Memaki Hantu - Yonetha Rao

@kontributor 5/14/2023

MEMAKI HANTU

Yonetha Rao

 


SUASANA makan malam bersama di ruang belakang rumah kami yang berdekatan langsung dengan dapur mendadak sunyi. Bunyi piring dan sendok serta percakapan langsung terhenti. Ada suara ketukan yang cukup keras dari depan rumah. Kami sama-sama terdiam dan saling pandang.

“Tok, tok, tok,” bunyi ketukan itu terdengar sekali lagi. Mama menyuruh kami duduk diam sambil melanjutkan makan, dan ia beranjak ke ruang tamu hendak membukakan pintu. Aku berusia sekitar sembilan tahun waktu itu. Aku, kakak dan dua adikku yang masih kecil melanjutkan makan bersama bapa.

Bapa yang tampak sedikit terburu menghabiskan makanannya menasihati kami untuk tidak ikut nimbrung kalau nanti ia ke depan untuk mengobrol bersama tamu yang baru saja mengetuk pintu itu. Belum selesai ia menasihati kami tentang tata krama dan sopan santun ketika ada orang bertamu, mama muncul dari balik pintu dengan wajah sedikit bingung sambil berkata, “Tidak ada siapa-siapa.” Namun ketika ia hendak duduk untuk melanjutkan makan, suara ketukan itu kembali terdengar. Kali ini bunyinya lebih keras. Sekali lagi mama bangkit meninggalkan meja makan dan beranjak ke ruang tamu sambil menggerutu kesal, “Siapa sih yang iseng mengetuk pintu? Mengganggu saja!”

Jarak rumah kami dengan rumah tetangga agak berjauhan. Di sebelah kiri dan kanan rumah kami adalah lahan kosong, belum ada bangunan rumah di sana. Sehingga mustahil jika kami menduga bahwa jangan-jangan itu bunyi ketukan pintu di rumah tetangga. Aku urungkan memasukkan suapan nasi ke mulutku ketika mendengar suara makian keras mama dari ruang tamu, “In noi na bolan, mnao ka mnao ho aum he mukoke kau, mnaot munon le ho lalne ban!” yang kira-kira artinya: “Pukimai kau, jalan tidak jalan kau ke sini mengganggu, kalau mau jalan ikuti jalan takdirmu!”

Kami saling berpandangan dengan heran. Mama kembali ke ruang belakang dengan wajah bingung dan gusar. Bapa baru saja hendak mengucapkan sesuatu, namun terpotong oleh suara mama yang berkata, “Kurang ajar, sepertinya ada hantu yang mengerjainku!”

Walaupun Bapa termasuk orang yang percaya pada hal-hal mistis, terkadang ia masih berpikir rasional. Ia baru kembali berbicara ketika mama sudah duduk dengan tenang, meski dengan wajah bingung yang tampak menahan gusar. “Mungkin ada anjing tetangga yang mengibaskan ekor di depan pintu tadi,” ujar Bapa. Meskipun apa yang dikatakan Bapa itu memang terdengar agak menyakinkan, tetapi ketukan pintu itu tetap saja rasanya aneh buat kami.

Rasionalitas Bapa baru benar-benar runtuh ketika menghadapi kejadian yang menimpa kakak laki-lakiku tak lama kemudian. Waktu itu Kakak bersama beberapa temannya pergi menjepret burung di hutan. Saat sedang mengintai burung-burung di bawah sebatang pohon rimbun kakakku tiba-tiba saja mengalami kejang-kejang. Melihat itu teman-temannya jadi ketakutan dan berteriak-teriak memanggilnya serta mengguncang-guncang tubuhnya. Namun kakak tetap saja kelojotan dan menjerit-jerit tidak karuan. Seorang temannya kemudian berinisiatif berlari pulang, tepatnya ke rumah kami, untuk melaporkan apa yang terjadi pada Kakak.

Entahlah penjelasan macam apa yang disampaikan oleh teman Kakak pada Bapa dan Mama, aku yang saat itu sedang asyik mengerjakan PR segera berlari ke teras rumah ketika mendengar Mama berteriak histeris. Bapa kemudian berlari ke dapur, aku mengikutinya. Di dapur itu kulihat ia mengambil tiga sendok garam lalu menaruhnya dalam kantong plastik. Ia juga mengambil sebuah botol dan menuangkan air ke dalam botol itu lalu memasukan tiga sendok garam lagi ke dalam botol berisi air. Setelah itu dengan tergesa ia lantas mengajak teman Kakak untuk pergi ke tempat kakak berada. Beberapa tetangga yang berdatangan pun menemani Bapa ke sana.

Mama bergegas mencari senter dan mencoba menyalakannya untuk memastikan jika baterai senter itu masih berfungsi. Ia menggandeng tanganku dan kami menyusul Bapa, sementara salah seorang tetangga menjaga dua adikku. Ketika menuruni bukit hari sudah benar-benar gelap sebab banyak pohon rimbun menghalangi temaram senja. Mama menyalakan senternya.

Akhirnya kami sampai di tempat kakak mengalami kejang-kejang. Ia tak lagi berkelojotan seperti saat temannya berlari pulang untuk melapor. Ia hanya terbaring terentang di bawah pohon. Kedua matanya tampak terbuka namun seluruh tubuhnya tak bergerak. Bapa segera mendekati Kakak dan memeluknya, kemudian memanggil namanya sebanyak tiga kali lalu menuangkan air dari dalam botol ke tangan dan memercikkannya ke tubuh kakak sebanyak tiga kali sambil berkata,“ Permisi apao bale, au anhe ka nahin fa toni ka nahin fa lasi. Mautut ia lian amonte. Kalu haim san, mileon hau, fatu, oe nok nasi, haim toet ampun nu pah pinan nok Usi amoet ma apakaet. Maut haim faen mok hai anhe mi hai ume,” yang artinya “Permisi penghuni tempat ini, anakku tidak bersalah. Ia tidak tahu apa-apa. Namun apabila kami pernah merusak alam, hutan, kayu, batu dan air, kami meminta ampun kepada semesta dan Tuhan sang pencipta. Biarkan kami kembali ke rumah bersama anak kami.”

Selesai berkata demikian, ia mengambil garam dari dalam kantong plastik dan menaburkan sebanyak tiga kali di sekeliling pohon. Tiba-tiba saja kakakku tersadar dan memanggil Mama. Mama yang sejak tadi berdiri diam sambil komat-kamit pun segera memeluk anaknya kemudian membantu Kakak berdiri. Bapa mendekati mereka dan berkata, “Lain kali tidak boleh takut.”

Ia mengatakan hal yang sama juga pada teman-teman Kakak sebelum beranjak pergi. Ketika hendak kembali ke rumah, Mama masih saja menoleh ke pohon itu. Kudengar ia memaki, ”Pukimai! Kukutuk kau dalam nama Tuhan! Kau harus sadar bahwa derajatmu lebih rendah daripada kami manusia!”

Selesai mengumpat demikian, ia pun meludah ke tanah dengan ekspresi kesal.

***

KETIKA bertamu ke rumah Tanta Nela, Mama kemudian mengisahkan ulang cerita tentang kejadian diketuknya pintu rumah kami pada saat makan malam. Ia mencoba meyakinkan para tetangga kami yang sedang makan sirih pinang bersamanya bahwa yang mengetuk pintu rumahnya pada malam itu adalah benar-benar arwah atau hantu penasaran. Dan seperti biasa, lantaran kuatnya kepercayaan masyarakat desa kami akan hal-hal yang berbau mistik, nyaris tak ada bantahan dari ibu-ibu yang sedang berkumpul itu. Malahan mereka ikut-ikutan mengisahkan beragam peristiwa aneh yang mereka alami sendiri maupun yang mereka dengar dari orang lain.

Tanta Anna yang sedang menuangkan kapur sirih ke atas telapak tangan berkata, “Pohon asam di belakang rumah kami itu sangat rimbun. Setiap malam jika hendak keluar buang air kecil, saya harus besarkan sumbu pelita agar cahayanya lebih terang dan tidak cepat padam ditiup angin. Dulu, beberapa tahun lalu waktu musim asam, Oom Nopeu jatuh dari pohon asam itu. Kala itu ia memanjat terlalu tinggi dan katanya ia salah memijak. Dahan asam yang ia injak sudah lapuk, ia hilang keseimbangan dan jatuh. Suatu malam samar-samar saya seperti mendengar suara erangan kesakitan di bawah pohon asam itu.”

Perempuan beranak lima itu mengambil lagi buah pinang dan daun sirih dari kabi di atas meja, memasukkan pinang dan daun sirih itu ke dalam mulutnya lalu mulai mengunyah selama beberapa saat sebelum akhirnya meneruskan, “Tanta Eli di rumah sebelah yang waktu itu belum ikut suaminya ke Pekan Baru bilang kalau ia juga pernah beberapa kali mendengar erangan kesakitan dari arah pohon asam kami. Saya kira pohon itu dihantui oleh arwah Oom Nopeu...”

 

“Ah, jangan omong begitu!” Tanta Min tukang urut yang sedang memijat Tanta Nela si tuan rumah membuka suara. “Mungkin karena pohon itu memang sudah tua dan sangat rimbun daunnya, makanya saat dihembus angin terdengar olehmu seperti suara orang mengerang. Apalagi pas musim hujan begini. Jangan kaitkan dengan Oom Nopeu. Nanti dia pung cucu dong dengar marah.”

Mendengar itu, dengan agak kesal Tanta Anna menjawab, “Ya ini kan cuma dugaanku saja karena setiap malam kalau mau keluar kencing ke belakang saya ketakutan. Dan kalau memang benar ada arwah Oom Nopeu, eh memangnya saya yang bikin dia jatuh dari pohon asam ko? Dia kan semasa hidupnya serakah, sonde mau bagi hasil dengan dia pu adik dong! Makanya waktu dia mati, dong sepakat jual tanah sampai pohon asam itu ke kami deng harga murah.”

Tanta Nela si tuan rumah yang sedari tadi telungkup di atas tikar dan dipijat kemudian berkata kepada Mama, ”Ibu Din, cerita hantu yang mengetuk pintu rumahmu itu sudah tersebar luas sampai ke beberapa kampung. Termasuk juga kejadian tentang anak laki-lakimu yang kesurupan.”

***

NAMUN cerita tentang hantu tak selesai begitu saja di rumah Tanta Nela. Karena dua malam setelah itu tersiar lagi kabar lain yang dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut sehingga membuat seluruh warga kampung heboh, yakni penampakan nitu honis atau arwah penasaran yang berjalan kaki dari ujung ke ujung kampung.

            Ini terjadi pada bulan Februari ketika tanaman jagung tumbuh lebat dan berbulir. Penampakan hantu itu disaksikan oleh sekelompok anak muda yang saban malam suka berkumpul di cabang jalan untuk minum sopi dan bermain judi. Kepada orang-orang kampung mereka mengaku bahwa saat nitu honis bertelanjang dada tersebut melewati pertigaan jalan, mereka belum sempat meneguk sopi, baru saja mengeluarkan kartu domino. Alhasil, melihat sosok yang lewat itu tak memiliki wajah, menjeritlah mereka dan langsung lari tunggang-langgang. Karena kala itu di kampungku belum ada listrik dan rumah-rumah warga hanya diterangi dengan pelita, maka cerita itu pun membuat suasana kian mencekam saat malam tiba.

            Rasa takut warga ini kemudian berubah jadi teror ketika di suatu pagi yang basah Oom Fanus mengaku bahwa semalam ia telah melihat hantu tanpa muka yang diceritakan oleh anak-anak muda yang berkumpul di cabang. Ketika itu ia sedang mendapat giliran jaga malam di pos ronda bersama Oom Kobus dan Oom Sipri. Mereka bertiga main kartu domino sambil ngopi dan makan singkong rebus. Di tengah asyiknya mereka bertaruh kartu domino dengan uang seribuan, ia kebelet kencing dan menyinsing kain betenya berlari ke balik sebatang pohon mangga besar yang tak jauh dari pos ronda. Saat sedang mengejan mengencingi pohon mangga itulah tiba-tiba ia mendengar suara berisik di atas kepalanya. Spontan saja ia mendongakan wajahnya, alangkah terkejutnya Oom Fanus ketika melihat sesosok lelaki telanjang bulat tanpa wajah sedang berjongkok di atas dahan. Ia menjerit dan langsung berlari terbirit-birit tanpa mempedulikan kencingnya yang belum tuntas. Akibatnya kain betenya pun basah oleh air kencing. Cerita Oom Fanus ini masih disusul oleh laporan-laporan dari warga lain di malam-malam lain yang juga mengaku melihat penampakan hantu tanpa wajah itu. Tentu tak semua orang mempercayai cerita-cerita tersebut. Frater Jansen yang sedang menjalani masa TOP di paroki contohnya, sama sekali tak percaya pada isu penampakan hantu itu. Bahkan terang-terangan mencibiri. Tetapi Oom Martinus salah satu warga yang mengaku melihat sosok hantu tanpa wajah itu bersumpah-sumpah di hadapan si Frater, bahkan dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus.

Pengakuan demi pengakuan itu pun membuat suasana kampung menjadi tegang. Pada minggu ketiga Februari kegiatan ronda boleh dikatakan berhenti total. Tidak hanya anak-anak yang jadi lebih penurut, tak lagi berani bermain jauh dari rumah, bahkan bapa-bapa yang biasanya gemar begadang sambil membual pun memilih meringkuk di balik kain panas lebih cepat.

Benar atau tidak adanya hantu tanpa wajah itu, peristiwa lain akhirnya terjadi sebagai imbas dari rasa takut warga yang membuat kampung kami jauh lebih senyap di malam hari.

Nah, di suatu pagi yang lebih cerah, yaitu pagi hari pasar yang jatuh pada setiap Rabu di kampungku, Nenek Abie menjerit-jerit histeris tatkala hendak memberi makan babi-babinya di kandang. Bukan. Bukan karena melihat penampakan si hantu tanpa wajah di terang hari, tetapi lantaran janda tua yang sudah lama ditinggal mati oleh suaminya itu terkejut ketika tak lagi menemukan ternak-ternaknya dalam kandang. Jeritannya itu membuat para tetangga berdatangan, termasuk mamaku.

“Pukimai! Ini semua gara-gara hantu sialan itu!” mama memaki dengan wajah kesal sewaktu telah mengetahui duduk perkara.

Semua yang aku ceritakan kepada pembaca ini merupakan kisah saat aku duduk di bangku kelas 4 SD. Setahun sebelum aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri sebuah kepala dengan organ-organ tubuh terjulai keluar dari batang lehernya melayang-layang di tengah jalan pada suatu malam ketika aku pulang berjalan kaki sendirian sehabis latihan koor di gereja.(*)

Yogyakarta, Maret 2023

 

 

CATATAN KAKI

Kabi: Tempat untuk menaruh sirih, pinang dan kapur yang terbuat dari anyaman daun lontar.

Bete: Sarung tenun untuk laki-laki (bahasa Dawan).

TOP: Tahun Orientasi Pastoral.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »