KRITIK DAN SATIRE DALAM PUISI IMAM BUDIMAN
Thomas Elisa
Salah satu fungsi menarik yang diemban puisi adalah fungsi satire.
Fungsi satire digunakan untuk memberikan sebuah bentuk sindiran dan kritikan
terhadap sesuatu persoalan. Tujuannya adalah merangsang daya kritis masyarakat
dan merefleksikan sekaligus mengevaluasi kembali sebuah duduk perkara. Sepanjang
sejarah sastra Indonesia, banyak kita temukan puisi yang memiliki tujuan utama
memberikan sindiran dan kritikan terhadap kehidupan. Ambil contoh puisi-puisi milik
W.S Rendra dalam Balada Orang-Orang
Tercinta yang memuat banyak kritik dan satire terkait dengan problem sosial
seperti dimensi politik, kekuasaan, keagamaan, dan persoalan hidup masyarakat. Lebih
lanjut, fungsi satire sebuah puisi juga bisa kita temukan dalam puisi-puisi
milik Wiji Thukul, Mustofa Bisri, dan lain-lain. Petikan puisi W.S Rendra berikut
dapat menjadi contohnya:
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang sengsara.
Kurang cantik dan agak tua).
Jam dua-belas siang hari.
Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak mega.
Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.
Tanpa koper.
Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang muka.
Sempoyongan ia berjalan.
(Nyanyian Angsa, W.S Rendra)
Kutipan puisi Nyanyian Angsa menyampaikan sebuah
sindiran dan kritik sosial dengan keras mengenai problem masalah masyarakat
terkait dengan wanita tunasusila. Problem ini terkadang disikapi masyarakat
secara tidak seimbang dengan menyudutkan pelaku wanita tunasusila. Puisi W.S
Rendra Nyanyian Angsa hadir sebagai bentuk satire dan kritik untuk membuat kita
berpikir ulang dari sudut pandang lain yaitu sebagai wanita tunasusila dengan
problem yang berat dan perlu dicarikan solusi jalan keluarnya. Puisi lain milik
K.H. Mustofa Bisri atau Gus Mus juga menampilkan hal serupa dalam puisinya yang
berjudul Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus
Bagaimana:
Kau ini bagaimana
Kau bilang aku merdeka, kau
memilihkan untukku segalanya
Kau suruh aku berpikir, aku
berpikir kau tuduh aku kapir
Aku harus bagaimana
Kau bilang bergeraklah, aku
bergerak kau curigai
Kau bilang jangan banyak
tingkah, aku diam saja kau waspadai
Kau ini bagaimana
Kau suruh aku memegang prinsip,
aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
Kau suruh aku toleran, aku
toleran kau bilang aku plin-plan
Aku harus bagaimana
(Kau Ini Bagaiamana atau Aku Harus Bagaimana,
Gus Mus)
Penggalan di atas menampilkan sebuah sindiran sosial dalam dimensi
kehidupan demokrasi. Larik aku bergerak
kau curigai, aku diam kau waspadai, aku toleran kau bilang plin-plan menunjukkan
sebuah sikap resah tentang kebebasan ekspresi yang mulai diawasi dan
mendapatkan perhatian ketat. Kritik yang disampaikan menggugah nalar kritis
kita dan mengajak kita mengkaji ulang tentang kehidupan demokrasi, ekspresi,
dan kebebasan yang berlangsung. Selain itu, puisi di atas mengajak untuk saling
berefleksi terhadap posisi masing-masing dalam upaya menghasilkan demokrasi
yang sehat.
Sindiran dan kritikan terhadap segala sesuatu yang ada di sekitar kita
memang sebuah hal yang penting guna membuat hidup ini menjadi kian baik.
Lebih-lebih, kritikan dan sindiran yang kita lakukan berkaitan dengan hajat
hidup orang banyak. Hal ini amat disadari oleh para penyair kita tak terkecuali
oleh Imam Budiman. Dalam sajaknya berjudul Draft.co
yang terbit di Sastramedia.com (7/31/2022) memuat unsur satire yang cukup unik
dan menarik bila kita amati. Kita bisa memulai dari puisi pertama:
doc.satu
Aku
daftar isi tanpa halaman
Merawat
setiap bab tubuhmu
Tanpa
mengenal
Pengantar
Sebuah
Prolog
Atau profil
Pengarang
Puisi di atas memantik
sebuah satire tentang pola pikir manusia dalam dunia digital. Kita semua
menyadari arus digital informasi yang begitu cepat kadangkala membuat kita
terseret dan tersesat oleh pragmatisme hidup yang serba praktis, cepat, dan instan
sehingga kita mudah sekali untuk melupakan sebuah hal. Judul di atas
menyiratkan sebuah kritik yang penuh sindiran terhadap masyarakat digital yang
mudah melupakan sesuatu hal atau gagal menyelesaikan sebuah hal tetapi tidak
mencoba berhenti sejenak untuk memperbaiki. Aku
daftar isi tanpa nama merujuk sebuah konsep dan konteks sebuah perencanaan
yang tak matang dan tak berlanjut. Bahkan, kritik tersebut juga untuk kita para
pelaku dunia sastra yang kadangkala memiliki ekspektasi, harapan, dan keinginan
besar untuk melahirkan sebuah karya monumental tetapi urung menyelesaikannya.
Hal itu ditegaskan oleh Imam Budiman pada diksinya tanpa mengenal pengantar, prolog, atau profil pengarang.
Sebuah satire untuk kita sebagai masyarakat digital dan pelaku sastra digital
yang terkadang punya banyak keinginan kuat tetapi urung menyelesaikannya.
Puisi berikutnya juga
masih menyimpan pesan satire terhadap masyarakat era digital secara khusus
tentang kebiasaan melakukan sesuatu hal tanpa referensi, sumber akurat dan
akhirnya mudah terombang-ambing arus informasi yang mengacaukan. Berikut
bait-bait puisi kedua berjudul doc.dua:
doc.dua
aku indeks tanpa rujukan
tak
berkandang, tak tahu
jalan
menawar
pulang
hanya
teks
kosong
Frasa indeks tanpa rujukan menandakan adanya
sebuah kritik atas habitus masyarakat yang tidak pernah melakukan konfirmasi
ulang terkait sebuah informasi ataupun peristiwa. Fenomena ini menjadikan
sebuah perhatian sekaligus pusat sindiran oleh penulis. Dampak yang ditimbulkan
dari kebiasaan buruk ini tersampaikan dalam frasa
hanya teks kosong. Artinya, kebiasaan buruk dalam berliterasi informasi
membuat hadirnya individu dan masyarakat menjadi semacam teks kosong tanpa isi.
Selanjutnya, puisi ketiga juga mengemas kritik terhadap masayarakat digital
secara apik. Hal yang dikritisi adalah budaya malas yang kadang menjadi efek
negatif masyarakat digital karena segala kemudahan membuat mereka
dininabobokkan. Hal tersebut dapat kita lihat pada puisi berjudl doc. tiga:
doc tiga
aku sebuah manuskrip
yang lupa dirapikan
sampai hari ini
Sajak ketiga di atas
mengundang sebuah sindiran untuk berefleksi mengenai rasa malas yang menjadi
kebiasaan buruk. Masyarakat digital hidup dalam segala hal yang mudah, cepat,
dan serba menyenangkan. Namun, kemudahan dan kenyamanan kadang membuat terlena.
Rasa malas yang muncul merupakan bagian dari keadaan serba mudah dan enak
tersebut. Hal ini yang ditangkap dengan baik oleh penulis sebagai sesuatu yang
perlu dikritisi secara mendalam. Larik aku
sebuah manuskrip yang lupa dirapikan sampai hari ini menandakan sebuah
bentuk sindiran rasa malas yang menyerang membabibuta.
Akhirnya, puisi-puisi
Imam Budiman ini menjadi sebuah cermin yang menghidupkan kembali peranan puisi
sebagai media untuk menyampaikan satire dan kritik sosial khususnya untuk
masyarakat digital. Selain itu, sebuah pesan-pesan bagi siapa saja yang
bergelut dalam era sastra digital untuk selalu tidak berhenti pada ide, tidak
terjebak dalam arus informasi yang salah, dan tidak diliputi rasa malas.
Pesan-pesan sederhana ini amat penting untuk direfleksikan dan ditindaklanjuti.