MEMAKI HANTU
Yonetha Rao
SUASANA makan malam
bersama di ruang belakang rumah kami yang berdekatan langsung dengan dapur
mendadak sunyi. Bunyi piring dan sendok serta percakapan langsung terhenti. Ada
suara ketukan yang cukup keras dari depan rumah. Kami sama-sama terdiam dan
saling pandang.
“Tok, tok,
tok,” bunyi ketukan itu terdengar sekali lagi. Mama menyuruh kami duduk diam
sambil melanjutkan makan, dan ia beranjak ke ruang tamu hendak membukakan
pintu. Aku berusia sekitar sembilan tahun waktu itu. Aku, kakak dan dua adikku
yang masih kecil melanjutkan makan bersama bapa.
Bapa yang
tampak sedikit terburu menghabiskan makanannya menasihati kami untuk tidak ikut
nimbrung kalau nanti ia ke depan untuk mengobrol bersama tamu yang baru saja
mengetuk pintu itu. Belum selesai ia menasihati kami tentang tata krama dan
sopan santun ketika ada orang bertamu, mama muncul dari balik pintu dengan
wajah sedikit bingung sambil berkata, “Tidak ada siapa-siapa.” Namun ketika ia
hendak duduk untuk melanjutkan makan, suara ketukan itu kembali terdengar. Kali
ini bunyinya lebih keras. Sekali lagi mama bangkit meninggalkan meja makan dan
beranjak ke ruang tamu sambil menggerutu kesal, “Siapa sih yang iseng mengetuk
pintu? Mengganggu saja!”
Jarak
rumah kami dengan rumah tetangga agak berjauhan. Di sebelah kiri dan kanan
rumah kami adalah lahan kosong, belum ada bangunan rumah di sana. Sehingga
mustahil jika kami menduga bahwa jangan-jangan itu bunyi ketukan pintu di rumah
tetangga. Aku urungkan memasukkan suapan nasi ke mulutku ketika mendengar suara
makian keras mama dari ruang tamu, “In
noi na bolan, mnao ka mnao ho aum he mukoke kau, mnaot munon le ho lalne ban!”
yang kira-kira artinya: “Pukimai kau, jalan tidak jalan kau ke sini mengganggu,
kalau mau jalan ikuti jalan takdirmu!”
Kami
saling berpandangan dengan heran. Mama kembali ke ruang belakang dengan wajah
bingung dan gusar. Bapa baru saja hendak mengucapkan sesuatu, namun terpotong
oleh suara mama yang berkata, “Kurang ajar, sepertinya ada hantu yang mengerjainku!”
Walaupun Bapa
termasuk orang yang percaya pada hal-hal mistis, terkadang ia masih berpikir
rasional. Ia baru kembali berbicara ketika mama sudah duduk dengan tenang,
meski dengan wajah bingung yang tampak menahan gusar. “Mungkin ada anjing
tetangga yang mengibaskan ekor di depan pintu tadi,” ujar Bapa. Meskipun apa
yang dikatakan Bapa itu memang terdengar agak menyakinkan, tetapi ketukan pintu
itu tetap saja rasanya aneh buat kami.
Rasionalitas
Bapa baru benar-benar runtuh ketika menghadapi kejadian yang menimpa kakak
laki-lakiku tak lama kemudian. Waktu itu Kakak bersama beberapa temannya pergi
menjepret burung di hutan. Saat sedang mengintai burung-burung di bawah
sebatang pohon rimbun kakakku tiba-tiba saja mengalami kejang-kejang. Melihat
itu teman-temannya jadi ketakutan dan berteriak-teriak memanggilnya serta
mengguncang-guncang tubuhnya. Namun kakak tetap saja kelojotan dan
menjerit-jerit tidak karuan. Seorang temannya kemudian berinisiatif berlari
pulang, tepatnya ke rumah kami, untuk melaporkan apa yang terjadi pada Kakak.
Entahlah
penjelasan macam apa yang disampaikan oleh teman Kakak pada Bapa dan Mama, aku
yang saat itu sedang asyik mengerjakan PR segera berlari ke teras rumah ketika mendengar
Mama berteriak histeris. Bapa kemudian berlari ke dapur, aku mengikutinya. Di
dapur itu kulihat ia mengambil tiga sendok garam lalu menaruhnya dalam kantong
plastik. Ia juga mengambil sebuah botol dan menuangkan air ke dalam botol itu
lalu memasukan tiga sendok garam lagi ke dalam botol berisi air. Setelah itu
dengan tergesa ia lantas mengajak teman Kakak untuk pergi ke tempat kakak berada.
Beberapa tetangga yang berdatangan pun menemani Bapa ke sana.
Mama
bergegas mencari senter dan mencoba menyalakannya untuk memastikan jika baterai
senter itu masih berfungsi. Ia menggandeng tanganku dan kami menyusul Bapa,
sementara salah seorang tetangga menjaga dua adikku. Ketika menuruni bukit hari
sudah benar-benar gelap sebab banyak pohon rimbun menghalangi temaram senja. Mama
menyalakan senternya.
Akhirnya
kami sampai di tempat kakak mengalami kejang-kejang. Ia tak lagi berkelojotan
seperti saat temannya berlari pulang untuk melapor. Ia hanya terbaring
terentang di bawah pohon. Kedua matanya tampak terbuka namun seluruh tubuhnya
tak bergerak. Bapa segera mendekati Kakak dan memeluknya, kemudian memanggil
namanya sebanyak tiga kali lalu menuangkan air dari dalam botol ke tangan dan
memercikkannya ke tubuh kakak sebanyak tiga kali sambil berkata,“ Permisi apao bale, au anhe ka nahin fa toni ka
nahin fa lasi. Mautut ia lian amonte. Kalu haim san, mileon hau, fatu, oe nok
nasi, haim toet ampun nu pah pinan nok Usi amoet ma apakaet. Maut haim faen mok
hai anhe mi hai ume,” yang artinya “Permisi penghuni tempat ini, anakku
tidak bersalah. Ia tidak tahu apa-apa. Namun apabila kami pernah merusak alam,
hutan, kayu, batu dan air, kami meminta ampun kepada semesta dan Tuhan sang
pencipta. Biarkan kami kembali ke rumah bersama anak kami.”
Selesai
berkata demikian, ia mengambil garam dari dalam kantong plastik dan menaburkan
sebanyak tiga kali di sekeliling pohon. Tiba-tiba saja kakakku tersadar dan
memanggil Mama. Mama yang sejak tadi berdiri diam sambil komat-kamit pun segera
memeluk anaknya kemudian membantu Kakak berdiri. Bapa mendekati mereka dan
berkata, “Lain kali tidak boleh takut.”
Ia
mengatakan hal yang sama juga pada teman-teman Kakak sebelum beranjak pergi. Ketika
hendak kembali ke rumah, Mama masih saja menoleh ke pohon itu. Kudengar ia
memaki, ”Pukimai! Kukutuk kau dalam nama Tuhan! Kau harus sadar bahwa derajatmu
lebih rendah daripada kami manusia!”
Selesai
mengumpat demikian, ia pun meludah ke tanah dengan ekspresi kesal.
***
KETIKA bertamu ke
rumah Tanta Nela, Mama kemudian mengisahkan ulang cerita tentang kejadian
diketuknya pintu rumah kami pada saat makan malam. Ia mencoba meyakinkan para
tetangga kami yang sedang makan sirih pinang bersamanya bahwa yang mengetuk
pintu rumahnya pada malam itu adalah benar-benar arwah atau hantu penasaran. Dan
seperti biasa, lantaran kuatnya kepercayaan masyarakat desa kami akan hal-hal
yang berbau mistik, nyaris tak ada bantahan dari ibu-ibu yang sedang berkumpul
itu. Malahan mereka ikut-ikutan mengisahkan beragam peristiwa aneh yang mereka
alami sendiri maupun yang mereka dengar dari orang lain.
Tanta Anna
yang sedang menuangkan kapur sirih ke atas telapak tangan berkata, “Pohon asam
di belakang rumah kami itu sangat rimbun. Setiap malam jika hendak keluar buang
air kecil, saya harus besarkan sumbu pelita agar cahayanya lebih terang dan tidak
cepat padam ditiup angin. Dulu, beberapa tahun lalu waktu musim asam, Oom Nopeu
jatuh dari pohon asam itu. Kala itu ia memanjat terlalu tinggi dan katanya ia
salah memijak. Dahan asam yang ia injak sudah lapuk, ia hilang keseimbangan dan
jatuh. Suatu malam samar-samar saya seperti mendengar suara erangan kesakitan
di bawah pohon asam itu.”
Perempuan
beranak lima itu mengambil lagi buah pinang dan daun sirih dari kabi di atas meja, memasukkan pinang
dan daun sirih itu ke dalam mulutnya lalu mulai mengunyah selama beberapa saat
sebelum akhirnya meneruskan, “Tanta Eli di rumah sebelah yang waktu itu belum
ikut suaminya ke Pekan Baru bilang kalau ia juga pernah beberapa kali mendengar
erangan kesakitan dari arah pohon asam kami. Saya kira pohon itu dihantui oleh
arwah Oom Nopeu...”
“Ah,
jangan omong begitu!” Tanta Min tukang urut yang sedang memijat Tanta Nela si
tuan rumah membuka suara. “Mungkin karena pohon itu memang sudah tua dan sangat
rimbun daunnya, makanya saat dihembus angin terdengar olehmu seperti suara
orang mengerang. Apalagi pas musim hujan begini. Jangan kaitkan dengan Oom Nopeu.
Nanti dia pung cucu dong dengar marah.”
Mendengar
itu, dengan agak kesal Tanta Anna menjawab, “Ya ini kan cuma dugaanku saja
karena setiap malam kalau mau keluar kencing ke belakang saya ketakutan. Dan
kalau memang benar ada arwah Oom Nopeu, eh memangnya saya yang bikin dia jatuh
dari pohon asam ko? Dia kan semasa
hidupnya serakah, sonde mau bagi
hasil dengan dia pu adik dong! Makanya waktu dia mati, dong sepakat jual tanah sampai pohon
asam itu ke kami deng harga murah.”
Tanta Nela
si tuan rumah yang sedari tadi telungkup di atas tikar dan dipijat kemudian
berkata kepada Mama, ”Ibu Din, cerita hantu yang mengetuk pintu rumahmu itu sudah
tersebar luas sampai ke beberapa kampung. Termasuk juga kejadian tentang anak
laki-lakimu yang kesurupan.”
***
NAMUN cerita tentang
hantu tak selesai begitu saja di rumah Tanta Nela. Karena dua malam setelah itu
tersiar lagi kabar lain yang dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut sehingga
membuat seluruh warga kampung heboh, yakni penampakan nitu honis atau arwah penasaran yang berjalan kaki dari ujung ke
ujung kampung.
Ini terjadi pada bulan Februari
ketika tanaman jagung tumbuh lebat dan berbulir. Penampakan hantu itu
disaksikan oleh sekelompok anak muda yang saban malam suka berkumpul di cabang
jalan untuk minum sopi dan bermain judi. Kepada orang-orang kampung mereka
mengaku bahwa saat nitu honis bertelanjang
dada tersebut melewati pertigaan jalan, mereka belum sempat meneguk sopi, baru
saja mengeluarkan kartu domino. Alhasil, melihat sosok yang lewat itu tak
memiliki wajah, menjeritlah mereka dan langsung lari tunggang-langgang. Karena kala
itu di kampungku belum ada listrik dan rumah-rumah warga hanya diterangi dengan
pelita, maka cerita itu pun membuat suasana kian mencekam saat malam tiba.
Rasa takut warga ini kemudian
berubah jadi teror ketika di suatu pagi yang basah Oom Fanus mengaku bahwa
semalam ia telah melihat hantu tanpa muka yang diceritakan oleh anak-anak muda
yang berkumpul di cabang. Ketika itu ia sedang mendapat giliran jaga malam di
pos ronda bersama Oom Kobus dan Oom Sipri. Mereka bertiga main kartu domino
sambil ngopi dan makan singkong rebus. Di tengah asyiknya mereka bertaruh kartu
domino dengan uang seribuan, ia kebelet kencing dan menyinsing kain betenya berlari ke balik sebatang pohon
mangga besar yang tak jauh dari pos ronda. Saat sedang mengejan mengencingi
pohon mangga itulah tiba-tiba ia mendengar suara berisik di atas kepalanya.
Spontan saja ia mendongakan wajahnya, alangkah terkejutnya Oom Fanus ketika
melihat sesosok lelaki telanjang bulat tanpa wajah sedang berjongkok di atas
dahan. Ia menjerit dan langsung berlari terbirit-birit tanpa mempedulikan
kencingnya yang belum tuntas. Akibatnya kain betenya pun basah oleh air kencing. Cerita Oom Fanus ini masih
disusul oleh laporan-laporan dari warga lain di malam-malam lain yang juga
mengaku melihat penampakan hantu tanpa wajah itu. Tentu tak semua orang
mempercayai cerita-cerita tersebut. Frater Jansen yang sedang menjalani masa
TOP di paroki contohnya, sama sekali tak percaya pada isu penampakan hantu itu.
Bahkan terang-terangan mencibiri. Tetapi Oom Martinus salah satu warga yang mengaku
melihat sosok hantu tanpa wajah itu bersumpah-sumpah di hadapan si Frater,
bahkan dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus.
Pengakuan
demi pengakuan itu pun membuat suasana kampung menjadi tegang. Pada minggu
ketiga Februari kegiatan ronda boleh dikatakan berhenti total. Tidak hanya
anak-anak yang jadi lebih penurut, tak lagi berani bermain jauh dari rumah,
bahkan bapa-bapa yang biasanya gemar begadang sambil membual pun memilih
meringkuk di balik kain panas lebih
cepat.
Benar atau
tidak adanya hantu tanpa wajah itu, peristiwa lain akhirnya terjadi sebagai
imbas dari rasa takut warga yang membuat kampung kami jauh lebih senyap di
malam hari.
Nah, di suatu
pagi yang lebih cerah, yaitu pagi hari pasar yang jatuh pada setiap Rabu di
kampungku, Nenek Abie menjerit-jerit histeris tatkala hendak memberi makan
babi-babinya di kandang. Bukan. Bukan karena melihat penampakan si hantu tanpa
wajah di terang hari, tetapi lantaran janda tua yang sudah lama ditinggal mati
oleh suaminya itu terkejut ketika tak lagi menemukan ternak-ternaknya dalam
kandang. Jeritannya itu membuat para tetangga berdatangan, termasuk mamaku.
“Pukimai! Ini
semua gara-gara hantu sialan itu!” mama memaki dengan wajah kesal sewaktu telah
mengetahui duduk perkara.
Semua yang
aku ceritakan kepada pembaca ini merupakan kisah saat aku duduk di bangku kelas
4 SD. Setahun sebelum aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri sebuah
kepala dengan organ-organ tubuh terjulai keluar dari batang lehernya
melayang-layang di tengah jalan pada suatu malam ketika aku pulang berjalan
kaki sendirian sehabis latihan koor di gereja.(*)
Yogyakarta,
Maret 2023
CATATAN
KAKI
Kabi: Tempat
untuk menaruh sirih, pinang dan kapur yang terbuat dari anyaman daun lontar.
Bete: Sarung
tenun untuk laki-laki (bahasa Dawan).
TOP: Tahun Orientasi
Pastoral.