Pemancing Cumi dan Istri-istri yang
Menunggu
Robbyan Abel Ramdhon
Kapal pemancing cumi membawa Romli
meninggalkan istri yang baru saja dinikahinya dua bulan lalu. Rindu kepada
istri, jelas menyiksanya, lebih perih dari sayatan angin laut pada kulit.
Kapal
menjauh dari cahaya bulan. Lampu utama kapal dinyalakan, sinarnya tumpah ke
permukaan air di sekitar. Jangkar diturunkan. Tak lama sesudahnya cumi-cumi
mendekat ke permukaan. Mereka mengira sinar itu adalah satu-satunya matahari
yang tersisa di malam hari.
“Clup” bunyi
kail pancing yang dilempar Romli.
Ada
enam pemancing cumi, satu kapten, dan satu sekretaris kapten. Kapten bertugas membaca
arah angin serta pergerakan cumi. Dia juga berperan memastikan sinar lampu
kapal tidak diganggu cahaya bulan. Sebab jika cahaya bulan turut menerangi
permukaan laut di sekitar kapal, maka cumi-cumi akan berpencar mengikutinya, sehingga
para pemancing sulit menentukan titik lemparan mata pancing.
Sedangkan sekretaris, hanya perlu membuat kapten tidak suntuk sepanjang hari dari tugasnya yang berat. Sekertaris itu dipilih dari para perempuan yang menawarkan diri di pelabuhan. Para pemancing cumi tak diperbolehkan melakukan hal yang sama seperti kapten, itu aturan. Mereka dibolehkan menyentuh perempuan hanya ketika kapal sudah bersandar di dermaga.
Kapten itu, Jahal, tak pernah berupaya memastikan keselamatan para pemancing atau memanjakan keinginan mereka. Dia tahu benar, bahwa anak buahnya lebih membutuhkan pekerjaan yang dipimpinnya itu ketimbang disentuh perempuan.
Di
tengah laut malam, tak ada yang peduli dengan nasib para pemancing cumi yang
duduk di tepi kapal. Hidup mereka berada di ujung mata pancing. Badai, penyakit
kulit biru, tubuh mengembang, hipotermia, mati gajah duduk, adalah kengerian
panjang yang memayungi kehidupan mereka.
Kali ini, Romli
terpaksa mengambil pelayaran enam bulan. Biasanya dia hanya akan mengambil
pelayaran tiga bulan, kemudian kembali ke rumah selama sebulan sebelum pergi
lagi ke laut. Seandainya Romli tak merampok dan menghindari kejaran polisi,
mungkin pada akhir bulan nanti dia bisa pulang ke rumah dengan menumpang
perahu-perahu tengkulak yang menjemput cumi hasil tangkapan mereka.
Motor curian sudah
dijual di pasar maling, sudah menjadi motor yang sama sekali berbeda setelah
masuk bengkel. Uang dari gaji memancing pun sudah menjadi semen dan pasir untuk
membangun rumah.
“Mudahan
kamu dimakan hiu,” kata Romli, saat melihat kapten kapal sedang bercumbu dengan
sekretaris pribadinya di balik kaca kemudi.
Dua
hari yang lalu, seorang pemancing nyaris dibuang ke laut karena sakit dan
merepotkan. Kondisinya yang lemah membuatnya membutuhkan lebih banyak makanan
dan minuman dari biasanya. Kalau saja ia tak cepat-cepat mengaku sembuh, kapten
pasti akan sungguh-sungguh membuangnya, lalu mengirimkan surat serta uang
kompensasi sekadarnya untuk keluarganya.
Kapten
tak pernah mau berurusan dengan polisi. Merepotkan dan pasti keluar biaya kalau
tak mau dicurigai. Lebih baik buang semua hal yang berpotensi mengganggu bisnis
ke laut.
Batang
pancing sudah dihentakkan tiga kali. Dua hentakan menghasilkan tangkapan, satu
hentakan gagal karena kepala cumi terlepas dari badannya. “Clup!” suara
pancing Romli untuk kesekian kalinya. Tatapannya hampa ke arah dinding gelap tak
terbatas.
Apa yang dilakukan
istriku di balik dinding gelap itu?
Pikir Romli, lalu
lamunannya terbang ke mana-mana. Pernah suatu ketika, karena tak kuat
membayangkan tubuh istrinya di kasur, Romli merancap hingga ejakulasi dari tepi
kapal. Merancap sesungguhnya sudah sering dilakukan para pemancing cumi.
Dalam
obrolan-obrolan nakal tanpa kapten, para pemancing sering membayangkan, sebuah
rencana memperkosa sekretaris. Tetapi kapten membawa pistol dan sudah barang
tentu jago berkelahi. Jangankan manusia, badai pun bisa ditaklukkannya. Tak ada
yang berani mengganggu apalagi merebut miliknya. Kecuali mungkin, saat sedang
mabuk tuak.
“Kopi,” kata
seorang dari belakang.
Ia duduk, si
hampir dibuang ke laut, di samping Romli.
“Aku mau mati,”
katanya.
Apa yang
dikatakannya adalah kata-kata yang juga sering diucapkan para pemancing.
“Berapa usiamu?”
tanya Romli.
“Sembilan belas.”
“Anak berapa?”
“Baru satu.”
“Abang?”
“Apanya?”
“Anak.”
“Belum punya, baru
nikah. Tapi aku lebih tua lima tahun ketimbang kau.”
Tak ada bau garam
dari angin laut malam ini. Kapal seperti mengapung di tengah danau mati. Bulan
tampak bercahaya dari tempat yang jauh. Garis cahayanya tak sampai menyentuh
kapal.
Romli dan
laki-laki itu menyeruput kopi hampir secara bersamaan. Ada kecanggungan yang
terbit di antara jarak mereka duduk. Kecanggungan yang mestinya tak hadir
terlalu cepat. Dan Romli pun sadar, kecanggungan itu harus segera diusir.
“Sepulangnya
nanti, kami bakal bikin anak,” ujar Romli.
“Sebaiknya begitu,
bang. Biar semangat bekerja.”
“Tapi kau tadi bilang
mau mati?”
“Rasa-rasanya
begitu, bang.”
“Kau akan
merepotkan kapten.”
“Mungkin. Jasadku
pasti akan dibuangnya, dibilang kecelakaan kerja, Karena itu, boleh aku minta
tolong?”
“Titipkan salam ke
keluargamu?”
“Iya, bang. Kalau
aku benar-benar mati. Bilang ke mereka, berhenti makan cumi, sekalipun ada uang
untuk membeli. Dan, bang, sesekali tengok pergaulan anakku. Kelak dia akan jadi
perempuan yang cantik, tolong pastikan, kalau ada laki-laki yang mendekatinya,
laki-laki itu harus bisa beli motor dengan uang sendiri. Nanti kuberitahu
alamat rumahku. Tolong, bang, pantau dia.”
“Tidak apa kalau
membelinya dari hasil memancing cumi?”
“Nah, itu juga.
Tidak boleh jadi pemancing cumi. Orang bengkel atau buruh bangunan tidak
masalah.”
“Kau seperti akan
mati betulan saja.”
Pria yang duduk
bersama Romli itu menangis. Bibirnya bergetar menahan tangisnya sendiri. Pucat
dan kering. Tubuhnya sedikit membiru lebam, dan bengkak di sana-sini, terutama bagian
wajah ke tengkuk.
“Kau percaya
karma, bang?” tanya pria itu.
“Karma?”
Romli berpikir
sejenak.
“Tidak sepenuhnya
percaya.”
Pagi berikutnya,
perpindahan dari pukul sebelas pagi menuju dua belas siang, para pemancing yang
tidur terbangun mendengar jeritan sekretaris. Romli dan beberapa orang naik ke
ruang kemudi untuk memeriksa apa yang sedang terjadi.
Pria itu, si sakit
semalam, membunuh kapten dengan sebuah belati. Ia menancapkan belati itu ke
leher kapten yang sedang tidur, kemudian menancapkannya juga ke lehernya
sendiri. Keduanya mati dengan darah mengalir di lantai berminyak dan diselimuti
udara berbau tuak.
Romli bersama para
pemancing berunding, apa yang perlu mereka lakukan. Pertama, mereka hanya bisa
memancing, tidak diajarkan menyetir kapal. Kedua, siapa yang akan membayar upah
mereka jika kapten mati, sementara hanya dialah yang bisa menghubungi para
pembeli.
Kedua mayat itu
tak dibuang, setidaknya belum untuk sementara. Kapal mengapung hingga sore di
tengah laut. Sinar matahari membakar lautan hingga berwarna api dan angin
terasa kering. Romli melihat di kejauhan, memikirkan apa yang tengah dilakukan
istrinya, dan apa yang akan dikatakannya pada istri laki-laki itu sepulangnya
nanti.
Para pemancing
kembali berunding untuk kedua kalinya, namun bukan mencari solusi terhadap apa
yang hendak mereka lakukan pada dua mayat di ruang kemudi itu. Ada satu hal
yang menghantui pikiran mereka sejak melihat kapten mati di ruang kemudi. Apa
yang perlu kita lakukan terhadap sekretaris cantik itu?
Mereka memikirkan
hal yang sama, mereka tahu jawabannya. Sudah lama mereka tak merasakan memasuki
lubang perempuan. Romli juga sempat berpikir begitu, tetapi pertanyaan laki-laki
itu semalam melintas di kepalanya: “Kau percaya karma, bang?”
Pertanyaan itu
melintas bersama gambaran istrinya yang menunggu di rumah. Menghabiskan waktu
dengan tidur, dan sesekali memantau tukang-tukang yang sedang bekerja membangun
rumah mereka.