Masa Depan Dunia Penulisan di Hadapan Kecerdasan
Buatan
Aliuridha
Beberapa
siswa berbuat curang dengan tugas sekolah mereka. Mereka
menulis esai menggunakan ChatGPT dan hasilnya mengesankan. Tidak lama setelah itu, seorang dosen mendapati mahasiswanya menulis esai filsafat dibantu ChatGPT dan mahasiswa ini mendapat nilai terbaik di kelas. Perkembangan ini membuat para pendidik resah karena tulisan yang dihasilkan siswa dengan bantuan ChatGPT cukup
untuk mendapatkan skor yang baik.
ChatGPT
terbukti berhasil menyelamatkan para siswa yang malas karena ia tidak hanya mampu mencari materi, mengopinya
dari web, melainkan juga mengembangkannya dari awal. Jika
penggunanya tidak puas, ChatGPT akan terus
mengembangkannya sampai penggunanya puas. Perkembangan ini membuat guru diliputi perasaan waswas. Beberapa guru kemudian
berinisiatif meminta
siswa mengerjakan esai mereka di
kelas dan tidak boleh dibawa pulang. Jika dengan terpaksa dijadikan PR, maka siswa harus merekam
proses penulisan esai mereka untuk membuktikan bahwa mereka
tidak menggunakan alat bantu ChatGPT.
Kekhawatiran penyalahgunaan ChatGPT tidak hanya melanda guru. Penulis juga
diliputi kecemasan bahwa mesin (baca: kecerdasan buatan) akan mengambil alih kerja mereka, seperti juga banyak pekerjaan lain
yang telah diambil alih mesin. Apalagi
fenomena penggunaan ChatGPT tidak hanya marak di luar sana.
Belum lama ini seorang sastrawan senior mencoba menulis
menggunakan ChatGPT. Meski tidak secara
spesifik menjelaskan bagaimana ia bekerja dengan ChatGPT, cerpen yang dihasilkan AS Laksana atau yang
akrab disapa Sulak sangat
baik. Cerpen itu tidak seperti ditulis oleh mesin dan
benar-benar seperti ditulis oleh Sulak sendiri. Kita memang
tidak tahu bagaimana proses di balik penulisannya. Apakah itu
semua dikerjakan robot dengan pengarahan Sulak? Apakah Sulak masih melakukan
proses penyuntingan manual? Jika benar demikian, seberapa besar proporsi
penyuntingan yang dilakukan Sulak? Apakah Sulak malah
bekerja lebih keras dengan bantuan mesin atau dipermudah? Tidak ada penjelasan
untuk itu. Tapi, orang-orang mulai khawatir jika ChatGPT benar-benar akan mengubah dunia penulisan secara drastis. Pertanyaannya, benarkah itu?
Sebagai penerjemah, sudah lama saya
bekerja dengan alat bantu mesin yang seperti juga
ChatGPT merupakan mesin pembelajar. Saya tahu betul kekurangan dan kelebihannya. Saya tahu betul seberapa besar sumbangsihnya dalam menerjemahkan dan bagaimana menggunakannya. Strategi
apa atau hal apa yang perlu saya lakukan untuk menerjemahkan menggunakan mesin ini. Dibutuhkan
pengetahuan dan pengalaman dan penguasaan untuk memaksimalkan kinerjanya. Selain
itu, yang tidak kalah penting dibutuhkan adalah kapasitas penerjemah manusia
haruslah lebih baik daripada
mesin dalam hal kebahasaan maupun kreativitas.
Sebagai seorang dosen yang mengajar
penerjemahan, cukup sekali lihat saya tahu mana hasil terjemahan mahasiswa yang
menggunakan mesin penerjemah dan mana yang tidak. Atau lebih tepatnya, mana
hasil terjemahan yang menggunakan mesin tanpa melakukan penyuntingan (saya
yakin sebagian besar—jika tidak semua—saat ini menggunakan mesin penerjemah)
dan mana yang tidak. Dari hasil itu saya bisa tahu mana mahasiswa
yang punya kemampuan bahasa lebih baik daripada
yang lainnya.
Ada alasan mengapa hasil terjemahan mahasiswa bisa sangat buruk. Itu karena pada dasarnya
kemampuan dan pengetahuan kebahasaan mahasiswa itu memang
lebih buruk daripada mesin. Mereka tidak cukup punya bekal pengetahuan atas apa
yang mereka kerjakan sehingga mereka tidak bisa menilai kinerja mesin. Hasilnya tentu
saja sangat berbeda untuk mahasiswa yang
menggunakan mesin sebagai alat bantu dengan
mahasiswa yang terpaku pada mesin. Mungkin tidak pas untuk membandingkan mesin
yang satu dengan mesin lainnya. Mungkin masalahnya memang berbeda dengan ChatGPT
karena ia bisa menghasilkan esai yang lebih baik daripada esai yang ditulis
mahasiswa. Tapi, sekali lagi, apakah benar ChatGPT mampu mengubah dunia
penulisan secara drastis?
Saya ragu. ChatGPT mungkin bisa memberikan hasil yang lebih baik daripada
esai yang ditulis mahasiswa. Tapi, itu bukan karena ia lebih pintar, melainkan
karena rute untuk mencapai tujuannya telah dibangun dengan baik. Algoritmanya memungkinkan
ini terjadi karena korpus data untuk ditambang terus berkembang. Seandainya
tugas yang diberikan oleh guru lebih kompleks, yang mana rute untuk
menghasilkan esai yang baik belum ada, hasilnya tentu akan berbeda karena ChatGPT
tidak punya apa yang namanya kreativitas. Namun, itu hampir tidak mungkin terjadi karena pendidikan adalah instruksi
yang menegaskan garis benar dan salah, dan itu membuat instruksi mudah
diprediksi oleh mesin yang sedikit lebih pintar—dengan catatan, jika sumber
datanya tersedia.
Seperti juga manusia, algoritma cenderung menghindari kerja yang rumit. Ia
bekerja berdasarkan pola yang sudah ada. Ia tidak punya kesadaran. Sedang Bahasa,
pada intinya, adalah penghubung antarpikiran. Salah satu teori tentang asal-usul
bahasa, yang dikemukakan oleh ahli bahasa Daniel Dor, menyatakan bahwa bahasa
muncul bukan sebagai peranti komunikasi sederhana, melainkan sebagai petunjuk
imajinasi. Bahasa memungkinkan kita untuk bergerak melampaui perintah buta dan
memproyeksikan isi dari satu pikiran ke pikiran lainnya.
Sebaik apa pun algoritmanya bekerja, ChatGPT tidak akan bisa mencapai
fungsi Bahasa karena ia tidak punya tujuan komunikatif—mesin tidak punya
gagasan sama sekali tentang apa itu komunikasi, dan ia juga tidak punya
kesadaran akan adanya audiens. Karena itu, bisa dipastikan ia tidak memiliki gaya.
Ia akan gagal menangkap makna retoris. Ia akan gagal menangkap fungsi persuasif
Bahasa. Dan ia akan sulit melihat bagaimana model Bahasa berinovasi, karena hal
itu bertentangan dengan cara kerjanya, yang mana hanya meniru, atau meminjam
bahasa pekerja statistik, mengejar rata-rata.
Ketiadaan imajinasi, gaya, dan orisinalitas membuat ChatGPT bukanlah
ancaman untuk penulis, apalagi penulis kreatif yang selalu dituntut untuk orisinil—sesuatu
yang tidak mungkin bisa dikejar mesin, sepintar apa pun mesin itu. Jadi saya
ragu jika ChatGPT akan mengubah dunia penulisan. Kecuali itu, memang sudah
banyak juga penulis yang bekerja seperti mesin, memproduksi karya tulis yang tidak
orisinil atau hanya mengulang yang sudah ada. Kalau seperti itu kasusnya, tidak
ada yang berubah bukan? (*)