Pemancing Cumi dan Istri-istri yang Menunggu - Robbyan Abel Ramdhon

@kontributor 12/18/2022

Pemancing Cumi dan Istri-istri yang Menunggu

Robbyan Abel Ramdhon



Kapal pemancing cumi membawa Romli meninggalkan istri yang baru saja dinikahinya dua bulan lalu. Rindu kepada istri, jelas menyiksanya, lebih perih dari sayatan angin laut pada kulit.

            Kapal menjauh dari cahaya bulan. Lampu utama kapal dinyalakan, sinarnya tumpah ke permukaan air di sekitar. Jangkar diturunkan. Tak lama sesudahnya cumi-cumi mendekat ke permukaan. Mereka mengira sinar itu adalah satu-satunya matahari yang tersisa di malam hari.

“Clup” bunyi kail pancing yang dilempar Romli.

            Ada enam pemancing cumi, satu kapten, dan satu sekretaris kapten. Kapten bertugas membaca arah angin serta pergerakan cumi. Dia juga berperan memastikan sinar lampu kapal tidak diganggu cahaya bulan. Sebab jika cahaya bulan turut menerangi permukaan laut di sekitar kapal, maka cumi-cumi akan berpencar mengikutinya, sehingga para pemancing sulit menentukan titik lemparan mata pancing.

Sedangkan sekretaris, hanya perlu membuat kapten tidak suntuk sepanjang hari dari tugasnya yang berat. Sekertaris itu dipilih dari para perempuan yang menawarkan diri di pelabuhan. Para pemancing cumi tak diperbolehkan melakukan hal yang sama seperti kapten, itu aturan. Mereka dibolehkan menyentuh perempuan hanya ketika kapal sudah bersandar di dermaga.

Kapten itu, Jahal, tak pernah berupaya memastikan keselamatan para pemancing atau memanjakan keinginan mereka. Dia tahu benar, bahwa anak buahnya lebih membutuhkan pekerjaan yang dipimpinnya itu ketimbang disentuh perempuan.

            Di tengah laut malam, tak ada yang peduli dengan nasib para pemancing cumi yang duduk di tepi kapal. Hidup mereka berada di ujung mata pancing. Badai, penyakit kulit biru, tubuh mengembang, hipotermia, mati gajah duduk, adalah kengerian panjang yang memayungi kehidupan mereka.

Kali ini, Romli terpaksa mengambil pelayaran enam bulan. Biasanya dia hanya akan mengambil pelayaran tiga bulan, kemudian kembali ke rumah selama sebulan sebelum pergi lagi ke laut. Seandainya Romli tak merampok dan menghindari kejaran polisi, mungkin pada akhir bulan nanti dia bisa pulang ke rumah dengan menumpang perahu-perahu tengkulak yang menjemput cumi hasil tangkapan mereka.

Motor curian sudah dijual di pasar maling, sudah menjadi motor yang sama sekali berbeda setelah masuk bengkel. Uang dari gaji memancing pun sudah menjadi semen dan pasir untuk membangun rumah.

            “Mudahan kamu dimakan hiu,” kata Romli, saat melihat kapten kapal sedang bercumbu dengan sekretaris pribadinya di balik kaca kemudi.

            Dua hari yang lalu, seorang pemancing nyaris dibuang ke laut karena sakit dan merepotkan. Kondisinya yang lemah membuatnya membutuhkan lebih banyak makanan dan minuman dari biasanya. Kalau saja ia tak cepat-cepat mengaku sembuh, kapten pasti akan sungguh-sungguh membuangnya, lalu mengirimkan surat serta uang kompensasi sekadarnya untuk keluarganya.

            Kapten tak pernah mau berurusan dengan polisi. Merepotkan dan pasti keluar biaya kalau tak mau dicurigai. Lebih baik buang semua hal yang berpotensi mengganggu bisnis ke laut.

            Batang pancing sudah dihentakkan tiga kali. Dua hentakan menghasilkan tangkapan, satu hentakan gagal karena kepala cumi terlepas dari badannya. “Clup!” suara pancing Romli untuk kesekian kalinya. Tatapannya hampa ke arah dinding gelap tak terbatas.

Apa yang dilakukan istriku di balik dinding gelap itu?

Pikir Romli, lalu lamunannya terbang ke mana-mana. Pernah suatu ketika, karena tak kuat membayangkan tubuh istrinya di kasur, Romli merancap hingga ejakulasi dari tepi kapal. Merancap sesungguhnya sudah sering dilakukan para pemancing cumi.

Dalam obrolan-obrolan nakal tanpa kapten, para pemancing sering membayangkan, sebuah rencana memperkosa sekretaris. Tetapi kapten membawa pistol dan sudah barang tentu jago berkelahi. Jangankan manusia, badai pun bisa ditaklukkannya. Tak ada yang berani mengganggu apalagi merebut miliknya. Kecuali mungkin, saat sedang mabuk tuak.

“Kopi,” kata seorang dari belakang.

Ia duduk, si hampir dibuang ke laut, di samping Romli.

“Aku mau mati,” katanya.

Apa yang dikatakannya adalah kata-kata yang juga sering diucapkan para pemancing.

“Berapa usiamu?” tanya Romli.

“Sembilan belas.”

“Anak berapa?”

“Baru satu.”

“Abang?”

“Apanya?”

“Anak.”

“Belum punya, baru nikah. Tapi aku lebih tua lima tahun ketimbang kau.”

Tak ada bau garam dari angin laut malam ini. Kapal seperti mengapung di tengah danau mati. Bulan tampak bercahaya dari tempat yang jauh. Garis cahayanya tak sampai menyentuh kapal.

Romli dan laki-laki itu menyeruput kopi hampir secara bersamaan. Ada kecanggungan yang terbit di antara jarak mereka duduk. Kecanggungan yang mestinya tak hadir terlalu cepat. Dan Romli pun sadar, kecanggungan itu harus segera diusir.

“Sepulangnya nanti, kami bakal bikin anak,” ujar Romli.

“Sebaiknya begitu, bang. Biar semangat bekerja.”

“Tapi kau tadi bilang mau mati?”

“Rasa-rasanya begitu, bang.”

“Kau akan merepotkan kapten.”

“Mungkin. Jasadku pasti akan dibuangnya, dibilang kecelakaan kerja, Karena itu, boleh aku minta tolong?”

“Titipkan salam ke keluargamu?”

“Iya, bang. Kalau aku benar-benar mati. Bilang ke mereka, berhenti makan cumi, sekalipun ada uang untuk membeli. Dan, bang, sesekali tengok pergaulan anakku. Kelak dia akan jadi perempuan yang cantik, tolong pastikan, kalau ada laki-laki yang mendekatinya, laki-laki itu harus bisa beli motor dengan uang sendiri. Nanti kuberitahu alamat rumahku. Tolong, bang, pantau dia.”

“Tidak apa kalau membelinya dari hasil memancing cumi?”

“Nah, itu juga. Tidak boleh jadi pemancing cumi. Orang bengkel atau buruh bangunan tidak masalah.”

“Kau seperti akan mati betulan saja.”

Pria yang duduk bersama Romli itu menangis. Bibirnya bergetar menahan tangisnya sendiri. Pucat dan kering. Tubuhnya sedikit membiru lebam, dan bengkak di sana-sini, terutama bagian wajah ke tengkuk.

“Kau percaya karma, bang?” tanya pria itu.

“Karma?”

Romli berpikir sejenak.

“Tidak sepenuhnya percaya.”

Pagi berikutnya, perpindahan dari pukul sebelas pagi menuju dua belas siang, para pemancing yang tidur terbangun mendengar jeritan sekretaris. Romli dan beberapa orang naik ke ruang kemudi untuk memeriksa apa yang sedang terjadi.

Pria itu, si sakit semalam, membunuh kapten dengan sebuah belati. Ia menancapkan belati itu ke leher kapten yang sedang tidur, kemudian menancapkannya juga ke lehernya sendiri. Keduanya mati dengan darah mengalir di lantai berminyak dan diselimuti udara berbau tuak.

Romli bersama para pemancing berunding, apa yang perlu mereka lakukan. Pertama, mereka hanya bisa memancing, tidak diajarkan menyetir kapal. Kedua, siapa yang akan membayar upah mereka jika kapten mati, sementara hanya dialah yang bisa menghubungi para pembeli.

Kedua mayat itu tak dibuang, setidaknya belum untuk sementara. Kapal mengapung hingga sore di tengah laut. Sinar matahari membakar lautan hingga berwarna api dan angin terasa kering. Romli melihat di kejauhan, memikirkan apa yang tengah dilakukan istrinya, dan apa yang akan dikatakannya pada istri laki-laki itu sepulangnya nanti.

Para pemancing kembali berunding untuk kedua kalinya, namun bukan mencari solusi terhadap apa yang hendak mereka lakukan pada dua mayat di ruang kemudi itu. Ada satu hal yang menghantui pikiran mereka sejak melihat kapten mati di ruang kemudi. Apa yang perlu kita lakukan terhadap sekretaris cantik itu?

Mereka memikirkan hal yang sama, mereka tahu jawabannya. Sudah lama mereka tak merasakan memasuki lubang perempuan. Romli juga sempat berpikir begitu, tetapi pertanyaan laki-laki itu semalam melintas di kepalanya: “Kau percaya karma, bang?”

Pertanyaan itu melintas bersama gambaran istrinya yang menunggu di rumah. Menghabiskan waktu dengan tidur, dan sesekali memantau tukang-tukang yang sedang bekerja membangun rumah mereka.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »