Lamiet - Tin Miswary

@kontributor 2/25/2024

Lamiet

Tin Miswary



Sudah lebih tujuh puluh sembilan kali dia mengingatkan—bahkan melalui istrinya, keponakan dan juga ayahnya—agar Teuku Nyak Halimon, satu-satunya putra yang ia miliki, tidak sembarang memilih perempuan. Namun, kepala pemuda itu sekeras baja. Jangankan batu-batu, bahkan meteorit di langit pun tampak segan pada pikirannya yang bebal. Pemuda bertubuh jangkung dengan rambut sedikit pirang itu tidak bisa dirayu-rayu. Telinganya seketika saja tuli, bahkan ketika nasihat-nasihat yang hendak masuk ke lubang itu masih tersangkut dan bergelantungan di bibir ayahnya.

Teuku Bentara Nyak Diwa kehabisan akal. Bahkan akal-akal yang sengaja dipinjam dari penasihat-penasihatnya yang paling bijak pun harus dibuang. Akal-akal itu tak memiliki daya di hadapan Teuku Nyak Halimon yang sudah memutuskan melamar Sakdiah, putri seorang ulama di Pandrah Janeng.

“Kita ini ureung meuso, turunan bangsawan. Nek Tu kita Uleebalang yang memegang stempel cap sembilan, apakah kamu lupa?”

Nasihat, peringatan, sekaligus pertanyaan Teuku Bentara Nyak Diwa itu selalu saja jatuh ke tanah seiring telinga Teuku Nyak Halimon yang tiba-tiba menguncup. Lekas-lekas ia memungut kembali nasihat itu sebelum ayam-ayam mematuk dan menelannya seperti padi.

“Andai pun kautukar dengan gadis Belanda, aku takkan mau, Ayah.”

Setiap kali jawaban itu keluar dari mulut Teuku Nyak Halimon, dia merasakan jantungnya begitu nyeri, seperti tertusuk siwah. Kenyerian yang mesti ditanggung berhari-hari, bahkan hingga ke mati.

Watak keras kepala anaknya mengingatkan ia pada rumor di balai negeri, tempat Uleebalang biasa berkumpul. Namun, kepercayaannya kepada Cut Putroe Nurul Alam, istri yang amat ia sayangi, membuat ia menolak kabar itu, kabar yang sempat membuat seisi negeri riuh berhari-hari.

“Saat itu kau sedang menemui Tuan Alfred Swart di Kotaraja,” kata Teuku Ibrahim Lamsituk, dua puluh delapan tahun lalu, ketika kabar itu pertama kali tersiar. “Saat itulah Tuan Letnan Bruijn memasuki rumahmu.”

“Tapi apa mungkin istriku sebodoh itu?”

“Di hadapan Tuan-Tuan Belanda semua menjadi mungkin, Ampon.”

  Letnan Bruijn adalah perwira Belanda yang berteman baik dengan Teuku Bentara Nyak Diwa. Setahun setelah peristiwa itu dia kembali ke Amsterdam karena masa tugasnya di tanah jajahan telah berakhir. Dalam tahun itu pula perut Cut Putroe Nurul Alam tampak meninggi, persis tiga bulan sebelum kepulangan Bruijn. Itu terjadi dua puluh delapan tahun silam, dan saat ini Teuku Nyak Halimon yang berhidung mancung, bermata biru dan berambut pirang telah pun dewasa.

“Dia anakmu, Ampon!” tegas istrinya dua hari setelah laki-laki itu bertemu Teuku Ibrahim Lamsituk di balai negeri. Teuku Ibrahim sendiri diam-diam menaruh hati pada Cut Putroe Nurul Alam. Andai saja Teuku Bentara Nyak Diwa bukan bangsawan, tidak sulit baginya untuk merebut perempuan itu, seperti dilakukan kerabat-kerabatnya terhadap keluarga lamiet di negeri itu.

“Tapi Endatu kita tak ada yang berambut pirang,” timpal laki-laki itu.

“Kalau Tuhan berkehendak, harimau pun bisa beranak kambing.”

Cut Putroe Nurul Alam memandangi suaminya dengan tatapan dalam. Dia mengusap-usap dada suaminya yang hari itu memakai baju meukasah, celana cekak musang dan siwah di pinggang. Andai Iskandar Muda yang megah itu masih hidup, dia akan malu menjadi raja di hadapan Teuku Bentara Nyak Diwa, Uleebalang paling disegani di negeri Pedir.

“Kutanya sekali lagi, dan ini yang ke 79 kali. Bersediakah kau menikahi Cut Zahira Fathul Mura?”

Teuku Nyak Halimon menggeleng keras. Ingin rasanya dia memutar kepalanya seperti gasing, agar ayahnya cepat mengerti dan lalu melempar pertanyaan sialan itu ke sungai Tangse, biar beku ditelan air.

“Aku menginginkan Sakdiah!”

“Tidakkah kau tahu dia turunan lamiet?

“Apa bedanya dengan kita yang menjadi lamiet Belanda, Ayah?”

Teuku Bentara Nyak Diwa kehabisan kata. Suara Teuku Nyak Halimon seperti menelan semua kata-kata yang mengulum di mulutnya yang bisu. Kemarahannya pada Teungku Kawom Panglima Muda tak tertahankan lagi. Amarah itu bagai magma di perut merapi. Menyala-nyala. Ulama itu harus dibeli pelajaran; agar tahu dengan siapa dia berhadapan.

“Apa Teungku hendak merusak adat bangsawan?”

Pertanyaan itu menggelinding bagai batu dari mulut Teuku Bentara Nyak Diwa, ketika dua hari kemudian dia bertemu orang yang sampai kapan pun takkan sudi ia berbesan, walau kiamat datang besok. Namun, Teungku Kawom Panglima Muda tetap bergeming sembari mendengar bacaan murid-muridnya di balai selatan. Suara Teuku Bentara Nyak Diwa terdengar seperti teriakan jin Ifrit, dan telinganya yang sudah terlatih akan menguncup sendiri.

“Bisa Ampon ulangi pertanyaan Ampon? Anak-anak terlalu riuh mengaji.”

“Sadarlah diri. Tak pernah endatu kami menikahi jelata.”

“Benar, Ampon. Seperti endatu kami yang tak pernah menyembah Belanda.”

“Pukimak!”

Teuku Bentara Nyak Diwa meninggalkan balai dengan muka sepanas api. Untung saja kata-kata terakhir itu tidak didengar Teungku Kawom Panglima Muda. Andai saja telinganya tak menguncup, tentu bangsawan itu akan pulang terlambat. Tebasan pedang ulama itu akan membuat ia sibuk mencari-cari kepalanya sendiri.

“Seperti Bruijn yang memangsa istriku, aku ingin kau mengambil Sakdiah,” kata Nyak Diwa pada Dedrick, tiga hari setelah ia bertemu ayah Sakdiah.

Sersan Belanda itu bersungut-sungut. Menggerutu.

“Berapa Gulden kau mau?”

“Ulama itu kebal senjata. Apa kau mau aku menjadi tumbal?”

Berdiri di depan tangsi, Sersan Dedrick berpikir lama. Matanya mengedar seperti elang. Sebagai pasukan KNIL tentu tidak sulit baginya untuk memenuhi permintaan Teuku Bentara Nyak Diwa, teman sekaligus lamiet Baginda Ratu. Apalagi, dia sendiri juga menyukai Sakdiah, gadis berwajah simetris, bertubuh ramping dengan alis menggoda. Apabila dia tersenyum, bukan hanya mata laki-laki seisi negeri yang menyembul keluar, tapi bahkan mampu membuat sungai Tangse mendadak berhenti mengalir. Tapi, dia kenal betul ayah gadis itu. Bukan tidak mungkin pemberontakan besar akan terjadi jika ia mengganggu putrinya. Dia juga tahu watak Teuku Nyak Halimon. Sangat jarang laki-laki itu bicara. Dia sudah melatih pedang untuk menggantikan mulutnya yang sunyi.

“Kenapa tidak kauminta Teuku Ibrahim, temanmu. Bukankah itu lebih mudah?”

“Pantang bangsawan mengganggu bangsawan. Kamu tahu itu!”

“Maksudmu?”

“Seisi negeri tahu kalau putraku menyukai Sakdiah. Bagaimana mungkin ada bangsawan yang berani.”

Dedrick memutar otak. Namun, permintaan Teuku Bentara Nyak Diwa tidak mungkin dipenuhi. Tidak masuk akal. Marsose sudah cukup sibuk menghadapi pemberontakan pasukan gerilya di Meulaboh. Kalau dia memaksa, Mayor Lodewijck akan menggamparnya seperti babi. Dia akan dituduh memicu kerusuhan.

“Sepertinya aku harus minta maaf, Ampon!

Teuku Bentara Nyak Diwa meninggalkan Dedrick. Dia mengunci mulutnya rapat-rapat agar makian paling jahannam yang berdesak-desakan di pikirannya tidak mengeluarkan bunyi yang akan membuat perkara semakin rumit. Dia tahu, sehina-hinanya tentara KNIL, mereka masih dua tingkat di atas bangsawan.

“Aku sudah mencoba merayu putraku, tapi ….”

Dia terdiam. Lidahnya terasa lengket dan sulit menari, membuat suara yang hendak keluar kembali tertelan. Dipandanginya Teuku Banta Johan, ayahnya yang kini buta.

“Aku semakin yakin kalau dia bukan anakmu,” sahut orang tua itu yang disambut roman kecewa di wajah anaknya. Suara paraunya memantul kesal mendalam, membuat seuramo, tempat mereka bertemu seolah bergetar.

“Tapi, Ayah kan tahu. Teuku Budiman (yang dia maksud adalah mertuanya) tidak akan sudi menerima berita itu. Dia akan marah anak perempuannya dituduh-tuduh. Lagi pula tak ada saksi yang melihat Bruijn masuk ke rumahku. Hanya kabar burung yang sengaja disebarkan Teuku Ibrahim. Aku sendiri dilanda ragu, tapi istriku bersumpah berkali-kali.”

Mendengar pembelaan anaknya, Teuku Banta Johan menarik napas. Dia sendiri bimbang. Namun, kabar yang ia dengar, ditambah watak cucunya yang sekeras batu, mendesak pikiran jahatnya untuk percaya kalau Teuku Nyak Halimon pastilah bijeh Belanda.

“Tidak kau lihat rambutnya yang pirang dan matanya yang biru?” tanya ayahnya.

Teuku Bentara Nyak Diwa terdiam bagai batu.

Saat itu pula kata-kata Teuku Ibrahim Lamsituk kembali terngiang di telinganya. Kata-kata itu telah mengganggu tidurnya bertahun-tahun. Ia menangis tersedu-sedu sembari memeluk ayahnya. Namun, tak ada yang bisa dilakukan Teuku Banta Johan untuk menenangkan anaknya. Sudah berkali-kali pula dia mengingatkan cucunya untuk tidak membuat malu kedua kali, menikahi jelata sebagai istri setelah ibunya dipeluk Bruijn. Andai Sakdiah dipinang sebagai gundik, tentu ia tak keberatan, tapi menarik putri Teungku Kawom Panglima Muda dalam klan bangsawan adalah kehinaan yang tiada tara.

  Dua bulan kemudian, di tengah keresahan Teuku Bentara Nyak Diwa yang mengiris hati dan pendirian Teuku Nyak Halimon yang belum berubah, serdadu Dai Nippon menyerang Marsose dan tentara KNIL membabi-buta di pelabuhan. Laskar bermata sipit bertubuh pendek yang tiba-tiba kesurupan itu membakar gudang-gudang senapan milik Belanda dan membunuh penjaganya dengan garang. Serdadu Eropa itu berlarian menyelamatkan pantatnya dari tebasan pedang dan tusukan bayonet yang datang tiba-tiba. Keadaan negeri seketika saja kacau. Ketakutan menyebar di mana-mana.

Teungku Kawom Panglima Muda yang sebulan lalu bersumpah setia pada Jepang memimpin perburuan terhadap serdadu Belanda yang masih tersisa. Ribuan serdadu berambut pirang dan sekumpulan Marsose berkulit hitam ditangkap, diarak ke barak-barak. Mereka akan menjadi lamiet-lamiet baru di bawah kuasa Tenno Heika. Trah Uleebalang yang sebelumnya menjadi lamiet Belanda ikut disikat.

Teuku Banta Johan memilih mati hari itu juga, menusuk-nusuk Jepang dengan mata yang buta. Teuku Ibrahim Lamsituk dipancung di depan umum setelah sebelumnya menolak Seikerei, sementara Teuku Bentara Nyak Diwa nekat menaiki kapal perang Belanda menuju Amsterdam. Cut Putroe Nurul Alam yang ikut dalam pelarian itu menutup senyumnya dengan selendang. Kerinduannya pada Bruijn tak tertahankan lagi.

Di selatan negeri, jauh dari huru-hara itu, Teuku Nyak Halimon mendesak Teungku Khatib untuk segera menikahkannya dengan Sakdiah. “Cukuplah Teungku sebagai wali,” kata bangsawan itu disambut senyum Sakdiah, senyum yang segera punah dua hari kemudian, setelah kabar kematian Teungku Kawom Panglima Muda menyebar cepat.

“Minggu depan kapal perang kita akan kembali ke Hindia. Kalau mau, kalian boleh menumpangi kapal-kapal itu,” kata Kolonel Bruijn dua tahun kemudian, hanya beberapa hari setelah Hiroshima menjadi abu. Dipandanginya pasangan suami istri itu dengan guratan senyum yang rumit, membuat Cut Putroe Nurul Alam tersipu-sipu dan Teuku Bentara Nyak Diwa terbakar cemburu.

“Cari anakku dan bawa dia ke kota ini,” bisik si mata biru di telinga Cut Putroe Nurul Alam, sesaat sebelum kapal melintasi lautan. Andai saja peristiwa itu dilihat Teuku Bentara Nyak Diwa, maka bibir merah perwira Belanda yang menempel di telinga istrinya itu akan segera berpindah ke perut ikan—sehingga jika suatu waktu tersiar kabar tentang seorang laki-laki kehilangan bibir di Amsterdam, maka dia adalah Bruijn.

*

 Teuku Nyak Halimon menangis tersedu-sedu ketika mendapati ayah ibunya bersimbah darah beberapa bulan setelah kepulangan mereka dari Amsterdam. Sakdiah memangku ibu mertuanya beberapa menit sebelum mata wanita itu redup dan kemudian padam.

“Berkali-kali kukatakan padamu, Teungku-Teungku itu manusia berengsek.”

Suara Teuku Bentara Nyak Diwa terdengar lemah bersama selimut gelap di matanya yang merah. Dengan penuh amarah Teuku Nyak Halimon bangkit dan lalu menyusuri jalan-jalan di Kota Lameulo yang terlihat lengang. Mayat bergelimpangan dan asap mengepul dari rumah-rumah bangsawan yang terbakar. Tak dihiraukan lagi panggilan istrinya.

Berhari-hari kemudian koran-koran dipenuhi berita tentang pertempuran hebat di Lameulo: Berachirnya Pengchianatan Tjoembok.


Catatan:

Lamiet: budak/ jelata

Teuku: bangsawan

Teungku: ulama

Ureung meuso: orang terpandang

Siwah: sejenis rencong

Nek Tu: kakek nenek

Endatu: nenek moyang

Seikerei: penghormatan pada Kaisar

Khatib: penghulu

Ampon: panggilan akrab bangsawan laki-laki

Meukasah: baju adat

Bijeh: bibit, benih

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »