Fidyah
Aliurridha
Beberapa hari lagi puasa, dan aku
belum juga membayar fidyah untuk istriku yang tahun lalu tidak berpuasa karena
hamil dan belum sempat menggantinya karena disambung menyusui. Karena itu, aku
mencari-cari orang yang kuanggap pantas diberi fidyah. Selama dua minggu
terakhir aku melakukan survei atas orang-orang di lingkunganku. Aku lebih
senang memberinya secara langsung tanpa melibatkan pihak ketiga. Selain karena
aku yakin akan sampai pada orang yang tepat, ada kelegaan kurasa ketika
memberinya secara langsung, tapi....
“Bang,
jangan ditunda-tunda. Seminggu lagi kita puasa,” kata istriku.
“Iya,
ini Abang sudah dapat orang-orangnya. Tinggal ketemunya saja.”
Aku
berbohong. Dan seolah mengetahui kebohonganku, istriku membalas: “Daripada
kelamaan titip saja di kotak amal masjid.”
Tidak,
aku tidak mau menitipkannya di masjid. Aku jadi tidak bisa melihat wajah
seorang pekerja keras yang, meski diuji oleh kerasnya hidup, tidak tumbang;
wajah lelah yang ketika mendapat sedikit rezeki, terlihat sangat bahagia
seperti baru saja mendapat uang kaget bernialai miliyaran. Melihat wajah-wajah itu membuatku merasa kuat menjalani
hidupku yang berat.
“Abang
sudah dapat orangnya, ini Abang pergi sekarang,” kataku kepada istriku.
Aku
memang telah memindai beberapa wajah yang rencananya akan kuberi fidyah. Aku
ingin membaginya menjadi tiga atau empat orang saja karena uang ini tidak
banyak. Jika aku membagi ke jumlah yang lebih banyak, nominalnya akan semakin
sedikit. Ada satu orang yang sudah pasti akan kuberikan fidyah, yakni penjual
koran bertangan satu yang biasa kulihat berjualan di perempatan Gejayan.
Wajahnya terlihat seperti seseorang yang telah berkali-kali kalah oleh hidup, ternyata....
“Oh, saya
kenal Bapak itu,” kata seorang tukang Ojek di terminal Condong Catur, “dia
mantan preman, Mas.”
“Benarkah?”
“Iya.
Banyak kasus dia itu. Dulu dia pernah
bunuh orang.”
“Bunuh
orang?”
“Iya,
bunuh orang. Tidak lihat apa tato di lengannya?”
Meski
aku heran apa hubungan antara tato dengan pembunuhan, namun informasi ini
penting untuk menimbang perlu-tidak kuberikan uang ini padanya. “Tapi dia bukan
preman lagi kan, Pak?”
“Ah, iya
Mas. Sudah lama tobat. Sekarang dia rajin solat. Sejak... hem,” tukang Ojek itu
memiringkan kepalanya ke kanan, “sejak hampir mati dibunuh Petrus. Dia selamat memang, tapi
lengannya putus.”
Berarti
dia memang orang yang tepat, kataku dalam hati. Langsung saja kudatangi bapak
bertangan satu yang tidak kutahu namanya itu, ia sangat bersyukur menerimanya.
Wajahnya yang layu seperti tanaman yang terlalu banyak mandi matahari seketika
berubah cerah. Aku merasa dadaku seluas samudra ketika ia berterima kasih
dengan ketulusan yang membinari kedua biji matanya.
Selain
bapak bertangan satu, aku berencana memberikannya pada si Nenek pemulung. Nenek
pemulung itu tak pernah kurang senyum. Di usia senja di mana orang seusianya
bermalas-malasan menimang cucu di sofa empuk rumahnya, ia berkeliling memulung
sampah di sekitaran kompleks tempatku tinggal. Jika lelah, ia akan duduk di
gazebo tempat orang meronda. Di sana, ia tidak sekadar beristirahat, tapi
memanfaatkan waktu istirahatnya dengan merajut. Dia merajut! Bertapa
terkejutnya aku ketika pertama kali melihatnya merajut. Lalu saat aku
menatapnya, ia tersenyum dengan senyum yang membuatku merasa hidup ini tidak
buruk-buruk amat.
Sudah
hampir seminggu aku mencari-carinya, tapi aku tidak juga menemukannya
sehingga....
“Pak,
ini ada sedikit rezeki untuk bapak,” kataku pada seorang pengamen tua yang
kutemukan di Indomart. Ia agak bingung ketika aku memberikannya uang yang
mungkin baginya terlalu berlebihan untuk diterima. Ia menatapku dengan mata
keruh yang telah kalah oleh katarak. Pada bagian kanannya kelihatan sudah tak
terselamatkan, dan pada bagian kirinya masih samar-samar masih ada sedikit cahaya.
“Ini aku ada sedikit rezeki untuk Bapak,” ulangku lagi. Setelah itu baru ia mau
menerimanya.
Aku
tidak sengaja bertemu bapak ini ketika aku sedang sangat kehausan setelah
berkeliling mencari si nenek pemulung. Aku mampir di Indomaret dan menemukan
seorang tua, jauh lebih tua dari ayahku, sedang menukar receh di kasir. Lelaki
tua itu membawa ukulele. Penampilannya terlihat kumuh dengan rambut ikal yang
tak terurus. Ia mengenakan atasan
berupa kemeja berwarna merah yang memiliki tambalan pada beberapa bagian, dan
pada bawahannya, ia mengenakan celana kain yang dipotong selutut hingga memperlihatkan betisnya
yang teramat kurus. Ketika ia masuk, semua mata langsung tertuju ke arahnya.
Mereka, orang-orang ini, mungkin merasa aneh melihat seorang yang terlihat
seperti bapak pengamen ini masuk Indomart. Apalagi saat itu si bapak melepas
sandalnya di luar dan masuk bertelanjang kaki. Mungkin lelaki tua ini merasa
lantai Indomart terlalu bersih untuk sandalnya yang kotor. Berkali-kali ia
mengelap kakinya pada keset sebelum masuk.
Aku
merasa begitu lega setelah membagikan sedikit rezekiku kepadanya. Pada dadaku
kurasakan ada kegembiraan yang meluap-luap, menggelembung serupa balon-balon
udara. Aku lantas membayangkan betapa bahagianya diriku jika bisa memberikan
sedikit rezekiku pada si nenek pemulung. Namun, perasaan menyenangkan itu terbentur
kesal begitu aku tiba di pintu rumah karena....
“Kasih
sudah siapa-siapa. Puasa tinggal tiga hari lagi. Jangan ditunda, Bang,” kata
istriku.
Aku
tidak ingin memberikannya selain kepada nenek
pemulung. Bagiku tidak ada yang lebih pantas daripada dia. Apalagi aku sering melihatnya berada di
sekitar lingkungan tempatku tinggal. Buat apa memberi yang jauh, jika di
sekeliling kita masih banyak kita temukan orang-orang yang membutuhkan. Tapi
aku tidak mengatakannya apa yang kupikirkan kepada istriku. Aku malah berkata, “Kalau besok
atau lusa Abang tidak ketemu si nenek, Abang kasih siapa-siapa sudah.”
“Besok
saja. Jangan tunggu lusa. Nanti Abang lupa.”
“Baiklah.
Kalau sampai magrib tidak ketemu si nenek, Abang berikan pada siapa pun yang
Abang temui.”
Keesokan
harinya aku gelisah karena sampai sore belum juga bertemu si nenek. Kemudian
ketika aku mampir di sebuah mini market untuk membeli titipan istri, kulihat seorang
wanita tua berwajah bingung. Ia duduk berjongkok di depan mini market seperti
seorang pengemis. Tapi kulihat ia tidak sedang mengemis, ia membawa beberapa
jenis jajanan tradisional untuk dijual. Lalu dalam bungkusan plastik di nampan
yang ia bawa, kulihat ada beberapa butir telur asin.
Kuperhatikan
lekat-lekat wajahnya yang hampir seusia ibuku. Ia terlihat seperti orang yang
agak keterbelakangan mental. Matanya berpindah cepat ke segala arah. Ia seperti
takut pada dunia di sekelilingnya. Ia terlihat seperti seseorang yang dilepas
begitu saja ke dunia ini tanpa bekal sedikit pun untuk bertahan hidup. Lalu
dari wajahnya yang kebingungan itu, kulihat ada sesuatu yang menyedihkan yang tak dapat kumengerti. Semenyedihkan-menyedihkan
penampilan pengamen tua yang kutemukan kemarin, ia tidak memberiku getir
seperti aku melihat wanita ini.
Saat aku
sedang memperhatikannya, kulihat beberapa orang mampir memberikannya receh kepadanya.
Mungkin mereka juga merasa iba sepertiku. Setiap ada receh yang diberikan, ia
menaruhnya di toples tempat ia menyimpan uang. Aku mendekatinya, tanganku
menggenggam untuk menutupi lembaran rupiah yang hendak kuberikan padanya. Aku
memberikannya lebih banyak dari yang kuniatkan.
“Ini ada
sedikit rezeki,” kataku. Tangan kami bertemu. Lembaran itu berpindah tangan.
Ketika ia melihat uang yang ada di tangannya, ia tidak menaruhnya di toples
tempat ia menyimpan receh. Ia mengangkat nampan barang jualannya yang menutupi
ember di bawahnya, lalu menaruh uang itu di sana. Aku terkejut melihat lembar
demi lembar berwarna merah dan biru di sana. Mataku tidak berkedip melihatnya.
Begitu aku mencoba memperhatikannya lagi, ia menutup nampan itu. Aku penasaran
dengan apa yang kulihat. Mungkinkah aku salah lihat atau ia memang punya uang lebih
banyak dariku?
Karena
penasaran dengan hal itu, aku tidak jadi pergi meninggalkan tempat ini. Kutunggu-tunggu
seseorang memberikan uang pada wanita ini. Lama kutunggu, tapi tidak satu pun
yang memberinya uang dengan nominal yang membuatnya harus membuka nampan. Semuanya
masuk ke toples berisi recehan. Kemudian aku menjadi malu karena wanita itu
berkali-kali menatapku yang sedari tadi berdiri memperhatikannya. Ketika
tatapan kami bertemu, ia tidak lagi terlihat semenyedihkan tadi. Akhirnya
kuambil motorku dan mencoba melupakan peristiwa ini.
Di perjalanan
pulang, sesuatu yang tidak kusangka terjadi: aku melihat si nenek pemulung! Begitu
melihat si nenek pemulung, langsung kuhentikan motorku. Ketika aku melihatnya
mengais-ngais sampah dengan semangat seorang muda mengais-ngais rezeki,
gelembung-gelembung kebahagian di dadaku meletup dan pecah berhamburan.
Seketika itu juga aku dibekap rasa sedih yang tiada terkira. Kubuka dompetku
dan hanya selembar lima puluh ribu tersisa di sana. Gajian masih lama dan puasa
belum juga mulai. (*)
Gang Metro, 2021-2022