Bumi Berantakan, Pak Tua, dan Sastra Pascakolonial - Raudal Tanjung Banua

@kontributor 2/25/2024

Bumi Berantakan, Pak Tua, dan Sastra Pascakolonial

Raudal Tanjung Banua



Okonkwo, jawara terpandang desa Umuofia dari suku Ibo Afrika, suatu hari bernasib sial. Dalam upacara kematian seorang prajurit, saat para pelayat menari sesuai adat, senapannya meletus tanpa sengaja. Pelurunya menembus jantung seorang anak mendiang sehingga si anak segera menyusul ayahnya, Ezeudu, ke keabadian.

Membunuh orang sesuku, sekalipun tak sengaja, adalah kejahatan terhadap Dewi Bumi. Pelakunya harus meninggalkan desa selama tujuh tahun. Maka malam itu juga Okonkwo pergi ke tempat pembuangannya di Mbanta. Ia dibantu sahabatnya, Obierika dan anggota suku tak ada yang mengganggu—hukum ditegakkan dengan patuh terkendali.

Bagi orang Ibo, Okonkwo adalah pahlawan karena ia pernah mengalahkan Amalinze alias si Kucing, musuh bebuyutan mereka. Tapi toh Okonkwo tunduk pada hukum adat, tanpa tawar-menawar. Kepatuhan tersebut bukan ujug-ujug (tiba-tiba). Jauh sebelumnya, ia patuhi hukum tak kalah berat: membunuh anak angkatnya, Ikemefuna, dengan tangannya sendiri.

Begitulah adat bicara. Sebab Ikemefuna adalah tawanan yang dititipkan desa kepadanya. Suatu ketika si anak memang akan dikorbankan sebagai tebusan perang saudara.

Namun berkebalikan dengan kepatuhannya atas hukum leluhur, Okonkwo melawan ketika orang-orang kulit putih datang. Sebab mereka menggariskan hukum kekuasaan yang dinamakan undang-undang dan menawarkan agama baru yang dianggap lebih beradab.

Memang, selepas dari hukum pembuangan Okonkwo kembali ke kampung halamannya dan diterima kembali. Seiring dengan itu orang kulit putih mulai menguasai Ibo, dan sejak itulah ia berhadapan dengan Komisaris Distrik, petugas keamanan dan otoritas gereja. Ia melawan dan menghimpun pengikut. Ia lalu diburu tentara bersama pengikutnya, dan tertangkap. Setelah ditekan dan disiksa, ia bersama beberapa orang pendukungnya, dilepas untuk menunggu persidangan.

Kesempatan itu digunakan Okonkwo melanjutkan perlawanan: ia berhasil menghabisi utusan pengadilan yang menjemputnya dengan jumawa. Meski Okonkwo sendiri akhirnya memutuskan gantung diri, tapi peristiwa itu jadi modal simbolik kaumnya, orang-orang Ibo yang ditindas untuk terus melanjutkan perlawanan.

Pak Tua yang Juga Patuh dan Melawan

Sementara itu, Antonio Jose Bolivar Proana, orang desa San Luis dekat gunung api Imababura, Amerika Selatan, memilih jadi bagian anggota suku Shuar. Suku ini hidup di kehijauan hutan Ekuador, dekat El Idilio, hulu sungai Nangaritza, anak sungai Amazon.

Ia datang ke situ bersama istrinya, Dolores Encarnicion del Santisimo Sacramento, setelah tak tahan mendengar bisik-bisik tetangga kampung asalnya tentang kemandulan mereka. Sayang, sang istri meninggal tahun kedua diserang malaria. Tinggallah Antonio Jose Bolivar Proano seorang diri, dan untuk mengentaskan kemalangan, ia putuskan menjadi petualang alam bebas.

Suatu kali, ia masuki perkampungan orang Shuar, dan segera jatuh cinta yang kedua: cinta kepada masyarakat adat Shuar, seolah cahaya mercu suar yang memberinya arah hidup di lautan hutan raya. Ia belajar bahasa mereka, berlatih memakai sumpit, lembing beracun dan berburu segala binatang—ia  tinggalkan kesopanan Katholiknya yang udik.

Ia beroleh seorang teman setia, Nushino, dan bersamanya ia patuhi adat orang Shuar.

Suatu kali, lima orang kulit putih pencari emas datang tak diundang. Mereka membuat jalur perahu dengan mendinamit tanggul sungai tempat ikan-ikan berbiak. Orang-orang Shuar meradang melihat habitat ikannya dirusak. Pelaku dimintai pertanggungjawaban. Tapi orang kulit putih itu melepas tembakan, lalu melarikan diri. Dua orang Shuar gugur jadi korban, salah seorangnya Nushino, sahabat kental Bolivar.

Bolivar Proano harus menuntut balas jika tak ingin arwah Nushino mengembara seperti burung kakak tua buta, sedih, terlunta dan menabraki pepohonan hutan—begitulah kepercayaan. Bolivar yang berhutang budi pada Shuar—salah satunya menyembuhkannya dari patuk ular equis—segera mengejar pelarian itu.

Ia temukan seorang di antara mereka terhalang tebing, dan diterkamnya. Mereka bergulat hingga sang buruan mengeluarkan pistol. Bolivar rebut senjata itu, balik menembak.

Tapi itulah ternyata malapetaka yang sesungguhnya. Seharusnya ia tidak menembak. Ia mesti menyumpit orang itu dengan  panah beracun sebab dengan begitu ekspresinya akan terpancar selamanya dalam kepala yang mengkerut. Hal tersebut dipercaya melapangkan jalan bagi arwah korban—dalam hal ini Nushino. Bagi orang Shuar, kematian musuh harus setimpal, sebab jika tidak, akan berefek pada tersesatnya roh kerabat ke alam keabadian.

Begitu adat dan kepercayaan orang Shuar. Membunuh dengan senjata api berarti menghilangkan moment sakral itu dan sama saja mempermalukan Nushino. Karena dianggap melanggar adat, maka Bolivar Proano harus menerima hukumannya: ia boleh melewati perkemahan orang Shuar, tapi tak berhak singgah. Dan hukuman itu ia patuhi tanpa syarat.

Orang Shuar pun menegakkan hukum penuh martabat: mereka beri Bolivar kano terbaik, diberi bekal, dipeluk dan ditangisi, lalu kanonya didorong ke tengah sungai dengan titah bahwa ia tak lagi diterima. Hukum adalah hukum, tak ada tawar menawar.

Tapi meski hukum adat telah dijatuhkan, Pak Tua tetap setia bertahan di El Idilio, pelabuhan terdekat kawasan Shuar. Tak ada kesumat. Ia seolah berjaga sambil membaca novel-novel cinta yang dibawakan dokter gigi keliling kenalannya dari rumah bordil nun di bagian lain kawasan Amazone. Seolah dengan cara itu ia mengawasi tiap pendatang yang hendak mengganggu ekologi hutan puak yang dicintainya—dan ia tahu mencintainya juga.

Maka ia berani melawan praduga dan perlakuan sang Walikota yang serba buruk atas orang Shuar. Saat itu ada orang kulit putih mati diterkam harimau di hulu sungai. Orang Shuar yang ikut mengantar mayatnya ke dermaga El-Idilio disumpah-serapahi oleh sang walikota yang digambarkan “berlendir seperti bekicot” itu. Si Walikota menuduh mereka penyebab kematian si kulit putih.

Saat itulah Pak Tua turun tangan menjelaskan duduk persoalan. Setelah mengendus luka-luka si kulit putih yang membusuk, Pak Tua memastikan bahwa korban mati diterkam harimau. Si pecundang itu pasti telah berburu secara serampangan. Bahkan Pak Tua akhirnya memutuskan turun gelanggang mengatasi situasi yang kian gawat lantaran sang harimau yang terluka terus mengamuk dengan ganas mengincar korban-korban lain yang tak bersalah. 

Analogi Pascakolonial

Kisah pertama tentang Okonkwo dari Ibo, diceritakan secara amat memikat oleh novelis Nigeria, Chinua Achebe dalam Segalanya Berantakan (1986). Novel ini dianggap paling representatif menceritakan persoalan pascakolonial, sebagaimana Bumi Berantakan karya Frantz Fanon, atau tetralogi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer.

Ada pun kisah kedua tentang hukum orang Shuar di pedalaman Amerika Latin, tak kalah memikat diceritakan novelis Cile, Luis Sepulveda, dalam novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta (2005). Novel ini menyabet Tigre Juan Prize, telah diterjemahkan ke dalam 15 bahasa dan diangkat ke layar lebar. Ke dalam Bahasa Indonesia yang ciamik karya ini diterjemahkan oleh Ronny Agustinus dan diterbitkan Marjin Kiri.

Meskipun latar cerita bukan masa kolonial, melainkan ketika Ekuador dan negara-negara Latin sudah beroleh kemerdekaannya, namun cerita tak lepas dari campur tangan orang kulit putih memperlakukan bekas koloninya, khususnya dalam hal ekologi. Dan justru itu, makin menegaskan bahwa watak kolonialitas tak berhenti bekerja, sekalipun kekuasaannya dianggap silam.

Y.B. Mangunwijaya punya analogi menarik tentang ini. Pascakolonial, katanya, ibarat pascasarjana yang tidak menggugurkan status sarjana seseorang. Seorang pascasarjana bukan orang yang sesudah menjadi sarjana lalu menjadi bukan sarjana. Dia tetap sarjana, tetapi lebih luas pandangannya, lebih banyak dimensinya, lebih dalam visinya, lebih dewasa. Ada ketersambungan (1999: 41).

Romo Mangun bahkan mengoreksi istilah pascakolonial yang kadung disamakan begitu saja dengan postkolonial. Menurutnya, kata pasca jauh lebih baik dan lebih bermakna daripada kata post dari Bahasa Inggris. Kata post hanya menunjuk pada arti sesudah, belum menyatakan kontinuitas maupun diskontinuitas. Ia tambahkan contohnya, seperti kupu-kupu yang bukan cuma post-kepompong, tetapi lebih meningkat, lebih terbang, walaupun identitasnya sama (ibid, 1999).

Dalam jagad kolonial itu bisa berarti peningkatan eskalasi dalam politik dominasi alih-alih penindasan gaya baru.

Kepatuhan Esensial dan Kemenangan Simbolik

Dari dua cerita di atas, terlihat bahwa hukum adat memiliki ketegasan dalam mengatur alam, ekologi dan segala sesuatu tentang tanah dan hutan ulayat. Masyarakat adat sebagaimana ditunjukkan orang Shuar tidak akan bertindak serampangan dalam menjatuhkan hukuman. Namun begitu hukuman jatuh—apa pun pantangan dan larangan yang dilanggar—maka hukum itu tak bisa ditawar sekalipun menimpa kerabat, orang dekat, sosok terhormat atau bahkan kepala suku.

Dan untuk tindakan itu mereka tak melakukannya secara barbar, namun menjalankan baik-baik sebagaimana Pak Tua Proana mengalaminya; ia dilepas, ditangisi, diberi bekal dan modal secukupnya untuk pergi meninggalkan kawasan hukum mereka. Lewat cara ini masyarakat adat menunjukkan cara-cara beradab menegakkan hukum mereka, hal yang kadang secara kontraproduktif dipandang orang luar bukan sebagai keadaban.

Dalam masyarakat tradisi, sebuah kesepakatan (yang dipatuhi) menempuh proses panjang untuk dijalankan, lazimnya melalui tahapan ritual. Orang Bali menyebutnya awig-awig, aturan adat yang telah disetujui anggota desa pakraman.

Konsekwensi awig-awig bukan hanya menyangkut kepatuhan terhadap tetua atau kepala adat, namun jauh lebih esensial, yakni menjangkau ke dunia transendental—hal yang tak mudah tersentuh oleh pemahaman orang luar. Bagi orang Ibo, membunuh sesama suku berarti melukai Dewi Bumi. Karena itu, menjalani hukuman setimpal atas tindakan membunuh seseorang sekalipun tidak disengaja berarti menebus kesakitan sang Dewi.

Demikian pula halnya dengan Pak Tua. Mematuhi hukuman yang digariskan adat orang Shuar atas keteledorannya membunuh musuh dengan alat kolonial—sebuah bedil jahanam—adalah keharusan. Dan ia mencoba menebusnya dengan menjadi pembela orang Shuar atas penghinaan walikota. Bahkan ia memutuskan mengantar seekor harimau yang terluka ke keabadian, ketimbang hidup merasai dan mengganggu kehidupan sekitar.

Begitulah, dalam sastra pascakolonial, eksistensi masyarakat adat ditegakkan dengan kebijakan dan keadaban yang tak bisa digeneralisasi dengan sekali pandang. Kita mesti mendalaminya benar-benar, dan teks sastra karya pengarang yang menyadari soal ini, akan membentangkan lanskap dan cakrawala masyarakat pascakolonial yang mendebarkan, namun mencerahkan. Meski terkesan “hanya” memperoleh sejumput kemenangan, tapi itulah kemenangan simbolik yang dapat dilipatgandakan tangan-tangan tokoh protogonis.

Begitu pula kita, pembaca, melipatgandakannya melalui interpretasi dan reinterpretasi masing-masing. Tentu tidak membuat “makna berantakan” sebagaimana dilakukan tangan kolonial di bumi Ibo, melainkan seperti Pak Tua Proano yang penuh gairah “membaca kisah cinta” di belantara Amazone.

Yogyakarta, Desember 2023-Januari 2024

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »