Mudik: Memulangkan Tubuh dan Kearifan
Matroni Muserang
Taufik Ismail pernah menulis puisi dengan bail awal: demikianlah kampung halaman menyambutku/ sementara aku/ coba
melupakan setiap kenangan. Sementara Subagio
Sastrowardoyo menulis: air gemericik
terbentur di batu/ tanpa berubah, aku tak tahan menyaksikan gerak mati. Aku
ingin lari dan berteriak:”Berilah aku kota dengan bising dan kotornya”. Ada apa antara kota dan kampung? Ada mudik!
Mudik
menjadi hal penting dalam merayakan lebaran bersama keluarga di kampung halaman dengan lingkungan yang asri dan kondisi yang
sederhana dan damai. Mudik sendiri adalah pulang
ke kampung halaman. Perantau dengan kampung
halaman memiliki ikatan emosional. Perantau tidak ingin dirinya tinggal di rantau, ia akan tetap
akan memulangkan dirinya melalui mudik.
Mudik
sebenarnya bukan saja pada perantau ke kota besar, akan tetapi orang yang
mondok di pesantren pun adalah mudik. Momentum di mana “rasa” tidak bisa ditukar dengan
kekayaan. Rasa ‘kekampunghalamanan’
yang tidak ditemukan di rantau. Oleh karena itu, mudik
menjadi hal penting.
Namun
Mudik akhirnya menjadi ritual tahunan tanpa ada makna dibalik mudik itu sendiri. Padahal, di kampung tubuh kita
dilahirkan, perasaan ditempa, pendidikan pertama dikenalkan dan orang tua
selalu menunggu kita kembali. Mudik bukan kemudian,
kita membawa hal baru dari rantau untuk
dipaksakan masuk ke kampung halaman.
Di sinilah kecerdasan kita diuji, apakah
kita merantau dalam rangka untuk “membunuh kampung halaman” atau mengubah kampung halaman bahkan tidak mau tahu kampung halaman? Kecerdasan
yang dimaksud adalah
upaya kita memberi waktu
pada tubuh untuk istirahat. Apakah kampung
halaman masih pantas untuk dipertahankan? Atau kita habisi dengan oleh-oleh
dari rantau yang berupa intelektualitas, kekayaan, budaya, gaya hidup dan cara berbahasa?
Di mana kita beranggapan bahwa kampung
halaman tidak memiliki hal itu. Di sinilah
kita penting untuk membaca bahwa tubuh kita merupakan sebuah kearifan yang
dilahirkan kampung halaman. Bagaimana mungkin tubuh yang dilahirkan kampung
halaman mau kita rusak dengan materi dan kekayaan yang kita dapatkan dari
rantau?
Kampung
halaman bukan berarti panggung untuk memamerkan apa yang didapatkan di rantau,
tapi kampung halaman sebuah tempat “bertapa” untuk menemukan kearifan di kedalaman kesunyian kampung yang
“kumuh” daripada kota besar. Kearifan itu ada di kedalaman makna tubuh yang mudik. Kita akan menemukan jika
ada kemenyatuan rasa, tubuh dan pikiran untuk menuju satu titik yaitu kearifan
kampung halaman yang kini masih setia menunggu kita dalam keadaan apa pun.
Kearifan
kampung halaman itu memang tidak tampak seperti lipstick dan kekayaan, tapi ia
menjadi penyejuk dan harmoni dalam
menyeimbangkan tiga hal itu, sebab kampung halaman tempat reflektif untuk
mengetahui siapa kita dalam dinamika orang-orang
yang beribadah pada materialisme.
Kampung
halaman kita tetap harus tunduk pada kiai kampung,
sekaya apa pun, seintelek apa pun, di hadapan kiai kampung kita tetap
merunduk, mencium tangan, meminta doa. Kiai kampung kata Gus Dur adalah ulama. Kiai kampung yang terbiasa dengan “pengabdian” kepada
Allah. Kiai kampung tidak tahu kalau dengan ilmu dan kekayaan orang bisa
sombong dan bisa berpaling di antara
para kiai.
Untuk
menemukan kearifan kampung, tanyakanlah kepada
kiai kampung. Karena bagi kiai kampung, kekayaan, kebenaran, kesombongan bahkan
kebaikan adalah sesuatu yang diproduksi
dari tempat rantau.
Kampung
halaman tempat yang arif mendidik kita menjadi tubuh, yang kini kita bisa bawa
ke mana-mana. Namun tubuh akan rusak apabila sesuatu yang masuk itu barang
tidak baik. Ketidakbaikan mungkin tidak akan tampak seketika, tapi ia menjadi
bom waktu. Jika suatu saat tubuh
dipulangkan ke kampung halaman, maka tubuh juga akan memberontak dengan simbol
sakit dan rusak.
Kampung
halaman dan kearifan bisa menjadi penawar bagi jiwa-jiwa yang sakit rindu, tapi
tidak bagi orang yang sedang dalam keadaan ibadah pada material dan
kesombongan. Itulah mengapa, ada kampung dan kota. Kampung dipersepsikan
sesuatu yang buruk, negatif, dan sepi, sementara kota, itu baik, positif dan ramai.
Di
sini kemudian menjadi bias, padahal kampung itu ada karena ada kota, demikian
pun sebaliknya, oleh karenanya kampung dan kota seperti mata uang logam yang saling membutuhkan.
Sebab pulang kampung (mudik) menjadi momen ziarah, membaca ulang identitas yang
lama tidak terlihat, karena kampung menjadi penanda bagi perantau yang baru
saja sampai kampung halaman, maka dari sinilah kemudian sinergitas kampung dan
kota itu penting.
Merskipun
secara desain memang jauh berbeda kota dan kampung, mulai dari pola tidur sampai pola pikir. Lain halnya di kampung yang masih
sunyi, gaya hidup, pola persaudaraan dan pola pikir yang berbeda. Namun bukan kemudian ini harus dijadikan jurang pemisah yang
jauh, justru harus dijadikan paradigma sinergi dalam menatap dinamika gaya
hidup dan perubahan budaya.
Di
kampung kita bisa mengeja kembali nama kampung, memaknai ulang nilai-nilai di kampung,
inilah yang kemudian makna kampung lebih mendalam sehingga “rindu kampung”
adalah satu kesatuan bahwa kita harus mudik.
Maka, tubuh, kearifan, kampung sebuah iman. Sebuah keyakinan yang terus berkembang subur dalam diri tubuh dan kearifan sebagai asal-usul hidupnya. Bisa jadi, bahkan kota yang dibangun megah berdiri di depan kita, tidak punya tempat buat kita, kata Ajip Rosidi.***