Epitaf Mbah Saridin - Muhammad Farhan

@kontributor 1/01/2023

Epitaf Mbah Saridin

Muhammad Farhan

 




Mbah Saridin sibuk sejak pagi di garasinya. Biasanya ia agak siangan jikalau Jumat. Tapi hari ini berbeda, nampaknya ia sedang menyelesaikan satu pesanan dari orang penting.

            “Mbah, pagi-pagi jangan lupa ngopi. Sudah main potong-potong granit saja nih,” celetuk Kamari saat lewat di depan garasi Mbah Saridin.

            “Siap Ri. Maklum, proyek besar ini, khakhakha,” jawabnya sambil tertawa.

            Konon Mbah Saridin adalah tukang pahat yang masyhur. Bahkan usut punya usut, ketika Mbah Saridin masih muda sering menerima pesanan patung dari beberapa pejabat penting. Orang-orang desa sebetulnya tak begitu percaya jika Mbah Saridin adalah seniman pematung hebat yang dikenali banyak orang penting. Pasalnya, keseharian Mbah Saridin tak menunjukkan dirinya seperti orang terkenal.

            Di kala pagi ia sudah sibuk dengan mesin gerindanya. Memotong-motong batu granit dan kayu-kayu bakal karyanya. Dan yang paling nyentrik, ia selalu bertelanjang dada, hanya bercelana pendek dengan rokok yang selalu nangkring di bibir hitamnya. Ia tak punya galeri seni layaknya seniman-seniman di luaran sana. Hanya garasi dua kali tiga meter yang sesak dengan batu granit dan kayu-kayu itu sebagai tempatnya berkarya.

             Daripada memercayai Mbah Saridin sebagai seniman, orang-orang lebih percaya jika dia hanyalah tukang pahat batu nisan. Masalahnya selama ini ia sering menampakkan karya-karya batu nisannya daripada patung-patung pesanan para pejabat tinggi itu. Di garasinya, stok nisan selalu tersedia. Nisan-nisan itu lengkap, mulai dari bahan kayu, gipsum, hingga yang termahal berbahan granit. 

            Orang-orang desa banyak membeli batu nisan kepadanya. Selain karena harganya murah, juga bisa dipesan untuk pengkijingan kuburan. Orang-orang sini terbiasa mengkijing kuburan-kuburan keluarga mereka yang telah wafat. Mulai dari kijing berbentuk plester semen, pualam, hingga keramik, semua bisa dikerjakan Mbah Saridin.

            “Istirahat dulu Mbah Din, sarapan. Ini kubawakan singkong rebus.” Kamari datang lagi, kali ini ia membawa singkong rebus buatan warung Mak Yah. Disusul di belakangnya Harto juga datang dengan motor tuanya.

            “Wah terima kasih ya. Kau dari  warung Mak Yah?,” tanya Mbah Saridin.

            “Iya Mbah. Pagi-pagi seperti ini orang-orang sudah ramai membicarakan bapaknya si Masduki yang mati kemarin.”

            “Kasihan dia itu,” ujar Mbah Saridin sambil meneruskan memotong granit.

            “Assalamualaikum, Mbah pesananku sudah?,” sekonyong-konyong Harto datang dari belakang Kamari dan menyolot.

            “Waalaikumsalam. Sudah, besok aku butuh beberapa orang untuk mengangkat itu ke kuburan mbahmu,” jawab Mbah Saridin sambil menunjuk satu kijing makam dari semen dicampur gipsum. Rupanya Harto memesan kijing minimalis seperti di kebanyakan tempat, hanya semen dan dilapisi cat warna putih.

            “Siap Mbah Din, berapa ongkosnya?,”

            “Sudah gampang, besok saja kasihkan ke orang-orang yang membantu mengangkat kijing ini. Belikan mereka makan atau minum. Kalau soal ongkos tak usah, aku berutang budi pada bapakmu seekor ayam yang belum kulunasi.”

            “Serius mbah??,” tanya Harto tak percaya. “Iya, besok pagi-pagi ambil segera, nanti kubantu memasangkan di kuburan.” Nampak wajah Harto berseri-seri, ia tak jadi mengeluarkan uang dari saku celana dibalik sarungnya.

            “Soal yang tadi, kasihan bapaknya si Masduki itu” lanjut Mbah Saridin, “Ia sudah lama sakit kuning. Dan menjelang kondisinya memburuk, Masduki memesan kijing marmer padaku.”

            “Gila” Kamari pun terkejut, “Lalu, sekarang sudah jadi, Mbah?.” Mbah Saridin menggeleng, “Mengkijing kuburan itu sebetulnya ada niatan apiknya. Dikijing, diberi tanda biar suatu saat jika tanahnya ambles atau tergerus hujan masih bisa dikenali kuburannya. Itupun yang wajar-wajar saja. Lha ini minta mengkijing makam dengan marmer sekaligus dipagari beberapa petak. Aku tak mau seperti itu, kau kira tanah kuburan itu milikmu sendiri.” Harto dan Kamari pun tertawa mendengarnya.

            “Lha ini milik siapa, Mbah?, asik betul modelnya,” tanya Kamari sambil menunjuk ke sebuah batu.

            “Yang ini spesial. Bukan dimodel lagi, tapi ini memang batu. Batu biasa yang aku bersihkan. Kemarin aku menemukan di kali belakang rumah.”

            “Polosan begini mbah, mana mungkin laku. Kalau cuma batu seperti ini, saya juga bisa nyari sendiri mbah,” jawab Harto diikuti tawa Kamari.

            “Khakhakha” Mbah Saridin pun ikut tertawa, “Tapi ini spesial. Nanti mau kutulis nasihat di batu itu. Apa kamu mau memesan batu ini untuk kuburanmu nanti Ri?, atau kamu saja Har?. Lumayan, kuburanmu nanti mirip kuburan-kuburan tokoh besar, ada pesan hikmahnya di bagian nisannya.” Harto dan Kamari terdiam sejenak. “Ah Mbah Din ini kalau ngomong suka njeplak. Kami masih muda mbah, hahahaha,” jawab Kamari sambil menyeka keringatnya yang tiba-tiba keluar di jidatnya.

            “Khakhakha, kalian berdua takut rupanya. Dasar anak muda yang masih betah di dunia.”

            Obrolan mereka berlanjut, dan Mbah Saridin masih terus melanjutkan pekerjaannya.

-----------------------

            Esoknya, orang-orang dibuat hebot dengan berita subuh tadi. Kamari tak sempat berganti baju, ia masih berselimut sewek dan berlari sekencang-kencangnya dari teras rumahnya. Orang-orang sudah berduyun-duyun memikul wadah berisi beras sambil tak henti-hentinya mulut mereka nyerocos soal keganjilan subuh tadi.

            Harto dan dua orang tetangganya yang ia ajak mengambil kijing pun ikut terbelalak melihat apa yang terjadi. Kamari termangu menatap Mbah Saridin sudah terbaring tak bernyawa di atas amben. Suara yasin dan tahlil yang keras membuat Kamari merinding. Ya, subuh tadi ajal menjemput Mbah Saridin. Orang-orang masih sedikit celingukan tak percaya. Kemarin Mbah Saridin masih tampak sibuk dengan pekerjaannya di garasi, kini sudah terbaring tak berdaya.

            Pemakaman berjalan khidmat. Orang-orang berduyun-duyun datang dan mendoakan Mbah Saridin. Kini, sosok andalan orang-orang desa membuat nisan itu sudah tiada. Dan tak lupa, nisan batu yang kemarin sempat ditertawakan Kamari dan Harto, kini terdampar di atas gundukan tanah kuburan Mbah Saridin. Mbah Saridin telah berwasiat pada anaknya agar kuburannya tak dikijing. Bahkan ia sendiri yang meminta jika batu yang ditulisnya kemarin malam itu yang nantinya akan menjadi nisan di kuburannya suatu saat nanti. Dan rupanya, Mbah Saridin menulis batu nisannya itu ditemani malaikat maut kemarin malam.

            ‘Manusia dari tanah dan akan kembali ke tanah. Ketika manusia mati, mereka akan dilupakan dan bahkan manusia akan ditelan bumi, walau nisan mereka menjulang setinggi langit’ begitu epitaf yang tertulis di batu nisan Mbah Saridin, dan orang-orang dibuat terhenyak dengannya.

-----------------

            Seminggu sudah tahlil di rumah Mbah Saridin diselenggarakan. Kuburannya pun tak pernah sepi. Beberapa kali peziarah dari luar kota datang ke makam Mbah Saridin. Dan yang membuat orang-orang terkejut adalah banyak pejabat-pejabat dengan mobil-mobil mewah mereka datang ke kuburan Mbah Saridin. Ternyata Mbah Saridin benar-benar orang terkenal, batin Kamari.

           

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »