Perpustakaan, Penanda Sejarah Kesusastraan
Sapta Arif N.W.
Membicarakan sejarah kesusastraan
Indonesia kerapkali menimbulkan pro dan kontra. Kita mengenal beberapa pendapat
perihal lahirnya kesusastraan Indonesia. Mengutip buku Maman S. Mahayana yang
berjudul Bermain dengan Cerpen, Ajip Rosidi berpendapat bahwa lahirnya
kesusastraan Indonesia di kisaran tahun 1920. Hal ini merujuk pada pergerakan
pemuda Indonesia (Yamin, Hatta, dll) yang memperkenalkan sajak mereka yang bercorak
kebangsaan. Zuber Usman yang secara eksplisit mengutarakan Zaman Balai Pustaka
sebagai tonggak kesusastraan Indonesia. Sementara Umar Yunus, dengan tegas menandai
pada 28 Oktober 1928 (Sumpah Pemuda) sebagai lahirnya kesusastraan Indonesia. Sedangkan
Teeuw, meski tidak menyebutkan Balai Pustaka, ia menunjuk tahun 1920 sebagai
kelahiran sastra Indonesia modern.
Membahas
perihal sejarah kesusastraan Indonesia tidak bisa lepas dari proses pembentukan
budaya nasional. Dari empat pendapat di atas kita paham bahwa kesusastraan
Indonesia tidak lepas dari semangat kebangkitan nasional. Periode awal abad
20-an, Indonesia mengalami peralihan yang cukup signifikan mencakup segi bahasa
hingga budaya. Di zaman itu, perkotaan merupakan tempat berbaurnya beragam
etnik. Di sinilah percampuran bahasa dari masing-masing daerah terjadi. Hingga
pada 28 Oktober 1928 menjadi penanda semangat untuk menjunjung bahasa
persatuan: Bahasa Indonesia.
Ada
yang mengatakan di masa itu, wibawa dan gengsi kaum elit tradisional dari
Hindia Timur sedang menurun. Reaksinya beragam: ada yang kembali pada
kebudayaan tradisional. Ada pula yang melakukan pertunangan dengan barat dengan
cara membuka pintu akses kebudayaan barat agar diajarkan di Indonesia. Peralihan
besar-besaran terjadi perlahan namun pasti. Mulai dari bahasa sehari-hari yang
kebanyakan dituturkan menggunakan bahasa daerah dan bahasa melayu. Di ranah
karya sastra pun demikian, novel yang semula ditulis oleh orang-orang Cina dan
Indonesia yang menuturkan bahasa Melayu, kini cakupannya bisa lebih luas.
Mereka mulai memperkenalkan penggunaan bahasa Indonesia dalam novel. Situasi
ini memberikan tekanan di berbagai sektor, mulai dari pengguna bahasa hingga
perpolitikan. Namun, dari situasi ini lahirlah anggapan bahwa sastra merupakan
alat untuk menciptakan persatuan nasional. Artinya, di masa itu kepercayaan
terhadap sastra mulai tinggi. Sastra dianggap mampu mengemban misi menyatukan
Indonesia yang beragam etnisnya.
Perpustakaan sebagai
Penanda
Kebudayaan
selalu ditandai adanya monumen ingatan. Ada yang berupa buku-buku tua, prasasti,
pahatan dinding, hingga serpihan bangunan yang diduga perpustakaan. Fernando Báez
dalam buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (Marjin Kiri, 2021)
mengungkapkan keberadaan perpustakaan sudah ada sejak 4100-3300 SM. Hal ini
ditandai dengan ditemukannya sebuah arkeologi pada tahun 1924 yang mengungkap
keberadaan buku-buku tua yang bertahan hingga sekarang. Di masa itu, buku tidak
terbuat dari kertas. Namun, terbuat dari lempengan tanah liat. Proses
pembuatannya dengan cara dipanaskan, lalu seorang penyalin kitab (sebutan untuk
seorang penulis, menurut Fernando Báez) memahat lempengan itu dengan tanda dan
simbol. Mereka menyalin segala hal yang mereka tahu, mulai dari nama tanaman,
hewan, rasi bintang, silsilah keluarga kerajaan, dan lain-lain. Urgensi
pentingnya mengabadikan sesuatu dalam bentuk buku (lempengan tanah liat) terasa
di masa itu. Oleh sebab itulah, pada tingkatan tertentu, seorang penyalin kitab
bisa kebal hukum di sebuah kerajaan masa itu.
Di
Indonesia, kebiasaan memelihara naskah sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan.
Kebanyakan naskah-naskah tersebut terpelihara dengan baik di istana. Aksesnya
begitu terbatas, bahkan ada yang mengeramatkan. Hal ini membuktikan bahwa
kesadaran pentingnya untuk merawat naskah atau kita katakan di zaman sekarang
buku sudah ada sejak zaman duhulu.
Mengutip
dari buku Indonesian Heritage edisi Bahasa dan Sastra yang disusun oleh
John H. McGlynn dan tim, ada perpustakaan tertua bergaya barat di zaman dahulu
(ketika Indonesia disebut Hindia Belanda) yang bernama Batavian Kerkeraad.
Di masa itu (tahun 1624), buku hanya bisa diakses oleh kalangan rohaniwan. Namun,
pada tahun 1643, ada kebutuhan mendesak sehingga diperlukan untuk mengangkat
seorang pustakawan. Hal ini disebabkan adanya laporan perihal dugaan perusakan
buku secara sengaja.
Perpustakaan
terus mengalami transformasi sistem. Mulai dari aksesnya yang terbatas hingga
dibuka secara luas. Meskipun keberadaan perpustakaan di Indonesia sudah ada
sejak berabad-abad lamanya, sebuah sistem yang terbuka untuk seluruh rakyat
Indonesia baru muncul di awal abad ke-20 atas prakarsa badan penerbit Balai
Pustaka.
Balai Pustaka dan
Pengembangan Perpustakaan
Politik
etika telah menggugah kesadaran Belanda untuk membangun infrastruktur
pendidikan di Indonesia. Tahun 1910-an menandai lahirnya sistem perpustakaan
yang masif. Sebelumnya, perpustakaan begitu eksklusif: hanya bisa dikunjungi
oleh kalangan tertentu. Hanya mereka yang bisa berbahasa Belanda dan orang
Eropa saja yang berhak mengakses bacaan di perpustakaan. D.A. Rinkes,
sekretaris Commisissie voor de Volkslectuur mengajukan adanya penambahan
perpustakaan di desa dan di sekolah-sekolah kelas dua di pulau Jawa-Madura. Seiring
berjalannya waktu, perpustakaan daerah lain pun berkembang.
Tahun
1920 ditandai lahirnya Balai Pustaka atau Volkslectuur. Mereka
menerbitkan buku-buku secara berkala menggunakan bahasa Jawa, Sunda, dan
Melayu. Sayangnya, keberadaan perpustakaan di zaman itu belum bisa sepenuhnya
mewakili semangat nasionalisme bangsa kita. Buku-buku terbit dalam pengawasan
Balai Pustaka. Hingga sebuah gerakan diam-diam namun massif pun terjadi.
Perpustakaan
Balai Pustaka baik di sekolah maupun di desa-desa hanya mengoleksi buku-buku
terbitan Balai Pustaka saja. Hingga seiring berkembangnya waktu, banyak
perpustakaan yang didirikan secara swadana oleh tokoh maupun organisasi
pergerakan di berbagai daerah. Meskipun keberadaannya masih dalam pantauan
Balai Pustaka, semangat mereka terus berkobar dan mulai menyebar.
Ketika
perpustakaan yang berdiri secara resmi hanya menampilkan buku-buku terbitan Balai
Pustaka, perpustakaan yang digagas orang-orang Indonesia justru mulai
berkembang secara luas. Diam-diam mereka mengedarkan buku secara berkeliling. Jika
yang memiliki modal lebih, mereka akan membuat toko yang begitu sederhana. Jual
beli buku non-Balai Pustaka pun tidak bisa dibendung. Sistem peminjaman pun
mulai diberlakukan secara diam-diam dan masif. Mereka melakukan sistem
peminjaman buku-buku non-Balai Pustaka di belakang toko buku. Asupan bacaan
roman, cerita kriminal, dan bacaan politik mulai bergerak. Gagasan persatuan pun
mulai disebar.
Keberadaan
Balai Pustaka terlepas dari peran Belanda telah memiliki andil dalam
perkembangan kesusastraan Indonesia. Meskipun kita sadar bahwa keberadaan
perpustakaan sudah dikembangkan sejak zaman kerajaan. Perpustakaan sebagai
penanda keberadaan buku telah berandil dalam menyebarkan gagasan-gagasan. Entah
itu dalam bahasa Jawa, Sunda, hingga Melayu. Seiring berkembangnya waktu,
tonggak-tonggak sejarah pun turut ambil bagian. Salah satunya, semangat
menjunjung bahasa persatuan: Bahasa Indonesia. Oleh sebab itulah, peran
perpustakaan dan tokoh penggeraknya tidak bisa dipandang sebelah mata dalam
perkembangan kesusastraan Indonesia. Begitulah! []