Satire Dangdut dan Melodrama
S.
Prasetyo Utomo
Dalam
hati saya bertanya-tanya: mengapa kumpulan cerpen Pada Sebuah Radio
Dangdut (Penerbit JPS, 2021) yang ditulis Asef Saeful Anwar ini memperoleh
penghargaan sastra Balai Bahasa 2022? Bukankah pengarang mengangkat syair-syair
lagu dangdut sebagai inspirasi penulisan cerpen? Apakah keunggulan syair-syair
lagu dangdut yang bernapas melodrama?
Mulailah saya membaca cerpen-cerpen Asef Saeful
Anwar yang dicipta berdasarkan syair lagu-lagu dangdut yang populer. Syair lagu
dangdut itu dihadirkan untuk masyarakat melalui radio, dinarasikan dalam
cerpen-cerpen yang kuyup dengan satire. Asef Saeful Anwar menulis kumpulan
cerpen ini untuk bermain-main, menyindir, mengolok-olok perilaku melodrama yang
berkembang dalam masyarakat pecinta lagu dangdut. Dengan bahasa yang cair,
pengarang sengaja mempermain-mainkan nasib tokoh, sebagai sebuah satire yang
getir tentang (1) patah hati, (2) kadang melingkupi hal yang mistis, (3) keputusan-keputusan
tokoh yang tak mengikuti nalar, dan (4) menyangkut kehidupan masyarakat marginal.
Obsesi pengarang pada lirik lagu dangdut yang dinarasikan, menyebabkan struktur
narasi selalu berkembang sesuai dengan syair lagu-lagu yang bernapas melodrama,
“cerita yang menampilkan situasi sensasional dan alur cerita yang terlalu
emosional” untuk mempermainkan perasaan pembaca.
Buku kumpulan cerpen yang memperoleh
penghargaan sastra Badan Bahasa 2022 ini ditulis Asef Saeful Anwar untuk bermain-main,
sebagaimana penyiar radio mengisahkan, “Setiap masalah ada dangdutnya, Dangdutin
aja masalahnya”. Dangdut menjadi ideologi untuk merepresentasikan estetika
masyarakat tertentu, dengan segala persoalan, dan cara mereka mencari
pencerahan. Sebagai cerpen-cerpen yang bergelimang adegan melodrama,
keterlibatan emosi pembaca menjadi bagian yang sangat penting untuk berempati kepada
setiap nasib tokohnya.
Persoalan patah hati menjadi bagian dominan
dalam kehidupan tokoh-tokoh cerpen dalam buku ini. Tentu saja syair lagu dangdut
yang diangkat ke dalam cerpen sangat kuyup dengan persoalan-persoalan patah
hati dan pengkhianatan, untuk mengeksplorasi dunia melodrama, yang menguras
sensasi dan emosi pembaca. Tidak perlu kesadaran spiritual tokoh untuk
menyingkap hal-hal yang berkaitan dengan persoalan-persoalan patah hati dan
pengkhianatan yang dialami tokoh-tokoh cerpen dalam buku ini.
Beberapa cerpen bersentuhan dengan
dunia mistis, untuk mencari perlindungan dari persoalan yang dihadapi tokoh. Dalam
cerpen “Satu Cerita Empat Lagu Nelangsa” menghadirkan tokoh perempuan yang
senantiasa mandi kembang tengah malam untuk memperoleh maaf kekasihnya, karena
ia berkhianat. Obsesi terhadap keyakinan akan dunia mistis yang bisa
membebaskan seseorang dari konflik kehidupan yang dihadapinya, sesungguhnya
merupakan refleksi kehidupan masyarakat yang menjadi obsesi penulis syair lagu.
Mereka menangkap kepercayaan terhadap dunia mistis sebagai potret sosial.
Sensasi dan emosi tokoh telah
menyebabkan pengarang seringkali menampilkan perbuatan tokoh yang tidak
rasional. Syair lagu dangdut ditulis dengan lompatan-lompatan logika yang tak
menuntut nalar, ketika dituangkan dalam bentuk cerpen, tentu saja mengingkari
hukum kausalitas dalam perkembangan struktur narasi. Motif-motif yang muncul
dari dunia mistis, napas melodrama, memberi arah yang memperkokoh struktur
narasi yang mengabaikan nalar. Dalam cerpen “Tangis Perempuan Berkumis”
dinarasikan seorang lelaki yang jatuh hati karena suka terhadap tangisan
perempuan berkumis. Saya tak menemukan nalar sebagai motif
tindakan tokoh, melainkan sensasi dan emosi.
Latar sosial yang menyangkut
kehidupan masyarakat marginal, telah menghadirkan tokoh-tokoh orang kecil, yang
terpinggirkan. Mereka tidak hanya terpinggirkan dalam persoalan ekonomi, tetapi
juga memiliki pandangan-pandangan tentang kecantikan, keindahan, dan kebahagiaan.
Tokoh-tokoh yang bermain dalam kumpulan cerpen ini berhadapan dengan konflik-konflik percintaan,
pengkhianatan, dan pencapaian
kebahagiaan dari sudut pandang kaum marginal.
***
LALU, apakah daya tarik kumpulan cerpen
ini sehingga Badan Bahasa memberi anugerah penghargaan sastra 2022? Pertama,
pemakaian bahasa yang merefleksikan satire terhadap perilaku tokoh-tokohnya.
Segala hal tentang kehidupan tokoh dan pandangan-pandangan yang melodramatis
telah disampaikan dengan olok-olok, kritik terselubung humor, dan menghadirkan
komunikasi yang cair terhadap pembaca. Ia mengkonstruksi struktur narasi
mengenai kehidupan kaum marginal dengan bahasa dan fantasi-fantasi mereka.
Kedua, tokoh-tokoh yang dihadirkan
dalam kumpulan cerpen ini merupakan representasi syair lagu, dengan segala
kenaifan cara pandang terhadap konflik-konflik yang dihadapi. Tokoh-tokoh
dihidupkan dari syair lagu dangdut dengan segala filosofi yang menjadi
pandangan hidup mereka, tanpa harus melakukan konfrontasi dengan kelas-kelas
sosial tertentu, meskipun kadang
tercipta alienasi yang dihadapi tokoh. Saya berhadapan dengan kisah-kisah yang
penuh sensasi dan emosi, dengan bahasa satire, bukan dengan bahasa sarkastis.
Tidak banyak saya temukan cerpenis
kita yang memiliki kemampuan mengemas struktur narasi dengan bahasa satire. Asef
Saeful Anwar menjadi salah satu cerpenis yang secara sadar menghadirkan bahasa
satire untuk menarasikan syair dangdut. Kekuatan bahasa satire cerpen-cerpen
Asef Saeful Anwar memang tak sekuat cerpen-cerpen Kuntowijoyo, yang kuyup
dengan mitos dan akar tradisi. Kuntowijoyo dikenal sebagai sastrawan yang
memandang penderitaan, pengucilan manusia, kemiskinan, dan kehinaan dengan kritik
terselubung humor dalam struktur narasi yang liat. Akan tetapi, setidaknya, Asef
Saeful Anwar telah bermain-main dengan nasib buruk manusia marginal, yang
terpinggirkan, untuk menemukan kekuatan jiwa. Dengan satire itu, ia mencari
etos, jiwa kebudayaan, dalam kehidupan kelam orang-orang marginal.