Melihat Senja Riri Satria dari Balkon Lingua Forensik - Sofyan RH. Zaid

@kontributor 10/02/2021

MELIHAT SENJA RIRI SATRIA DARI BALKON LINGUA FORENSIK

Sofyan RH. Zaid

 


“Setiap senja selalu menjanjikan kita awal yang baru.”

-Ralph Waldo Emerson

Semacam Pengantar

Suatu malam, di Jembatan Tuas –yang menghubungkan dua negara, Malaysia-Singapura,- sesosok mayat perempuan ditemukan oleh seorang pengendara. Posisi mayat tepat berada di garis batas antara dua negara; Bagian perut ke atas tergeletak di wilayah Singapura, dan bagian perut ke bawah tergeletak di wilayah Malaysia. Saat dua orang polisi mencoba mengangkatnya; seorang memegang kepala, dan seorang lagi memegang kaki, sesuatu di luar dugaan terjadi. Ternyata, mayat perempuan tersebut terputus! Karena sudah dipotong jadi dua pada bagian pusar. Bagian kaki –benar-benar- berada di Malaysia, bagian kepala berada di Singapura. Terjadilah adu mulut antara dua detektif dari kedua negara dalam hal hak investigasi. Akhirnya dimenangkan oleh detektif Singapura, karena kepala -sebagai bagian penting tubuhnya- berada di wilayah Singapura.

Paginya, di ruang forensik pun terjadi sesuatu yang di luar dugaan. Sesosok mayat perempuan tersebut bukanlah tubuh dari seorang perempuan. Bagian perut ke atas adalah potongan tubuh seorang Jaksa berkebangsaan Singapura, sedang bagian perut ke bawah adalah potongan tubuh pembantu rumah tangga di Malaysia asal Indonesia. Anehnya lagi, potongan tubuh Jaksa tersebut –diduga- baru meninggal 6 jam sebelumnya, sedang potongan tubuh pembantu rumah tangga tersebut sudah meninggal 6 bulan yang lalu.

Peristiwa tersebut terjadi di episode pertama, film serial “The Bridge” (2018) sebagai remake dari film “Bron/Broen” (2011) yang skenarionya ditulis oleh Hans Rosenfeldt. Nah, membaca buku puisi Siluet, Senja, dan Jingga karya Riri Satria ini, saya seperti menemukan sesosok mayat dalam film tersebut. Buku ini seperti gabungan dua entitas, antara faktual dan ideal, lama dan baru, dalam dan dangkal, tubuh dan batin, serta bugil dan bercadar.

Apakah puisi atau buku kumpulan puisi itu mayat? Bisa. Saat penyair selesai menulis puisi atau menerbitkan puisinya dalam bentuk buku, bukan hanya penyairnya yang mati, karyanya pun juga mati. Kapan ia menjadi hidup? Saat Ia berjumpa dengan pembaca. Hal ini pernah disampaikan Borges, bahwa pada dasarnya semua buku adalah sampah, sampah. Ia akan berubah menjadi permata ketika di tangan pembaca.

Sebagai penemu mayat yang misterius, saya pun harus menjadi detektif. Maka, saya menginvestigasi buku ini melalui lingua forensik atau linguistik forensik. Menurut Sierra Adams dalam “Forensic Linguistics and Authorship Analysis” (2018) istilah linguistik forensik diciptakan pada tahun 1968 oleh Jan Svartvik sebagai linguistik terapan yang melibatkan hubungan antara bahasa, hukum, dan kejahatan. Kemudian menjadi sebuah disiplin ilmu di bidang akademik dan hukum. Linguistik forensik pernah digunakan dalam beberapa kasus pembunuhan tingkat tinggi, seperti kasus Ted Kaczynski (1996) dan Chris Coleman (2009).

Melalui lingua forensik dalam konteks kritik sastra, kita akan mengetahui; motif Riri Satria menulis puisi. Apa kata kunci, corak paling mewakili, dan kesalahan pada buku ini.

Apa Motif Riri Satria Menulis Puisi?

Saya sempat bertanya-tanya ketika tahu dan kenal dengan Riri Satria yang berlatar ilmu komputer dan dosen di Universitas Indonesia juga menulis puisi. Pertanyaan itu semakin kuat ketika tahu bahwa Riri juga seorang CEO sekaligus principal consultant pada Value Alignment Group, dan belakangan terdengar sedang menempuh program Doctor of Business Administration di Paris School of Business, Perancis. Saya kian tidak habis pikir, ketika tahu, bahwa Riri juga disebut maesenas sastra Indonesia atas dukungan dan bantuannya terhadap sejumlah acara sastra dan komunitas sastra. “Jangan-jangan ini orang sedang tersesat ke dunia sastra yang perlu diselamatkan,” saya pikir.

Tahun 2015 akhir, tanpa sengaja, saya membaca puisi Riri berjudul “Pujangga dan Puisi” yang ditulis 2014 di salah satu media daring sebagai berikut potongannya:

 

pernah aku berpikir

mengapa Tuhan menciptakan pujangga?

merangkai aksara seperti tak jelas asalnya

bikin pusing susah dipahami

...

kata ekonom, puisi tidak meningkatkan pendapatan nasional

ujar insinyur, puisi tidak menciptakan pesawat terbang

pikir dokter, puisi tidak menyembuhkan penyakit kanker

puisi milik pengkhayal yang menuliskan angan-angan

...

aku pun seorang insinyur

juga paham tentang ekonomi

tapi pertanyaan itu

selalu muncul di ruang pikirku

untuk apa Tuhan menciptakan pujangga?

 

pernah suatu waktu

saat menjelajahi semesta dan makna

narasi hidupku tersentuh puisi

terasa sebagai pengalaman batin

...

mengasah peka sebagai manusia

menggugah pikir dan paradigma

 

sekarang aku mengerti

sejatinya puisi itu jelmaan rasa dan peka

lebih memanusiakan kita

melalui tangan para pujangga

Membaca puisi tersebut, saya seperti mulai menemukan jawaban atas pertanyaan yang memburu selama ini. Barangkali salah satu motif Riri menulis puisi adalah untuk mengasah kepekaan sebagai manusia, menggugah pikir dan paradigma agar menjadi manusia yang bisa semakin memanusiakan manusia. Saya lega; Riri berarti tidak sedang tersesat, tetapi memang sengaja menyesatkan diri ke dunia sastra sebagai jalan keempat mencari kebenaran setelah agama, filsafat, dan sains, menurut Aristoteles.

Apa Kata Kuncinya?

Kata “senja” merupakan salah satu kata dalam bahasa Indonesia yang memang sudah puitis dari ‘sananya’. Bahkan Oliver Wendell Holmes mengklaim: cinta lebih suka senja daripada siang hari. Hampir semua penyair, barangkali pernah menulis puisi tentang senja atau paling tidak memakai kata senja dalam puisinya. Sekadar contoh: Joko Pinurbo pernah menulis puisi berjudul “Maghrib”Di bawah alismu hujan berteduh/ di merah matamu senja berlabuh. Kemudian TS Eliot: Mari kita berangkat, hanya kau dan aku/ Nanti, ketika senja beranjak menapak langit/ seperti seorang pasien yang tersandera di atas pembaringan. Demikian juga Riri Satria yang secara terang-terangan menyebut ‘senja sebagai puisi’ pada “Senja (1)”:

 

Kita menatap matahari

Suatu hari bawah senja

Diam tak ada kata-kata

Sebab senja adalah puisi

Riri menulis kata ‘senja’ sekitar 15 kali dalam buku ini, baik pada judul maupun isi puisi secara keseluruhan. Apa itu senja? Senja -secara denotatif- adalah waktu setengah gelap sesudah matahari terbenam. Senja merupakan sinonim dari magrib yang menandai pergantian siang dan malam atau gerbang menuju malam. Senja –secara konotatif- bisa berarti hari tua, dan sebagainya. Senja –secara sufistik- adalah pintu masuk untuk mendekati Tuhan secara serius.

Itu sebabnya, Allah dalam Alquran, selain pernah bersumpah “demi masa!”, “demi buah tin dan zaitun”, “demi malam”, dan sebagainya, Allah juga pernah bersumpah terkait senja:

“Maka, sesungguhnya Aku bersumpah demi cahaya merah di waktu senja! Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan). Namun mengapa kamu sekalian tidak mau beriman?” Q.S. Al-‘Inshiqaq: 16.

Dalam ilmu tafsir, ketika Allah bersumpah demi sesuatu, misalnya cahaya merah di waktu senja menunjukkan bahwa sesuatu itu penting dan diperlu diperhatikan. Ada rahasia di situ, baik sudah tersingkap atau belum. Itu sebabnya, Nabi Muhammad saw. senantiasa berdoa ketika memasuki waktu senja:

"Ya Allah, dengan memohon pertolongan-Mu kami memasuki waktu senja, dan dengan kodrat dan irodat-Mu kami hidup, dengan rahmat-Mu kami mati, dan kepada-Mu kami akan dihimpun." H.R. Abu Daud

Kemudian Allah menurunkan sebuah ayat:

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di waktu pagi dan senja dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan dunia. Dan janganlah kamu mengikuti orang-orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya itu telah melewati batas!” Q.S. al-Kahf: 28.

Bagi sebagian orang, senja dipandang sebagai waktu yang misterius dan ajaib, berfungsi sebagai jembatan antara kecerahan hari dan kegelapan malam. Lantas apa hubungan manusia dengan senja? Manusia membutuhkan senja untuk menjadi manusia seutuhnya. Di waktu senja, kita bisa melakukan tiga hal:

Pertama, tafakur, melihat dan merenungkan tanda-tanda kekuasaan-Nya: Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa. Q.SYunus: 6. Kedua, syukur, atas siang yang lewat dan malam yang datang untuk beristirahat dari dunia dan menyalakan akhirat: “Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.” Q.S. al-Furqan: 62. Ketiga, muwajaha, sebagai muara dari tafakur dan syukur. Artinya, dia tidak tertipu dengan keindahan senja. Senja ada dan indah karena ada yang menciptakan: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang menciptakannya, Jika ialah yang kamu hendak sembah.” Q.S. Fushshilat:37

Sederhanya, ibarat ada seorang sahabat memberi kita topi yang indah. Padanya kita harus berterima kasih karena topi itu. Namun jangan lupa, kita juga harus bersyukur kepada Tuhan yang telah memberimu kepala. Tanpa kepala, bagaimana topi itu bisa dipakai.

Apa Corak yang paling Mewakili?

Ada dua corak yang mungkin paling mewakili motif penyairnya dalam menulis puisi di buku ini, yakni:

Sosial Kemanusian

Dalam buku puisi tunggal ketiganya ini, ada beberapa puisi bercorak sosial-kemanusiaan yang Riri tulis. Salah satunya yang paling kuat adalah:

 

BALADA SEORANG PEREMPUAN

 

Suaramu tertahan.

Matamu menerawang.

Lalu perlahan air mata meleleh.

"Jam 4 pagi aku sudah jalan ke pasar,

menjajakan makanan kepada orang-orang,

kalau tidak, anakku tak ada jajan ke sekolah"

 

Aku menangkap nada getir dari ceritamu

Kisah yang sudah lama dipendam di masa lalu.

Hidup hanya jangkauan hari ke hari.

Kau bahkan tak sempat memikirkan cita-cita.

Kau katakan sudah lupa makna bahagia.

 

Aku kembali menatap wajahmu

Sejenak kau terdiam, membisu

Bagai menatap potongan film di depan matamu.

Saat itu jalan terasa begitu kelam.

Tetapi api semangat hidup tetap menyala.

 

"Aku harus kuat!

Aku harus berjuang!

Walau kehidupan terus menekanku!

Walau tak ada puisi indah dalam hari-hariku!"

demikian katamu lirih kepadaku

Sungguh kau perempuan tangguh.

Aku menatapmu penuh kekaguman.

Walau kau tetap tak menoleh kepadaku.

 

Kau yakin jalanmu,

menuju cahaya, bahagia.

 

Cibubur, 8 Mei 2019)

Riri menyebut puisi sosial-kemanusiaannya dalam buku ini sebagai ‘puisi dari jalanan’. Kita tahu, umumnya puisi-puisi sosial-kemanusiaan terbaca lugas-lugas saja sebagaimana puisi panggung (plastik). Demikian juga puisi Riri. Pembaca yang bermadzhab puisi kamar (prismatik), mungkin tidak suka pada puisi sosial-kemanusiaan Riri yang semacam itu. Untungnya, Riri sadar akan itu dan sudah lebih dulu membuat ‘kuda-kuda’ yang mengancam dengan menulis puisi pembelaan berjudul: “Syair dari Jalanan”Ribuan lembar syair dari jalanan/ ditertawakan kritikus sastra di singgasana ilmunya/ disebut sampah oleh dewa sastra di negeri awan// syair dari jalanan/ itu kristalisasi batiniah/ dari kehidupan yang nyata// setiap kata demi kata yang ditulis/ isinya jeritan hati yang terbungkam.

Melalui puisi tersebut, Riri seakan bilang: “Hati-hati dengan puisi sosial-kemanusiaan atau syair dari jalanan. Selugas dan sejelek apapun, ia berasal dari keringat dan air mata kemanusiaan yang ditulis dengan darah!”

Selain puisi “Balada Seorang Perempuan” di atas yang ditulis dengan ‘frame sedih dan optimisme’, Riri juga menulis puisi sosial-kemanusiaan yang romantis atau semacam ‘romantisme-sosial’, misal pada puisi:

 

DUNIA GELAP ITU

 

Ayo ke sini, kekasihku.

Kuceritakan padamu sebuah kota.

Yang semalam aku kunjungi.

Banyak tembok dan lorong gelap di sana.

Wajah-wajah dingin dan hampa lalu-lalang.

Ditemani tikus-tikus got berkeliaran.

Tak ada yang menjawab sapa dan tanyaku di sana

Semua lorong dan tembok sunyi mencekam

Tiba-tiba ada letusan senjata.

Aku tahu, itu pasti glock kaliber 19.

Tak ada yang terkejut, tak ada yang peduli.

Hanya tikus-tikus got yang kaget dan lari bersembunyi.

Entah apa yang terjadi?

Tempat itu sungguh nyata, kekasihku.

Sungguh membuat naluri malamku terjaga.

berjalan menelusuri jalan becek dan gelap.

Aku terus

Entahlah, apakah di dunia yang ini ada diksi cinta?

Aku pun berlari, pokoknya lari!

Karena aku masih rindu pelukanmu.

Dor! Ada lagi suara tembakan

 

Jakarta, 25 April 2019

Puisi tersebut merupakan puisi paling unik dalam buku ini. Riri berhasil mengisahkan sebuah peristiwa mencekam dengan cara yang romantis pada kekasihnya. Puisi tersebut mengingatkan kita pada sebuah peristiwa di awal tahun 2017 di Palestina. Ada sepasang kekasih melangsungkan akad nikah di sebuah masjid di tengah suasana perang. Sebagai pengantin, dia tetap berbulan madu di rumahnya; berpeluk berciuman di antara desingan peluru, letusan bom, dan deru kapal yang menjatuhkan rudal.

Sufistik

Selain sosial-kemanusiaan, corak kedua dalam buku ini yang paling kuat adalah corak sufistik. Buku ini dibuka dengan puisi pertama berjudul “Kisah Sebait Puisi” yang tiga larik akhirnya: entah ada makna atau tidak/ dia tak peduli/ juga tak abadi. Kemudian, diakhiri dengan puisi “Malam Tahun Baru” dengan dua larik akhir: Kepada-Mu/ semua puisi diserahkan. Dari sini, kita bisa merasakan bagaimana Riri dalam menulis puisi penuh dengan ketulusan dan kesadaran bahwa ‘puisi pun tak abadi’, hanya Tuhan yang abadi. Itu sebabnya, semua puisi yang ditulisnya diserahkan pada Tuhan. Tuhan yang Riri sebut sebagai Sang Penyair Agung dalam puisi “Masih Tentang Puisi Itu”.

Ketulusan dan kepasrahan adalah dua tema utama dalam sastra sufi-sufistik, pun dalam praktik kesufian. Tulus berarti ‘tidak berpura dan tidak berharap imbalan dari apa yang dilakukannya’. Itulah kenapa ketika seorang sufi menyembah Tuhan, dia hanya menyembah, bukan karena pahala, ingin surga, atau takut neraka. Bahkan dia tidak berharap sedikit pun agar mendapat cinta-Nya. Ketulusan inilah yang melahirkan kepasrahan. Pasrah dalam artian menyerah sepenuhnya. Mau dapat pahala, mau masuk surga, mau masuk neraka, mau dapat cinta-Nya atau tidak, dia tidak lagi peduli. Karena bukan lagi urusannya. Urusan dia hanya menyembah dan berlaku zalim pada manusia lain. Maka, apapun yang Tuhan berikan padanya, dia akan terima dengan rela.

Pada puisi-puisi lain, kian jelas corak kesufian itu terkait ketulusan dan kepasrahan, misalnya:

 

Eksistensi bagai noktah

Di ruang tak berbatas

Di tangan-Mu

Semua dipasrahkan

 

(“10.200 Meter di Atas Permukaan Laut”)

 

Kita menyerah pasrah pada Semesta

Entah ke mana gerak acak ini dibawa-Nya

 

(“Ruang Parallel”)

Kepasrahan semacam itu lahir, karena Riri sadar sepenuhnya bahwa: Dari-Mu semua ilmu pengetahuan bermula/ Kepada-Mu semua kehidupan bermuara (“Aku Direngkuh Semesta”).

Dalam hidup, ketulusan selalu mengajarkan kita rendah hati. Itu sebabnya seorang sufi yang sejati selalu merasa jauh dari Tuhan dan selalu berjuang untuk mendekat:

 

Aku merasa masih jauh dari-Mu

Walau tetap membingkai nama-Mu

Dalam jejak langkah dan bait kata

 

(“Menjelang Akhir Ramadan”)

Dalam momen semacam itu, yang bisa dilakukan Riri hanyalah: Terawang jauh/ Melampaui malam/ Menyisir kilauan cahaya/ Mencari makna/ Bersama-Mu (“Pada Suatu Malam Ramadan 2”).

Ketika ketulusan melahirkan kepasrahan dan kesadaran, kita menjadi begitu tenang menjalani hidup, bahkan dalam bahaya sekali pun, sebagaimana Riri tulis: Letusan senjata bisa mencabiut nyawaku kapan saja/ Tetapi tidak rinduku kepadamu/Apalagi kepada-Mu/ Karena itulah semua, aku hidup! (“Alienasi”).

Apa Kesalahannya?

Ada dua catatan kritis untuk buku ini: Pertama, pengulangan alusi yang tidak kreatif. Alusi semacam majas perbandingan yang merujuk –baik langsung atau tidak- seorang tokoh atau peristiwa pada karya sastra secara sekilas untuk menunjukkan adanya ‘referensi di luar teks’ puisi. Dalam hal ini -entah sadar atau tidak-, di antara alusi yang Riri buat, ada satu pengulangan alusi yang tidak berhasil. Riri menulis dua puisi dengan judul yang berbeda, tetapi ada satu bait yang konteknya nyaris serupa, misal pada puisi “Aku Direngkuh Semesta”: Aku terperangkap!/ Di tengah tarian Frijtof Capra/ Di ruang tak berbatas jagad raya/ terombang-ambing antar lintasan waktu/ Walau tak menembus dinding Planck.

Selanjutnya, Riri juga menulis puisi “Kita dan Semesta”Entah berapa jumlah bintang di jagad raya/ pusaran galaksi pun tak berhingga/ kita tak bisa menembus dinding Planck/ tapi kita mengikuti tarian Frijtof Capra/ bebas meliuk di semua penjuru semesta. Sepertinya 'tarian Fritjof Capra' dalam puisi ini, Riri mengacu pada Fritjof Capra, fisikawan Amerika kelahiran Austria, dan 'dinding planck' merujuk pada hukum radiasi planck yang ditemukan tahun 1900 oleh fisikawan Jerman Max Planck.

Kedua, Kesalahan ketik (typo) yang tidak disengaja. Goenawan Mohamad bilang; ada dua musuh utama penyair, yakni salah ketik, dan kata-kata yang klise. Perihal kata-kata klise dalam puisi di buku ini, tidak akan saya singgung, karena saya yakin, pada puisi-puisi Riri selanjutnya, kata-kata klise itu tidak akan ada lagi hanya dengan banyak membaca puisi-puisi orang lain yang bagus, sehingga pembendaharaan kata pun bertambah. Saya hanya akan menyinggung soal salah ketik yang tidak sengaja. Sebagian yang saya temukan misal pada kata: ‘imajiasi” harusnya ‘imajinasi’, dan ‘jntung’ yang harusnya ‘jantung’.

Salah ketik yang tidak sengaja akan bermasalah bagi mata pembaca. Namun ada salah ketik yang sengaja, sampai pembaca tidak menyadarinya jika itu salah. Misalnya, penyair berniat menulis; “kampung halaman kita”, saat dibaca lagi ternyata salah, yang tertulis justru: “kampung halaman kata”, kemudian dia biarkan, karena merasa toh lebih bagus. Kasus semacam ini pernah terjadi di Kompas, saat Sutardji Calzoum Bachri (SCB) menjadi redakturnya yang memuat puisi Joko Pinurbo (Jokpin) dan salah ketik. Kenyataannya, kata yang salah ketik itu justru lebih bagus dari aslinya menurut SCB, sehingga dia menulis: Berterimakasihlah pada salah ketik, karena dengan begitu puisimu menjadi lebih bagus!” kira-kira.

Semoga Penutup

Penutup, biasanya berisi kesimpulan dan saran. Kali ini saya ingin menulis saran saja. Saran bagi pembaca: Hati-hati membaca buku ini. Membaca buku ini, tidak seperti membaca soal ujian Bahasa Indonesia, tetapi seperti membaca soal ujian fisika, statistik, dan lainnya yang terkait matematika. Kenapa? Dalam buku ini, Riri kadang melalui puisinya, meninggalkan pertanyaan di benak pembaca. Kemudian pada puisi yang lain, dia meninggalkan jawabannya.

Hasil analisa lingua forensik tentang buku ini adalah sebatas ‘dugaan’, walau itu benar sekali pun. Intinya, melalui buku ini, Riri seolah mengatakan bahwa: “Sepahit-pahitnya hidup yang kita jalani, sesakit-sakitnya kenyataan yang kita rasakan, jangan pernah putus asa menjadi manusia!”

Jakarta, 1 Agustus 2019


-Sumber: Makalah Peluncuran Buku Puisi dan Pameran Foto: Siluet, Senja, dan Jingga karya Riri Satria, 2 Agustus 2019, PDS H.B Jassin, Jakarta.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »