Kucing Mati
Yin Ude
Seperti kuduga, rumah ramai lagi
oleh teman-temannya Kak Burhan. Dari teras, lewat kaca jendela kulihat ada
tujuh orang, duduk berdempetan di kursi ruang tamu kami yang sempit. Seperti
sudah-sudah pula, mereka sedang rapat.
“Kita
harus segera menyatakan sikap atas aksi brutal Israel ini.”
Kutandai
suara itu. Gaffar, aktivis dari Himpunan Pemuda Peduli Palestina.
“Ya,
aku setuju. Tuntutan kita harus semakin tegas agar pemerintah lebih berani
mengutuk Israel.” Disambut Kak Burhan. “Gerakan kita turun ke jalan harus
terlaksana lusa, bersamaan dengan aksi serupa dari teman-teman kita di Jawa,
Sulawesi dan Sumatera,” sambungnya.
“Salut,
Pak Burhan. Bapak sebagai ketua aliansi tidak lagi mengulur-ulur waktu. Ini
persoalan kemanusiaan yang parah! Berarti besok kita jadi ke kota kabupaten,
untuk menyatukan suara dengan organisasi-organisasi yang sepaham dengan kita?” Itu
suara Itu Hardi, pengurus Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Independen.
“Harus
jadi, Pak Ketua Burhan.” Usman terdengar pula berpendapat.
Aku tersenyum
mendengar sebutan “ketua aliansi” untuk suamiku. Bangga, atau entah rasa apa yang
melingkupi hatiku, yang jelas aku suka karena bagiku Burhan telah menjadi sosok
yang “lebih” di tengah rekan-rekan aktivisnya.
Hampir
tiap hari Gaffar, Hardi, Usman dan empat orang di dalam itu mendatangi rumah
kami, mendatangi suamiku yang aktivis Himpunan Masyarakat Anti Kekerasan dan
Pelanggaran HAM untuk mengadakan rapat, membahas persoalan-persoalan HAM dan
kemanusiaan Indonesia maupun dunia. Dan hampir dua minggu belakangan fokus
mereka pada isu kekerasan bersenjata di Palestina.
“Aku
sebagai manusia, warga negara Indonesia dan warga dunia harus ikut serta berjuang
untuk menjadikan Indonesia bahkan dunia bebas dari kekerasan dan penderitaan
karena pelanggaran HAM.” Begitu katanya selalu.
Dan
aku memujinya luar biasa, mendukungnya, menyiapkan segala keperluan untuk
organisasi dan kegiatan-kegiatannya. Senang pula aku mendengar suara-suaranya
yang cerdas dalam rapat. Aku tak ragu menyediakan konsumsi bahkan rokok untuk
rapat-rapat itu.
Seperti
pagi ini, aku baru dari pasar. Dua keranjangku penuh dengan sayur, daging dan
bahan-bahan pembuat kue. Aku akan masak untuk makan siang suamiku bersama
teman-temannya. Lalu nanti mereka akan kusuguhi penganan enak pula.
Aku
bangkit dari lantai teras tempatku duduk, untuk masuk ke dapur melalui pintu
samping. Kebiasaanku tak mau melintas di ruang tamu ketika rapat sedang berlangsung.
Sungguh aku tak mau mereka terganggu.
Lumayan
lelah setelah tadi aku berputar-putar di pasar. Aku letakkan keranjang
belanjaan dan kunci sepeda motor di atas meja dapur, lalu menuju kulkas untuk
mengambil air dingin.
Tapi
pandanganku membentur sesuatu di belakang kulkas. Seperti kaki hewan… kucing!
Ya, kaki kucing!
Lekas
kuperiksa.
Seekor
kucing belang bertubuh kurus, terlentang lemas, matanya terpejam tapi nafasnya
naik turun dengan cepat!
“Kucing siapa ini?” seruku iba.
Aku
bukan penyayang binatang. Tapi aku pun tak akan tahan melihat hewan dalam
kondisi buruk seperti itu.
Lekas
kuangkat dengan kedua tanganku, dengan hati-hati, hendak kuperiksa.
Baru
saja, tiba-tiba mata kucing itu terbelalak, tubuhnya berkelonjotan!
Aku
tertegun karena terkejut. Tak mengerti dan tak tahu harus melakukan apa.
“Ya,
Allah! Ya, Allah!” Hanya itu yang terlontar berulang kali dari mulutku. Kedua
lenganku gemetar. Aku shock melihat
penderitaan hewan itu!
Mendadak
aku ingat Dokter Hewan Syamsun. Tempat prakteknya tidak jauh, hanya satu
kilometer dari rumahku.
Gegas
tangan kiriku menyambar kunci sepeda motor, sedang tangan kananku menggendong
tubuh kucing yang terus bergerak-gerak kejang itu.
Di
samping rumah aku masukkan kucing itu dalam kardus sepatu dan kuletakkan di
landasan kaki di depan motor matic-ku,
yang kemudian kularikan dengan sedikit ngebut. Pikiranku hanya satu, lekas
sampai di tempat praktek Dokter Syamsun.
“Kucing
Ibu mati lemas karena kelaparan. Sementara ia pun habis melahirkan. Sepertinya
baru sehari dua hari.”
Sederhananya
begitu kesimpulanku dari paparan panjang lebar dokter hewan di depan “jasad”
kucing itu, yang sudah menemui ajal sebelum sempat ditangani.
Aku terdiam
karena masih dikuasai rasa iba pada kucing itu, yang entah kenapa begitu keras.
Di
jalan pulang aku menitikkan air mata. Begitu pula ketika aku menggali lubang di
belakang rumah, menguburkannya.
*
“Oh,
kau memikirkan kucing itu makanya tak bisa tidur?”
Aku
mengangguk menjawab pertanyaan Kak Burhan yang menunda tidur malamnya untuk
mendengar ceritaku tentang kucing tadi pagi.
“Kasihan
juga,” katanya datar. “Tapi sudahlah, tak perlu kaupikir lagi. Toh, kamu sudah
berusaha menyelamatkannya.”
Aku
mengangguk-angguk lagi, karena masuk akal juga ucapan suamiku yang kini membaringkan
badan dan menarik selimut untuk segera tidur.
“Ya,
aku sudah berusaha, Kak,” gumamku sambil mematikan lampu duduk yang ada di meja
samping ranjang kami. “Entah kucing siapa, dan kapan dia masuk ke dalam rumah
kita….”
Aku pun
berbaring.
“Sebelum
rapat kami melihat kucing itu di sudut pekarangan kita. Mengeong-ngeong lemah
sekali. Kami pikir karena lapar. Tak kami pedulikan. Lalu saat rapat, ia melintas
di ruang tamu. Jalannya limbung dan sempat kuhardik. Lalu masuk ke ruang
dalam…”
Perlahan
aku bangkit dan duduk lagi. Lampu duduk di meja kunyalakan lagi demi mendengar
luncuran kata Kak Burhan yang bicara santai, dengan mata terpejam sambil
membelakangiku.
Aku
tertegun. Tiba-tiba ada sesuatu yang merayapi dadaku.
**
Satu
jam sudah aku menelisik pekarangan rumah tetangga, selokan dan
tumpukan-tumpukan barang bekas yang ada di sekitar kompleks tempat tinggalku,
mencari anak dari kucing yang mati itu.
“Kemarin
pagi ada kudengar suara anak kucing di dekat sini. Tapi tak kutahu pasti tempatnya,”
kata Bu Maya yang rumahnya di belakang rumahku. “Kalau ndak mati, kuyakin masih
ada di sekitar sini.”
Aku
menjadi bersemangat untuk meneruskan usahaku. Tak peduli siang memuncak dan
teriknya memapar tubuhku yang berkeliling, kali ini bersama Toni dan Wira, dua
anak Bu Maya yang disuruh ibunya membantuku.
Di
bawah pohon jambu aku berteduh karena panas dan kelelahan. Saat itu ponselku
berdering. Kak Burhan.
Aku
tak bersemangat mendengar ceritanya tentang orang-orang kabupaten yang takjub
dengan aliansi yang ia pimpin, yang dianggap memiliki sikap sangat tegas
terhadap pemerintah yang lamban merespons persoalan Palestina.
“Sore
kami sampai rumah dan langsung rapat lagi,” katanya mengakhiri pembicaraan.
Masih
ada waktu untuk kutemukan anak kucing itu, pikirku. Ya, kupusatkan pikiranku
untuk menemukannya, dan ketika bayangan wajah bangga dan sumringah suamiku
beserta ketujuh rekannya melintas di benak, lekas-lekas aku bangkit, menggamit
Toni dan Wira untuk jalan lagi.
Rasa
yang merayapi dadaku semalam semakin bergolak.
***
Di
belakang rumah aku duduk di tanah, di dekat kubur kucing, yang kini empat
anaknya sedang kuberi asupan khusus mereka, yang kubeli di swalayan.
Kupandangi
hewan-hewan kecil itu, yang baru sekitar pukul tiga tadi kutemukan, sedang
bersembunyi di rimbun semak-semak.
Lemah
sekali kelihatannya, membuat aku sangat iba dan tercenung.
Kubayangkan
mereka adalah aku dan kakak-kakakku.
“Seandainya
mereka adalah anak-anakku Sinta dan Dwi…,” bisikku. “Oh, malangnya….”
Air
mata tak bisa kutahan. Dan derainya semakin deras saat kuingat Kak Burhan dan
teman-temannya!
“Apa
yang kau kerjakan di sini?”
Aku
menoleh ke arah datangnya suara itu. Ternyata Kak Burhan sudah tiba.
“Tak
kau dengar salamku berkali-kali. Tahu-tahunya ada di sini. Eh, dengan kucing
pula. Eh, kau menangis. Ada apa? Itu, gundukan tanah seperti kuburan itu apa?”
Aku
bangkit, menghadap suamiku yang menatapku dengan raut wajah tak mengerti itu.
“Aku
sedang menangisi kucing-kucing lemah itu, Kak, yang kemarin kalian lihat
induknya dalam keadaan kelaparan dan butuh bantuan. Yang tak kalian hiraukan.
Yang kemudian Kakak hardik pula, lalu kutemukan sekarat di belakang kulkas.”
Luncuran
kata-kataku sopan karena volume maupun nadanya kujaga. Tapi kulihat wajah Kak
Burhan memerah.
Lalu
ingin pula kulakukan sesuatu, yang kuyakin akan membuat mukanya lebih merah.
Ya, ingin
kucetuskan sesuatu yang merayapi dadaku semalam, yang hari ini kian bergolak,
dalam bentuk teriakan, “Palestina terlalu jauh, Kak! Kemarin ada seekor kucing,
makhluk Tuhan juga, yang kelaparan, butuh bantuan, di dekat Kakak, tapi tak
Kakak bantu!”
Tapi
lagi-lagi aku tetap ingin sopan terhadap suamiku itu.
Maka
aku simpan saja teriakanku, sampai aku pamit masuk ke kamar untuk istirahat.
Bukan karena lelah mencari anak-anak kucing itu, tapi karena tiba-tiba aku tak
ingin lagi mendengar suara-suara hebat Kak Burhan dan teman-temannya dalam
rapat.
Masih
kudengar kucing-kucing kecil itu mengeong-ngeong. Seperti aku pula, yang
menangis.[]