Kritik dan Satire dalam Puisi Imam Budiman - Thomas Elisa

@kontributor 8/21/2022

KRITIK DAN SATIRE DALAM PUISI IMAM BUDIMAN

Thomas Elisa

 


Salah satu fungsi menarik yang diemban puisi adalah fungsi satire. Fungsi satire digunakan untuk memberikan sebuah bentuk sindiran dan kritikan terhadap sesuatu persoalan. Tujuannya adalah merangsang daya kritis masyarakat dan merefleksikan sekaligus mengevaluasi kembali sebuah duduk perkara. Sepanjang sejarah sastra Indonesia, banyak kita temukan puisi yang memiliki tujuan utama memberikan sindiran dan kritikan terhadap kehidupan. Ambil contoh puisi-puisi milik W.S Rendra dalam Balada Orang-Orang Tercinta yang memuat banyak kritik dan satire terkait dengan problem sosial seperti dimensi politik, kekuasaan, keagamaan, dan persoalan hidup masyarakat. Lebih lanjut, fungsi satire sebuah puisi juga bisa kita temukan dalam puisi-puisi milik Wiji Thukul, Mustofa Bisri, dan lain-lain. Petikan puisi W.S Rendra berikut dapat menjadi contohnya:

Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang sengsara.
Kurang cantik dan agak tua).

Jam dua-belas siang hari.
Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak mega.
Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.
Tanpa koper.
Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang muka.
Sempoyongan ia berjalan.

 

                                    (Nyanyian Angsa, W.S Rendra)

            Kutipan puisi Nyanyian Angsa menyampaikan sebuah sindiran dan kritik sosial dengan keras mengenai problem masalah masyarakat terkait dengan wanita tunasusila. Problem ini terkadang disikapi masyarakat secara tidak seimbang dengan menyudutkan pelaku wanita tunasusila. Puisi W.S Rendra Nyanyian Angsa hadir sebagai bentuk satire dan kritik untuk membuat kita berpikir ulang dari sudut pandang lain yaitu sebagai wanita tunasusila dengan problem yang berat dan perlu dicarikan solusi jalan keluarnya. Puisi lain milik K.H. Mustofa Bisri atau Gus Mus juga menampilkan hal serupa dalam puisinya yang berjudul Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana:

Kau ini bagaimana

Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya

Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kapir

 

Aku harus bagaimana

Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai

Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai

Kau ini bagaimana

 

Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku

Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan

Aku harus bagaimana

                                    (Kau Ini Bagaiamana atau Aku Harus Bagaimana, Gus Mus)

           

Penggalan di atas menampilkan sebuah sindiran sosial dalam dimensi kehidupan demokrasi. Larik aku bergerak kau curigai, aku diam kau waspadai, aku toleran kau bilang plin-plan menunjukkan sebuah sikap resah tentang kebebasan ekspresi yang mulai diawasi dan mendapatkan perhatian ketat. Kritik yang disampaikan menggugah nalar kritis kita dan mengajak kita mengkaji ulang tentang kehidupan demokrasi, ekspresi, dan kebebasan yang berlangsung. Selain itu, puisi di atas mengajak untuk saling berefleksi terhadap posisi masing-masing dalam upaya menghasilkan demokrasi yang sehat.

Sindiran dan kritikan terhadap segala sesuatu yang ada di sekitar kita memang sebuah hal yang penting guna membuat hidup ini menjadi kian baik. Lebih-lebih, kritikan dan sindiran yang kita lakukan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Hal ini amat disadari oleh para penyair kita tak terkecuali oleh Imam Budiman. Dalam sajaknya berjudul Draft.co yang terbit di Sastramedia.com (7/31/2022) memuat unsur satire yang cukup unik dan menarik bila kita amati. Kita bisa memulai dari puisi pertama:

            doc.satu

Aku daftar isi tanpa halaman

            Merawat setiap bab tubuhmu

                        Tanpa mengenal

                        Pengantar

                        Sebuah

            Prolog

             Atau profil

      Pengarang

            Puisi di atas memantik sebuah satire tentang pola pikir manusia dalam dunia digital. Kita semua menyadari arus digital informasi yang begitu cepat kadangkala membuat kita terseret dan tersesat oleh pragmatisme hidup yang serba praktis, cepat, dan instan sehingga kita mudah sekali untuk melupakan sebuah hal. Judul di atas menyiratkan sebuah kritik yang penuh sindiran terhadap masyarakat digital yang mudah melupakan sesuatu hal atau gagal menyelesaikan sebuah hal tetapi tidak mencoba berhenti sejenak untuk memperbaiki. Aku daftar isi tanpa nama merujuk sebuah konsep dan konteks sebuah perencanaan yang tak matang dan tak berlanjut. Bahkan, kritik tersebut juga untuk kita para pelaku dunia sastra yang kadangkala memiliki ekspektasi, harapan, dan keinginan besar untuk melahirkan sebuah karya monumental tetapi urung menyelesaikannya.

Hal itu ditegaskan oleh Imam Budiman pada diksinya tanpa mengenal pengantar, prolog, atau profil pengarang. Sebuah satire untuk kita sebagai masyarakat digital dan pelaku sastra digital yang terkadang punya banyak keinginan kuat tetapi urung menyelesaikannya.

            Puisi berikutnya juga masih menyimpan pesan satire terhadap masyarakat era digital secara khusus tentang kebiasaan melakukan sesuatu hal tanpa referensi, sumber akurat dan akhirnya mudah terombang-ambing arus informasi yang mengacaukan. Berikut bait-bait puisi kedua berjudul doc.dua:

            doc.dua

            aku indeks tanpa rujukan

            tak berkandang, tak tahu

                        jalan menawar

                        pulang

                        hanya

            teks

            kosong

             Frasa indeks tanpa rujukan menandakan adanya sebuah kritik atas habitus masyarakat yang tidak pernah melakukan konfirmasi ulang terkait sebuah informasi ataupun peristiwa. Fenomena ini menjadikan sebuah perhatian sekaligus pusat sindiran oleh penulis. Dampak yang ditimbulkan dari kebiasaan buruk ini tersampaikan dalam frasa hanya teks kosong. Artinya, kebiasaan buruk dalam berliterasi informasi membuat hadirnya individu dan masyarakat menjadi semacam teks kosong tanpa isi. Selanjutnya, puisi ketiga juga mengemas kritik terhadap masayarakat digital secara apik. Hal yang dikritisi adalah budaya malas yang kadang menjadi efek negatif masyarakat digital karena segala kemudahan membuat mereka dininabobokkan. Hal tersebut dapat kita lihat pada puisi berjudl doc. tiga:

            doc tiga

aku sebuah manuskrip

yang lupa dirapikan

sampai hari ini

            Sajak ketiga di atas mengundang sebuah sindiran untuk berefleksi mengenai rasa malas yang menjadi kebiasaan buruk. Masyarakat digital hidup dalam segala hal yang mudah, cepat, dan serba menyenangkan. Namun, kemudahan dan kenyamanan kadang membuat terlena. Rasa malas yang muncul merupakan bagian dari keadaan serba mudah dan enak tersebut. Hal ini yang ditangkap dengan baik oleh penulis sebagai sesuatu yang perlu dikritisi secara mendalam. Larik aku sebuah manuskrip yang lupa dirapikan sampai hari ini menandakan sebuah bentuk sindiran rasa malas yang menyerang membabibuta.

            Akhirnya, puisi-puisi Imam Budiman ini menjadi sebuah cermin yang menghidupkan kembali peranan puisi sebagai media untuk menyampaikan satire dan kritik sosial khususnya untuk masyarakat digital. Selain itu, sebuah pesan-pesan bagi siapa saja yang bergelut dalam era sastra digital untuk selalu tidak berhenti pada ide, tidak terjebak dalam arus informasi yang salah, dan tidak diliputi rasa malas. Pesan-pesan sederhana ini amat penting untuk direfleksikan dan ditindaklanjuti.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »