Antara Bara di Rumah Muntasir dan di Dada Kohar - Hilmi Faiq

@kontributor 5/21/2023

Antara Bara di Rumah Muntasir dan di Dada Kohar

Hilmi Faiq



Tampilan Kohar berubah. Setiap keluar rumah dia sekarang memakai baju serba putih. Jika bukan gamis atau koko, dia memakai kain panjang serupa jubah. Lalu kepalanya selalu berpeci atau bahkan serban. Tangan kanannya hampir tak pernah lepas dari kalung panjang beruntai biji kayu kadang biji batu yang dia sebut tasbih. Wajahnya tampak lebih bersih karena dia tak lagi berkumis, tetapi membiarkan bulu-bulu pada janggutnya memanjang dan terawat sehingga terlihat rapi.

            Banyak warga kampung Wuluh senang dengan perubahan tampilan pada diri Kohar. Mereka merasa lebih aman karena dengan berubahnya tampilan Kohar itu berarti berubah perilakunya. “Penjara telah mengubah hidupnya. Semoga Kohar tidak mabuk-mabukan dan menelan pil setan itu lagi,” kata Yu Am, penjual gulai ayam kepada Yu Marni di pasar Wuluh selepas Kohar melintas dan melempar senyum.

            Kohar anak tunggal mendiang Haji Nawawi, guru ngaji di kampung Wuluh. Sehari-hari bekerja sebagai nelayan lantaran sejak kecil tak begitu berminat duduk lama-lama di bangku sekolah. Tak hanya itu. Tatkala anak-anak seusianya duduk rapi di belakang meja menderas kitab suci di pagi atau sore hari, Kohar lebih banyak di laut. Laut seolah selalu memanggilnya untuk terus bermain. Biasanya menjelang magrib dia baru pulang dengan baju basah kuyub dan menenteng plastik yang kadang berisi kerang, kadang berisi anak-anak rajungan.

            Begitu agak besar, tatkala otot-ototnya lumayan bisa diandalkan, Muntasir, seorang juragan sekaligus kapten kapal mengajaknya berlayar. Dalam usianya yang masih belasan tahun, Kohar sudah menyinggahi beberapa pulau, setidaknya pernah bersandar di Bandar Lampung dan Bawean, dua tempat yang teramat jauh untuk anak seusia dia. Melaut membuatnya riang. Apalagi saat pulang dia mengantongi beberapa lembar uang dan menenteng ikan pemberian juragan. Kenikmatan melaut dan uang membuatnya makin susah dibujuk untuk belajar.

            Haji Nawawi pun tak bisa berbuat banyak. Dia berprinsip, anaknya adalah anak zaman yang punya keleluasaan untuk menikmati hidup. Tapi tampaknya Haji Nawawi lengah. Ada yang dia tak tahu karena diam-diam setelah mendapat bayaran, Kohar menelan karnopen yang sesaat dapat menghilangkan pusing setelah berjam-jam dilamun ombak di lautan. “Minum saja biar bisa tidur,” begitu semula Muntasir kepada Kohar tatkala ombak setinggi dua sampai tiga meter berulang kali memukul lambung kapal berisi dua belas orang itu hingga terguncang hebat. Saat itu, musim hujan baru datang.

            Makin hari, karnopen menjadi santapan wajib bagi awak kapal. Ketika laut bersahabat dan bermurah memberi rezeki lebih, kapal Muntasir membawa pulang berton-ton ikan segar. Sebelum kapal bersandar, dia membuka kantong plastik seukuran tas pinggang yang penuh karnopen lalu membagikannya kepada seluruh anak buah kapal. Mereka berebut seperti anak kecil mendapat tawaran permen. Sesaat kemudian mereka mengoceh dengan tatapan aneh sebari bersandar di dinding-dinding kapal. Soal bongkar ikan, urusan petugas lelang ikan. Pokoknya awak kapal tak boleh diganggu karena sedang menikmati hidup setelah berjuang melawan mau di tengah laut.

            Muntasir rupanya menjadikan karnopen sebagai penghasilan sampingan. Kalian salah menduga jika dua rumah megah dan delapan kapal itu hasil dari laut. Itu semua dia bangun dari butir-butir karnopen. Tatkala agin barat bertiup kencang dan menghalau nelayan melaut, dia mengedarkan karnopen dari kapal ke kapal. Nelayan-nelayan miskin yang pusing diomeli istri lantaran tak punya lagi tabungan, memilih melarikan diri dari kenyataan dengan menelan karnopen. Toh bisa utang dulu dibayar nanti saat angin mereda dan hasil laut melimpah. Mereka inilah pasar potensial bagi Muntasir. Seluruh awak kapalnya dia manfaatkan sebagai pengedar sementara dia bandar. Muntasir menjadi salah satu bandar besar di pesisir utara laut jawa, dari Rembang sampai Lamongan. Sebagian besar awak kapal tak bisa menghindar lantaran terjerat utang ke juragan. Berbeda dengan Kohar yang senang-senang saja mengedarkannya. Apalagi dia bebas menelan karnopen gratisan. Kohar bukan hanya anak buah Muntasir dalam menangkap ikan, juga dalam mengedarkan obat-obatan.

            Kegilaan Kohar terhadap karnopen lambat laun menggeser cintanya kepada laut. Tanpa sepengetahuan Muntasir, Kohar mencari tahu pemasok karnopen dan memesan dalam jumlah besar. Nama Kohar cukup tenar di kalangan bandar karnopen lantaran nama besar Muntasir, sehingga dia mudah saja mendapat kepercayaan.

            Kerajaan bisnis karnopen Kohar lambat laun membesar seolah tak terbendung. Tatkala ayahnya, Haji Nawawi, meninggal, dia makin agresif melebarkan sayap lantaran merasa tak ada lagi yang menghalanginya. Pelanggan-pelanggan Muntasir pun pelan-pelan dia masuki dengan menawarkan harga lebih rendah.

            “Bos, sudah saatnya kita mengambil tindakan,” kata seorang anak buah Muntasir.

            Muntasir yang duduk di kursi menatap televisi itu mengelus dagunya tanpa mengalihkan pandangan. Sesaat kemudian dia raih rokok yang sedari tadi perlahan menjadi abu di tepi asbak. Dia isap pelan lalu dengan gerakan yang sangat terukur, kepalanya menengadah sembari menghembuskan kepulan asap.

            “Jadi bagaimana, Bos?” si anak buah bertanya lagi.

            “Sudah seberapa berbahaya dia?”

            “Sepertiga pasar kita sudah dia ambil, Bos.”

            “Oke. Kita tunggu sampai Jumat depan. Semoga dia tak lagi jadi gangguan.”

            ***

Pagi yang muram. Mendung bergelayut dari ujung timur sampai barat cakrawala. Gerimis tipis sejak subuh tadi tampaknya belum menunjukkan akan berhenti. Setidaknya hingga tengah hari nanti. Para nelayan duduk bersila berselimut sarung di warung-warung kopi di dekat pantai menyaksikan perahu mereka diayun ombak seperti bayi yang dininabobokan ibu. Di genggaman mereka, sebutir dua butir karnopen siap mereka telan untuk mengurangi kepahitan hidup.

            Pagi yang muram. Suara sirene menyalak dari arah jalan raya, makin lama makin memekakkan telinga tatkala dua mobil polisi berhenti di depan sebuah warung. Dua posisi berseragam segera keluar sambil mencabut pistol, sementara empat lainnya, ada yang keriting dan ada yang berambut sebahu berkaus oblong, tak kalah sigap keluar mobil dan segera berlari ke arah warung.

            Terjadi kegaduhan dalam warung. Suara gedebuk barang-barang jatuh di susul jeritan seorang perempuan menjadi latar. Beberapa detik kemudian, dua polisi mencengkeram lengan seorang pria berkulit cokelat dengan kumis tebal yang tangannya sudah mereka borgol. Polisi itu menggiring pria tadi dan menenggelamkannya ke dalam kabin mobil lalu membawanya pergi. Dialah Kohar.

            Para nelayan gusar. Kohar ditangkap polisi karena menyimpan narkoba. Bukan karnopen, tapi setengah kilogram sabu.

            Jaksa menuntut Kohar hukuman seumur hidup, tapi majelis hakim memvonisnya tujuh tahun penjara dan denda tujuh ratus juta rupiah. Kepada wartawan, Kohar bilang akan menjalaninya sebagai bentuk penghormatannya kepada lembaga pengadilan. Gaya bicaranya sudah seperti politisi saat ditangkap KPK. Itu dia pelajari dari tivi.

            ***

            Warga menilai penjara telah mengembalikan Kohar ke jalan semestinya. Sebagai anak mendiang Haji Nawawi, warga masih berharap Kohar bersedia menggantikan posisi ayahnya sebagai guru ngaji. Tampaknya Kohar bersedia meskipun tidak terang-terangan mengucapkannya secara lisan. Sekarang dia lebih sering di masjid. Suatu kali khatib dari kampung sebelah yang semestinya mengisi khotbah Jumat, berhalangan. Jamaah mendorong Kohar menggantikannya. Dari cara dia mengaji beberapa waktu lalu, jamaah yakin Kohar bisa. Dengan bahasa tubuh malu-malu, Kohar naik mimbar. Jamaah lega karena dugaan mereka benar. Kohar fasih mengutip hadis maupun ayat kitab suci. Sejak saat itu, Kohar makin sering naik mimbar juga mengisi kajian rutin setiap malam Jumat.

            Jamaah senang lantaran merasa Kohar memberi penyegaran dalam setiap kajiannya. Dia berani mengungkit-ungkit pasal yang selama ini meresahkan mereka, yakni peredaran karnopen. Banyak anak usia belasan tahun mulai menelan karnopen sehingga lupa diri, lupa keluarga. Yang agak tua, lupa anak istri. Tak terhitung lagi jumlah kecelakaan di jalan gara-gara karnopen. Misalnya gara-gara karnopen, ada warga naik sepeda motor di jalan raya tapi pikiran sedang berada di surga, berakhir mati menabrak toko sepeda.

            “Kita harus mengakhiri semua ini. Pemerintah tidak mampu bertindak karena sudah menjadi bagian dari mafia. Para bandar menyogok polisi agar mereka diam saja,” kata Kohar, pelan tapi menyulut bara di dada jamaah.

            “Tetapi bagaimana caranya, Ustaz?” tanya seorang jamaah. Sejak menggantikan khotib untuk khotbah tempo hari, satu dua jamaah mulai memanggil Ustaz kepada Kohar. Kohar tidak menampik juga tidak meminta. Kali ini dia tersenyum lalu mengelus jenggotnya.

            “Ini memang tidak bisa dilakukan seorang diri atau hanya dua tiga orang. Harus bersama. Ramai-ramai. Semakin banyak yang ikut, semakin bagus.”

            Jamaah manggut-manggut lalu Kohar menjelaskan lebih detail tentang rencana yang sudah lama ada di benaknya. Jamaah dia minta mendaftar nama-nama yang selama ini mereka curigai sebagai bandar atau pengedar. Lalu nama-nama itu akan dipilih sesuai dengan tingkat kekuasaan terhadap pasar karnopen. Setidaknya mereka mempunyai lima nama yang perlu diperangi dan ditumpas jaringannya.

 

***

Mendung tipis memayungi Kampung Wuluh. Rembulan nyaris purnama nan pucat mengambang di cakrawala. Debur ombak laut tenggelam oleh suara takbir seratusan orang berpakaian serba putih berarak ke arah timur sambil membawa obor yang katanya merayakan kelahiran Nabi. Sampai di mulut gang yang dipayungi pohon asem, mereka berbelok ke kanan. Sekitar seratus meter kemudian mereka berhenti di depan rumah megah berlantai dua. Mereka lalu berteriak-teriak.

“Muntasir, keluar…!!!”

“Kalau tidak keluar, rumahmu kami bakar.”

“Ayo keluar!”

Seorang perempuan tergopoh-gopoh keluar rumah sembari menggendong anak usia tiga tahun. Dia istri Muntasir.

“Di mana suamimu?” tanya seorang dari gerombolan tadi.

“Tidak tahu. Dia tak ada di rumah.”

“Kamu jangan bohong.”

“Beneran, dia tak ada di rumah.”

Laki-laki tadi menatap nanar istri Muntasir, lalu tangan kanannya memberi kode yang disusul dengan pelemparan obor ke rumah Muntasir. Istri Muntasir menjerit-jerit. Api terus meluas hingga atap. Mendung makin pekat oleh asap tebal dari rumah Muntasir.

Tiba-tiba pintu rumah yang berselimut api itu terbuka. Seorang pria berkaus oblong putih dan bersarung berlari sembari terbatuk-batuk.

“Bunuh, dia!”

“Bunuh!!!”

            “Bakar!!!”

Kohar yang sedari tadi di belakang barisan merangsek maju menghalang-halangi orang mendekati Muntasir. Dia lalu menyelimuti Muntasir dengan sajadah agar padam api di punggungnya.

            “Ingat-ingatlah apa yang kamu lakukan kepadaku dulu,” bisik Kohar.


Green Village Bintaro 14-17 Februari 2021


Catatan:

Karnopen: sebutan warga pesisir terhadap Charnoven


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »