Hantu - Yin Ude

@kontributor 4/24/2022

HANTU

Yin Ude




Lima hari sudah kampung diteror oleh bau yang tidak sedap, seperti bau kemenyan yang dibakar. Menyebarnya terutama menjelang sore hingga tengah malam. Akan hilang dari subuh sampai siang.

Adalah Suaeb yang pertama kali menciumnya. Disampaikannya kepada Yunus. Yunus mengiyakan, lalu buru-buru melakukan video call dengan Sanup, Adung, Munir, Supiati dan Bucing. Kelima orang ini juga menyatakan bahwa aromanya pekat sekali. 

“Bulu kudukku merinding!” seru Munir di seberang.

“Harus kita beritahukan ini kepada seluruh warga,” sambut Bucing. “Mereka mesti tahu bahwa ada gangguan di kampung kita!”

 Dua hari saja, pesan horor itu pun menyebar lewat mulut, juga medsos. 

Warga tak tahu dari mana asal bau itu, sebab setelah diselidiki tak ada seorang pun, dari salah satu rumah pun yang membakar kemenyan. Maka keresahan mulai merebak, mulai menguasai perasaan orang-orang, seiring bermunculannya berbagai spekulasi, yang mengerucut pada dugaan bahwa ada hantu yang sedang berkeliaran di dalam kampung.

Mudahnya warga berpikir tentang hantu tersebut sebenarnya tidak terlepas dari pengalaman-pengalaman mereka diganggu oleh mahluk halus, yang bisa dibilang sering, bahkan sudah menjadi momok sekian lama, dari generasi ke generasi. Telah banyak dari mereka yang meninggal dengan penyakit tidak wajar, yang diyakini sebagai akibat serangan hantu. Warga trauma! Baru-baru ini terulang lagi. Amir anak Zaenab, janda tepi kali, menghembuskan nafas terakhirnya bulan lalu setelah perutnya bengkak beberapa minggu. Dokter puskesmas menyatakan itu maag kronis. “Masa iya, maag sampai segitunya, bikin orang mati,” bisik warga sambung menyambung dan terus-menerus, lalu menjadi sanggahan bersama. Beberapa hari berselang, menyusul Hamid meregang nyawa di depan dukun yang tak sanggup mengobati dadanya yang sesak. Petugas medis menyebut masalah paru-paru. Tak juga bisa dipercaya. Warga ketakutan!

“Bagaimana ini, Ustad? Apa yang harus kita perbuat dengan teror bau kemenyan ini?” seru kepala dusun kepada Ustad Jafar yang baru ia temui di emper masjid.

Ustad muda itu terdiam. Tatapannya melekati wajah pria di depannya yang nampak gusar. Sedang disusunnya kalimat yang paling sederhana untuk menanggapi.

“Pak Kepala Dusun percaya bahwa benar ada hantu sedang berkeliaran di kampung kita?” tanyanya  kemudian, dengan hati-hati.

“Lalu apa lagi?” sentak kepala dusun itu. “Apa Ustad punya penjelasan lain tentang bau kemenyan itu?”

Ustad Jafar tersenyum, mencoba untuk tetap tenang di hadapan lawan bicaranya itu.

“Sebagai orang Islam kita harus meyakini bahwa ada alam gaib, termasuk keberadaan jin,” katanya. “Dan saya sendiri tidak menyangkal paham bahwa jin bisa mengganggu, dengan berbagai cara. Termasuk teror bau kemenyan ini, jika kita duga sebagai perbuatan jin, bisa saya terima. Tapi kalau bicara tentang hantu, itu saya tolak.”

Tajam tatapan kepala dusun, tiba-tiba, yang dimengerti sekali oleh Ustad Jafar sebagai reaksi ketidaksetujuan dengan kalimat terakhir yang ia lontarkan.

“Hantu itu, menurut kita adalah jelmaan ruh manusia yang sudah meninggal, yang menyerupai orang tersebut atau hewan dan lain sebagainya,” lanjut Ustad. “Sementara ruh, ketika sudah meninggalkan jasad, telah terikat di sebuah tempat di langit, yang hanya Allah yang tahu. Tidak ada istilah ruh akan kembali ke bumi, berkeliaran, bergentayangan, apalagi menyebarkan gangguan. Apa yang kita sebut hantu itu sesungguhnya adalah jin, yang menyerupakan diri dengan sesuatu, untuk tujuan-tujuannya…”

“Saya paham itu, Ustad! Usahlah ceramahi saya tentang itu!” potong kepala dusun tanpa menimbang lagi perasaan tokoh agama itu. Kentara sekali sang aparat tidak senang digurui.

“Apapun itu, jin, hantu, pokoknya itu yang telah menyebarkan teror, yang meresahkan kita semua! Masalahnya sekarang, apa yang bisa kita lakukan untuk melawannya?” sambungnya keras.

Tersungging lagi senyuman di bibir sang Ustad yang penyabar itu.

“Syukurlah jika Pak Kadus sudah paham. Saya hanya ingin kita sama-sama meyakini dulu tentang hal tadi, bahwa jin ada tapi hantu tidak ada. Ini penting sebab akan terkait dengan akidah kita sebagai orang Islam yang tidak boleh dikecoh oleh pengertian-pengertian yang keliru. 

Nah, sekarang saya jawab pertanyaan Bapak tentang apa yang harus kita perbuat untuk melawan teror bau kemenyan itu. Baiklah kita sudah sama meyakini bahwa ini adalah perbuatan jin. Maka sekarang jin itu akan kita lawan agar tidak mengganggu lagi. Tapi ingat, dan termasuk tugas saya, tugas Bapak untuk menegaskan kepada warga, bahwa yang akan kita lawan ini adalah jin, bukan hantu, agar dasar usaha kita benar, tidak keliru, tidak mengarah kepada kesyirikan nantinya.”

Kali ini suara Ustad Jafar tegas dan bernada menekan. Kepala dusun pun harus mengangguk-angguk.

“Caranya, Ustad?” 

“Dengan berdoa, memohon pertolongan Allah. Kita ruqyah kampung kita.”

Wajah kepala dusun tegak menyiratkan kepuasan dan semangat karena merasa mendapatkan solusi.

*


Tiga hari berlalu. Teror bau kemenyan tak juga reda kendati Ustad Jafar dan warga kampung telah melakukan ruqyah keliling, berdoa bersama-sama, melantunkan ayat suci Al Qur’an dari sudut ke sudut kampung. Bukan sekali dua kali, tapi berkali-kali.

Orang-orang yang penuh keyakinan dan harapan akan hilangnya gangguan mulai dihinggapi keraguan kembali. 

“Apakah jinnya terlalu kuat sehingga ruqyah kita tidak berarti, Ustad?” tanya Pak Kepala Dusun di tengah warga yang mengerumuni Ustad Jafar di balai pertemuan.

“Sabar, Bapak Ibu sekalian, sabar,” jawabnya. “Kita tidak boleh putus asa dulu. Usaha kita baru tiga hari. Belum apa-apa mungkin di pandangan Allah, sehingga bau kemenyan itu belum Ia hilangkan dari kampung kita.”

“Terus sampai berapa hari, sampai kapan?” seru Juned yang tiba-tiba menyeruak dari belakang kerumunan. “Sampai jinnya makin merajalela, sampai bukan sekedar meneror dengan bau kemenyan, tapi sudah pula dengan membunuh warga seperti yang sudah-sudah?” sambungnya dengan raut gusar.

“Insya Allah, asal kita yakin akan pertolongan Allah, kita pasti akan berhasil, cepat atau lambat!” tegas sang Ustad mencoba memutuskan tali temali kegelisahan di hati warga.

**


Siang yang terik. Warga sepertinya enggan keluar rumah karena panas. Hampir tak ada seorang pun berkeliaran.

Tapi suasana lengang itu tidak bertahan lama, sebab beberapa saat kemudian terdengar seruan-seruan dari dari arah belakang kampung yang berbatasan dengan sebuah sungai besar. 

“Toloong! Toloong! Ada anak tenggelam di sungai!”

Seruan itu datang dari Jalil yang membopong seorang anak kecil yang lunglai dan basah kuyup. Di belakangnya ada Imran mengekor. Kentara sekali kepanikan di wajah kedua lelaki dewasa itu.

“Tolooong! Saiful tenggelaam!” Kali ini Imran yang berteriak.

“Ada apa? Kenapa? Bagaimana Saiful bisa tenggelam?” Itu kata-kata yang terlontar dari mulut para warga yang segera saja muncul dari dalam rumah dan berhamburan menyongsong Jalil dan Imran.

“Tidak tahu,” jawab Jalil sambil terus berjalan. Tujuannya adalah pustu yang tinggal beberapa meter lagi.

“Kami baru pulang dari ladang jagung dan sedang menyeberangi sungai. Tiba-tiba dari dalam lubuk kami lihat ada riak-riak air dan kemudian muncul tangan yang bergerak-gerak. Sadarlah kami kalau ada seseorang yang sedang tenggelam. Kami selamatkan, tahu-tahunya dia,” tutur Imran kepada warga yang semakin banyak ikut ke pustu.

Dari sebuah gang muncul seorang wanita tiga puluhan tahun yang berlari menuju kerumunan. Ia terisak-isak, dan begitu tiba di depan Jalil, langsung menangis keras, meratap-ratap seraya mengusapi kepala dan badan anak yang masih tak sadarkan diri itu. Dia Maryam, ibunya Saiful.

“Istigfar, Bu. Tenang!” lerai Jalil. “Saiful hanya pingsan. Sebentar lagi dia sadarkan diri.”

Jalil berusaha meyakinkan Maryam walaupun ia sendiri mulai ragu tentang masih hidupnya Saiful, sebab sejak masuk kampung, tak lagi ia rasakan detak jantung  anak itu.

Dan keraguan itu terjawab setelah beberapa menit bidan pustu memeriksa Saiful di ruang perawatan. Sang bidan keluar menemui warga yang berdesakan masuk.

“Maaf, Bapak Ibu, yang sabar, ya. Saiful sudah meninggalkan kita,” katanya lirih.

Di dalam ruang perawatan pun terdengar ledakan jeritan Maryam. 

Para warga mulai riuh. 

“Saiful pandai berenang. Aneh dia bisa tenggelam begitu saja di lubuk yang airnya tenang. Pasti ada sesuatu yang lain, yang menjadi penyebabnya!”

Itu inti seruan-seruan tertahan dalam riuh di antara duka yang menyelimuti suasana. Dan dugaan itu begitu cepat menguat, menjadi keyakinan bahwa hantu yang selama ini mengganggu kampung telah menunjukkan kembali serangannya, yang lebih nyata, setelah hanya lewat teror bau kemenyan!

***


 “Apa? Pak Ustad menduga almarhum anak saya mengidap ayan?” seru Maryam dengan mata menatap tajam ke arah Ustad Jafar. “Tidak! Saiful tidak mengidap ayan! Seumur-umur, seluruh keluarga kami tidak ada yang berpenyakit ayan, Pak Ustad!”

Keras suara Maryam memecah hening malam di rumahnya yang masih dipadati para tamu takziah tiga hari pasca pemakaman Saiful. Wanita itu marah pada Ustad yang mencoba mengajak dirinya dan semua hadirin berpikir rasional tentang penyebab tenggelamnya Saiful, yang salah satunya mungkin saja anak itu mengidap ayan, penyakit yang jika penderitanya dekat apalagi bersentuhan dengan air akan kumat kejang-kejangnya.

Warga yang hadir juga saling berbisik, dan raut wajah serta pandangan mereka kentara di bawah cahaya lampu,  menyatakan ketidaksenangan pada Ustad Jafar.

“Maaf, Bu,” usap sang Ustad mencoba menenangkan Maryam. “Mungkin saya salah. Saya hanya mencetuskan salah satu dari kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal sebagai penyebab tenggelamnya Anakda Syaiful. Saya ingin kita semua berusaha berpikir rasional, tidak melulu menduga bahwa kematian almarhum, kematian saudara-saudara kita sebelumnya, dan segala yang mengganggu selama ini, adalah akibat ulah hantu.”

Ada sedikit emosi melatari suara ustad itu.

“Aalaah! Ngajak-ngajak berpikir rasional, tapi solusi yang diberikan tak ada juga gunanya!” seru Ferdi, salah seorang pemuda kampung itu. Ia sebenarnya kalangan terpelajar, sebab lulusan sebuah perguruan tinggi. Tapi menghadapi gangguan-gangguan selama ini, dan juga menyikapi musibah-musibah meninggalnya warga, ia tak menunjukkan akal terdidiknya. Ia ikut arus pemikiran semua warga. Ustad Jafar tak merasa heran.

Lelaki pemuka agama berusia muda itu menghela nafas. Dalam hatinya ia istigfar.

“Tenang, Dik Ferdi,” katanya kemudian. “Kegiatan ruqyah kampung kita belum selesai. Akan terus kita lakukan. Dengan ijin Allah, suatu saat gangguan pasti akan hilang dan kita akan aman tenteram kembali.”

Ferdi terkekeh, sinis. Warga lain pun menggeleng-geleng, menunjukkan keputusasaan untuk mengikuti kata-kata ustad.

Tiba-tiba Ustad Jafar merasakan dadanya seperti disayat. Ia sedih melihat kenyataan begitu mengakarnya keyakinan orang-orang kampung akan hantu, akan kekuatan sang Hantu yang sekian lama telah menjadi penyebab berbagai gangguan dan musibah, akan kelemahan seluruh warga dalam menghadapinya. Akan keputusasaan mereka pada kekuasaan Tuhan pula!

Ustad Jafar sesungguhnya tahu cara paling jitu untuk mengentaskan semua itu. Tahu, benar-benar tahu! Tapi untuk melakukannya ia harus terlebih dahulu menjadikan para warga tahu pula apa yang telah terjadi pada diri mereka. Sayangnya, itu tak mudah. 

“Sanggupkah aku menegaskan bahwa mereka semua sedang mengidap phantosmia, halusinasi penciuman?” teriak batinnya. “Apakah mereka akan mau menerima begitu saja penjelasanku bahwa berbagai kejadian buruk yang dialami selama ini, bahkan dari generasi ke generasi, telah menciptakan trauma dan ketakutan berlebihan di alam bawah sadar mereka, lalu itulah yang memicu halusinasi, termasuk halusinasi penciuman, mencium aroma yang sesungguhnya tidak ada?”

Ustad itu tertunduk, masih di bawah hujaman pandangan semua yang hadir. Tapi sejenak ia lupakan itu sebab dirinya sedang diserang rasa bersalah juga, yang datang mendadak pula.

Sesaat kemudian ia mengangkat wajah. Menarik nafas dalam-dalam. Sampai detik itu ia kembali harus mempercayai diri sendiri, bahwa sesungguhnya tak pernah ada aroma kemenyan. Tak ia cium sedikit pun.

****

Warga telah memutuskan: memanggil orang pintar bernama Hakum dari kampung sebelah. 

Dua hari Hakum bekerja, berkeliling kampung sambil menjunjung sebuah wadah logam berwarna kuning. Di dalamnya ada dupa yang asapnya mengepul, ada potongan ijuk serta darah ayam berbulu hitam.

Sambil berjalan kaki ia merapal mantera-mantera.

“Tenang, akan saya doakan kampung ini dari seluruh titik mata angin, agar terkunci pintu-pintu keluar hantu itu. Saya ingin membantainya dari dalam kampung,” katanya pada Pak Kepala Dusun dan semua orang yang berkumpul di balai pertemuan, saat ia akan mulai beraksi pada hari pertama.

Pada hari kedua, di tengah malam, di pos ronda, Suaeb berseru-seru membangunkan Bucing. 

“Bucing! Bucing! Sudah tidak aku cium bau kemenyan! Coba, coba kamu endus sendiri!”

Masih dengan mata enggan terbuka, Bucing menarik nafas, menghirup udara. Ia mengangguk-angguk.

“Benar, tidak ada bau itu!” katanya yakin.

Baru saja ia hendak mengirim chat ke Sanup, Adung, Munir, Supiati dan Yunus, hapenya berdering. Ada nama Ferdi muncul di layar, dengan status ‘memanggil’.

“Bau itu sudah hilang!” Begitu suara Ferdi dari dalam hape.

Keesokan hari, balai pertemuan dipadati warga yang datang mengucapkan terima kasih kepada Hakum.

“Seperti yang kami duga, Pak Hakum pasti akan bisa menuntaskan gangguan hantu itu dengan cepat,” puji Pak Kadus.

Hakum mengangguk-angguk. Raut wajahnya penuh wibawa.

Di luar, di pintu pagar halaman, Ustad Jafar berdiri. Ia ingin masuk untuk menjelaskan sesuatu.

Orang-orang menatapnya. Hampir semua orang berwajah tawar, seperti tak menganggap. Kalau pun ada yang mengangguk memberi hormat, itu pun dengan kesan terpaksa, sebelum mereka membuang muka kembali.

Ustad Jafar mengeraskan istigfar dalam hatinya. Ia merasa dirinya sudah berubah menjadi hantu.


Sumbawa Timur, 14 April 2022


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »