Pecahan-Pecahan Kepala - Dhimas Bima Shofyanto

@kontributor 7/09/2023

Pecahan-Pecahan Kepala

Dhimas Bima Shofyanto

 


Letusan senapan angin itu sukses membuat saya berlari merunduk-runduk sambil bergidik ngeri.  Bukan saja karena ketakutan wajar seorang manusia dengan senapan yang membawa aroma kematian. Saya takut berkali-kali lipat karena tau bahwa tujuan agung dari peluru yang dihempaskan itu adalah kepala saya.

Saya sudah melihat senapan itu di dinding rumah Einhardt pagi tadi, dipajang di samping kepala rusa yang tanduknya meliuk. Kemungkinan besar itu adalah senapan Lee-enfield. Tapi, tidak menutup kemungkinan kalau ternyata itu adalah senapan Mouser Gewehr 58 yang bayonetnya luput dari pandangan mata saya. Pagi tadi memang fokus saya tidak terpaku pada senapan yang tergantung di dinding itu, melainkan pada kepalan tangan yang saya layangkan beruntun kepada wajah dan tubuh Einhardt yang gempal. Tindakannya mempermalukan ibu saya di hadapan keluarga besarnya benar-benar membuat saya geram.

Bisa-bisanya dia menuduh ibu saya berhutang kepadanya jutaan euro, padahal ibu saya sendiri mempunyai ladang gandum seluas empat hektar. Terlebih, dia beserta istrinya hanyalah pengangguran yang kerjaannya hanya ongkang-ongkang kaki di teras rumah setiap pagi. Lalu bagaimana bisa, dia meminjamkan uang kepada ibu saya sampai sebanyak itu?

Dia terus saja menyinggung utang yang dia anggap tanggung jawab ibu saya itu saat bertemu dengan saudara-saudara ibu. Hal itu tentu membuat kehormatan ibu saya turun drastis di mata saudara-saudaranya. Akhirnya, ibu saya menjadi sering melamun dan menangis sesenggukan di kamarnya. Setiap kali saya mencoba untuk menenangkannya, tangisnya malah akan semakin meledak. Padahal beberapa waktu lalu Ibu saya baru bisa sembuh dari kesedihannya akan meninggalnya ayah saya.

Maka pagi tadi amarah saya sudah tidak bisa dibendung lagi. Jadilah saya pergi ke rumahnya sambil bersungut-sungut dan berniat menghajarnya. “Ibumu Elka itu memang berhutang kepadaku. Uang yang didapatnya dari ladang tidak cukup untuk membiayai kuliahmu di Berlin,” gerutu Einhardt sambil menyedot cerutu yang terselip di sela-sela tangannya, saat saya tanyai tentang kebenaran hutang itu.

 “Omong kosong. Kau paling hanya membual karena sudah kehabisan uang dan tidak lagi bisa mengisi perutmu yang buncit itu. Dasar anak pungut tidak tau diri!” 

Muka Einhardt berubah merah. Dia tersinggung karena dia memang hanyalah seorang anak pungut. Dia ditemukan oleh ibu saya di dalam keranjang rotan, yang tergeletak di depan pintu rumah pada sebuah malam saat hujan badai berkecamuk. Saat itu terbersit pikiran ibu saya untuk membawa Einhardt ke panti asuhan saja, kendati ibu saya sudah merawat saya yang masih sama kecilnya. Namun kemurnian hati ibu saya berhasil mengalahkan keegoisannya. Sehingga dia mau saja untuk mengambil bayi dalam keranjang rotan itu, untuk dibesarkan menjadi manusia bodoh yang tidak tahu terima kasih ini.

Maka, amarah Einhardt yang memuncak membuatnya berdiri dan membuang cerutunya yang masih tersisa separuh. Dengan suara lantang dia berteriak tepat di depan muka saya, “Biar kuajari kau cara berbicara yang baik kepada kakakmu. Dasar Adik bangsat!”

Teriakannya saya balas dengan meludahi wajahnya. Dia menjadi kalap dan mencoba melayangkan tinjunya ke sembarang arah. Namun sebelum sempat pukulannya mengenai saya, hook yang saya lemparkan sudah berhasil mendarat di pipi kirinya. Badannya yang seperti babi obesitas itu tidak akan bisa menandingi tubuh saya yang ramping dan berisi. Sehingga pertengkaran yang terjadi menjadi berat sebelah. Pukulan tangannya yang penuh lemak hanya meninju angin belaka, sedang kepalan tangan saya yang penuh dengan otot berhasil membuat wajahnya lebam dan beberapa buah giginya rontok ke lantai.

Sayangnya, belum juga bisa saya buat tubuhnya yang gempal itu rebah ke tanah dengan uppercut yang akan saya layangkan, teriakan Rolanda istrinya yang baru kembali ke rumah melengking. Sehingga dengan segera saya beranjak dari rumah itu dengan pandangan berkunang-kunang, karena amarah yang sudah menguasai diri saya. Sampai terdengar letusan senapan angin beberapa saat lalu.

Mata saya yang tadinya kabur karena amarah, kini terang benderang sebab nyawa saya terancam. Saya tidak berani menoleh terlebih dahulu untuk memastikan berapa jarak yang tersisa antara saya dan Rolanda. Saya tidak mau mengukur berapa waktu lagi saya menemui kematian. Terlebih, seberapa keraspun saya mencoba fokus untuk mempercepat laju kaki, suara letusan-letusan malah semakin bersahutan di belakang saya. Dada saya berdegup kencang tak karuan. Sepintas, saya merasa menyesal sudah menghajar Einhardt tadi. Seharusnya saya tidak perlu bersusah-payah menghajarnya, sehingga harus menghadapi kengerian yang sebegininya.

Saat rasa sesal tengah mengerubuti pikiran saya, tiba-tiba saja menyembul seorang laki-laki yang juga berlari kencang sembari membawa senapan dari samping saya. Saya terkejut bukan main. Helm longgar yang dikenakan lelaki itu terlihat terbang dan turun di kepalanya setiap kali kakinya menjejak tanah dengan keras. Seragamnya yang berwarna hijau tua terlihat lusuh oleh lumpur dan darah. Lambang swastika yang dibebat pada lengannya membuat saya menyadari bahwa dia adalah seorang tentara Jerman.

Setelah kemunculannya, tentara-tentara Jerman terus bergantian menyembul dari kanan-kiri saya. Saking banyaknya, saya jadi tidak dapat menghitung secara pasti berapa jumlah tentara yang sudah terbit dari balik punggung saya. Entah sudah lima ratus orang, atau malah sudah seribu lima ratus orang. Saya benar-benar tidak tahu dan mencoba untuk tidak memusingkannya.

“Maju terus!”

“Jangan berhenti menyerang!”

Teriakan-teriakan lantas bersahutan di udara. Teriakan amarah beradu dengan teriakan pilu dari rasa sakit yang mendera. Tentara Jerman terlihat menyerbu pasukan musuh yang berhamburan. Saya tidak tau musuh yang dihadapi oleh Jerman saat ini adalah musuh yang berasal dari negara mana. Pikiran saya terlalu kacau sehingga saya tidak dapat berpikir jernih. Saya hanya bisa berlari ke depan sambil peluru-peluru secepat angin berdesing di sekitar saya.

Tubuh-tubuh tentara baik dari pihak Jerman atau dari pihak musuh mulai bergelimpangan di tanah berlumpur. Kepala mereka pecah dan tercecer. Otak saya yang barangkali konslet sebab terlalu banyak menerima informasi, pada akhirnya mengelak bahwa yang terjadi di depan saya ini adalah kejadian yang nyata. Bagaimana mungkin saya yang tadinya hanya lari dari rumah Einhardt karena letusan senjata api Rolanda tiba-tiba terlempar ke medan pertempuran?

Apalagi rumah Einhardt berdekatan dengan rumah ibu saya di Memel, yang tentu saja berjarak sangat jauh dari daerah-daerah yang menjadi medan pertempuran. Barangkali saat ini saya hanya bermimpi ketika mencoba tidur, pada mata kuliah Profesor Gobbels tentang sejarah yang begitu membosankan. Barangkali memang seperti itu, sehingga saya terlelap di atas meja diiringi celotehannya, dan untuk kemudian mendapatkan mimpi yang sebegini suramnya.

Dengan kesimpulan yang saya dapatkan itu, maka tangan saya kemudian saya rentangkan, agar segera terkena peluru yang melesat dan bangun dari mimpi buruk ini. Saya enggan menjalani mimpi yang penuh dengan darah dan pecahan-pecahan kepala yang berhamburan di tanah yang saya injak. Saya ingin bangun dan satu-satunya cara bangun dari mimpi adalah dengan mengalami kematian. Sebab rasa sakit tentu saja masih bisa dirasakan di dalam mimpi. Oleh sebab itu saya tidak akan melakukan hal konyol seperti menampar-nampar muka saya agar terbangun dari mimpi.

Naasnya, ketika sebuah peluru berhasil mengenai lengan saya, rasa terbakar terasa begitu nyata menyiksa saya. Saya berguling-guling kesakitan di tanah berlumpur dengan banyak genangan keruh. Rasa sakit yang terlampau parah memaksa saya mengeluarkan teriakan yang berhasil mengundang peluru entah dari kubu mana, untuk malah datang memberondong tubuh saya yang sudah terkapar. Sehingga rasa panas dan perih yang keterlaluan segera merambat di sekujur badan saya. Darah mengalir deras dari lubang-lubang yang tercipta, hingga genangan keruh yang tadinya berwarna cokelat muda, perlahan berubah menjadi merah kehitam-hitaman.

Saat kesadaran saya hendak hilang sepenuhnya karena sudah kehilangan banyak darah, saya tiba-tiba tersentak. Desau angin yang dingin tiba-tiba saja berhembus kencang menabrak saya. Gigi saya bergemeretukan saking dingin angin yang berhembus itu membuat tulang saya juga terasa ngilu. Mata saya terbuka seketika. Saya merasa seperti baru saja terbangun dari tidur yang sangat panjang. Sejauh mata memandang, saya hanya menemukan padang rumput luas yang dipagari pepohonan oak yang menjulang. Ingatan saya sedikit kabur tentang apa yang baru saja saya alami. Namun saya tidak mungkin salah mengingat, kalau saya baru saja mati setelah diberondong peluru yang membakar habis tubuh saya.

Oleh sebab itu, sempat terpikir di benak saya bahwa tempat ini adalah Gan Eden, taman surga yang jikalau merunut perkataan Rabi Ebenezer, adalah tempat yang menawarkan keindahan yang tidak dapat dibayangkan manusia. Saya bingung karena mendapati perkataannya berbanding terbalik dengan surga yang saya hadapi sekarang ini. Saya tidak menemukan secuilpun keindahan yang tak pernah saya bayangkan. Semua hal yang ada di sini: padang rumput luas beserta pohon oak yang berbaris rapi, sudah pernah saya temui sebelumnya semasa di dunia.

Ya, tempat ini pasti sudah pernah saya temui sebelumnya karena saya tidak merasa asing. Saya seperti sudah sering berada di tempat ini dulu sekali. Benar saja, ingatan tentang masa kecil saya yang gemar berpetualang ke sembarang tempat, dengan segera menyerbu kepala saya. Saya ingat bahwa tempat ini adalah tempat yang sering saya jelajahi dahulu. Maka gerak kaki saya lantas dipandu ingatan. Saya seperti dapat memetakan tempat ini dengan baik. Hati saya menjadi terasa begitu hangat dipenuhi kebahagiaan. Jalan setapak yang adalah jalan pintas ke ladang gandum ibu saya pun akhirnya saya temukan. Saya terus menyusuri jalan bertanah coklat yang di kanan-kirinya terdapat rumput liar ini, hingga benar-benar menemukan hamparan ladang gandum milik ibu saya yang melambai-lambai tertiup angin sepoi.

“Donowitz, ayo makan dulu! Kamu pasti lelah sebab baru sampai dari Berlin,” saya mendapati ibu saya duduk di bawah pohon rindang di pinggiran ladang. Lengkap bersama dengan Einhardt dan juga Rolanda. Di depan mereka, terhampar berbagai masakan ibu yang tersaji dengan begitu memikat, termasuk Gulaschsuppe kesukaan saya yang telah membuat mulut saya banjir air liur.

Saya duduk dengan canggung dan kebingungan. Ingatan saya masih sedikit terganggu dengan kejadian yang saya merasa baru saja mengalami. Melihat wajah Einhardt dan Rolanda yang saat ini melemparkan senyum kepada saya, rasanya begitu aneh. Seperti tidak seharusnya mereka berlaku hangat seperti ini. Begitu juga melihat keriangan yang terlihat di wajah ibu saya. Entah kenapa saya merasa memiliki sebuah ingatan di mana ibu selalu memasang wajah murung dan sedih.

“Kenapa wajahmu malah kebingungan begitu. Ayolah lekas dimakan. Ini adalah hari terakhir di mana kita bisa makan bersama. Besok kita harus bergegas agar dapat bergabung bersama dengan yang lain di Hamburg, untuk kemudian menaiki kapal St. Louis ke Kuba. Surga telah menanti kita!” ucap Einhardt dengan mata yang berbinar-binar.

Saya benar-benar tak paham satupun kata yang dilontarkan oleh Einhardt. Untuk apa kita tiba-tiba saja ke Kuba? Bukankah kehidupan kita nyaman dan aman-aman saja di sini. Buktinya kita bisa berpiknik dengan tenang di pinggiran ladang gandum ibu yang luas dan sejuk ini.

“Hah! Terus saja bermimpi. Pemerintah Kuba sudah mengeluarkan titah, bahwa tidak ada kapal yang diperbolehkan mendarat di pelabuhannya. Angan-angan kalian tentang surga itu tidak lebih dari sebuah ilusi!” suara yang terdengar berat tetiba terdengar dari arah belakang, dikeluarkan oleh seseorang yang tidak sama sekali saya kenal. Lelaki itu memakai seragam tentara berwarna hijau tua yang lusuh, lengkap dengan lambang swastika yang terbebat di lengannya, menandakan dia adalah tentara Jerman. Sejauh yang saya ingat, kami sekeluarga tidak memiliki satupun kenalan yang adalah tentara Jerman. Sebab sebagian besar kenalan kami bukan orang asli Jerman, melainkan sama-sama pengungsi dari timur. Sehingga kami hanya bisa memandangnya aneh, sedang tentara Jerman itu terus mengayun-ayunkan tongkat di tangannya sambil terkekeh.

“Orang-orang Yahudi yang tidak diinginkan seperti kalian, pantasnya hanya mendekam di kamp buatan Führer dan membusuk di dalamnya. Sehingga dinding-dinding hitam yang ada di sana, bisa terhiasi oleh cakaran tangan kalian yang najis itu. Ha ha ha!”

Tentara itu lantas tertawa terbahak-bahak. Tongkat berwarna hitam yang ujungnya berwarna emas miliknya terus diayun-ayunkannya. Sampai di ayunan yang entah keberapa, tongkatnya terlempar dan mengenai ibu saya tepat di wajahnya. Ibu saya kemudian mengaduh kesakitan, keningnya meneteskan darah. Sialnya, belum sempat saya dan Einhardt melayangkan pukulan karena geram, kepalan tangan tentara itu sudah mendarat di masing-masing rahang kami dalam sekedipan mata. Sehingga tubuh kami terhuyung-huyung dan untuk kemudian berdebum keras menghantam tanah. Semuanya menjadi gelap gulita.

"Tuan, apakah boleh memperlihatkan karcisnya?"

Saya mengusap mata saya berkali-kali. Wajah seorang wanita menghiasi penglihatan saya yang masih buram. Wanita yang mengenakan kacamata bulat, dengan senyuman manis yang dihiasi lesung pipi. Wajahnya nampak tak asing bagi saya. Seperti seorang wanita yang saya sukai sewaktu duduk di bangku sekolah dulu yang bernama… Ah, saya lupa namanya.

Saya gali saku dan berhasil menemukan sebuah kertas berukuran sebesar karcis. Mata saya memicing melihat kertas yang saya pegang. Karcis ini tidak sama sekali menunjukkan titik keberangkatan ataupun tujuan dari kereta uap yang saya naiki sekarang. Pada dua wajah kertas hanya terdapat bercak-bercak kuning tanpa goresan tinta.

“Boleh saya minta karcisnya, tuan?” suara wanita yang sedari tadi menunggu saya memberikan karcis menjadi tinggi. Dengan gelagapan saya berikan karcis kosong itu tepat di telapak tangannya. Tanpa mengecek, wanita itu melengang pergi sambil menyunggingkan senyum yang terlihat getir. Saya hanya bisa menggaruk kepala mencoba memahami situasi ini. Kepala saya terasa berkedut di bagian belakang. Seperti ada sesuatu yang terjadi dan luput dari ingatan saya.

Melihat interior yang ada pada kereta uap ini, saya berasumsi bahwa ini adalah kereta yang biasanya membawa saya ke Memel. Saya benar-benar bisa mengenalinya sebab sering menaikinya tiap kali libur perkuliahan datang. Sayangnya, kepadatan jadwal perkuliahan semester akhir saya di Berlin akhir-akhir ini, memaksa saya untuk memendam keinginan menjenguk ibu saya di Memel untuk waktu yang lama. Padahal tempo hari saya dengar kakak angkat saya yang bernama Einhardt kembali membuat ulah di rumah, dan ibu yang sudah berusia senja dibuat murung karenanya. Saya jadi merasa gusar saat mengetahuinya. Barangkali setelah sampai di Memel nanti, saya akan mendatanginya dan memberinya sedikit pelajaran agar kepalanya yang bodoh itu bisa jera dan berhenti membuat ibu sedih.

Tiba-tiba saja, saya mendengar sebuah ledakan besar dari arah utara. Dan entah kenapa, saya hanya ingin terlelap sebentar saja.

 

Yogyakarta, 24 Juni 2023

 

Note:

Gan Eden:   Taman surga pemeluk agama Yahudi.

Gulaschsuppe:   Sup rebusan daging dan sayur-sayuran yang ditambahkan dengan paprika dan bumbu-bumbu lainnya. Banyak dikonsumsi di Eropa Tengah.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »