Perpustakaan, Penanda Sejarah Kesusastraan - Sapta Arif N.W.

@kontributor 1/01/2023

Perpustakaan, Penanda Sejarah Kesusastraan

Sapta Arif N.W.



Membicarakan sejarah kesusastraan Indonesia kerapkali menimbulkan pro dan kontra. Kita mengenal beberapa pendapat perihal lahirnya kesusastraan Indonesia. Mengutip buku Maman S. Mahayana yang berjudul Bermain dengan Cerpen, Ajip Rosidi berpendapat bahwa lahirnya kesusastraan Indonesia di kisaran tahun 1920. Hal ini merujuk pada pergerakan pemuda Indonesia (Yamin, Hatta, dll) yang memperkenalkan sajak mereka yang bercorak kebangsaan. Zuber Usman yang secara eksplisit mengutarakan Zaman Balai Pustaka sebagai tonggak kesusastraan Indonesia. Sementara Umar Yunus, dengan tegas menandai pada 28 Oktober 1928 (Sumpah Pemuda) sebagai lahirnya kesusastraan Indonesia. Sedangkan Teeuw, meski tidak menyebutkan Balai Pustaka, ia menunjuk tahun 1920 sebagai kelahiran sastra Indonesia modern.

Membahas perihal sejarah kesusastraan Indonesia tidak bisa lepas dari proses pembentukan budaya nasional. Dari empat pendapat di atas kita paham bahwa kesusastraan Indonesia tidak lepas dari semangat kebangkitan nasional. Periode awal abad 20-an, Indonesia mengalami peralihan yang cukup signifikan mencakup segi bahasa hingga budaya. Di zaman itu, perkotaan merupakan tempat berbaurnya beragam etnik. Di sinilah percampuran bahasa dari masing-masing daerah terjadi. Hingga pada 28 Oktober 1928 menjadi penanda semangat untuk menjunjung bahasa persatuan: Bahasa Indonesia.

Ada yang mengatakan di masa itu, wibawa dan gengsi kaum elit tradisional dari Hindia Timur sedang menurun. Reaksinya beragam: ada yang kembali pada kebudayaan tradisional. Ada pula yang melakukan pertunangan dengan barat dengan cara membuka pintu akses kebudayaan barat agar diajarkan di Indonesia. Peralihan besar-besaran terjadi perlahan namun pasti. Mulai dari bahasa sehari-hari yang kebanyakan dituturkan menggunakan bahasa daerah dan bahasa melayu. Di ranah karya sastra pun demikian, novel yang semula ditulis oleh orang-orang Cina dan Indonesia yang menuturkan bahasa Melayu, kini cakupannya bisa lebih luas. Mereka mulai memperkenalkan penggunaan bahasa Indonesia dalam novel. Situasi ini memberikan tekanan di berbagai sektor, mulai dari pengguna bahasa hingga perpolitikan. Namun, dari situasi ini lahirlah anggapan bahwa sastra merupakan alat untuk menciptakan persatuan nasional. Artinya, di masa itu kepercayaan terhadap sastra mulai tinggi. Sastra dianggap mampu mengemban misi menyatukan Indonesia yang beragam etnisnya.

 

Perpustakaan sebagai Penanda

Kebudayaan selalu ditandai adanya monumen ingatan. Ada yang berupa buku-buku tua, prasasti, pahatan dinding, hingga serpihan bangunan yang diduga perpustakaan. Fernando Báez dalam buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (Marjin Kiri, 2021) mengungkapkan keberadaan perpustakaan sudah ada sejak 4100-3300 SM. Hal ini ditandai dengan ditemukannya sebuah arkeologi pada tahun 1924 yang mengungkap keberadaan buku-buku tua yang bertahan hingga sekarang. Di masa itu, buku tidak terbuat dari kertas. Namun, terbuat dari lempengan tanah liat. Proses pembuatannya dengan cara dipanaskan, lalu seorang penyalin kitab (sebutan untuk seorang penulis, menurut Fernando Báez) memahat lempengan itu dengan tanda dan simbol. Mereka menyalin segala hal yang mereka tahu, mulai dari nama tanaman, hewan, rasi bintang, silsilah keluarga kerajaan, dan lain-lain. Urgensi pentingnya mengabadikan sesuatu dalam bentuk buku (lempengan tanah liat) terasa di masa itu. Oleh sebab itulah, pada tingkatan tertentu, seorang penyalin kitab bisa kebal hukum di sebuah kerajaan masa itu.

Di Indonesia, kebiasaan memelihara naskah sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan. Kebanyakan naskah-naskah tersebut terpelihara dengan baik di istana. Aksesnya begitu terbatas, bahkan ada yang mengeramatkan. Hal ini membuktikan bahwa kesadaran pentingnya untuk merawat naskah atau kita katakan di zaman sekarang buku sudah ada sejak zaman duhulu.

Mengutip dari buku Indonesian Heritage edisi Bahasa dan Sastra yang disusun oleh John H. McGlynn dan tim, ada perpustakaan tertua bergaya barat di zaman dahulu (ketika Indonesia disebut Hindia Belanda) yang bernama Batavian Kerkeraad. Di masa itu (tahun 1624), buku hanya bisa diakses oleh kalangan rohaniwan. Namun, pada tahun 1643, ada kebutuhan mendesak sehingga diperlukan untuk mengangkat seorang pustakawan. Hal ini disebabkan adanya laporan perihal dugaan perusakan buku secara sengaja.

Perpustakaan terus mengalami transformasi sistem. Mulai dari aksesnya yang terbatas hingga dibuka secara luas. Meskipun keberadaan perpustakaan di Indonesia sudah ada sejak berabad-abad lamanya, sebuah sistem yang terbuka untuk seluruh rakyat Indonesia baru muncul di awal abad ke-20 atas prakarsa badan penerbit Balai Pustaka.

 

Balai Pustaka dan Pengembangan Perpustakaan

Politik etika telah menggugah kesadaran Belanda untuk membangun infrastruktur pendidikan di Indonesia. Tahun 1910-an menandai lahirnya sistem perpustakaan yang masif. Sebelumnya, perpustakaan begitu eksklusif: hanya bisa dikunjungi oleh kalangan tertentu. Hanya mereka yang bisa berbahasa Belanda dan orang Eropa saja yang berhak mengakses bacaan di perpustakaan. D.A. Rinkes, sekretaris Commisissie voor de Volkslectuur mengajukan adanya penambahan perpustakaan di desa dan di sekolah-sekolah kelas dua di pulau Jawa-Madura. Seiring berjalannya waktu, perpustakaan daerah lain pun berkembang.

Tahun 1920 ditandai lahirnya Balai Pustaka atau Volkslectuur. Mereka menerbitkan buku-buku secara berkala menggunakan bahasa Jawa, Sunda, dan Melayu. Sayangnya, keberadaan perpustakaan di zaman itu belum bisa sepenuhnya mewakili semangat nasionalisme bangsa kita. Buku-buku terbit dalam pengawasan Balai Pustaka. Hingga sebuah gerakan diam-diam namun massif pun terjadi.

Perpustakaan Balai Pustaka baik di sekolah maupun di desa-desa hanya mengoleksi buku-buku terbitan Balai Pustaka saja. Hingga seiring berkembangnya waktu, banyak perpustakaan yang didirikan secara swadana oleh tokoh maupun organisasi pergerakan di berbagai daerah. Meskipun keberadaannya masih dalam pantauan Balai Pustaka, semangat mereka terus berkobar dan mulai menyebar.

Ketika perpustakaan yang berdiri secara resmi hanya menampilkan buku-buku terbitan Balai Pustaka, perpustakaan yang digagas orang-orang Indonesia justru mulai berkembang secara luas. Diam-diam mereka mengedarkan buku secara berkeliling. Jika yang memiliki modal lebih, mereka akan membuat toko yang begitu sederhana. Jual beli buku non-Balai Pustaka pun tidak bisa dibendung. Sistem peminjaman pun mulai diberlakukan secara diam-diam dan masif. Mereka melakukan sistem peminjaman buku-buku non-Balai Pustaka di belakang toko buku. Asupan bacaan roman, cerita kriminal, dan bacaan politik mulai bergerak. Gagasan persatuan pun mulai disebar.

Keberadaan Balai Pustaka terlepas dari peran Belanda telah memiliki andil dalam perkembangan kesusastraan Indonesia. Meskipun kita sadar bahwa keberadaan perpustakaan sudah dikembangkan sejak zaman kerajaan. Perpustakaan sebagai penanda keberadaan buku telah berandil dalam menyebarkan gagasan-gagasan. Entah itu dalam bahasa Jawa, Sunda, hingga Melayu. Seiring berkembangnya waktu, tonggak-tonggak sejarah pun turut ambil bagian. Salah satunya, semangat menjunjung bahasa persatuan: Bahasa Indonesia. Oleh sebab itulah, peran perpustakaan dan tokoh penggeraknya tidak bisa dipandang sebelah mata dalam perkembangan kesusastraan Indonesia. Begitulah! []

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »