Bumi Berantakan, Pak Tua, dan Sastra Pascakolonial
Raudal Tanjung Banua
Okonkwo, jawara terpandang desa Umuofia dari suku Ibo Afrika, suatu
hari bernasib sial. Dalam upacara kematian seorang prajurit, saat para pelayat
menari sesuai adat, senapannya meletus tanpa sengaja. Pelurunya menembus
jantung seorang anak mendiang sehingga si anak segera menyusul ayahnya, Ezeudu,
ke keabadian.
Membunuh orang sesuku, sekalipun tak
sengaja, adalah kejahatan terhadap Dewi Bumi. Pelakunya harus meninggalkan desa
selama tujuh tahun. Maka malam itu juga Okonkwo pergi ke tempat pembuangannya
di Mbanta. Ia dibantu sahabatnya, Obierika dan anggota suku tak ada yang
mengganggu—hukum ditegakkan dengan patuh terkendali.
Bagi orang Ibo, Okonkwo adalah
pahlawan karena ia pernah mengalahkan Amalinze alias si Kucing, musuh bebuyutan
mereka. Tapi toh Okonkwo tunduk pada hukum adat, tanpa tawar-menawar.
Kepatuhan tersebut bukan ujug-ujug (tiba-tiba). Jauh sebelumnya, ia
patuhi hukum tak kalah berat: membunuh anak angkatnya, Ikemefuna, dengan
tangannya sendiri.
Begitulah adat bicara. Sebab
Ikemefuna adalah tawanan yang dititipkan desa kepadanya. Suatu ketika si anak
memang akan dikorbankan sebagai tebusan perang saudara.
Namun berkebalikan dengan
kepatuhannya atas hukum leluhur, Okonkwo melawan ketika orang-orang kulit putih
datang. Sebab mereka menggariskan hukum kekuasaan yang dinamakan undang-undang
dan menawarkan agama baru yang dianggap lebih beradab.
Memang, selepas dari hukum
pembuangan Okonkwo kembali ke kampung halamannya dan diterima kembali. Seiring
dengan itu orang kulit putih mulai menguasai Ibo, dan sejak itulah ia berhadapan
dengan Komisaris Distrik, petugas keamanan dan otoritas gereja. Ia melawan dan
menghimpun pengikut. Ia lalu diburu tentara bersama pengikutnya, dan tertangkap.
Setelah ditekan dan disiksa, ia bersama beberapa orang pendukungnya, dilepas
untuk menunggu persidangan.
Kesempatan itu digunakan Okonkwo melanjutkan perlawanan: ia berhasil menghabisi utusan pengadilan yang menjemputnya dengan jumawa. Meski Okonkwo sendiri akhirnya memutuskan gantung diri, tapi peristiwa itu jadi modal simbolik kaumnya, orang-orang Ibo yang ditindas untuk terus melanjutkan perlawanan.
Pak Tua yang Juga Patuh dan Melawan
Sementara itu, Antonio Jose Bolivar
Proana, orang desa San Luis dekat gunung api Imababura, Amerika Selatan, memilih
jadi bagian anggota suku Shuar. Suku ini hidup di kehijauan hutan Ekuador,
dekat El Idilio, hulu sungai Nangaritza, anak sungai Amazon.
Ia datang ke situ bersama istrinya,
Dolores Encarnicion del Santisimo Sacramento, setelah tak tahan mendengar
bisik-bisik tetangga kampung asalnya tentang kemandulan mereka. Sayang, sang
istri meninggal tahun kedua diserang malaria. Tinggallah Antonio Jose Bolivar
Proano seorang diri, dan untuk mengentaskan kemalangan, ia putuskan menjadi
petualang alam bebas.
Suatu kali, ia masuki perkampungan
orang Shuar, dan segera jatuh cinta yang kedua: cinta kepada masyarakat adat
Shuar, seolah cahaya mercu suar yang memberinya arah hidup di lautan hutan
raya. Ia belajar bahasa mereka, berlatih memakai sumpit, lembing beracun dan
berburu segala binatang—ia tinggalkan
kesopanan Katholiknya yang udik.
Ia beroleh seorang teman setia,
Nushino, dan bersamanya ia patuhi adat orang Shuar.
Suatu kali, lima orang kulit putih
pencari emas datang tak diundang. Mereka membuat jalur perahu dengan mendinamit
tanggul sungai tempat ikan-ikan berbiak. Orang-orang Shuar meradang melihat
habitat ikannya dirusak. Pelaku dimintai pertanggungjawaban. Tapi orang kulit
putih itu melepas tembakan, lalu melarikan diri. Dua orang Shuar gugur jadi
korban, salah seorangnya Nushino, sahabat kental Bolivar.
Bolivar Proano harus menuntut balas
jika tak ingin arwah Nushino mengembara seperti burung kakak tua buta, sedih, terlunta
dan menabraki pepohonan hutan—begitulah kepercayaan. Bolivar yang berhutang
budi pada Shuar—salah satunya menyembuhkannya dari patuk ular equis—segera
mengejar pelarian itu.
Ia temukan seorang di antara mereka
terhalang tebing, dan diterkamnya. Mereka bergulat hingga sang buruan
mengeluarkan pistol. Bolivar rebut senjata itu, balik menembak.
Tapi itulah ternyata malapetaka yang
sesungguhnya. Seharusnya ia tidak menembak. Ia mesti menyumpit orang itu
dengan panah beracun sebab dengan begitu
ekspresinya akan terpancar selamanya dalam kepala yang mengkerut. Hal tersebut
dipercaya melapangkan jalan bagi arwah korban—dalam hal ini Nushino. Bagi orang
Shuar, kematian musuh harus setimpal, sebab jika tidak, akan berefek pada
tersesatnya roh kerabat ke alam keabadian.
Begitu adat dan kepercayaan orang
Shuar. Membunuh dengan senjata api berarti menghilangkan moment sakral itu dan
sama saja mempermalukan Nushino. Karena dianggap melanggar adat, maka Bolivar
Proano harus menerima hukumannya: ia boleh melewati perkemahan orang Shuar,
tapi tak berhak singgah. Dan hukuman itu ia patuhi tanpa syarat.
Orang Shuar pun menegakkan hukum
penuh martabat: mereka beri Bolivar kano terbaik, diberi bekal, dipeluk dan
ditangisi, lalu kanonya didorong ke tengah sungai dengan titah bahwa ia tak
lagi diterima. Hukum adalah hukum, tak ada tawar menawar.
Tapi meski hukum adat telah
dijatuhkan, Pak Tua tetap setia bertahan di El Idilio, pelabuhan terdekat
kawasan Shuar. Tak ada kesumat. Ia seolah berjaga sambil membaca novel-novel
cinta yang dibawakan dokter gigi keliling kenalannya dari rumah bordil nun di
bagian lain kawasan Amazone. Seolah dengan cara itu ia mengawasi tiap pendatang
yang hendak mengganggu ekologi hutan puak yang dicintainya—dan ia tahu
mencintainya juga.
Maka ia berani melawan praduga dan
perlakuan sang Walikota yang serba buruk atas orang Shuar. Saat itu ada orang
kulit putih mati diterkam harimau di hulu sungai. Orang Shuar yang ikut
mengantar mayatnya ke dermaga El-Idilio disumpah-serapahi oleh sang walikota
yang digambarkan “berlendir seperti bekicot” itu. Si Walikota menuduh mereka
penyebab kematian si kulit putih.
Saat itulah Pak Tua turun tangan menjelaskan duduk persoalan. Setelah mengendus luka-luka si kulit putih yang membusuk, Pak Tua memastikan bahwa korban mati diterkam harimau. Si pecundang itu pasti telah berburu secara serampangan. Bahkan Pak Tua akhirnya memutuskan turun gelanggang mengatasi situasi yang kian gawat lantaran sang harimau yang terluka terus mengamuk dengan ganas mengincar korban-korban lain yang tak bersalah.
Analogi Pascakolonial
Kisah pertama tentang Okonkwo dari
Ibo, diceritakan secara amat memikat oleh novelis Nigeria, Chinua Achebe dalam Segalanya
Berantakan (1986). Novel ini dianggap paling representatif menceritakan
persoalan pascakolonial, sebagaimana Bumi Berantakan karya Frantz Fanon,
atau tetralogi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer.
Ada pun kisah kedua tentang hukum
orang Shuar di pedalaman Amerika Latin, tak kalah memikat diceritakan novelis
Cile, Luis Sepulveda, dalam novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta
(2005). Novel ini menyabet Tigre Juan Prize, telah diterjemahkan ke dalam 15
bahasa dan diangkat ke layar lebar. Ke dalam Bahasa Indonesia yang ciamik
karya ini diterjemahkan oleh Ronny Agustinus dan diterbitkan Marjin Kiri.
Meskipun latar cerita bukan masa
kolonial, melainkan ketika Ekuador dan negara-negara Latin sudah beroleh
kemerdekaannya, namun cerita tak lepas dari campur tangan orang kulit putih
memperlakukan bekas koloninya, khususnya dalam hal ekologi. Dan justru itu,
makin menegaskan bahwa watak kolonialitas tak berhenti bekerja, sekalipun
kekuasaannya dianggap silam.
Y.B. Mangunwijaya punya analogi
menarik tentang ini. Pascakolonial, katanya, ibarat pascasarjana yang tidak
menggugurkan status sarjana seseorang. Seorang pascasarjana bukan orang
yang sesudah menjadi sarjana lalu menjadi bukan sarjana. Dia
tetap sarjana, tetapi lebih luas pandangannya, lebih banyak dimensinya, lebih
dalam visinya, lebih dewasa. Ada ketersambungan (1999: 41).
Romo Mangun bahkan mengoreksi
istilah pascakolonial yang kadung disamakan begitu saja dengan postkolonial.
Menurutnya, kata pasca jauh lebih baik dan lebih bermakna daripada kata post
dari Bahasa Inggris. Kata post hanya menunjuk pada arti sesudah,
belum menyatakan kontinuitas maupun diskontinuitas. Ia tambahkan contohnya,
seperti kupu-kupu yang bukan cuma post-kepompong, tetapi lebih
meningkat, lebih terbang, walaupun identitasnya sama (ibid, 1999).
Dalam jagad kolonial itu bisa berarti peningkatan eskalasi dalam politik dominasi alih-alih penindasan gaya baru.
Kepatuhan Esensial dan Kemenangan Simbolik
Dari dua cerita di atas, terlihat
bahwa hukum adat memiliki ketegasan dalam mengatur alam, ekologi dan segala
sesuatu tentang tanah dan hutan ulayat. Masyarakat adat sebagaimana ditunjukkan
orang Shuar tidak akan bertindak serampangan dalam menjatuhkan hukuman. Namun
begitu hukuman jatuh—apa pun pantangan dan larangan yang dilanggar—maka hukum
itu tak bisa ditawar sekalipun menimpa kerabat, orang dekat, sosok terhormat
atau bahkan kepala suku.
Dan untuk tindakan itu mereka tak
melakukannya secara barbar, namun menjalankan baik-baik sebagaimana Pak Tua
Proana mengalaminya; ia dilepas, ditangisi, diberi bekal dan modal secukupnya
untuk pergi meninggalkan kawasan hukum mereka. Lewat cara ini masyarakat adat
menunjukkan cara-cara beradab menegakkan hukum mereka, hal yang kadang secara
kontraproduktif dipandang orang luar bukan sebagai keadaban.
Dalam masyarakat tradisi, sebuah kesepakatan
(yang dipatuhi) menempuh proses panjang untuk dijalankan, lazimnya melalui
tahapan ritual. Orang Bali menyebutnya awig-awig, aturan adat yang telah
disetujui anggota desa pakraman.
Konsekwensi awig-awig bukan
hanya menyangkut kepatuhan terhadap tetua atau kepala adat, namun jauh lebih
esensial, yakni menjangkau ke dunia transendental—hal yang tak mudah tersentuh
oleh pemahaman orang luar. Bagi orang Ibo, membunuh sesama suku berarti melukai
Dewi Bumi. Karena itu, menjalani hukuman setimpal atas tindakan membunuh
seseorang sekalipun tidak disengaja berarti menebus kesakitan sang Dewi.
Demikian pula halnya dengan Pak Tua.
Mematuhi hukuman yang digariskan adat orang Shuar atas keteledorannya membunuh
musuh dengan alat kolonial—sebuah bedil jahanam—adalah keharusan. Dan ia
mencoba menebusnya dengan menjadi pembela orang Shuar atas penghinaan walikota.
Bahkan ia memutuskan mengantar seekor harimau yang terluka ke keabadian,
ketimbang hidup merasai dan mengganggu kehidupan sekitar.
Begitulah, dalam sastra
pascakolonial, eksistensi masyarakat adat ditegakkan dengan kebijakan dan
keadaban yang tak bisa digeneralisasi dengan sekali pandang. Kita mesti
mendalaminya benar-benar, dan teks sastra karya pengarang yang menyadari soal
ini, akan membentangkan lanskap dan cakrawala masyarakat pascakolonial yang
mendebarkan, namun mencerahkan. Meski terkesan “hanya” memperoleh sejumput
kemenangan, tapi itulah kemenangan simbolik yang dapat dilipatgandakan tangan-tangan
tokoh protogonis.
Begitu pula kita, pembaca, melipatgandakannya melalui interpretasi dan reinterpretasi masing-masing. Tentu tidak membuat “makna berantakan” sebagaimana dilakukan tangan kolonial di bumi Ibo, melainkan seperti Pak Tua Proano yang penuh gairah “membaca kisah cinta” di belantara Amazone.
Yogyakarta, Desember 2023-Januari 2024