Istri dan Metamorfosisnya - Johan Arda

@kontributor 5/21/2023

Istri dan Metamorfosisnya

: Puisi “Bon Belanja Istriku”-Rori Aroka Rusji

Johan Arda



Tidak ada tempat pergi dan pulang, selain rumah. Tempat menanak semua kebahagiaan. Tempat mengiris kesedihan agar usai sesampainya di rumah. Dan, kebahagiaan serta kesedihan tersebut tidak lepas dari kerja sama antara ayah dan ibu/suami dan istri, sebagai tiang dan atap sebuah rumah. Suami memang memikul tugas untuk bagaimana agar rumah tangga yang dipimpinnya tetap sejahtera. Dia memikirkan apa pun cara tungku tetap menyala, pisau tetap berminyak, lauk di meja makan tetap terhidang. Namun, bagaimana jika tiada akal lagi dengan apa meja makan akan diisi?

            Begitulah yang disiratkan Rori Aroka Rusji dalam puisinya “Bon Belanja Istriku” (sastramedia.com, 2023). Dari pembuka puisinya saja sudah terlihat kerut kening suami (atau Rori sendiri) saat terhenyak melihat istrinya. Belum selesai ia mengucek matanya, istrinya sudah bermesraan dengan pisau di dapur. Bakda subuh, aku tercengang, melihat istri sedang berduaan di dapur. Pisau yang sengaja aku beli untuknya agar dia menjadi orang yang paling kejam di dapur. Menghabisi nyawa setiap binatang yang akan dia hidangkan.

            Rori menggambarkan loyalitas seorang istri (atau istrinya sendiri) yang menjadi pokok penting dalam puisinya dengan gamblang. Memang, sosok istri yang dipakai adalah istri sigap nun idaman zaman sekarang. Istri yang bisa memasak apa saja yang tampak di matanya, istri yang tahu kapan suami dan anak-anaknya harus makan, istri yang bahkan “merendang senyum dan menghidangkannya di meja makan”.

            Berbicara soal cara Rori menghidangkan puisinya, penceritaan naratif cenderung dipilihnya serta pembahasaan/metafora yang tidak berbelit-belit. Dari awal hingga akhir kita tidak menemukan kata yang sukar dimaknai, akan tetapi kesederhanaan bahasa itulah yang menjadi daya pikat Rori melalui puisi-puisinya. Seperti yang banyak juga termaktub di kumpulan puisinya “Nyanyian Pupang” (Penerbit Purata, 2021).

            Tipografi atau tata letak yang dimainkan sekilas seolah-olah Rori membuat puisinya menjadi cerita. Cerita yang singkat. Dia mengawali dengan “latar belakang” bagaimana istrinya siaga subuh-subuh di dapur. Di pertengahan, dia menyelipkan dialog-dialog untuk menggamblangkan pembicaraan antar tokoh (suami dan istri) pada puisi. Lalu, dengan “manis” puisi ditutup kembali dengan sebuah paragraf, yang (menurut saya) sebuah amanat penting di puisinya.

    Namun, saya menangkap puisi kali ini lebih diantarkan kepada sebuah pasangan/keluarga yang bahagia dengan kesederhanaannya, tapi miris dengan lauk apa yang harus dimakan sehari-hari.

Suatu ketika dia memasak bon belanja dari pasar pagi, tentu saja aku balas dengan senyuman lagi, karena senyuman sedang berusaha memenuhi setiap bon belanja rumah kami.

“Makin lama, hasil peluhmu semakin tidak berharga saja di pasar.” Tentu saja aku akan memegang tangannya dan menjawab kalau cinta kita tidak boleh digadai ke pasar pagi.

            Suami yang terus mengobati hati istri dengan senyumannya. Rori di pertengahan puisi ini berpesan bahwa kehidupan rumah tangga tak sebahagia di akal dominan anak muda sekarang; nikah muda, pesta mewah, berumah minimalis (tapi modern), punya anak lucu, dan bahagia selamanya.

Tidak! Rori dengan tersirat berkata demikian. Lihatlah si istri yang sejak awal pernikahan hanya bisa merendang dan mengiris senyum. Ungkapan demikian adalah ketiadaan, kemirisan, kehampaan rumah tangga yang berpotensi terjadi.

            Di balik semua tantangan itu semua, berbahagialah pria yang memiliki istri dapat bermetamorfosis menjadi apa saja di rumah. Rori menyampaikan kebahagiaan (nya barangkali) memiliki seorang istri yang serba bisa. Kepiawaian istri meramu apa saja cukuplah untuk menjadi pengobat hati di rumah. Tidak cuma itu, bahkan ketika bon belanjaan pun kosong, alias tidak ada uang untuk membeli/mengisi bon belanja, seorang istri yang piawai bisa menjadikan senyumnya untuk mengisi bon belanja. Karena senyuman sedang berusaha memenuhi setiap bon belanja rumah kami.

            Alhasil, pada bait akhir, Rori menjelaskan apa saja tugas/pikiran yang menjadi tanggung jawab antara sang suami dan sang istri.

Aku baca bon belanjanya dengan ingatan: pada hari pertama kami menikah, aku hanya memintanya untuk membantai semua binatang yang ada di kulkas. Dan jangan ikut campur memikirkan bagaimana cara agar kulkas itu tetap berisi.

            Sependek pengalaman yang saya lihat, sulit untuk legowo memasak apa saja yang ada. Sebab, jika hanya minyak dan bawang yang ada, apakah masih mampu kerongkongan menelannya? Namun, itulah daya magis cinta dalam penutup puisi Rori. Dia hanya berpesan kepada pasangan suami istri di mana pun, bahwa cukup istri menanak dan memasak apa saja yang telah ada di dapur. Tidak payah mencari-cari muasalnya. Sebab, biarkan suami yang bertungkus-lumus memikirkan cara agar kulkas itu tetap berisi, agar rumah tangga senantiasa kenyang.

Karena kita punya tugas dan tanggung jawab yang berbeda untuk membangun kebahagiaan.

***

 

Padang, 24 Maret 2023

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »