Mengunjungi Dua Dunia dalam Diri Seorang Penyair
Jusiman Dessirua
Pada malam berkabut tahun 2018, ke kota Banjarbaru, aku pergi mengunjungi
suatu acara sastra. Selama dua jam aku berangkat dari kota Makassar, menuju kota
yang konon adalah perkampungan tua suku Banjar di masa lalu. Kota Banjarbaru
yang di sekujur tubuhnya dibaluri air mata dan keringat para buruh penambang
intan Kalimantan.
Aku terbangun dan mendapati penginapan sepi. Pagi masih
kelabu, dan orang-orang tetap terperangkap dalam mimpi. Acara belum dimulai.
Tak lama berselang, beberapa peserta acara sastra tersebut —penulis cerpen dan
penyair—keluar dari kamar dan mulai hilir-mudik. Ada yang ke balkon lalu
memulai diskusi, beberapa menonton di ruang tunggu. Ada juga yang mulai bosan, lalu
memutuskan berjalan-jalan ke Mingguraya. Sebuah taman di tengah kota yang dipenuhi
barisan panjang penjual makanan dan minuman khas Banjar.
Aku mengikuti para peserta yang bosan dan duduk membaca
kumpulan puisi pada salah satu bangku di Mingguraya. Kopi hangat yang diantar pelayan
perempuan menggangguku. Aku menutup buku puisi, dan melempar pandang ke
sekeliling. Tak lama kemudian, seorang lelaki bercelana ripstok pendek dengan kaus
oblong bergambar naga berusaha menyebrangi jalan, dan duduk di meja para
penulis cerpen serta penyair ternama itu.
Itulah saat
pertama kali aku bertemu dengan Riri Satria. Suaranya terdengar pelan ketika separuh
mendengarkan pembicaraan penting terkait pembahasan sastra. Namun suaranya tiba-tiba meninggi dan tawanya pecah, ketika membicarakan
sesuatu yang nyeleneh. Tawa Riri Satria yang menggema, selalu berhasil mengusik
Mingguraya yang tenang, pada suatu pagi yang kelabu.
***
Apa yang kuketahui tentang Riri Satria, awalnya hanya
lelaki bercelana ripstok pendek dengan kaus oblong bergambar naga, yang ‘kebetulan’
menyukai puisi, tidak lebih. Setelah pertama kali melepas tangkap dan berjabat
tangan dengannya, kini aku tahu bahwa Riri Satria seorang analis ekonomi, dan dosen
pembimbing mahasiswa S2 bidang manajemen dan teknologi informasi, Universitas
Indonesia. Kehadirannya dalam kegiatan sastra seperti ini membuatku terkejut.
Apakah seorang dengan pola berpikir matematis dan
analisis di bidang ekonomi tertarik pada dunia kontemplatif? Puisi, semesta
falsafah yang mengingkari banyak hukum demi mencari kemungkinan lain dari sisi
terdalam jiwa manusia. Pertanyaan yang lebih penting, apakah Riri Satria memang
hidup di dua dunia? Apakah ada seorang penyair dalam dirinya?
Di akhir pertemuan kami di Banjarbaru, Riri Satria
menghadiahiku, juga beberapa teman lain, sebuah buku puisi berjudul Winter
In The Paris. Buku puisi
tunggalnya yang dia tulis di kota Paris selama musim
dingin.
Puisi adalah semesta di mana dunia diciptakan terus-menerus dan memerangkap
kita pada banyak sekali kenyataan. Kalkulasi dari kenyataan natural, kenyataan sosial,
maupun kenyataan bahasa menghasilkan apa yang sering kita sebut, ‘semesta
imajinatif’. Kepandaian seorang penyairlah yang membuat kita bolak-balik pada pelbagai
kenyataan itu.
Aku memulai membaca antologi puisi Riri Satria dan
terjebak pada semesta imajnatifnya yang manis sekaligus kelabu. Malam putih,
laut biru, serta tempat-tempat yang belum pernah kukunjungi seperti sungai
Seine.
White Night
I am lost
no questions
no memories
just with rain of words
Seperti yang ia tuliskan pada baris pertama puisi ini,
aku tersesat, pada “White Night” Riri. Meski entah yang dimaksud adalah malam dengan sapuan kabut putih, atau
malam bersalju. Aku tetap terkesan pada penggambaran malam putih ini. Aku
membuka halaman buku lagi dan mendapati dua puisi tentang sungai.
River Seine
I see the river
– where poems last forever
River Seine (2)
An orchestra, waves of melody.
Word and word, for poetry.
Whispering a love story!
Aku mencintai setiap baris dari puisi Riri Satria saat
ia menggambarkan tempat, seperti pada dua bait puisi “River Seine” di atas. Baris-baris puisi itu
seakan membuatku berada di sungai Seine. Duduk dan merasakan tiap kisah cinta
yang berdesir, serta melodi dan kata yang diucapkan setiap penyair yang berada
di sungai tersebut.
Suatu malam, ketika aku mengunjungi weblog-nya, aku membaca beberapa artikel dan berhenti pada satu artikel yang berjudul “Aku dan Puisi”. Sebuah artikel di mana Riri ingin menjelaskan tentang riwayat pertemuannya dengan puisi. Di dalam tulisan itu, ia berkata bahwa ia berada di dua dunia sekaligus. Di satu sisi, beliau hidup dalam dunia sains dan teknologi, tetapi di sisi lain, ia hidup dalam dunia puisi. Riri menutup dengan mengatakan;
‘Pengalaman yang nyata ini membuat saya merasakan bagaimana keduanya berada di dalam diri saya, yaitu menulis ilmiah dan menulis puisi.’
***
Kekurangan dari penyair di masa sekarang, adalah
mereka hanya fokus pada kekuatan imaji dan kontemplatif yang ada di dalam diri
mereka, tetapi cenderung melupakan kekuatan kebahasaan serta penggunaannya
dalam teknik penulisan. Puisi bukan selalu ‘tentang apa yang diceritakan,’ tetapi
juga tentang ‘bagaimana menceritakannya.’ Dalam bercerita kita membutuhkan
teknik, kita butuh unsur matematis, kita butuh unsur keilmiahan, dan Riri
Satria telah memiliki hal itu.
Ada satu puisi yang ingin kuceritakan kepada siapa pun yang membaca tulisan ini. Puisi tersebut mungkin
akan coba membuktikan dua dunia dalam diri Riri Satria.
The Old Wall Inside Me
There is an old wall
– deep inside me
It was there to call
– try to kill me
The wall of timeline
The wall of stories
The wall of happiness
The wall of sadness
The wall of craziness
The wall of emptiness
The wall of fear
The wall of tears
The wall of energy
The wall of graffiti
The wall of bravery
The wall of consistency
The wall of hypocrisy
The wall of heart tyranny
The wall of spirit
The wall of scream
The wall of love
The wall of you and me
Some people dare
Used to write there
Just like a nightmare
They leaved all kind
– things behind
Things made me blind
Deep inside me
All inside me
– but never really hurt me
There is an old wall
But never old enough to stall
– to hold the stories of all
There was a dark sky
– above the wall
There were lots of tears
– streaming on the wall
There was a love
– in front of the wall
It is nothing
Although you see something
The bell is ringing
The words are calling
From the wall to the ceiling
My heart keeps on rocking
The wall prevent me from falling
There is an old wall
Deep inside me
All about me
(Ubud, Bali – 26/10/2016)
Aku membaca puisi ini dari awal dan terkagum dengan struktur
penulisan puisi yang runut dan sistematis ini. Aku yakin, Riri Satria tahu menyicil informasi
lalu meremas seluruh informasi itu dalam satu hentakan. Pada bagian awal, ia
menjelaskan bahwa ada satu dinding tua dalam diri yang berkali-kali memanggil
dan mencoba membunuhnya.
the old wall inside me
There is an old wall
– deep inside me
It was there to call
– try to kill me
Pada bait selanjutnya, aku dihadapkan pada dinding-dinding
yang terdiri dari banyak sekali lapisan struktur yang mengepung kehidupan. Dinding
waktu, dinding kisah, dinding kebahagiaan, dinding kehampaan, dinding
ketakutan, dinding air mata serta berbagai dinding perasaan manusia lainnya. Sampai
pada bait ini. Bait yang dengan cermat dipilah katanya untuk melengkapi tiap
frasa dalam baris. Aku mulai menghirup aroma seorang analis yang turut andil
dalam membuat puisi tersebut.
The wall of timeline
The wall of stories
The wall of happiness
The wall of sadness
The wall of craziness
The wall of emptiness
The wall of fear
The wall of tears
The wall of energy
The wall of graffiti
The wall of bravery
The wall of consistency
The wall of hypocrisy
The wall of heart tyranny
Di bait selanjutnya Riri Satria mempertemukanku dengan
apa dan siapa saja yang berada di kaki dinding-dinding itu. Cinta, air mata,
langit gelap, serta orang-orang yang dengan begitu berani menulis di sana. Meski
seperti mimpi buruk, lagi-lagi, uraian dari penjelasan tentang ‘dinding yang
terdiri dari berbagai lapisan,’ sampai ke ‘apa dan siapa yang berada di depan
dinding terbut’ sangat rapi ibarat sebuah rumus tertentu. Hal itu membuktikan
kecermatan analisis saat mengurai dua hal penting ini. Kau mungkin terkejut, betapa
rapi dan sistematisnya bait-bait dari penggalan puisi ‘The Old Wall Inside
Me’ yang disusun di bawah ini.
Some people dare
Used to write there
Just like a nightmare
They leaved all kind
– things behind
Things made me blind
Deep inside me
All inside me
– but never really hurt me
There is an old wall
But never old enough to stall
– to hold the stories of all
There was a dark sky
– above the wall
There were lots of tears
– streaming on the wall
There was a love
– in front of the wall
Akan tetapi setelah uraian analisis tentang dinding-dinding
tua yang mempunyai banyak lapisan struktur dan apa saja yang berada di hadapan
dinding itu. Aku kembali bertemu dengan jiwa kepenyairan Riri Satria. Di bait
selanjutnya, dinding-dinding itu dijelaskan tak menghalangi dan menyakiti si
penyair. Tidak cukup memberi penyair alasan untuk tidak menuliskan seluruh
kisah. Sebab ada cinta dan air mata di sana, seperti lonceng yang berdentang
memanggilnya berulang, dan kita tahu bahwa hanya penyair yang bisa memenuhi
panggilan tersebut.
Although you
see something
The bell is ringing
The words are calling
From the wall to the ceiling
Terakhir, si penyair menutup puisi ‘The Old Wall
Inside Me’ ini dengan bait yang kontradiktif. Penyair dalam puisi tersebut seperti
seorang samurai. Seakan ingin mengakhiri seluruh penjelasan panjang di atas, dengan
satu tarian pedang. Menghunus makna dengan cepat. ‘Seluruh dinding itu
adalah bukan bagian sekaligus bagian dari dirinya.’ Sialnya, aku juga ikut
terhunus oleh bait terakhir ini.
There is an old wall
Deep inside me
All about me
Membaca Puisi di atas, membuatku pelesiran dan bolak balik pada dua
dunia. Dunia matematis serta dunia penyair. Riri Satria tahu menyicil serta
memanjangkan informasi dengan kecakapan matematis, sekaligus ia tahu cara mengentak
dan mengakhiri penceritaan dengan kecakapan puitik. Jika kelak seorang membaca buku puisi Winter in The Paris, dan bertanya padaku
tentang apa yang membuat Riri Satria, kuat dalam kepenyairan? Aku akan jawab;
karena dia punya dua dunia dalam dirinya!
April 2022.