Menyelamatkan Generasi dari Event Sastra Komersial - A. Warits Rovi

@kontributor 1/22/2023

Menyelamatkan Generasi dari Event Sastra Komersial

A. Warits Rovi



Dalam esainya di Jawa Pos (29/10/22) Anindita S. Thayf menyebut bahwa legitimasi merupakan semacam objek buruan bagi sebagian sastrawan agar karyanya menempati posisi yang terhormat dan terpandang. Sastrawan yang mempunyai hasrat memburu legitimasi akan terus mencari patron-patron responsif melalui lembaga kesenian, komunitas, kritikus, dan lain sejenisnya. Menurut Dita, hal tersebut akan memacu tumbuhnya gerakan feodalisme dalam sastra yang memuarakan relasi mereka ke dalam segmen; tuan dan sahaya. Sekadar menambah pernyataan Dita, hal lain yang ditimbulkan dari hasrat memburu legitimasi itu adalah menjamurnya hasrat komersial dari beberapa orang di luar sastra atau bahkan—bisa jadi—pegiat sastra itu sendiri. Yang namanya hasrat komersial tentu patokannya adalah untung-rugi dan tentu saja bakal mengesampingkan hal paling esensial dalam sastra yaitu kualitas.

Sebagaimana yang jamak dimafhumi, sastra merupakan lensa representatif yang bisa memotret dinamika dan dialektika zaman dari berbagai sisi, mulai dari yang kasatmata hingga yang abstrak. Karya sastra secara substantif hadir menjadi suara dan realitas sosial dari lingkungan sastrawan itu hidup. Herder (dalam Atmazaki, 1990: 44) menjelaskan bahwa karena karya sastra dipengaruhi oleh lingkungannya, maka karya sastra merupakan ekspresi zamannya sendiri. Berangkat dari hal itu, pada prinsipnya sastra merupakan ranah penting dari sekian roda lokomotif kebudayaan dan kehidupan—atau lebih tepatnya gerak zaman—yang dalam prosesnya harus steril dari hal-hal yang sifatnya sekadar spekulasi demi terget kepuasan profitabilitas belaka yang berangkat dan berdasar pada hasrat komersial.

Ranah sastra memang bukan “lahan basah” sebagaimana ranah lain yang potensial dan membuka lebar pintu kemungkinan untuk menambah pundi-pundi rupiah. Tapi bagi sebagian spekulan, mereka tak ingin mengabaikan ranah ini begitu saja; sebagai wilayah holistik yang suci dari sentuhan praktik komersialisasi. Upaya pasang kail tetap dilakukan guna memancing bagian-bagian profit yang ada di dalamnya, tentu saja “kail’ yang mereka lempar didesain secara adaptif sehingga tampak spesial dan seolah sebagai jalan pintas ke arah pencapaian sastra itu sendiri. Bisa mungkin mereka diam-diam telah melakukan riset tersembunyi dengan menggali informasi seputar profil pelanggan, ukuran, trend, profitabilitas pasar, hingga struktur biaya industri dalam dunia sastra, sehingga salah satu kegitaan yang dilaksanakan biasanya berupa event kepenulisan yang disulap seolah jalan praktis menuju pencapaian.

Beberapa penulis pemula yang punya idealisme menggebu untuk cepat jadi sastrawan kerap tak berpikir logis dalam memperjuangkan karyanya demi cepat terpublikasi dan mendapat legitimasi. Publikasi memang merupakan salah satu jalan proses kreatif yang berposisi sebagai jembatan penghubung antara kreator dan pembaca agar nantinya ada timbal balik berupa apresiasi dan hal lain yang berorientasi pada perbaikan mutu karya. Publikasi biasanya terelelisasi melaui media dan lomba-lomba. Karena berfungsi sebagai “jembatan”, mestinya ia harus kokoh dan mengedepankan nilai-nilai subjektivitas dalam raga yang independen serta jauh dari praktik komersialisasi. Selain publikasi, adalah legitimasi sebagimana yang saya sebutkan di atas.

Orang-orang yang punya hasrat komersial akan bergerak cepat menyusun strategi dengan mengadakan event sastra yang didesain seolah peduli perkembangan sastra, padahal sejatinya hanya untuk  mengeruk keuntungan dari event tersebut; mereka melempar makanan seolah kasihan kepada ikan-ikan, padahal dalam makanan itu ada tajam mata kail yang justru akan membuat si ikan sengsara.

Event sastra yang demikian biasanya digandrungi oleh penulis-penulis pemula. Mereka tak berpikir makna idealisme substantif selain hanya demi karyanya cepat terpublikasi, dikenal pembaca, jadi juara, dan mendapat legitimasi. Spirit untuk mencapai semua itu pada akhirnya membuat si penulis memenuhi seabrek persyaratan yang biasanya punya tendensi yang menguntungkan bagi penyelenggara semisal wajib follow akun instagram, like, dan menandai banyak teman, wajib subscribe, like, dan komen sebuah kanal YouTube, dan lain sebagainya.

Selain persyaratan yang menggunung, biasanya ada uang registrasi yang membuat si penulis mesti merogoh kocek dengan perasaan sedikit pahit. Seabrek persyaratan dan adanya registrasi itu pada akhirnya hanya diganjar hadiah yang tak wajar, sudah demikian, sebagian event sastra—terutama seleksi buku antologi—juga mewajibkan peserta membeli buku. Syukur-syukur jika kurasi karyanya betul-betul melahirkan karya yang bermutu lewat seleksi lihai tangan juri yang kompeten, yang paling miris jika hasil kurasi karyanya hanyalah karya picisan yang jauh dari esensi sastra yang hakiki. Karya-karya yang sekadar hasil ayakan yang berdasar pada strategi komersial tanpa memperhatikan kaidah kesusastraan yang mestinya jadi patokan penilaian.

Jika event tersebut digandrungi generasi muda dan buku hasil kurasinya menjadi kiblat mereka dalam berkesusastraan, maka tak menutup kemungkinan pada akhirnya bangunan sastra tanah air akan rapuh, menyusut, dan tidak memiliki energi kompetitif di ranah global. Karya sastra yang seharusnya eksis sebagai potret perjalanan zaman dan corong kebudayaan bakal tercemar dan mengalami disfungsi; sekadar tatahan teks-teks lebay dan omong kosong. Tentu siapa pun tak rela hal itu terjadi. Maka jika hendak menyelamatkan sastra, selamatkanlah generasi kita dari event sastra komersial yang kerap menghaturkan sebentuk makanan lezat tapi di dalamnya menyimpan mata kail.

Jangan biarkan generasi kita jadi ikan-ikan bodoh yang kerap mendekat kail itu; alih-alih mengunyah sebentuk kenikmatan, tapi malah berujung petaka.

 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »