Kucing Mati - Yin Ude

@kontributor 3/24/2024

Kucing Mati

Yin Ude



Seperti kuduga, rumah ramai lagi oleh teman-temannya Kak Burhan. Dari teras, lewat kaca jendela kulihat ada tujuh orang, duduk berdempetan di kursi ruang tamu kami yang sempit. Seperti sudah-sudah pula, mereka sedang rapat.

“Kita harus segera menyatakan sikap atas aksi brutal Israel ini.”

Kutandai suara itu. Gaffar, aktivis dari Himpunan Pemuda Peduli Palestina.

“Ya, aku setuju. Tuntutan kita harus semakin tegas agar pemerintah lebih berani mengutuk Israel.” Disambut Kak Burhan. “Gerakan kita turun ke jalan harus terlaksana lusa, bersamaan dengan aksi serupa dari teman-teman kita di Jawa, Sulawesi dan Sumatera,” sambungnya.

“Salut, Pak Burhan. Bapak sebagai ketua aliansi tidak lagi mengulur-ulur waktu. Ini persoalan kemanusiaan yang parah! Berarti besok kita jadi ke kota kabupaten, untuk menyatukan suara dengan organisasi-organisasi yang sepaham dengan kita?” Itu suara Itu Hardi, pengurus Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Independen.

“Harus jadi, Pak Ketua Burhan.” Usman terdengar pula berpendapat.

Aku tersenyum mendengar sebutan “ketua aliansi” untuk suamiku. Bangga, atau entah rasa apa yang melingkupi hatiku, yang jelas aku suka karena bagiku Burhan telah menjadi sosok yang “lebih” di tengah rekan-rekan aktivisnya.

Hampir tiap hari Gaffar, Hardi, Usman dan empat orang di dalam itu mendatangi rumah kami, mendatangi suamiku yang aktivis Himpunan Masyarakat Anti Kekerasan dan Pelanggaran HAM untuk mengadakan rapat, membahas persoalan-persoalan HAM dan kemanusiaan Indonesia maupun dunia. Dan hampir dua minggu belakangan fokus mereka pada isu kekerasan bersenjata di Palestina.

“Aku sebagai manusia, warga negara Indonesia dan warga dunia harus ikut serta berjuang untuk menjadikan Indonesia bahkan dunia bebas dari kekerasan dan penderitaan karena pelanggaran HAM.” Begitu katanya selalu.

Dan aku memujinya luar biasa, mendukungnya, menyiapkan segala keperluan untuk organisasi dan kegiatan-kegiatannya. Senang pula aku mendengar suara-suaranya yang cerdas dalam rapat. Aku tak ragu menyediakan konsumsi bahkan rokok untuk rapat-rapat itu.

Seperti pagi ini, aku baru dari pasar. Dua keranjangku penuh dengan sayur, daging dan bahan-bahan pembuat kue. Aku akan masak untuk makan siang suamiku bersama teman-temannya. Lalu nanti mereka akan kusuguhi penganan enak pula.

Aku bangkit dari lantai teras tempatku duduk, untuk masuk ke dapur melalui pintu samping. Kebiasaanku tak mau melintas di ruang tamu ketika rapat sedang berlangsung. Sungguh aku tak mau mereka terganggu.

Lumayan lelah setelah tadi aku berputar-putar di pasar. Aku letakkan keranjang belanjaan dan kunci sepeda motor di atas meja dapur, lalu menuju kulkas untuk mengambil air dingin.

Tapi pandanganku membentur sesuatu di belakang kulkas. Seperti kaki hewan… kucing! Ya, kaki kucing!

Lekas kuperiksa.

Seekor kucing belang bertubuh kurus, terlentang lemas, matanya terpejam tapi nafasnya naik turun dengan cepat!

 “Kucing siapa ini?” seruku iba.

Aku bukan penyayang binatang. Tapi aku pun tak akan tahan melihat hewan dalam kondisi buruk seperti itu.

Lekas kuangkat dengan kedua tanganku, dengan hati-hati, hendak kuperiksa.

Baru saja, tiba-tiba mata kucing itu terbelalak, tubuhnya berkelonjotan!

Aku tertegun karena terkejut. Tak mengerti dan tak tahu harus melakukan apa.

“Ya, Allah! Ya, Allah!” Hanya itu yang terlontar berulang kali dari mulutku. Kedua lenganku gemetar. Aku shock melihat penderitaan hewan itu!

Mendadak aku ingat Dokter Hewan Syamsun. Tempat prakteknya tidak jauh, hanya satu kilometer dari rumahku.

Gegas tangan kiriku menyambar kunci sepeda motor, sedang tangan kananku menggendong tubuh kucing yang terus bergerak-gerak kejang itu.

Di samping rumah aku masukkan kucing itu dalam kardus sepatu dan kuletakkan di landasan kaki di depan motor matic-ku, yang kemudian kularikan dengan sedikit ngebut. Pikiranku hanya satu, lekas sampai di tempat praktek Dokter Syamsun.

“Kucing Ibu mati lemas karena kelaparan. Sementara ia pun habis melahirkan. Sepertinya baru sehari dua hari.”

Sederhananya begitu kesimpulanku dari paparan panjang lebar dokter hewan di depan “jasad” kucing itu, yang sudah menemui ajal sebelum sempat ditangani.

Aku terdiam karena masih dikuasai rasa iba pada kucing itu, yang entah kenapa begitu keras.

Di jalan pulang aku menitikkan air mata. Begitu pula ketika aku menggali lubang di belakang rumah, menguburkannya.

*

 

“Oh, kau memikirkan kucing itu makanya tak bisa tidur?”

Aku mengangguk menjawab pertanyaan Kak Burhan yang menunda tidur malamnya untuk mendengar ceritaku tentang kucing tadi pagi.

“Kasihan juga,” katanya datar. “Tapi sudahlah, tak perlu kaupikir lagi. Toh, kamu sudah berusaha menyelamatkannya.”

Aku mengangguk-angguk lagi, karena masuk akal juga ucapan suamiku yang kini membaringkan badan dan menarik selimut untuk segera tidur.

“Ya, aku sudah berusaha, Kak,” gumamku sambil mematikan lampu duduk yang ada di meja samping ranjang kami. “Entah kucing siapa, dan kapan dia masuk ke dalam rumah kita….”

Aku pun berbaring.

“Sebelum rapat kami melihat kucing itu di sudut pekarangan kita. Mengeong-ngeong lemah sekali. Kami pikir karena lapar. Tak kami pedulikan. Lalu saat rapat, ia melintas di ruang tamu. Jalannya limbung dan sempat kuhardik. Lalu masuk ke ruang dalam…”

Perlahan aku bangkit dan duduk lagi. Lampu duduk di meja kunyalakan lagi demi mendengar luncuran kata Kak Burhan yang bicara santai, dengan mata terpejam sambil membelakangiku.

Aku tertegun. Tiba-tiba ada sesuatu yang merayapi dadaku.

**

 

Satu jam sudah aku menelisik pekarangan rumah tetangga, selokan dan tumpukan-tumpukan barang bekas yang ada di sekitar kompleks tempat tinggalku, mencari anak dari kucing yang mati itu.

“Kemarin pagi ada kudengar suara anak kucing di dekat sini. Tapi tak kutahu pasti tempatnya,” kata Bu Maya yang rumahnya di belakang rumahku. “Kalau ndak mati, kuyakin masih ada di sekitar sini.”

Aku menjadi bersemangat untuk meneruskan usahaku. Tak peduli siang memuncak dan teriknya memapar tubuhku yang berkeliling, kali ini bersama Toni dan Wira, dua anak Bu Maya yang disuruh ibunya membantuku.

Di bawah pohon jambu aku berteduh karena panas dan kelelahan. Saat itu ponselku berdering. Kak Burhan.

Aku tak bersemangat mendengar ceritanya tentang orang-orang kabupaten yang takjub dengan aliansi yang ia pimpin, yang dianggap memiliki sikap sangat tegas terhadap pemerintah yang lamban merespons persoalan Palestina.

“Sore kami sampai rumah dan langsung rapat lagi,” katanya mengakhiri pembicaraan.

Masih ada waktu untuk kutemukan anak kucing itu, pikirku. Ya, kupusatkan pikiranku untuk menemukannya, dan ketika bayangan wajah bangga dan sumringah suamiku beserta ketujuh rekannya melintas di benak, lekas-lekas aku bangkit, menggamit Toni dan Wira untuk jalan lagi.

Rasa yang merayapi dadaku semalam semakin bergolak.

***

 

Di belakang rumah aku duduk di tanah, di dekat kubur kucing, yang kini empat anaknya sedang kuberi asupan khusus mereka, yang kubeli di swalayan.

Kupandangi hewan-hewan kecil itu, yang baru sekitar pukul tiga tadi kutemukan, sedang bersembunyi di rimbun semak-semak.

Lemah sekali kelihatannya, membuat aku sangat iba dan tercenung.

Kubayangkan mereka adalah aku dan kakak-kakakku.

“Seandainya mereka adalah anak-anakku Sinta dan Dwi…,” bisikku. “Oh, malangnya….”

Air mata tak bisa kutahan. Dan derainya semakin deras saat kuingat Kak Burhan dan teman-temannya!

“Apa yang kau kerjakan di sini?”

Aku menoleh ke arah datangnya suara itu. Ternyata Kak Burhan sudah tiba.

“Tak kau dengar salamku berkali-kali. Tahu-tahunya ada di sini. Eh, dengan kucing pula. Eh, kau menangis. Ada apa? Itu, gundukan tanah seperti kuburan itu apa?”

Aku bangkit, menghadap suamiku yang menatapku dengan raut wajah tak mengerti itu.

“Aku sedang menangisi kucing-kucing lemah itu, Kak, yang kemarin kalian lihat induknya dalam keadaan kelaparan dan butuh bantuan. Yang tak kalian hiraukan. Yang kemudian Kakak hardik pula, lalu kutemukan sekarat di belakang kulkas.”

Luncuran kata-kataku sopan karena volume maupun nadanya kujaga. Tapi kulihat wajah Kak Burhan memerah.

Lalu ingin pula kulakukan sesuatu, yang kuyakin akan membuat mukanya lebih merah.

Ya, ingin kucetuskan sesuatu yang merayapi dadaku semalam, yang hari ini kian bergolak, dalam bentuk teriakan, “Palestina terlalu jauh, Kak! Kemarin ada seekor kucing, makhluk Tuhan juga, yang kelaparan, butuh bantuan, di dekat Kakak, tapi tak Kakak bantu!”

Tapi lagi-lagi aku tetap ingin sopan terhadap suamiku itu.

Maka aku simpan saja teriakanku, sampai aku pamit masuk ke kamar untuk istirahat. Bukan karena lelah mencari anak-anak kucing itu, tapi karena tiba-tiba aku tak ingin lagi mendengar suara-suara hebat Kak Burhan dan teman-temannya dalam rapat.

Masih kudengar kucing-kucing kecil itu mengeong-ngeong. Seperti aku pula, yang menangis.[]

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »