Tangis - Fahrur Rizqi

@kontributor 8/28/2022

Tangis

Fahrur Rizqi

 




“Tangis anak kecil itu wajar, tidak apa-apa. Menjadi apa-apa ketika yang menangis adalah mereka yang sudah dewasa.”

-    Pak Jarwo, Penjual Mie Ayam.


Ibeng, 2003

Di Purbalingga, khususnya desa Baleraksa yang faktual dan kutahu pasti, bayi yang baru lahir dan belum diberi nama untuk sementara akan dipanggil “Ibeng”. Bagaimana asal-usul atau filosofi yang ingin disampaikan oleh para sesepuh belum kuketahui, yang jelas seisi kampung akan beramai-ramai mendatangi rumah di mana Ibeng lahir. Tangisnya merupakan suatu panggilan bagi anak-anak sampai kakek nenek. “Mbah Dukun” yang dengan cekatan menangani persalinan akan menjadi tokoh penting dalam setiap kelahiran di desa kami. Keahliannya secara turun-temurun akan diwariskan kepada generasi penerus yang biasanya adalah perempuan. Aku sendiri tak tahu bagaimana algoritma tersebut bekerja, pasti ada saja salah satu atau salah dua keturunan beliau yang akan mewarisi ilmunya dan menjadi ahli kandungan, persalinan, bayi, juga ibu baru. Tapi itu dulu, sebelum teknologi canggih berkembang pesat seperti sekarang dan kita lebih mengenal Bidan atau Dokter sebagai ahli itu semua.

Pada suatu pagi di salah satu rumah warga, lahirlah seorang Ibeng laki-laki. Tak seperti cerita-cerita kolosal yang sering kita dengar atau saksikan, bayi ini hanyalah anak biasa dari orang tua yang biasa juga. Bukan anak dalam legenda yang ketika sudah dewasa akan diberi tahu rahasia super penting dan menumpas kejahatan angkara murka. Kelahiran tersebut tak diiringi hujan badai dan petir menyambar, ia lahir dengan selamat secara normal dan lancar. Sebagian besar berkat bantuan Mbah Dukun dari RW sebelah, bagian besar lainnya tentu berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Seperti ibeng-ibeng lain pada umumnya, ia keluar dari rahim bu Toer dengan berlumur darah. Untuk pertama kalinya ia menghirup udara Bumi secara langsung.

Ibeng menangis, semua orang bahagia penuh suka cita.

***

Je’ung, 2009

Warga desa datang dan pergi silih berganti ke rumah tetangga yang semalam meninggal dunia. Ibu-ibu datang melayat membawa tenggok berisi beras dan beberapa keperluan dapur lainnya, sedangkan bapak-bapak dan para bujangan bergotong royong membangun tenda hajatan untuk tahlilan selama tujuh hari kedepan. Masih segar dalam ingatan, beberapa hari yang lalu kami bertemu di warung depan rumah dan ia membeli sabun mandi. Tak kusangka kakek itu sudah meninggal dunia sekarang.

Rumah duka tersebut terletak persis di tepi jalan menuju TK tempatku sekolah. Begitu mendengar pengumuman dari pak Kadus (kepala dusun) bahwa ada orang yang meninggal dunia, mamake segera mencari beberapa rempah dan membuat sambetan, mengoleskannya di dahi dan tumitku. Mba Nur yang lebih tua enam tahun dariku mengoleskan sendiri ramuan tersebut. Ramuan yang kukenal sebagai penangkal makhluk halus; agar hantu, arwah, atau roh-roh jahat tak berani mendekati kami ketika ada orang yang meninggal. Namun khasiat tersebut sebatas dugaanku belaka berdasar pengamatan sejauh ini. Manfaat sebenarnya dari sambetan belum kuketahui pasti baik secara medis maupun spiritual meski sekarang sudah berumur hampir dua puluh tahun.

Seingatku juga, itu adalah kali pertama aku mengetahui dan sadar kalau seseorang dapat meninggal dunia. Ia sudah tak lagi bisa bernafas atau bergerak. Tubuhnya akan dimandikan, dibalut kain kafan, disalati, dan akhirnya dimasukkan liang lahat untuk dikubur. Apa dan bagaimana kejadian di dalam kubur aku pun tak tahu. Sebelum ini, kupikir semua orang akan hidup selamanya dan tetap pada usia mereka sekarang. Sama seperti pemikiran bahwa selamanya aku akan tetap bersekolah di Taman Kanak-kanak dan tidak akan menjadi bapak-bapak atau kakek-kakek berambut putih. Kejadian ini sedikit banyak memengaruhi kejiwaanku saat itu, atau pada zaman sekarang lebih dikenal sebagai kesehatan mental.

Pagi harinya aku cukup gentar, tak berani berangkat ke sekolah karena harus melewati rumah duka tersebut. Malu untuk pulang dan dimarahi mamake, akhirnya lari terbirit-birit melewati halaman yang sebenarnya tak menyeramkan dan ramai oleh orang-orang berdzikir mengirim doa. Meski hampir sampai di sekolah, lariku tak juga diperlambat. Berhubung sekolah kami sudah tua, bangunanya sudah tak begitu kokoh dan utuh, termasuk tangga di depan pintu. Aku yang berlari tunggang-langgang berkalung botol minum tak memerhatikan pijakan yang ada. Menginjak sisa reruntuhan tangga yang tak rata, terjatuh.

Aku menangis, teman-temanku tertawa kegirangan.

***

Kampung, 2015

Sebagai anak kampung, kelompok bermain kami berada dalam lingkup anak-anak satu RT. Tak peduli apakah masih SD atau sudah SMA, geng RT sebelah akan menjadi musuh bersama dan saingan sengit dalam setiap permainan. Karena hubungan tersebut, ikatan emosional kami pun terus terbangun. Sering berkumpul, bermain bersama, mandi di sungai, mencari belut di sawah, lari pagi setiap akhir pekan, dll. Perlahan tapi pasti membuat kami saling mengenal satu sama lain secara lebih mendalam. Misalnya alas kaki ini milik siapa, suara, gaya bicara, cara berjalan, kebiasaan unik masing-masing, warna pakaian dalam, juga hari ulang tahun.

Tak semua dari kami adalah anak orang kaya yang kalau ulang tahun akan membeli kue, mengadakan pesta, dan membagi undangan. Lebih sering justru hari ulang tahun berlalu begitu saja seperti hari-hari biasa lainnya. Buatku sendiri tentu senang ketika mendapat undangan, sebab nanti akan turut menikmati lezatnya kue ulang tahun dengan banyak krim dan mendapat bingkisan enak lainnya. Ya, meskipun sebelum itu lebih sering dibuat bingung akan memberi kado apa sebagai hadiah. Paling banter biasanya cuma buku tulis tiga buah, atau yang lebih berkelas seingatku adalah sarung dan kerudung. Dua terakhir itu kubeli di aplikasi jual beli daring dan ditujukan pada seorang gadis teman SMA melalui kurir paket, meski belakangan tak kulihat pemberianku itu ia pakai. Mungkin karena ia tak suka, sebab kubeli dengan harga yang relatif murah dan kualitas yang cukup meragukan.

Pernah suatu kali saat masih SMP, salah satu anak RT 3 – geng RT kami – berulang tahun. Beberapa hari sebelumnya, ketika kami sedang berkumpul mendengarkan kisah tawuran ketua geng yang sudah SMA, salah satu anak tersadar akan suatu hal.

“O iya, telung dina maning Supri ultah, lur!” (O iya, tiga hari lagi Supri ultah, teman-teman!)

“Lah, sing beres ko Mat?” (Lah, yang benar kau Mat?) tanya Diah.

Temenan, asli ora goroh.” (Benar, serius tidak bohong), tegas Rahmat.

Seketika itu juga kami berunding, kisah tawuran ketua geng terlupakan dan tak jelas bagaimana akhirnya. Setelah melakukan musyawarah untuk mufakat, diputuskanlah bahwa selama tiga hari kedepan Supri akan kami acuhkan, baru kemudian di hari ulang tahunnya diberi kejutan dan hadiah dari hasil patungan kami semua. Maesaroh menepuk-nepukkan sandal jepitnya ke tanah, meniru gaya seorang Hakim ketika mengambil keputusan dan mengakhiri sidang.

Tepat saat menjelang Maghrib tanggal 5 Oktober, Supri berhasil kami eksekusi dengan sukses. Meski tak begitu meriah, paling tidak ia pernah merasakan sweet seventeen yang benar-benar sweet dari kami. Semoga itu selalu terkenang selama hidup dan petualangannya di dunia. Tiga hari kami acuhkan Supri bagai beban keluarga dan sampah masyarakat, sampai pada hari ketiga tepat sebelum kami beri kejutan ia terlihat ketar-ketir ketakutan karena sudah kami kerumuni seperti maling ayam tertangkap basah kemarin malam. Tak kami pukuli, Supri kami siram campuran air dan bubuk sekam yang sudah dibakar, berteriak: SUGENG AMBAL WARSO SUPRI SUPIRI-PIRI!!!!! SELAMAT ULANG TAHUN SUPRIII!

Awalnya Supri bingung, keheranan, barulah beberapa saat kemudian ia sadar bahwa sedang diberi kejutan. Kami yang merupakan aliansi anak-anak SD-SMA satu RT telah membuatnya bersuka cita. Kami berikan kado hasil patungan kami yang berupa seperangkat alat mandi dan minyak wangi. Sengaja kami pilih hadiah tersebut dengan harapan supaya di usia Supri yang beranjak dewasa ini ia menjadi lebih rajin mandi dan wangi. Tumbuh sebagai pria tampan dan pemberani yang mampu membahagiakan keluarga, juga kami, atau bahkan seluruh warga desa. Dengan begitu setelah lulus SMA nanti ia cepat-cepat dapat kerja dan punya istri. Membujang terlalu lama hanya akan menjadi omongan tetangga di desa kami.

Mata Supri mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar tak kuasa menahan haru. Ia menangis, kami tertawa turut gembira.

***

Kang, 2021

Selamat pagi, Mak. Sekarang anak terakhirmu itu sudah jadi mahasiswa. Kuliah sastra di tanah Sunda dengan berbagai kebaruannya bagi pemuda asal Jawa. Kuliah yang kerjaannya hanya bermain dan berjalan-jalan. Sungguh melenceng dari kewajiban yang sebenarnya harus ia lakukan sebagai seorang mahasiswa. Maaf, Mak. Sungguh maaf kuucapkan kepadamu setulus hati.

Sepulang kuliah, yang ia lakukan hanya berleha-leha di atas ranjang. Menarik-ulur beranda media sosial menikmati gemulainya dada dan bokong perempuan berbalut kain ketat. Tugas-tugas tentu ada, namun pantang dikerjakan sebelum tenggat waktu hendak berakhir. Kalau diberi tenggat waktu seminggu, ya dikerjakan pada malam terakhir. Lebih sering justru pada jam-jam kritis sebelum pengumpulan ditutup. Setelah kelas berakhir, berakhir pula buku-buku dan layar terbuka. Menghadiri Zoom atau Gmeet hanya formalitas, bermain rutinitas. Terus begitu sampai yudisium, sidang, kemudian wisuda sebagai mahasiswa biasa tanpa sepak terjang apa pun di universitas maupun fakultas. Satu-satunya pengalaman menggairahkan yang akan selalu dikenang adalah pergumulannya di atas ranjang dengan wanita itu. Penjual daging yang menawarkan kehangatan dan kesenangan luar biasa beberapa waktu.

Menjalani hidup di dunia kampus yang berbanding terbalik dengan kehidupannya sejauh ini membuat ia kalap. Perasaan takut dan juga senang mendominasi pikiran pemuda haus cinta itu. Katakanlah “ngeri-ngeri sedap” memang benar sering ia alami. Tank top rendah menunjukkan belahannya, cupang-cupang bertebaran, bukit-bukit berguncang seperti tak berkutang, serta lenggak-lenggok yang seolah memanggil agar tak berlalu begitu saja. Merupakan konsumsi sehari-hari yang cukup memberi stimulus nyata dan makin meronta setiap harinya. Mungkin memang tiada niat demikian dari orang-orang tersebut, hanya pikirannya saja yang selalu tertuju pada kesenangan belaka dan seksualitas.

Sampai suatu ketika, siapa yang menduga. Ia yang sudah konak menahan letupan birahi berhasil menggaet seorang wanita setelah tawar-menawar dan sedikit berbincang. Seperti cerita yang pernah saya baca, adalah kejadian yang untuk alasan kesopanan sepertinya tidak perlu diceritakan. Tak perlu kecewa karena tak bisa membaca cerita dewasa, jangan pula dibayangkan bagaimana kejadian tersebut, yang jelas itu semua indah dan menyenangkan, saat itu.

Kejadian ini tak seperti kisah-kisah cinta kebanyakan; sang wanita hamil kemudian mereka menikah. Meski baru pertama kalinya dan masih awam dalam persetubuhan duniawi, lawan main yang adalah profesional tahu bagaimana mengatasi itu semua. Pengaruh perbedaan jam terbang dapat kita lihat dengan jelas kali ini. Tentu menonton film porno dan onani tak bisa dikatakan sebagai pengalaman nyata baginya, sebab pasti lain ketika terjadi sentuhan langsung. Selesai permainan, mereka berdua terlelap. Nampak romantis pasutri itu berbaring penuh peluh bagi yang tak tahu.

Tidak juga terkena penyakit kelamin, semua baik-baik saja dan berlangsung seperti biasa. Barulah terjadi keanehan menjelang sunatan anaknya yang keempat. Naiklah ke permukaan fakta-fakta yang selama ini tersembunyi di balik punggungnya sendiri. Sebobrok apa pun hidupnya, sama seperti lelaki lain tentu yang ia inginkan adalah memiliki istri yang baik, anak-anak yang berbakti, dan menjadi sosok suami sekaligus ayah teladan bagi mereka semua. Benar itu semua ia dapatkan, namun tak berhenti sampai di situ. Istrinya memang wanita baik-baik, juga adalah lelaki baik-baik sejak lahir sampai akhir kuliahnya. Ketiga anaknya tumbuh menjadi muda-mudi rupawan dan pemberani. Termasuk berani tidur bersama saling cumbu dan merahasiakan itu semua, satu sama lain. Ia sendiri merupakan ayah yang bertanggung jawab. Nafkah lahir batin untuk anak dan istrinya dapat terpenuhi dengan baik. Akan tetapi, sekali lagi, siapa yang menyangka? Belakangan ia ketahui bahwa istrinya sekarang adalah anak dari wanita yang tidur dengannya saat masih kuliah dulu. Siapa ayahnya dan bagaimana ceritanya tiada yang tahu, termasuk wanita itu sendiri. Seperti apa rencana Tuhan yang dituliskan untuknya juga tiada yang tahu.

Diceritakanlah pengetahuan-pengetahuan baru tersebut kepada ibunya. Bermaksud mengurangi beban pikiran dan mencari jawaban untuk dijadikan solusi. Dan ya, perempuan mana yang tak terluka kalau mendapati nasib anaknya demikian, karena ulah dan perangainya sendiri. Kalau ada yang harus disalahkan atas ini semua pastilah anaknya itu. Atau justru ia sendiri karena gagal mendidik dan menjadi orang tua? Atau (lagi) bahkan takdir Tuhan yang tak adil dan begitu buruk untuk hidup mereka? Pupuslah sudah cahaya di wajah perempuan itu. Perlahan kilau di matanya menggenang, kemudian mengalir deras tak lagi sesenggukan.

Ibu itu menangis, semua orang yang hadir ikut bersedih. Anaknya, jatuh pingsan.

Jatinangor, 25 Juli 2022.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »