nisan mereka menjulang
setinggi langit’ begitu epitaf yang tertulis di batu nisan Mbah Saridin,
dan orang-orang dibuat terhenyak dengannya.
-----------------
Seminggu
sudah tahlil di rumah Mbah Saridin diselenggarakan. Kuburannya pun tak pernah
sepi. Beberapa kali peziarah dari luar kota datang ke makam Mbah Saridin. Dan
yang membuat orang-orang terkejut adalah banyak pejabat-pejabat dengan
mobil-mobil mewah mereka datang ke kuburan Mbah Saridin. Ternyata Mbah Saridin
benar-benar orang terkenal, batin Kamari.