Fidyah - Aliurridha

@kontributor 2/19/2023

Fidyah

Aliurridha 



Beberapa hari lagi puasa, dan aku belum juga membayar fidyah untuk istriku yang tahun lalu tidak berpuasa karena hamil dan belum sempat menggantinya karena disambung menyusui. Karena itu, aku mencari-cari orang yang kuanggap pantas diberi fidyah. Selama dua minggu terakhir aku melakukan survei atas orang-orang di lingkunganku. Aku lebih senang memberinya secara langsung tanpa melibatkan pihak ketiga. Selain karena aku yakin akan sampai pada orang yang tepat, ada kelegaan kurasa ketika memberinya secara langsung, tapi....

“Bang, jangan ditunda-tunda. Seminggu lagi kita puasa,” kata istriku.

“Iya, ini Abang sudah dapat orang-orangnya. Tinggal ketemunya saja.”

Aku berbohong. Dan seolah mengetahui kebohonganku, istriku membalas: “Daripada kelamaan titip saja di kotak amal masjid.” 

Tidak, aku tidak mau menitipkannya di masjid. Aku jadi tidak bisa melihat wajah seorang pekerja keras yang, meski diuji oleh kerasnya hidup, tidak tumbang; wajah lelah yang ketika mendapat sedikit rezeki, terlihat sangat bahagia seperti baru saja mendapat uang kaget bernialai miliyaran. Melihat wajah-wajah itu membuatku merasa kuat menjalani hidupku yang berat.

“Abang sudah dapat orangnya, ini Abang pergi sekarang,” kataku kepada istriku.

Aku memang telah memindai beberapa wajah yang rencananya akan kuberi fidyah. Aku ingin membaginya menjadi tiga atau empat orang saja karena uang ini tidak banyak. Jika aku membagi ke jumlah yang lebih banyak, nominalnya akan semakin sedikit. Ada satu orang yang sudah pasti akan kuberikan fidyah, yakni penjual koran bertangan satu yang biasa kulihat berjualan di perempatan Gejayan. Wajahnya terlihat seperti seseorang yang telah berkali-kali kalah oleh hidup, ternyata....

“Oh, saya kenal Bapak itu,” kata seorang tukang Ojek di terminal Condong Catur, “dia mantan preman, Mas.”

“Benarkah?”

“Iya. Banyak kasus dia itu. Dulu dia pernah bunuh orang.”

“Bunuh orang?”

“Iya, bunuh orang. Tidak lihat apa tato di lengannya?”

Meski aku heran apa hubungan antara tato dengan pembunuhan, namun informasi ini penting untuk menimbang perlu-tidak kuberikan uang ini padanya. “Tapi dia bukan preman lagi kan, Pak?”

“Ah, iya Mas. Sudah lama tobat. Sekarang dia rajin solat. Sejak... hem,” tukang Ojek itu memiringkan kepalanya ke kanan, “sejak hampir mati dibunuh Petrus. Dia selamat memang, tapi lengannya putus.”

Berarti dia memang orang yang tepat, kataku dalam hati. Langsung saja kudatangi bapak bertangan satu yang tidak kutahu namanya itu, ia sangat bersyukur menerimanya. Wajahnya yang layu seperti tanaman yang terlalu banyak mandi matahari seketika berubah cerah. Aku merasa dadaku seluas samudra ketika ia berterima kasih dengan ketulusan yang membinari kedua biji matanya.

Selain bapak bertangan satu, aku berencana memberikannya pada si Nenek pemulung. Nenek pemulung itu tak pernah kurang senyum. Di usia senja di mana orang seusianya bermalas-malasan menimang cucu di sofa empuk rumahnya, ia berkeliling memulung sampah di sekitaran kompleks tempatku tinggal. Jika lelah, ia akan duduk di gazebo tempat orang meronda. Di sana, ia tidak sekadar beristirahat, tapi memanfaatkan waktu istirahatnya dengan merajut. Dia merajut! Bertapa terkejutnya aku ketika pertama kali melihatnya merajut. Lalu saat aku menatapnya, ia tersenyum dengan senyum yang membuatku merasa hidup ini tidak buruk-buruk amat.

Sudah hampir seminggu aku mencari-carinya, tapi aku tidak juga menemukannya sehingga....

“Pak, ini ada sedikit rezeki untuk bapak,” kataku pada seorang pengamen tua yang kutemukan di Indomart. Ia agak bingung ketika aku memberikannya uang yang mungkin baginya terlalu berlebihan untuk diterima. Ia menatapku dengan mata keruh yang telah kalah oleh katarak. Pada bagian kanannya kelihatan sudah tak terselamatkan, dan pada bagian kirinya masih samar-samar masih ada sedikit cahaya. “Ini aku ada sedikit rezeki untuk Bapak,” ulangku lagi. Setelah itu baru ia mau menerimanya.

Aku tidak sengaja bertemu bapak ini ketika aku sedang sangat kehausan setelah berkeliling mencari si nenek pemulung. Aku mampir di Indomaret dan menemukan seorang tua, jauh lebih tua dari ayahku, sedang menukar receh di kasir. Lelaki tua itu membawa ukulele. Penampilannya terlihat kumuh dengan rambut ikal yang tak terurus. Ia mengenakan atasan berupa kemeja berwarna merah yang memiliki tambalan pada beberapa bagian, dan pada bawahannya, ia mengenakan celana kain yang dipotong selutut hingga memperlihatkan betisnya yang teramat kurus. Ketika ia masuk, semua mata langsung tertuju ke arahnya. Mereka, orang-orang ini, mungkin merasa aneh melihat seorang yang terlihat seperti bapak pengamen ini masuk Indomart. Apalagi saat itu si bapak melepas sandalnya di luar dan masuk bertelanjang kaki. Mungkin lelaki tua ini merasa lantai Indomart terlalu bersih untuk sandalnya yang kotor. Berkali-kali ia mengelap kakinya pada keset sebelum masuk.

Aku merasa begitu lega setelah membagikan sedikit rezekiku kepadanya. Pada dadaku kurasakan ada kegembiraan yang meluap-luap, menggelembung serupa balon-balon udara. Aku lantas membayangkan betapa bahagianya diriku jika bisa memberikan sedikit rezekiku pada si nenek pemulung. Namun, perasaan menyenangkan itu terbentur kesal begitu aku tiba di pintu rumah karena....

“Kasih sudah siapa-siapa. Puasa tinggal tiga hari lagi. Jangan ditunda, Bang,” kata istriku.

Aku tidak ingin memberikannya selain kepada nenek pemulung. Bagiku tidak ada yang lebih pantas daripada dia. Apalagi aku sering melihatnya berada di sekitar lingkungan tempatku tinggal. Buat apa memberi yang jauh, jika di sekeliling kita masih banyak kita temukan orang-orang yang membutuhkan. Tapi aku tidak mengatakannya apa yang kupikirkan kepada istriku. Aku malah berkata, “Kalau besok atau lusa Abang tidak ketemu si nenek, Abang kasih siapa-siapa sudah.”

“Besok saja. Jangan tunggu lusa. Nanti Abang lupa.”

“Baiklah. Kalau sampai magrib tidak ketemu si nenek, Abang berikan pada siapa pun yang Abang temui.”

Keesokan harinya aku gelisah karena sampai sore belum juga bertemu si nenek. Kemudian ketika aku mampir di sebuah mini market untuk membeli titipan istri, kulihat seorang wanita tua berwajah bingung. Ia duduk berjongkok di depan mini market seperti seorang pengemis. Tapi kulihat ia tidak sedang mengemis, ia membawa beberapa jenis jajanan tradisional untuk dijual. Lalu dalam bungkusan plastik di nampan yang ia bawa, kulihat ada beberapa butir telur asin.

Kuperhatikan lekat-lekat wajahnya yang hampir seusia ibuku. Ia terlihat seperti orang yang agak keterbelakangan mental. Matanya berpindah cepat ke segala arah. Ia seperti takut pada dunia di sekelilingnya. Ia terlihat seperti seseorang yang dilepas begitu saja ke dunia ini tanpa bekal sedikit pun untuk bertahan hidup. Lalu dari wajahnya yang kebingungan itu, kulihat ada sesuatu yang menyedihkan yang tak dapat kumengerti. Semenyedihkan-menyedihkan penampilan pengamen tua yang kutemukan kemarin, ia tidak memberiku getir seperti aku melihat wanita ini.

Saat aku sedang memperhatikannya, kulihat beberapa orang mampir memberikannya receh kepadanya. Mungkin mereka juga merasa iba sepertiku. Setiap ada receh yang diberikan, ia menaruhnya di toples tempat ia menyimpan uang. Aku mendekatinya, tanganku menggenggam untuk menutupi lembaran rupiah yang hendak kuberikan padanya. Aku memberikannya lebih banyak dari yang kuniatkan.

“Ini ada sedikit rezeki,” kataku. Tangan kami bertemu. Lembaran itu berpindah tangan. Ketika ia melihat uang yang ada di tangannya, ia tidak menaruhnya di toples tempat ia menyimpan receh. Ia mengangkat nampan barang jualannya yang menutupi ember di bawahnya, lalu menaruh uang itu di sana. Aku terkejut melihat lembar demi lembar berwarna merah dan biru di sana. Mataku tidak berkedip melihatnya. Begitu aku mencoba memperhatikannya lagi, ia menutup nampan itu. Aku penasaran dengan apa yang kulihat. Mungkinkah aku salah lihat atau ia memang punya uang lebih banyak dariku?

Karena penasaran dengan hal itu, aku tidak jadi pergi meninggalkan tempat ini. Kutunggu-tunggu seseorang memberikan uang pada wanita ini. Lama kutunggu, tapi tidak satu pun yang memberinya uang dengan nominal yang membuatnya harus membuka nampan. Semuanya masuk ke toples berisi recehan. Kemudian aku menjadi malu karena wanita itu berkali-kali menatapku yang sedari tadi berdiri memperhatikannya. Ketika tatapan kami bertemu, ia tidak lagi terlihat semenyedihkan tadi. Akhirnya kuambil motorku dan mencoba melupakan peristiwa ini.

Di perjalanan pulang, sesuatu yang tidak kusangka terjadi: aku melihat si nenek pemulung! Begitu melihat si nenek pemulung, langsung kuhentikan motorku. Ketika aku melihatnya mengais-ngais sampah dengan semangat seorang muda mengais-ngais rezeki, gelembung-gelembung kebahagian di dadaku meletup dan pecah berhamburan. Seketika itu juga aku dibekap rasa sedih yang tiada terkira. Kubuka dompetku dan hanya selembar lima puluh ribu tersisa di sana. Gajian masih lama dan puasa belum juga mulai. (*)

 

Gang Metro, 2021-2022

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »