Tangis
Fahrur Rizqi
“Tangis anak kecil itu wajar, tidak apa-apa.
Menjadi apa-apa ketika yang menangis adalah mereka yang sudah dewasa.”
- Pak Jarwo, Penjual Mie Ayam.
Ibeng, 2003
Di
Purbalingga, khususnya desa Baleraksa yang faktual dan kutahu pasti, bayi yang
baru lahir dan belum diberi nama untuk sementara akan dipanggil “Ibeng”.
Bagaimana asal-usul atau filosofi yang ingin disampaikan oleh para sesepuh
belum kuketahui, yang jelas seisi kampung akan beramai-ramai mendatangi rumah
di mana Ibeng lahir. Tangisnya merupakan suatu panggilan bagi anak-anak sampai
kakek nenek. “Mbah Dukun” yang dengan cekatan menangani persalinan akan menjadi
tokoh penting dalam setiap kelahiran di desa kami. Keahliannya secara
turun-temurun akan diwariskan kepada generasi penerus yang biasanya adalah
perempuan. Aku sendiri tak tahu bagaimana algoritma tersebut bekerja, pasti ada
saja salah satu atau salah dua keturunan beliau yang akan mewarisi ilmunya dan
menjadi ahli kandungan, persalinan, bayi, juga ibu baru. Tapi itu dulu, sebelum
teknologi canggih berkembang pesat seperti sekarang dan kita lebih mengenal
Bidan atau Dokter sebagai ahli itu semua.
Pada
suatu pagi di salah satu rumah warga, lahirlah seorang Ibeng laki-laki. Tak
seperti cerita-cerita kolosal yang sering kita dengar atau saksikan, bayi ini hanyalah
anak biasa dari orang tua yang biasa juga. Bukan anak dalam legenda yang ketika
sudah dewasa akan diberi tahu rahasia super penting dan menumpas kejahatan
angkara murka. Kelahiran tersebut tak diiringi hujan badai dan petir menyambar,
ia lahir dengan selamat secara normal dan lancar. Sebagian besar berkat bantuan
Mbah Dukun dari RW sebelah, bagian besar lainnya tentu berkat rahmat Tuhan Yang
Maha Esa. Seperti ibeng-ibeng lain pada umumnya, ia keluar dari rahim bu Toer
dengan berlumur darah. Untuk pertama kalinya ia menghirup udara Bumi secara
langsung.
Ibeng
menangis, semua orang bahagia penuh suka cita.
***
Je’ung, 2009
Warga
desa datang dan pergi silih berganti ke rumah tetangga yang semalam meninggal
dunia. Ibu-ibu datang melayat membawa tenggok berisi beras dan
beberapa keperluan dapur lainnya, sedangkan bapak-bapak dan para bujangan
bergotong royong membangun tenda hajatan untuk tahlilan selama tujuh
hari kedepan. Masih segar dalam ingatan, beberapa hari yang lalu kami bertemu
di warung depan rumah dan ia membeli sabun mandi. Tak kusangka kakek itu sudah
meninggal dunia sekarang.
Rumah
duka tersebut terletak persis di tepi jalan menuju TK tempatku sekolah. Begitu
mendengar pengumuman dari pak Kadus (kepala dusun) bahwa ada orang yang
meninggal dunia, mamake segera mencari beberapa rempah dan membuat sambetan,
mengoleskannya di dahi dan tumitku. Mba Nur yang lebih tua enam tahun dariku
mengoleskan sendiri ramuan tersebut. Ramuan yang kukenal sebagai penangkal
makhluk halus; agar hantu, arwah, atau roh-roh jahat tak berani mendekati kami
ketika ada orang yang meninggal. Namun khasiat tersebut sebatas dugaanku belaka
berdasar pengamatan sejauh ini. Manfaat sebenarnya dari sambetan belum
kuketahui pasti baik secara medis maupun spiritual meski sekarang sudah berumur
hampir dua puluh tahun.
Seingatku
juga, itu adalah kali pertama aku mengetahui dan sadar kalau seseorang dapat
meninggal dunia. Ia sudah tak lagi bisa bernafas atau bergerak. Tubuhnya akan
dimandikan, dibalut kain kafan, disalati, dan akhirnya dimasukkan liang lahat
untuk dikubur. Apa dan bagaimana kejadian di dalam kubur aku pun tak tahu. Sebelum
ini, kupikir semua orang akan hidup selamanya dan tetap pada usia mereka sekarang.
Sama seperti pemikiran bahwa selamanya aku akan tetap bersekolah di Taman
Kanak-kanak dan tidak akan menjadi bapak-bapak atau kakek-kakek berambut putih.
Kejadian ini sedikit banyak memengaruhi kejiwaanku saat itu, atau pada zaman
sekarang lebih dikenal sebagai kesehatan mental.
Pagi
harinya aku cukup gentar, tak berani berangkat ke sekolah karena harus melewati
rumah duka tersebut. Malu untuk pulang dan dimarahi mamake, akhirnya
lari terbirit-birit melewati halaman yang sebenarnya tak menyeramkan dan ramai
oleh orang-orang berdzikir mengirim doa. Meski hampir sampai di sekolah, lariku
tak juga diperlambat. Berhubung sekolah kami sudah tua, bangunanya sudah tak
begitu kokoh dan utuh, termasuk tangga di depan pintu. Aku yang berlari
tunggang-langgang berkalung botol minum tak memerhatikan pijakan yang ada.
Menginjak sisa reruntuhan tangga yang tak rata, terjatuh.
Aku
menangis, teman-temanku tertawa kegirangan.
***
Kampung, 2015
Sebagai
anak kampung, kelompok bermain kami berada dalam lingkup anak-anak satu RT. Tak
peduli apakah masih SD atau sudah SMA, geng RT sebelah akan menjadi musuh
bersama dan saingan sengit dalam setiap permainan. Karena hubungan tersebut,
ikatan emosional kami pun terus terbangun. Sering berkumpul, bermain bersama,
mandi di sungai, mencari belut di sawah, lari pagi setiap akhir pekan, dll.
Perlahan tapi pasti membuat kami saling mengenal satu sama lain secara lebih
mendalam. Misalnya alas kaki ini milik siapa, suara, gaya bicara, cara
berjalan, kebiasaan unik masing-masing, warna pakaian dalam, juga hari ulang
tahun.
Tak semua
dari kami adalah anak orang kaya yang kalau ulang tahun akan membeli kue,
mengadakan pesta, dan membagi undangan. Lebih sering justru hari ulang tahun
berlalu begitu saja seperti hari-hari biasa lainnya. Buatku sendiri tentu
senang ketika mendapat undangan, sebab nanti akan turut menikmati lezatnya kue
ulang tahun dengan banyak krim dan mendapat bingkisan enak lainnya. Ya,
meskipun sebelum itu lebih sering dibuat bingung akan memberi kado apa sebagai
hadiah. Paling banter biasanya cuma buku tulis tiga buah, atau yang
lebih berkelas seingatku adalah sarung dan kerudung. Dua terakhir itu kubeli di
aplikasi jual beli daring dan ditujukan pada seorang gadis teman SMA melalui
kurir paket, meski belakangan tak kulihat pemberianku itu ia pakai. Mungkin
karena ia tak suka, sebab kubeli dengan harga yang relatif murah dan kualitas
yang cukup meragukan.
Pernah
suatu kali saat masih SMP, salah satu anak RT 3 – geng RT kami – berulang
tahun. Beberapa hari sebelumnya, ketika kami sedang berkumpul mendengarkan
kisah tawuran ketua geng yang sudah SMA, salah satu anak tersadar akan suatu
hal.
“O iya, telung dina maning Supri
ultah, lur!” (O iya, tiga hari lagi Supri ultah, teman-teman!)
“Lah, sing beres ko Mat?” (Lah,
yang benar kau Mat?) tanya Diah.
“Temenan, asli ora goroh.” (Benar,
serius tidak bohong), tegas Rahmat.
Seketika
itu juga kami berunding, kisah tawuran ketua geng terlupakan dan tak jelas
bagaimana akhirnya. Setelah melakukan musyawarah untuk mufakat, diputuskanlah
bahwa selama tiga hari kedepan Supri akan kami acuhkan, baru kemudian di hari
ulang tahunnya diberi kejutan dan hadiah dari hasil patungan kami semua.
Maesaroh menepuk-nepukkan sandal jepitnya ke tanah, meniru gaya seorang Hakim
ketika mengambil keputusan dan mengakhiri sidang.
Tepat
saat menjelang Maghrib tanggal 5 Oktober, Supri berhasil kami eksekusi dengan
sukses. Meski tak begitu meriah, paling tidak ia pernah merasakan sweet
seventeen yang benar-benar sweet dari kami. Semoga itu selalu
terkenang selama hidup dan petualangannya di dunia. Tiga hari kami acuhkan Supri
bagai beban keluarga dan sampah masyarakat, sampai pada hari ketiga tepat
sebelum kami beri kejutan ia terlihat ketar-ketir ketakutan karena sudah kami
kerumuni seperti maling ayam tertangkap basah kemarin malam. Tak kami pukuli,
Supri kami siram campuran air dan bubuk sekam yang sudah dibakar, berteriak: SUGENG
AMBAL WARSO SUPRI SUPIRI-PIRI!!!!! SELAMAT ULANG TAHUN SUPRIII!
Awalnya
Supri bingung, keheranan, barulah beberapa saat kemudian ia sadar bahwa sedang
diberi kejutan. Kami yang merupakan aliansi anak-anak SD-SMA satu RT telah
membuatnya bersuka cita. Kami berikan kado hasil patungan kami yang berupa
seperangkat alat mandi dan minyak wangi. Sengaja kami pilih hadiah tersebut
dengan harapan supaya di usia Supri yang beranjak dewasa ini ia menjadi lebih
rajin mandi dan wangi. Tumbuh sebagai pria tampan dan pemberani yang mampu membahagiakan
keluarga, juga kami, atau bahkan seluruh warga desa. Dengan begitu setelah
lulus SMA nanti ia cepat-cepat dapat kerja dan punya istri. Membujang terlalu
lama hanya akan menjadi omongan tetangga di desa kami.
Mata Supri
mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar tak kuasa menahan haru. Ia menangis, kami
tertawa turut gembira.
***
Kang, 2021
Selamat
pagi, Mak. Sekarang anak terakhirmu itu sudah jadi mahasiswa. Kuliah sastra di
tanah Sunda dengan berbagai kebaruannya bagi pemuda asal Jawa. Kuliah yang
kerjaannya hanya bermain dan berjalan-jalan. Sungguh melenceng dari kewajiban
yang sebenarnya harus ia lakukan sebagai seorang mahasiswa. Maaf, Mak. Sungguh
maaf kuucapkan kepadamu setulus hati.
Sepulang
kuliah, yang ia lakukan hanya berleha-leha di atas ranjang. Menarik-ulur
beranda media sosial menikmati gemulainya dada dan bokong perempuan berbalut
kain ketat. Tugas-tugas tentu ada, namun pantang dikerjakan sebelum tenggat
waktu hendak berakhir. Kalau diberi tenggat waktu seminggu, ya dikerjakan pada
malam terakhir. Lebih sering justru pada jam-jam kritis sebelum pengumpulan
ditutup. Setelah kelas berakhir, berakhir pula buku-buku dan layar terbuka.
Menghadiri Zoom atau Gmeet hanya formalitas, bermain rutinitas. Terus
begitu sampai yudisium, sidang, kemudian wisuda sebagai mahasiswa biasa tanpa
sepak terjang apa pun di universitas maupun fakultas. Satu-satunya pengalaman
menggairahkan yang akan selalu dikenang adalah pergumulannya di atas ranjang
dengan wanita itu. Penjual daging yang menawarkan kehangatan dan kesenangan
luar biasa beberapa waktu.
Menjalani
hidup di dunia kampus yang berbanding terbalik dengan kehidupannya sejauh ini
membuat ia kalap. Perasaan takut dan juga senang mendominasi pikiran pemuda
haus cinta itu. Katakanlah “ngeri-ngeri sedap” memang benar sering ia alami. Tank
top rendah menunjukkan belahannya, cupang-cupang bertebaran, bukit-bukit
berguncang seperti tak berkutang, serta lenggak-lenggok yang seolah memanggil
agar tak berlalu begitu saja. Merupakan konsumsi sehari-hari yang cukup memberi
stimulus nyata dan makin meronta setiap harinya. Mungkin memang tiada niat
demikian dari orang-orang tersebut, hanya pikirannya saja yang selalu tertuju
pada kesenangan belaka dan seksualitas.
Sampai
suatu ketika, siapa yang menduga. Ia yang sudah konak menahan letupan birahi
berhasil menggaet seorang wanita setelah tawar-menawar dan sedikit berbincang.
Seperti cerita yang pernah saya baca, adalah kejadian yang untuk alasan
kesopanan sepertinya tidak perlu diceritakan. Tak perlu kecewa karena tak bisa
membaca cerita dewasa, jangan pula dibayangkan bagaimana kejadian tersebut,
yang jelas itu semua indah dan menyenangkan, saat itu.
Kejadian
ini tak seperti kisah-kisah cinta kebanyakan; sang wanita hamil kemudian mereka
menikah. Meski baru pertama kalinya dan masih awam dalam persetubuhan duniawi,
lawan main yang adalah profesional tahu bagaimana mengatasi itu semua. Pengaruh
perbedaan jam terbang dapat kita lihat dengan jelas kali ini. Tentu menonton
film porno dan onani tak bisa dikatakan sebagai pengalaman nyata baginya, sebab
pasti lain ketika terjadi sentuhan langsung. Selesai permainan, mereka berdua
terlelap. Nampak romantis pasutri itu berbaring penuh peluh bagi yang tak tahu.
Tidak
juga terkena penyakit kelamin, semua baik-baik saja dan berlangsung seperti
biasa. Barulah terjadi keanehan menjelang sunatan anaknya yang keempat. Naiklah
ke permukaan fakta-fakta yang selama ini tersembunyi di balik punggungnya
sendiri. Sebobrok apa pun hidupnya, sama seperti lelaki lain tentu yang ia inginkan
adalah memiliki istri yang baik, anak-anak yang berbakti, dan menjadi sosok suami
sekaligus ayah teladan bagi mereka semua. Benar itu semua ia dapatkan, namun
tak berhenti sampai di situ. Istrinya memang wanita baik-baik, juga adalah
lelaki baik-baik sejak lahir sampai akhir kuliahnya. Ketiga anaknya tumbuh
menjadi muda-mudi rupawan dan pemberani. Termasuk berani tidur bersama saling
cumbu dan merahasiakan itu semua, satu sama lain. Ia sendiri merupakan ayah
yang bertanggung jawab. Nafkah lahir batin untuk anak dan istrinya dapat
terpenuhi dengan baik. Akan tetapi, sekali lagi, siapa yang menyangka?
Belakangan ia ketahui bahwa istrinya sekarang adalah anak dari wanita yang
tidur dengannya saat masih kuliah dulu. Siapa ayahnya dan bagaimana ceritanya
tiada yang tahu, termasuk wanita itu sendiri. Seperti apa rencana Tuhan yang
dituliskan untuknya juga tiada yang tahu.
Diceritakanlah
pengetahuan-pengetahuan baru tersebut kepada ibunya. Bermaksud mengurangi beban
pikiran dan mencari jawaban untuk dijadikan solusi. Dan ya, perempuan mana yang
tak terluka kalau mendapati nasib anaknya demikian, karena ulah dan perangainya
sendiri. Kalau ada yang harus disalahkan atas ini semua pastilah anaknya itu.
Atau justru ia sendiri karena gagal mendidik dan menjadi orang tua? Atau (lagi)
bahkan takdir Tuhan yang tak adil dan begitu buruk untuk hidup mereka? Pupuslah
sudah cahaya di wajah perempuan itu. Perlahan kilau di matanya menggenang,
kemudian mengalir deras tak lagi sesenggukan.
Ibu itu menangis, semua orang yang hadir ikut bersedih. Anaknya, jatuh pingsan.
Jatinangor, 25 Juli 2022.