Mudik: Memulangkan Tubuh dan Kearifan - Matroni Muserang

@kontributor 5/15/2022

Mudik: Memulangkan Tubuh dan Kearifan

Matroni Muserang



 

Taufik Ismail pernah menulis puisi dengan bail awal: demikianlah kampung halaman menyambutku/ sementara aku/ coba melupakan setiap kenangan. Sementara Subagio Sastrowardoyo menulis: air gemericik terbentur di batu/ tanpa berubah, aku tak tahan menyaksikan gerak mati. Aku ingin lari dan berteriak:”Berilah aku kota dengan bising dan kotornya”. Ada apa antara kota dan kampung? Ada mudik!

Mudik menjadi hal penting dalam merayakan lebaran bersama keluarga di kampung halaman dengan lingkungan yang asri dan kondisi yang sederhana dan damai. Mudik sendiri adalah pulang ke kampung halaman. Perantau dengan kampung halaman memiliki ikatan emosional. Perantau tidak ingin dirinya tinggal di rantau, ia akan tetap akan memulangkan dirinya melalui mudik.

Mudik sebenarnya bukan saja pada perantau ke kota besar, akan tetapi orang yang mondok di pesantren pun adalah mudik. Momentum di mana “rasa” tidak bisa ditukar dengan kekayaan. Rasa kekampunghalamanan’ yang tidak ditemukan di rantau. Oleh karena itu, mudik menjadi hal penting.

Namun Mudik akhirnya menjadi ritual tahunan tanpa ada makna dibalik mudik itu sendiri. Padahal, di kampung tubuh kita dilahirkan, perasaan ditempa, pendidikan pertama dikenalkan dan orang tua selalu menunggu kita kembali. Mudik bukan kemudian, kita membawa hal baru dari rantau untuk dipaksakan masuk ke kampung halaman.

Di sinilah kecerdasan kita diuji, apakah kita merantau dalam rangka untuk “membunuh kampung halaman” atau mengubah kampung halaman bahkan tidak mau tahu kampung halaman? Kecerdasan yang dimaksud adalah upaya kita memberi waktu pada tubuh untuk istirahat. Apakah kampung halaman masih pantas untuk dipertahankan? Atau kita habisi dengan oleh-oleh dari rantau yang berupa intelektualitas, kekayaan, budaya, gaya hidup dan cara berbahasa?

Di mana kita beranggapan bahwa kampung halaman tidak memiliki hal itu. Di sinilah kita penting untuk membaca bahwa tubuh kita merupakan sebuah kearifan yang dilahirkan kampung halaman. Bagaimana mungkin tubuh yang dilahirkan kampung halaman mau kita rusak dengan materi dan kekayaan yang kita dapatkan dari rantau?

Kampung halaman bukan berarti panggung untuk memamerkan apa yang didapatkan di rantau, tapi kampung halaman sebuah tempat “bertapa” untuk menemukan kearifan di kedalaman kesunyian kampung yang “kumuh” daripada kota besar. Kearifan itu ada di kedalaman makna tubuh yang mudik. Kita akan menemukan jika ada kemenyatuan rasa, tubuh dan pikiran untuk menuju satu titik yaitu kearifan kampung halaman yang kini masih setia menunggu kita dalam keadaan apa pun.

Kearifan kampung halaman itu memang tidak tampak seperti lipstick dan kekayaan, tapi ia menjadi penyejuk dan harmoni dalam menyeimbangkan tiga hal itu, sebab kampung halaman tempat reflektif untuk mengetahui siapa kita dalam dinamika orang-orang yang beribadah pada materialisme.

Kampung halaman kita tetap harus tunduk pada kiai kampung, sekaya apa pun, seintelek apa pun, di hadapan kiai kampung kita tetap merunduk, mencium tangan, meminta doa. Kiai kampung kata Gus Dur adalah ulama. Kiai kampung yang terbiasa dengan “pengabdian” kepada Allah. Kiai kampung tidak tahu kalau dengan ilmu dan kekayaan orang bisa sombong dan bisa berpaling di antara para kiai.

Untuk menemukan kearifan kampung, tanyakanlah kepada kiai kampung. Karena bagi kiai kampung, kekayaan, kebenaran, kesombongan bahkan kebaikan adalah sesuatu yang diproduksi dari tempat rantau.

Kampung halaman tempat yang arif mendidik kita menjadi tubuh, yang kini kita bisa bawa ke mana-mana. Namun tubuh akan rusak apabila sesuatu yang masuk itu barang tidak baik. Ketidakbaikan mungkin tidak akan tampak seketika, tapi ia menjadi bom waktu. Jika suatu saat tubuh dipulangkan ke kampung halaman, maka tubuh juga akan memberontak dengan simbol sakit dan rusak.

Kampung halaman dan kearifan bisa menjadi penawar bagi jiwa-jiwa yang sakit rindu, tapi tidak bagi orang yang sedang dalam keadaan ibadah pada material dan kesombongan. Itulah mengapa, ada kampung dan kota. Kampung dipersepsikan sesuatu yang buruk, negatif, dan sepi, sementara kota, itu baik, positif dan ramai.

Di sini kemudian menjadi bias, padahal kampung itu ada karena ada kota, demikian pun sebaliknya, oleh karenanya kampung dan kota seperti mata uang logam yang saling membutuhkan. Sebab pulang kampung (mudik) menjadi momen ziarah, membaca ulang identitas yang lama tidak terlihat, karena kampung menjadi penanda bagi perantau yang baru saja sampai kampung halaman, maka dari sinilah kemudian sinergitas kampung dan kota itu penting.

Merskipun secara desain memang jauh berbeda kota dan kampung, mulai dari pola tidur sampai pola pikir. Lain halnya di kampung yang masih sunyi, gaya hidup, pola persaudaraan dan pola pikir yang berbeda. Namun bukan kemudian ini harus dijadikan jurang pemisah yang jauh, justru harus dijadikan paradigma sinergi dalam menatap dinamika gaya hidup dan perubahan budaya.

Di kampung kita bisa mengeja kembali nama kampung, memaknai ulang nilai-nilai di kampung, inilah yang kemudian makna kampung lebih mendalam sehingga “rindu kampung” adalah satu kesatuan bahwa kita harus mudik.

Maka, tubuh, kearifan, kampung sebuah iman. Sebuah keyakinan yang terus berkembang subur dalam diri tubuh dan kearifan sebagai asal-usul hidupnya. Bisa jadi, bahkan kota yang dibangun megah berdiri di depan kita, tidak punya tempat buat kita, kata Ajip Rosidi.***

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »