Logika Subjektif, Bahaya Laten bagi Penulis Cerita - Benny Arnas

@kontributor 2/26/2023

Logika Subjektif, Bahaya Laten bagi Penulis Cerita

Benny Arnas

 


Pernahkah Anda, ketika mengangkat tangan untuk bertakbir dalam salat, melafalkan Allah lebih besar daripada (hu) Akbar-nya? Atau malah, (hu) Akbar-nya malah tak kedengaran sama sekali?

Pernahkah Anda, ketika berbicara, membunyikan sebuah kata dengan volume yang lemah di penggalan terakhirnya? Misal, mengucapkan kerinduan dengan an yang berbunyi samar atau nyaris tak terdengar, atau semuanya dengan nya yang seperti hilang dibawa angin.

Tentu saja kita semua pernah. Bahkan sering melakukannya. Ketika bersuara (baik takbiratul ihram atau menjadi pembicara atau sekadar sedang ngobrol), kita kerap melakukannya dengan mulut dan kepala, dengan pita suara dan imajinasi. Sebagian kata terdengar di telinga, sebagian lain direkam oleh perasaan. Keadaan demikian, tanpa disadari, adalah peringatan bahwa kita sedang menjauh dari kesadaran. 

Kita kurang atau tidak khusyuk. 

Ya, percakapan yang dilakoni dua orang yang tidak sadar dengan apa yang diucapkan kerap sekali mendirikan panggung logika subjektif tanpa penonton. Logika subjektif adalah pemahaman personal yang mengabaikan pemahaman orang lain terhadap tindakan atau kata-katanya dalam bertutur tidak kentara atau tidak dirasakan sama sekali. Dalam praktiknya, logika personal kerap menjelma jadi perasaan, bukan ukuran. 

Kerap terjadi, jangankan pemenggalan kata dalam volume jomplang, ketika serentetan kata diucapkan terlalu cepat atau sambil tertawa atau seraya menguyah makanan pun, kita masih bisa memahaminya. Kenapa? Karena mereka yang sedang bercakap-cakap sudah memahami konteks dan konten percakapan. Logika subjektif mereka yang terlibat dalam percakapan menjadi bukan masalah lag karena sudah logika-logika personal mereka sudah bertemu dan berubah menjadi logika intersubjektif. Logika ini bi(a)sa bekerja dengan baik karena masing-masing sudah berada dalam lingkaran pemahaman—dan atau pergaulan—yang sama.

Dalam kasus yang lebih spesifik, seseorang yang biasa bergaul dengan orang sumbing tidak bermasalah berkomunikasi dengan orang sumbing karena ia sudah terlatih memahami kata-kata yang tidak ideal diucapkan oleh orang-orang sumbing. Seorang pelatih sepakbola yang entah berteriak apa di pinggir lapangan akan ditangkap maksudnya dengan penafsiran yang—kerap sekali—benar oleh para pemain karena keadaan pertandingan yang mendorong mereka berpikir cepat dan karakter pelatih yang dipahami selama latihan.

Dalam komunikasi oral yang tak terekam, pertunjukan logika subjektif adalah sesuatu yang tak bisa dihindari karena kerap sekali terjadi. Kerap sekali kita saksikan. Kerap sekali kita temui. 

O ya, ‘tak terekam’ perlu dibunyikan di sini karena kalau terekam, percakapan subjektif itu menjadi sangat mungkin disunting, diperbaiki, diperhalus, dibuat layak untuk publik. Perekaman membuat logika subjektif memungkinkan digarap (baca: disunting) menjadi logika objektif. Baik itu dengan penambahan volume, perbaikan pengucapan, penambahan subtitle—dan lain sebagainya, sehingga siapa pun bisa memahami apa yang sedang dibicarakan. 

Itulah mengapa saya kerap menyalakan fitur subtitle teks asli di Netflix apabila audio film yang sedang saya tonton bermasalah, misalnya bagian dialog (atau bisa saja semuanya!) yang tidak tertangkap jelas maksudnya apa. Hal ini bisa disebabkan oleh perangkat audio yang kurang memadai ketika pengambilan atau penyuntingan gambar, atau memang sutradaranya terlalu permisif terhadap kualitas dialog pemainnya, atau … sutradara (atau bisa saja satu tim produksi) berada di bawah pengaruh logika intersubjektif karena mereka sudah tahu dan hafal dialog dan alur ceritanya. Jadi, kalaupun dialog yang dipraktikkan aktor atau dihasilkan perangkat audio kurang layak, mereka tetap bisa memahaminya. Padahal, di hadapan nontimproduksi alias audiens yang tidak tahu apa-apa, itu adalah masalah. Besar dan serius.

Lalu bagaimana kalau logika (inter) subjektif bermain dalam ranah nonaudio?

Wah bisa bahaya!

Misalkan seorang juru masak mengutamakan logika subjektifnya dalam memasak. Ia bisa saja merasa menambahkan dua sendok garam penuh ke dalam kuali padahal sendok kedua di tangannya saat itu yang hanya berisi setengah; atau apabila seorang penjahit dikuasai logika subjektifnya, ia akan menghasilkan jas yang menurutnya bagus, padahal pesanan kliennya bukanlah demikian. 

Bagaimana dalam ranah menulis? Menulis fiksi, misalnya. 

Aha. Ini apalagi. Dan ini kerap sekali ditemui pada cerita-cerita yang tidak kuat premisnya, kurang seru aliran ceritanya, kurang detail penggambarannya, kurang nendang pesannya. 

Dalam menulis, dan aktivitas kreatif sejenis, imajinasi harus mewujud penggambaran yang bisa dipahami pembaca.

Logika cerita harus dicek sedemikian rupa. Sampai di sini, kita harusnya paham, bukan, peran pembaca draf? Tapi harus ingat, kita butuh ‘mata ketiga’

untuk menguji beres tidaknya logika penulis dalam menulis cerita. Semakin subjektif logikanya, semakin susah tulisan dipahami. Semakin mudah dipahami (banyak orang), semakin objektif logikanya. Sesederhana itu. 

Logika yang subjektif, seperti dijelaskan di awal, adalah luaran atas interaksi dalam relasi kuasa: emosi menindas rasionalitas, imajinasi merudapaksa kejernihan narasi, dan asumsi mengaburkan aksi. 

Seorang penulis merasa tak perlu menjelaskan kenapa tokoh utama dalam ceritanya makan secara barbar di siang bolong karena semua orang, ia anggap, pasti tahu bahwa orang berlaku demikian karena sang tokoh belum/tidak makan empat hari. Ya, ia anggap, bukan pikir.

Kembali pada contoh logika subjektif dalam menulis tadi. 

Logika subjektif dalam kalimat membuat tulisan menyerupai kayu mati yang ditanam di tanah lapang. Ketika angin berembus kencang, ia bukan hanya goyah, tapi juga bisa tercabut dan terlempar. Ya, bagaimana bisa “makan barbar” dianggap jika-dan hanya jika pelakunya belum/tidak makan selama empat hari? Padahal, ada yang setiap hari makan sebarbar itu di jam makan siangnya, padahal ada yang makan dengan cara demikian karena sedang mengikuti tantangan (chalenge) demi hadiah, padahal ada yang menjadi demikian untuk konten mukbang di kanal Youtube-nya, padahal ada yang makan seserampangan itu hanya karena lupa sarapan, bahkan … ada yang sudah puasa enam hari pun, ketika bertemu makanan, masih bisa makan dengan dengan tenang ….

Logika subjektif lebih mengutamakan perasaan dan asumsi daripada fakta dan rasionalitas. Penulis begini akan kesulitan membangun cerita yang kuat. Logika yang lemah (baca: yang tidak objektif) akan membuat cerita berdiri egois. Penulis yang demikian, kalau tidak mau berubah, sejatinya termasuk, dalam istilah Dunning-Kruger, pengidap anosognosia: memiliki kekurangan (gagal mengarap logika), tapi merasa telah membereskannya.  

Lubuklinggau, 18 Februari 2022

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »