Merantau Cino
Sunlie Thomas Alexander
AKU tercenung menatap
isi paket Mama. Sebetulnya tanpa membukanya
pun aku sudah bisa memastikan apa isinya. Karena begitulah setiap tahun. Tentu,
selain kemplang dan getas yang merupakan produk asli
kampungku, beragam kue kering dalam toples-toples plastik bening itu dengan mudah
bisa kuperoleh di toko dan supermarket.
Sudah
berkali-kali kukatakan pada Mama, agar jangan lagi mengirimi kami kue-kue
kering. Buat apa ia menghabiskan uang membeli kue-kue yang tak
murah itu, toh kami bisa membeli
sendiri kalau mau. Tetapi
setiap tahun menjelang Ko Ngian1, lagi-lagi
Mama—yang tidak membantah tapi
juga tidak mengiyakan—kembali mengirimkannya. Seolah-olah ia
takut kami akan merayakan Tahun Baru China tanpa penganan, bahkan
seakan takut kami lupa merayakannya!
Mungkin
bakal lain ceritanya jika kue-kue di hadapanku
ini bukanlah kue toko. Namun sudah
tiga tahun ini ibuku nyaris tidak lagi
turun ke dapur. “Maaf Hiung, tak tahan lagi
Mama berlama-lama di muka tungku,” demikian katanya
tiga tahun silam saat
pertama kali mengirimiku kue toko. Ketika itu
aku hanya tertawa kecil.
Akhirnya
aku meraih salah satu toples berisi kue sempret
dan memperhatikannya. Kue-kue itu sesaat tampak mengundang. Tetapi entahlah, aku merasa tidak berselera. Ya, lain halnya dengan
sempret bikinan Mama sendiri, yang
hanya membayangkannya saja sudah menerbitkan
air liurku. Tentu saja
aku tidak cuma kangen pada kue-kue buatan Mama, tetapi
juga pada beliau. Bayangkan,
lima tahun sudah kami—ibu dan anak—tidak bersua. Kendati
tiga minggu atau paling tidak sebulan sekali, kami selalu saling berkabar lewat
telepon dan video call.
Adakah
aku sudah menjadi anak durhaka? Entahlah. Yang pasti
bukanlah kemauanku tidak pulang menjenguk ibuku. Minimal setahun sekali pada hari
raya. Persoalannya, aku selalu tidak
punya cukup uang. Ya, ini sebuah
masalah klise. Dengan gaji papasan sebagai karyawan percetakan, setiap bulan
aku selalu ngos-ngosan menghidupi keluargaku dengan tiga orang anak. Seringkali harus “gali lubang-tutup lubang” dengan berhutang ke sana-kemari. Dan kau tahu, menjelang Ko Ngian, bukan
saja semua kebutuhan pokok dipastikan melonjak, tetapi
tiket pesawat juga tiba-tiba nyaris tidak
terjangkau.
“Kenapa
tidak pulang pada
hari biasa?” usul Beni, tetanggaku. Aku tertawa mendengar usulan itu. Memangnya
kapan aku punya waktu kalau bukan pada hari raya?
Batinku keki. Lagi pula, Pak Alex tampaknya belum puas kalau belum melempariku dengan setumpuk pekerjaan. Bahkan kerapkali
terpaksa aku menginap di percetakan untuk menyelesaikan layout buku-majalah atau desain leaflet sialan itu.
Ai, kalau saja tidak merasa
berhutang budi karena ia membantu biaya operasi cesar istriku saat melahirkan
si bungsu, rasanya aku ingin keluar saja dan
mencari pekerjaan yang lebih manusiawi. Jujur, aku sering merasa iri dengan Beni yang setiap lebaran bisa memboyong
seluruh keluarganya mudik ke Bukit Tinggi.
Ah, seraya
termangu menatap toples-toples kue kiriman Mama, tiba-tiba aku terkenang pada
sebuah ungkapan orang Minang: Merantau
Cino.
Dan itu sungguh menohok, tepat menghujam ke dadaku dan menimbulkan rasa nyeri yang menjalar ke sekujur badan.
***
ADALAH Toni,
temanku dari Solok yang sehari-hari bekerja sebagai tukang reparasi arloji di
emperan toko pakaian ayahku, yang dulu
mengenalkanku pada ungkapan ini; bertahun-tahun yang lewat sebelum aku merantau
ke Jawa untuk melanjutkan kuliah.
Syahdan,
begitulah olok-olok di kampung halamannya bagi para perantau yang tak kunjung
pulang. “Ibarat bangau lupa pada kubangan, bagai kapal tak lagi berbalik
haluan. Ya seperti kakekmu itulah,” katanya sok
puitis dengan raut muka seperti meringis. Kala itu aku cuma tersenyum mafhum. Ah, tidakkah ia sendiri yang terkenang pada seorang gadis nan rancak menunggu di tepian? Pikirku geli. Maklumlah, tiga tahun
sudah ia tidak pulang kampung saat itu. Entah apa alasannya. Karena kukira uang
bukanlah masalah yang terlalu ruwet buat seorang bujangan seperti dirinya. Apalagi dari pengamatanku, reparasi
arlojinya juga cukup laris. Lagi pula
Bangka ke Sumatera Barat bukan jarak yang terlampau jauh: ia tinggal naik bus ke Muntok dan menumpang kapal cepat ke Boom Baru, lalu
dari Palembang meneruskan perjalanan darat ke kampung halamannya. Jadi
aneh rasanya bagiku kalau ia tidak
punya ongkos untuk pulang kampung setahun sekali dan lebih memilih menghabiskan
hari-hari lebaran di kontrakannya berteman gitar tua dan novel stensilan.
Namun kepenasaranku itu baru terjawab suatu
hari ketika Dedek, adik laki-lakinya datang. Bukan dari kampung, tetapi dari
Jambi. Seperti Toni, Dedek juga putus sekolah. Hanya sampai kelas dua STM. Oleh
Toni, ia kemudian dimodali berjualan pakaian bekas di muka pasar ikan.
“Aku sudah tiga tahun di Jambi ikut kakak
sepupuku,” katanya setelah kami cukup akrab.
“Sekarang di kampung cuma tinggal ibu kami. Ayah kami sudah sepuluh tahun tak pulang sejak
merantau ke Malaysia. Uda Toni marah
sekali waktu ibu menikah lagi.”
Aku
cuma manggut-manggut mendengar ceritanya. Kendati kami berteman begitu karib, Toni orangnya memang rada tertutup
jika menyangkut persoalan
keluarganya. Ia hanya
pernah bercerita kalau adik perempuannya menikah muda dengan orang Riau. Itu saja. Selebihnya dan sebaliknya, ia bisa berceloteh panjang lebar tentang
kawan-kawannya dan mantan-mantan pacarnya.
Bagaimana kabar temanku yang satu
itu? Belasan tahun sudah kami tidak
saling berkabar. Apakah kini ia masih menetap di kota kecilku? Sebab kudengar
terakhir kali dari seorang kawan lain, Toni telah menikah dengan seorang gadis
Belinyu. Ya, setelah Dedek meninggal muda akibat serangan tipus, dua tahun selepas
aku merantau. Tanpa sadar mataku terasa panas. Ai, malang nian nasib kawanku itu.
Alangkah celaka badan mesti berkubur di tanah jauh. Hm, barangkali nasibnya tidaklah
jauh berbeda dengan kakekku.
***
NAMUN kukira
ungkapan “Merantau Cino” tak
sepenuhnya tepat-sepadan sebagai umpama, sebagai amsal. Sebab—seperti yang
pernah kudengar dari Kakek—sesungguhnya
sejauh apapun mereka pergi, orang China
selalu teguh membawa prinsip “luo ye gue
gen”2 yang artinya “daun jatuh kembali
ke akar”.
“Betapa
durhakanya mereka mengabaikan
orangtua dan sanak-keluarga, betapa kualatnya
mereka yang melupakan makam leluhur!” begitulah tradisi Konghu Cu yang diwarisi secara
turun-temurun.
“Itu
sebabnya waktu heboh-heboh soal dwi-kewarganegaraan
dulu lebih banyak orang kita yang memilih tetap
bersetia pada China,” kata kakekku berkaca-kaca. Tentu aku tak
banyak tahu soal itu. Peristiwa itu sudah begitu lama, jauh sebelum
aku lahir. Tetapi yang aku tahu,
setiap hari raya Chin Min3, Chit Ngiat Pan4,
atau Ko Ngian, tak pernah lalai Akung—begitulah
aku memanggil beliau—membakar dupa untuk nenek buyutku
yang dimakamkan nun jauh di Guangdong, China Daratan sana. Kurasa
sampai akhir hayatnya, beliau tak
pernah sanggup melupakan kampung halamannya di Jiaying Zhou.
Akung baru
berumur 12 tahun ketika kapal uap Jerman
membawa ia dan kakek buyutku berlayar dari Swatow menuju Muntok.
“Itu bulan lima tahun 1937, dua bulan sebelum terjadi Insiden Jembatan Marco Polo,” kenangnya. Hanyalah
sekali ia pernah pulang, yakni saat melamar nenekku.
“Tapi
nyaris saja kita sekeluarga kembali ke China tahun
60-an,” timpal ayahku lalu
menjelaskan tentang PP 10 tahun 1959 yang melarang orang-orang China asing berdagang di wilayah kecamatan dan desa-desa.
“Katanya itu demi
menyelamatkan
perekonomian Indonesia,” Akung terkekeh
lalu menghisap rokok kreteknya.
Papa dan semua paman-bibiku kemudian
menjadi WNI pada tahun 1980. Segalanya mendadak dipermudah saat itu, terutama
bagi mereka yang dilahirkan di Indonesia. Tetapi
dengan syarat: mereka harus memilih pohon beringin saat pemilu. Toh, Akung tetap
bertahan dengan KTP merahnya yang bertuliskan Warga Negara Asing. Walau sebagai
konsekuensinya, ia tak ubahnya
seperti katak dalam tempurung. Tidak bisa
ke mana-mana, tidak bisa membuat
paspor, harus membayar pajak usaha dua kali lipat, tidak
bisa membeli rumah atas nama sendiri, dan
mesti melaporkan diri secara rutin.
Dan di
Tahun Baru China kali itu, dalam usia hampir 80 tahun, tak
sengaja kutangkap setitik air matanya bergulir jatuh saat membakar kimci1 di pekarangan selepas sembahyang
Sam Sip Am Pu2. Ah, bergegas
disekanya pipinya yang keriput saat ibuku melangkah
keluar dari dalam rumah.
***
YA, sekali lagi
kukira tidaklah tepat anggapan bahwa orang China ibarat Malin Kundang yang
enggan menoleh ke buritan. Justru sebaliknya, sejauh apapun orang China pergi,
takkan sekali-kali mereka melupakan
tanah kelahiran, sanak-keluarga, bahkan sebujur makam!
Itulah mengapa,
semasa jayanya Akung tak
pernah lalai mengirim uang untuk
sanak-saudaranya di China, kendati itu hanyalah
saudara jauh. Bahkan dikirimnya pula kedua adik laki-lakinya pulang untuk
bersekolah. Dan keduanya tak pernah kembali. Yang satu menetap di Chongqing (dulu sering dieja Chungking) dan menjadi dosen
pertanian, yang lain menyeberang ke Taiwan bersama pasukan Chiang Kai-sek ketika satu persatu wilayah China mulai jatuh ke
tangan Mao.
Papa
kemudian menunjukkan padaku selembar kertas usang yang tercetak dalam dua
bahasa, China dan Prancis. “Surat Kepulangan”
demikian jika diterjemahkan. Ditandatangani di Jakarta, 7 Juni 1960 oleh Duta
Besar RRC. Semua nama keluargaku terdaftar di sana.
Tertulis: Kapal mereka nantinya akan
merapat di Shun Chun.
“Aku tak
tahu apa yang akan terjadi jika kami benar-benar pulang,” kata Papa dengan
pandangan sayu. Ah, aku juga tak bisa membayangkannya. Yang jelas jika mereka
jadi pulang, aku tak pernah lahir karena Papa bertemu Mama jauh setelah itu.
Pemerintah Indonesia kemudian meminta Peking menghentikan himbauan “kembali ke
pangkuan pertiwi” dan pengiriman kapal-kapal pengangkut lantaran perekonomian di
kota-kota kecil nyaris lumpuh total setelah toko-toko ditinggalkan.
Ya,
setiapkali mengenang Akung, aku pun teringat pada ungkapan
“Merantau Cino” yang diperkenalkan oleh Toni padaku.
Orang China dan orang Minang memang sama-sama perantau ulung. “Di ujung bumi
pun bisa kau temukan Rumah Makan Padang dan Restoran China,” demikian katanya
sambil membongkar sebuah arloji. Aku tertawa seraya memperhatikan jari-jarinya
yang begitu cekatan memainkan obeng kecil.
Konon
bagi lelaki Minang, selain mencari harta dan menuntut ilmu, merantau kerap
dimaknai sebagai batu ujian dalam melakoni hidup, untuk
menempah diri.
Begitulah yang kubaca bertahun-tahun kemudian. Karena itu merantau pun seolah
menjadi semacam keharusan, jika bukan kewajiban. Inilah bedanya dengan orang China
yang bermigrasi karena keterpaksaan!
“Pilihannya pergi atau mati kelaparan!” kuingat lagi kata Akung. Kekuasaan Dinasti Manchu yang korup, perang
saudara nyaris tanpa henti, kegagalan panen, dan ancaman invasi Jepang membuat orang China
menyebar ke seluruh dunia dan terus
beranak-pinak seperti babi.
Namun jika orang Minang bisa mudik kapan saja
selama ada uang, tidak begitu dengan Akung. Ada
begitu banyak persoalan, terutama politik,
yang membuat mereka akhirnya menjadi perantau abadi di negeri orang dan
terpaksa mengubah prinsip “luo ye gui gen”
menjadi “luo di seng gen” atau “bibit
berakar di tempat jatuh”.
“Ah,
sudah berapa lama aku tak berziarah ke kubur beliau?” batinku gundah. Tanpa
sadar aku membuka penutup toples di tanganku dan memasukkan sebuah kue semprit
ke dalam mulutku lalu mengunyahnya perlahan.
“Lho,
kok sudah dimakan kuenya sekarang? Biasanya tidak suka?” tegur istriku yang
mendadak muncul dari dalam kamar. Aku tidak menjawab. Aku merasa mulutku begitu
keruh saat teringat pada sedikit tabungan buat sekolah anak-anak.[]
Yogyakarta, 2016 / 2022
Untuk kakekku Thong Sit Jung
Catatan Kaki:
1.
Ko Ngian (bahasa Hakka; Mandarin: Guo Nian
[過年]): Tahun Baru
China.
2.
Luo ye
gue gen ([落葉歸根] ungkapan dalam bahasa Mandarin).
3.
Chin
Min (bahasa Hakka, Mandarin: Qing Ming [清明]: Festival Bersih Terang, dilaksanakan pada hari
ke-104 setelah titik balik matahari pada musim dingin (atau hari ke-15 pada
hari persamaan panjang siang dan malam di musim semi). Pada umumnya dirayakan
pada tanggal 5 atau 4 April pada tahun kabisat.
4. Chit Ngiat Pan (bahasa Hakka,
Mandarin: Qi Yue Ban [七月半]: dikenal luas
sebagai Ghost Festival.
5. Kimci (bahasa Hakka, Mandarin: Jinzhi [金紙]): uang
arwah.
6. Sam Sip Am Pu (istilah dalam bahasa Hakka):
malam sebelum Tahun Baru China, hari ke-30
bulan 12 lunar.
7. Luo di
seng gen
([落地生根] ungkapan dalam bahasa Mandarin).