Madu Pahit - Adi Zamzam (Nur Hadi)

@kontributor 8/21/2022

Madu Pahit

Adi Zamzam (Nur Hadi)


 

Dua perempuan itu tersentak saat terdengar bunyi benda dibanting dari ruang tengah. Entah helm, atau panci?

“Apa di rumah ini ada tuyul?” suara parau itu terdengar marah.

“Ada apa ta, mBak?” suara itu berbisik, khawatir kedengaran yang di dalam.

Zumaroh acuh. Masih menghitung jumlah kantong sak sesuai pesanan.

Suara parau itu masih meracau tak karuan. Dari soal uang belanja sampai ‘pelayanan’. Hingga kemudian menghilang setelah Avanza putih yang parkir depan rumah melaju kencang dengan decit nyaring.

Sepeninggal pelanggannya, Zumaroh berulangkali mengelus dada. Biar saja, biar saja, batinnya. Jika yang ada dalam perempuan hanyalah rumah, sementara yang ada dalam laki-laki hanyalah permainan, maka pasti dia akan pulang lagi. Bukankah semua anak yang sudah capek bermain pasti akan pulang ke rumah?

*          *          *

 

Isya baru saja usai. Cahaya di ufuk barat telah sempurna tertelan gelap. Zumaroh menatap ujung jalan dengan cemas. Mencopot mukena yang masih dikenakan. Telinganya mulai mendengar riuh musik dan gaduh keramaian.

“Pak Lurah sudah ada di sana sejak sebelum Magrib, lho, Mbak. Kok kayaknya dirimu enggak tertarik ke sana juga?” suara dari belakang itu sedikit mengagetkannya.

“Ini lho, Dhe. Sudah sedari sore Arif ke sana, tapi kok ya ndak balik-balik,” sahutnya.

“Mungkin ikut bapaknya.”

“Ah, enggak lah, Dhe. Tadi dia bilang cuma cari mainan.”

“Yang paling ramai di bagian depan sana. Bapaknya tadi kulihat juga di sana.”

“Ya sudahlah, Makdhe. Aku mau makan dulu. Sudah lapar,” menemukan alasan yang tepat untuk menghindar.

“Lho, Bu Kades bener ndak ikut nonton ke sana? Kabumi itu cuma setahun sekali lho. Dengar-dengar, di musim korona ini ada pelarangan bikin ramai-ramai ta? Cuma Pak Lurah lho yang berani kayak begini. Aku sebenarnya ya senang sekali ada keramaian kayak gini. Tapi ya cemas juga, bagaimana kalau nanti para polisi datang? Aku ya khawatir kalau suamiku kena garuk, padahal cuma ikut-ikutan gelar lapak. Mumpung ada keramaian.”

Zumaroh malas menanggapi lantaran memang sudah lapar. Ia juga hafal betul tabiat tetangga satu ini—semakin keran dibuka, semakin meluber airnya ke mana-mana. Untunglah sebuah suara yang memanggilnya kemudian menghentikan ocehan itu.

Merasa tak mendapatkan respons yang baik, perempuan paruh baya itu akhirnya kembali lagi menuju teras rumahnya. Menonton lalu-lalang orang yang lewat depan rumahnya.

“Aku beli ini, Mak,” Arif menyodorkan mobil-mobilan yang baru saja dibeli. “Kembaliannya diminta Kakak semua…”

“Mau dibuat apa?” Zumaroh sedikit kesal. Teringat kemarahan lelakinya tadi sore. Juga setidaknya, ia harus bisa menjual lima ratus lembar kantong sak gabah demi mendapatkan uang sejumlah itu. Di tengah persaingan dengan dua toko lain yang sudah mapan dan punya pelanggan tetap.

Mestinya, Zumaroh memang bisa memakai nama suaminya untuk menarik pembeli. Toh cukup banyak orang yang masih sungkan dan hormat. Tapi, ia tidak mau. Ia tidak mau terus-menerus terperangkap dalam keadaan seperti ini. Ia harus bisa terbang cari makan sendiri.

Salah satu alasannya adalah hal yang membuatnya malam itu sulit tidur dan hanya bisa membolak-balikkan badan di atas pembaringan. Bukan saja anak sulungnya yang belum juga pulang. Tapi suara ingar-bingar musik dangdut itu. Suara klenongan gamelan telah berganti rampak musik dangdut dan riuh-rendah para lelaki yang sedang asyik berjoget ria.

Dulu, Slikin tidaklah seperti itu. Ia adalah lelaki yang penuh perhatian. Perkenalannya dimulai ketika mereka berdua sama-sama berada dalam kelompok KKN yang bertugas di sebuah desa lereng Muria. Semua kebutuhan Zumaroh tak ada yang luput darinya. Sampai ke mana-mana dia mau antar. Zumaroh diratukan. Hingga akhirnya ada hati yang terjerat.

Apakah memang semua lelaki seperti itu?

Tidak. Zum tidak ingin semua lelaki menjadi seperti itu. Setidaknya darah dagingnya sendiri. Dan itulah yang merasukinya kemudian.

“Kamu di rumah saja ya. Emak mau cari Kakak dulu,” ujarnya kepada si bungsu yang terbangun saat ia membuka pintu depan.

Berisik musik dangdut dan orang-orang yang hanyut olehnya masih terdengar dari arah balai desa saat kedua mata Zum nyalang bergerilya di dalam bayang kegelapan. Hingga akhirnya Zum menemukan empat lelaki tanggung yang tergeletak tanpa daya di teras SD—tak jauh dari pusat keramaian di balai desa. Tiga botol minuman keras tergeletak tak jauh dari mereka.

“Ayo pulang, Nang. Mau jadi apa kalau kelakuanmu kayak begini?” coba menyeret lengan anaknya sekuat tenaga.

Saat remaja tanggung itu menggeliat dan meracau tak karuan, bau tak sedap langsung menguar dan membuat kepala Zumaroh pusing. Tak mau menyerah begitu saja. Zumaroh menarik paksa pemudanya itu.

“Suruh pulang juga itu Bapak di sana!” bentak pemuda itu tiba-tiba, membuat sebuah jantung serasa hampir copot.

Kedua mata Zumaroh memang lantas beralih ke arah ingar-bingar lampu dan suara musik di sebelah selatan kompleks sekolahan. Ada dua orang yang naik ke panggung demi menyawer biduan. Di bawahnya, puluhan orang berdesak-desakan sambil joget. Dan Zumaroh memang merasa ada miliknya yang tersesat di sana.

Tiba-tiba saja udara dingin berembus mencubit kulit Zumaroh. Saat mendongak ke arah langit yang dihiasi kilatan-kilatan cahaya, ia berdoa, semoga hujan turun sederas-derasnya, membubarkan kerumunan itu dengan segera.

***

 

Semalam hujan deras sekali. Bau tanah basahnya membuat tubuh Zumaroh terasa segar sekali. Dadanya seakan penuh dengan semangat baru dan gelora untuk lebih giat dalam hidup. Meski kemudian kembali mengempis begitu ia melihat putra sulungnya yang tertatih pulang dari mati surinya. Tubuh degilnya terlihat menggigil.

“Cepatlah mandi dan makan sana,” tegur Zumaroh saat berpapasan. Sapaan yang tak bersambut.

“Mau cari siapa, Buk? Sudah enggak ada orang lagi di sana,” beberapa menit kemudian gantian dia yang mendapatkan sapaan. Pak Dul, tukang jaga sekolahan yang merangkap sebagai seksi kebersihan balai desa.

Pandangan Zumaroh memang tak lagi menemukan apa-apa lagi di sana—selain tenda, deretan kursi berantakan, dan sampah yang bertebaran. Entah kapan rombongan orkes dan wayang kulit itu pulang. Zumaroh juga tak tahu persis kapan hujan reda setelah ia kalah dengan gigil dan kantuk.

“Nanti pasti akan saya bersihkan, Buk. Saya sudah dipesani Pak Kades, tadi. Sekarang saya mau bersih-bersih sekolahan dulu,” seolah merasa terbebani dengan keberadaan Zumaroh.

“Oh, enggak apa-apa, Pak,” mencoba tersenyum. Juga kepada pertanyaan-pertanyaan yang hilir-mudik dalam benaknya.

Lelaki itu pasti akan pulang, setelah capek, bosan, dan kehabisan modal, batinnya. Sebelum membalikkan tubuh.

***

 

Mula-mula, pemandangan itu membuat kepala Zumaroh terasa pening. Sebelum kemudian angin yang membawa harum melati dan kenanga membuatnya merasakan ketenangan, bak bius. Bukan deretan pedagang bunga di sepanjang pinggiran Pasar Bintoro yang menyita penglihatannya, tapi sepasang lansia yang tertatih ke arah sebuah bank.

Zumaroh tersenyum ketika si nenek memarahi si kakek yang langkahnya begitu lelet bak anak yang baru bisa jalan. Bentaknya lagi, mengapa tabungan itu tak dialihkan atas namanya saja, sehingga tak merepotkan begitu. Bentaknya lagi, tak usahlah nanti mampir-mampir beli ini itu. Bentaknya lagi, harusnya si kakek masih bisa cari duit sehingga tak mengandalkan uang pensiun saja.

Tapi pemandangan itu tiba-tiba langsung berubah tatkala suara pedagang kantong sak menerobos liang telinga Zumaroh, “Dia itu lurahnya Desa Pucangsari lho, Mbak. Dan itu gendhakannya,” sambil menata sak pesanan.

Zumaroh tergeragap, ketika sepasang lansia tadi dengan ajaibnya telah berubah menjadi sepasang laki-laki dan perempuan yang tampak mesra. Ia pun memilih untuk menyegerakan transaksi itu. Yang bergejolak di dalam dada begitu cepatnya memanggil genangan di kedua mata. Beruntung bakul sak di hadapannya ini belum tahu siapa sebenarnya Zumaroh.

***

 

Seharian itu tak hanya sekali dua Zumaroh mendapatkan pertanyaan, apakah suaminya sudah pulang? Bukan lantaran mereka membutuhkan stempel Kades seperti biasanya. Zumaroh kemudian mengetahuinya ketika ia sedang berniat menjemput si bungsu dari sekolahnya.

“Yaa, bagaimana mau maju kalau jabatannya cuma dijadikan sebagai pekerjaan sampingan?” satu suara, yang bisa Zumaroh duga itu siapa.

“Apalagi sekarang dia sibuk dengan madunya,” sebuah suara menyambung, yang Zumaroh juga tahu itu siapa.

“Eh, yang sinden apa biduannya sih? Orang mana?” sahut yang lain lagi.

“Yang sinden. Orang Sayung.”

“Apa Bu Kades tahu?”

Zumaroh tak betah lagi. Kedua kakinya refleks mundur sebelum kemudian memutuskan kembali pulang.

***

 

Tiga sore berikutnya, lelaki itu pulang dengan wajah pucat dan muntah-muntah. Mungkin masuk angin, mungkin juga perutnya penuh dengan minuman keras. Mungkin dia sudah capek, mungkin juga dia sudah bosan, atau mungkin juga dia masih ingat bahwa duapuluh empat bahu sawah bengkok desa jatahnya akan dipanen serentak dua hari lagi—dan itu berarti duit, duit, duit (orang yang main kan pasti butuh duit). Tapi Zumaroh tak peduli. Bahkan keluarga besarnya pun sudah menyerah. Dan ia pun tak akan mengurusi sesuatu yang bukan haknya.

Lagipula Zumaroh sudah bersiap hendak pergi ke rumah Budhe Aida yang kemarin sudah sedia meminjami modal untuk sewa kios di pasar.

Zumaroh mencium pipi si bungsu sebelum kemudian menaikkannya ke atas sepeda motor. “Kita tengok Kakak di rumah temannya dulu ya?” niat Zumaroh memastikan bahwa sulungnya benar-benar ada di sana.

Sementara dari dalam rumah masih terdengar suara orang muntah-muntah. Zumaroh membatin, semoga saja terus seperti itu agar ia tak bisa berteriak-teriak memanggil atau marah-marah. Mengapa yang manis-manis diserahkan ke orang lain, sementara yang pahit-pahit dipulangkan kepadanya? Padahal dialah yang sudah bercapek-capek mengurus rumah dan selalu berusaha menghangatkan suasana di dalamnya.* 

Demak, 2020-2022


Catatan:

Kabumi, Pesta hajatan desa, seusai panen raya.

Nang, Kenang, panggilan anak laki-laki



Share this

Related Posts

Previous
Next Post »