Orang-orang yang Hilang Setelah Sembahyang - Bagus Sulistio

@kontributor 7/02/2023

Orang-orang yang Hilang Setelah Sembahyang

Bagus Sulistio 




"Kata orang-orang, Pak Warno hilang tadi malam?"

"Iya, benar. Ia diculik dedemit."

"Masa habis sembahyang ketemu dedemit sih."

"Mungkin ketemu Tuhan lalu ia dibawa. Kan tujuan sembahyang dekat dengan Tuhan."

"Bisa jadi itu."

Hampir sebulan terakhir banyak orang-orang hilang setelah sembahyang. Entah setelah sembahyang Magrib, Isya maupun Subuh. Yang jelas kalau malam tiba, langit gelap dan suara adzan telah berkumandang, siap-siap saja ada orang yang hilang.

Para warga yang gusar sempat menghubungi pihak berwenang. Tapi sampai saat ini juga masih nihil hasilnya. Terkadang demi mencegah bertambahnya jumlah orang yang hilang, setelah sembahyang mereka mengadakan istighosah dan meminta bantuan kepada Tuhan. Namun tetap saja setiap hari ada saja yang hilang.

"Bagaimana Pak Kiai? Saya jadi takut sendiri kalau harus pulang dari langgar setelah sembahyang," keluh Paijo.

"Kamu tidak usah takut. Percayalah kepada Tuhan. Jika dedemit yang mengadangmu, kekuatan Tuhan yang pasti menang. Tapi jika Tuhan yang menghendaki kamu dijemput-Nya, ikhlaskan saja. Pasti kamu ditempatkan di tempat yang baik."

Hati Paijo sedikit tenang mendengar petuah dari Kiai. Ia sedikit melupakan masalah perihal orang-orang yang hilang. Paijo kembali semangat ke langgar dan melanggengkan sembahyangnya.

"Kamu tidak takut diculik dedemit Jo?"

"Tidak. Aku lebih percaya kekuatan Tuhan daripada dedemit."

"Baguslah kalau begitu."

Jumlah jamaah di langgar semakin sedikit. Hanya menyisakan beberapa orang termasuk Paijo. Kiai cukup gusar melihat kejadian ini. Ia semakin khawatir jika langgar ini akan kekosongan penghuni.

"Menurut kalian, apa yang perlu kita lakukan agar langgar ini semakin ramai?" Tanya Kiai pada jamaahnya.

"Sebaiknya adakan kegiatan yang bisa menarik perhatian banyak orang, Kiai. Seperti shalawatan mungkin," jelas jamaahnya.

"Shalawatan kan butuh biaya banyak. Mulai dari lampu petromax hingga pengeras suaranya. Lalu mau dapat uang dari mana?" Tanya jamaah yang lain.

"Benar juga kamu."

"Tenang Kiai. Saya punya kenalan. Ia suka membantu orang-orang yang mengadakan kegiatan keagamaan Kiai. Tapi ia harus turut serta dalam kegiatan itu lalu meminta waktu untuk memberikan sambutan," jelas Paijo.

"Oh tidak apa-apa itu." Kiai setuju dan jamaah serentak mengikuti keputusan Kiai.

Malam itu di depan langgar berdiri sebuah tenda biru yang cukup besar. Di dalam langgar bagian depan, dibangun panggung kecil setinggi betis. Di bagian luar langgar sisi kanan kiri di pasang pengeras suara besar yang siap digunakan.

Semakin malam, semakin banyak orang-orang yang berdatangan ke langgar. Padahal shalawatan belum juga dimulai. Saat shalawatan dimulai, maka merebak ramai depan langgar layaknya pasar. Ada orang yang sekedar duduk mendengarkan shalawatan. Ada yang berkeliling menjajakan dagangan. Ada pula yang datang sekedar menengok lalu pulang lagi.

Rembulan terang di atas langit. Suara teriakan mendayu para lelaki menggema. Bunyi pukulan rebana, gendang dan bedug ikut meramaikan malam itu. Sungguh benar-benar ramai malam itu. Namun, saat sedang syahdu-syahdunya shalawat demi shalawat ditembangkan, seorang pria berdiri di atas panggung para lelaki yang sedang bershalawat. Pria itu mengambil pengeras suara.

"Selamat malam para jamaah yang dirahmati. Berdirinya saya disini ingin mengajak para jamaah untuk meramaikan langgar-langgar yang ada. Karena saya miris kepada keadaan langgar sekarang. Semakin hari semakin tipis jamaahnya. Bukankah murka Tuhan akan datang kepada manusia-manusia yang ingkar? Maka dari itu, mari kita tetap meramaikan langgar. Saya selaku pimpinan partai hijau di desa ini akan turut serta membantu kelancaran kegiatan atau segala sesuatu yang membuat langgar ramai."

Kata demi kata mengalir deras dari mulut pria itu. Para jamaah mendengarkan dengan seksama. Mereka fokus terhadap ucapan pria tersebut. Begitu juga Paijo. Ia mengangguk-angguk sambil bangga karena telah menjadi bagian penting dalam suksesnya kegiatan ini. Paijo merasa perlu bergabung dalam partai yang dipimpin pria itu. Ia ingin menjadi manusia yang mulia karena telah meramaikan langgar dengan kegiatan-kegiatannya.

"Saya ingin gabung di partai Bapak, bagaimana caranya?" Tanya Paijo usai shalawatan rampung pagi buta.

"Oh boleh. Besok setelah sembahyang Isya' kamu datang ke rumahku. Nanti ada beberapa syarat yang perlu kamu lakukan," jelas pria itu.

"Baik siap Pak."

Keesokkan harinya Paijo melakukan hal seperti biasa; sembahyang berjamaah. Ia terlihat buru-buru sekali ingin pergi tatkala shalat Isya rampung.

"Kamu mau langsung pergi ke donatur yang kemarin Jo?" Tanya Kiai.

"Nggih Kiai."

"Pesanku, jaga dirimu baik-baik ya." Paijo mengangguk. Ia tentu akan berdoa sebelum keluar masjid. Karena baginya doa adalah senjata ampuh walaupun tak terlihat. Dengan sedikit merinding di bulu kuduk, ia tetap memberanikan diri menepati janji. Janji adalah hutang yang harus ditepati. Apalagi ia berhutang bukan ke sembarang orang. Orang yang ia hutangi merupakan orang besar. Paijo tidak mau mengecewakan orang besar.

Jalan setapak desanya benar-benar sepi. Tidak ada aktivitas manusia kecuali mereka yang sudah tak mempunyai nyawa. Paijo terus merapalkan doa-doa yang telah Kiai bagikan setiap ba'da Isya. Tapi tetap saja ia merasa merinding tak karuan.

Angin semilir begitu kencang. Saking kencangnya, daun-daun bergoyang dan bergesekan menimbulkan suara-suara aneh. Selain suara daun, suara jangkrik dan tokek tak kalah bersautan. Di bumi memang ramai sekali oleh aktivitas bukan manusia. Sedangkan di langit hanya ada awan yang berjalan menutupi bulan temaram. Cahaya bulan yang tertutupi membuat bumi gelap seketika. Namun kegelapan tak bisa menutupi sebuah suara manusia, satu-satunya suara manusia.

"Berhenti! Jangan kemana-mana," suara gaib itu terdengar.

"Siapa kamu? Mana wujudmu?" Paijo panik dan terus melihat sekitar yang gelap.

"Kau tak perlu tau kami ini siapa. Karena itu tidak penting bagimu setelah kamu mati," jelas suara yang belum diketahui asalnya.

Paijo semakin merinding mendengarnya. Tanpa ba-bi-bu lagi, laki-laki itu berlari sekencang-kencangnya. Ia tidak sempat menengok ke samping atau ke belakang. Yang terpenting terus berlari ke depan dan entah kemana tujuannya. Walaupun kakinya digunakan untuk berlari, indra pendengarannya masih aktif betul. Sekelompok langkah kaki yang menimbulkan suara cukup keras berada di belakangnya.

Tak kuat berlari lagi, Paijo memanjat sembarang pohon kelapa di depannya. Tepat setelah ia memanjat, langkah kaki gaib tersebut juga berhenti berbunyi. Tinggal suara ucapan gaiblah yang ia dengar.

"Sial! Kemana perginya tungau hijau itu."

"Coba nyalakan obornya. Pasti ia sembunyi."

Sepercik api korek terlihat menyambar sebuah sumbu obor. Api menyala dan menerangi. Kini terlihat betul apa yang dari tadi ditakuti Paijo. Langkah dan suara gaib itu tidak benar-benar gaib. Mereka nampak dan kasat mata. Mereka manusia bukan dedemit. Manusia dengan baju merah sambil memegang arit yang begitu mengkilap karena silaunya cahaya obor.

"Itu dia. Di atas pohon kelapa."

Keberadaan Paijo sudah diketahui. Ia tidak bisa pernah sampai ke rumah donatur acara shalawatan kemarin. Ia menghilang bersama orang-orang yang hilang setelah sembahyang.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »